Keadilan sejati hanya ada di akhirat kelak
Di dunia tidak pernah ada keadilan hakiki
Yang kuat menindas yang lemah. Yang kuasa sewenang-wenang terhadap yang tak punya kuasa
Akan terus menjadi lukisan zaman yang berulang dari masa ke masa
Saya pribadi yang menyukai tantangan dan espektasi dengan standar yang tinggi (karir dan pencapaian), saya selalu berhasrat sampai pada puncak. Hal tersebut menjadi stimulan yang mendorong saya memiliki gairah membara dan motivasi yang tinggi dalam menjalani hidup. Hidup tanpa tantangan dan mimpi yang tinggi bagai seekor burung tanpa sayap. Satu hal lagi: Istri dan keluarga adalah segalanya dalam hidup saya.
Keadilan sejati hanya ada di akhirat kelak
Di dunia tidak pernah ada keadilan hakiki
Yang kuat menindas yang lemah. Yang kuasa sewenang-wenang terhadap yang tak punya kuasa
Akan terus menjadi lukisan zaman yang berulang dari masa ke masa
Kecil lengang tapi memikat
Panas menyengat namun mempesona
Seperempat abad memeluk erat
Beragam cerita terukir dalam kalbu
Selalu terpatri, Stadion Krida yang mendebarkan jantung itu
Terngiang selalu, pekatnya secangkir kopi lelet nan candu
Terpahat dalam maji, kisah lirih masa muda putih abu-abu
Les Blues atau Ole-Ole menjadi labuhan sunyi asmara malam Minggu
Rembang, Kota Jangkar Keramat
Setiap sudut kota mu, terendap aroma rindu
Dalam doktrin hukum acara pidana dikenal beberapa teori pembuktian. Teori pembuktian di sini berbicara mengenai dasar bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus dasar formal untuk menjatuhkan pemidanaan. Berikut beberapa teori pembuktian pidana yang dikenal di dalam doktrin.
Pertama, teori pembuktian conviction in time. Adalah pembuktian dengan hanya menggunakan keyakinan hakim an sich tanpa perlu adanya alat bukti formal. Kedua, teori pembuktian conviction in raisonee. Adalah pembuktian dengan menggunakan keyakinan hakim tanpa alat bukti formal tetapi keyakinan hakim tersebut harus dilandasi oleh alasan dan argumentasi yang logis.
Ketiga, teori pembuktian positif. Sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tanpa adanya keyakinan hakim. Keempat, teori pembuktian negatif. Sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti formal sebagaimana ditentukan oleh undang-undang serta keyakinan hakim.
Pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sendiri menganut teori pembuktian negatif. Hal ini bisa dilihat melalui ketentuan Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) ditentukan jenis-jenis alat bukti, meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kemudian dalam Pasal 184 ayat (2) terdapat klausula “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP ini disebut sebagai Notoire Feiten Notorius.
Dalam penjelasan Pasal 184 ayat (2) sendiri tidak ditemukan maksud (arti) dari pada “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (2010) menjelaskan bahwa arti dari pada “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP merujuk pada keadaan atau peristiwa yang diketahui oleh umum. Atau perihal suatu keadaan yang akan selalu mengakibatkan dampak sebagaimana yang telah menjadi pengalaman umum.
Contoh dari pada “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” (notoire feiten notorius) misalnya api itu bersifat panas, banjir itu menyebabkan genangan air, lahar dari gunung meletus itu panas, pisau itu termasuk senjata tajam, dan hal umum lainnya.
Dalam relasinya dengan ihwal pembuktian, notoire feiten notorius memiliki peran konstruksi yang harus dipahami. Pertama, hakim dapat menjadikan notoire feiten notorius sebagai kenyataan untuk menguatkan argumentasi putusan terkait penilaian terhadap suatu peristiwa atau keadaan tanpa perlu membuktikan lagi.
Kedua, notoire feiten notorius bukanlah alat bukti formal sehingga tidak bisa menjadi dasar validitas bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana. Dasar validitas bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana merujuk pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yakni minimal 2 alat bukti serta keyakinan hakim.
Ketiga, notoire feiten notorius dapat digunakan oleh hakim untuk memperoleh dan memperkuat keyakinan yang didapat dari alibi atau keterangan terdakwa, saksi, atau penuntut umum ketika merujuk pada peristiwa atau keadaan tertentu yang resultantenya sudah menjadi pengalaman umum ‘bahwa hasilnya akan demikian’ namun diingkari oleh terdakwa, saksi, atau penuntut umum. Misalnya ketika terdakwa membuat alibi bahwa ia tidak menyangka bahwa pisau yang di goreskan ke tubuh korban dapat menyebabkan korban terluka. Padahal menurut pengalaman umum (notoire feiten notorius) pisau merupakan benda tajam yang bisa menyebabkan luka jika digoreskan pada tubuh manusia.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
Prof. Satjipto Rahardjo dalam buku Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (2002) memberikan definisi penegakan hukum sebagai suatu usaha mewujudkan ide-ide keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum menjadi kenyataan. Penegakan hukum hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Apa yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto dan Satjipto Rahardjo di atas merupakan pengertian penegakan hukum dalam arti sosiologis (menyerasikan hubungan nilai) dan arti filosofis (perwujudan ide-ide). Sedangkan secara yuridis-normatif, penegakan hukum merupakan kegiatan untuk menegakkan dan memfungsikan norma-norma hukum sebagai pedoman perilaku dalam relasi hubungan privat (hukum privat) maupun perkara publik (hukum publik). Secara lebih konkret, penegakan hukum dapat diartikan sebagai usaha menegakkan hukum materil dengan menggunakan sarana hukum formil.
Ditinjau dari sudut subyeknya. Penegakan hukum dapat ditelaah dalam arti yang luas maupun konkret (sempit). Dalam arti luas, penegakan hukum melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan hukum positif atau melaksanakan sesuatu maupun tidak melaksanakan sesuatu dengan alasan basis aturan hukum, maka subyek tersebut pada dasarnya telah menegakkan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum merujuk pada tugas dan kewajiban secara spesifik dari aparatur penegak hukum untuk menegakkan norma hukum yang berlaku.
Penegakan hukum dalam arti yuridis dan subyek yang konkret salah satunya adalah penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana sendiri didefinisikan sebagai proses yuridis menegakkan hukum pidana materil dengan sarana hukum pidana formil (KUHAP) untuk melindungi kepentingan hukum publik baik negara, masyarakat, maupun individu.
Dalam praktis implementasinya, penegakan hukum pidana dilaksanakan melalui sistem prosedural bernama sistem peradilan pidana yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai sebuah kesatuan mekanisme kerja yang integral.
Secara teoritik maupun praktis, efektivitas penegakan hukum pidana juga sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel sebagaimana dijelaskan oleh teori efektivitas hukum, Soerjono Soekanto dalam buku Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (2008), yang meliputi: faktor hukumnya sendiri (aturan), faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Teori efektivitas hukum inilah yang kemudian dapat menjadi basis konstruksi penjelasan terkait distingsi penegakan hukum pidana Joseph Golstein. Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian. Total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement.
Pertama, total enforcement. Adalah penegakan hukum pidana sebagaimana dirumuskan oleh hukum pidana materil (substantif). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin bisa diaktualisasikan secara real mengingat adanya pembatasan-pembatasan prosedural dalam hukum acara pidana. Selain itu, terkadang hukum pidana materil itu sendiri yang memberikan batasan-batasan, misalnya terkait delik aduan.
Kedua, full enforcement. Adalah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang tersisa dari area total enforcement. Dalam penegakan hukum pidana full enforcement penegak hukum diharapkan mampu menegakkan hukum pidana secara maksimal, walaupun ada keterbatasan-keterbatasan praktis.
Ketiga, actual enforcement. Menurut Joseph Golstein, full enforcement dianggap sebagai not a realistic expectation yang disebabkan adanya keterbatasan-keterbatasan teknis seperti jumlah personil, sarana dan pra-sarana, maupun biaya yang pada akhirnya mengharuskan adanya diskresi maupun keterasingan jangkauan penegakan hukum (penegakan hukum asimetris). Sisa area dari total enforcement dan full enforcement inilah yang disebut sebagai actual enforcement.
Berdasarkan prinsip actual enforcement inilah seringkali terwujud fenomena penegakan hukum pidana asimetris. Penegakan hukum pidana asimetris merupakan penegakan hukum yang bersifat parsial dalam satu obyek perkara pidana tertentu yang sama namun dilakukan di waktu atau tempat yang berbeda karena latar belakang adanya keterbatasan teknis dalam penegakan hukum pidana.
Contoh sederhana penegakan hukum pidana asimetris, misalnya si A mengendarai sepeda motor tanpa SIM dan helm di jalanan yang sepi jauh dari kota, tidak ditilang oleh polisi karena kebetulan tidak ada operasi kepatuhan lalu lintas. Sedangkan si B mengendarai sepeda motor tanpa SIM dan helm di jalanan kota dan ditilang polisi yang melaksanakan operasi kepatuhan lalu lintas.
Dari fenomena tersebut, pada dasarnya si A maupun si B telah melakukan pelanggaran pidana terkait hukum lalu lintas. Akan tetapi, pada keduanya tidak terjadi penegakan hukum pidana yang sama. Si A aman dari tilang karena tidak ada operasi kepatuhan lalu lintas, sedangkan si B ditilang karena di jalan yang dilaluinya terdapat operasi kepatuhan lalu lintas.
Peristiwa tersebut merupakan contoh aktualisasi penegakan hukum pidana yang secara empiris terkendala oleh keterbatasan-keterbatasan teknis sehingga terjadi penegakan hukum pidana asimetris sebagaimana penegakan hukum pidana actual enforcement yang dikemukakan oleh Joseph Golstein. Penegakan hukum pidana asimetris sendiri seringkali terjadi pada tindak pidana yang bersifat pelanggaran (mala in prohibitia) namun beberapa juga terjadi pada tindak pidana kejahatan (mala in se).