Sabtu, 16 November 2019

PILKADA LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG ?


Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengeluarkan sebuah statement yang "berhasil" memancing diskursus dalam ruang publik. Statement mantan orang nomor satu polri tersebut terkait relevansi pelaksanaan pilkada langsung yang menurutnya justru menimbulkan banyak ekses negatif khususnya mengenai politik uang dan korupsi. Pada intinya, pelaksanaan pilkada langsung harus dievaluasi dan pilkada tidak langsung dapat menjadi solusinya. Tito Karnavian menyampaikan statement demikian saat melakukan rapat kerja dengan komisi II DPR, Rabu (6/11/2019).

Pro dan kontra pun seketika menyeruak dalam ruang publik. Dari ruang akademik, media sosial, media massa, hingga di lingkungan sosial masyarakat.

Di satu sisi, ada pihak yang tidak setuju seandainya pilkada langsung di rubah kembali menjadi pilkada tidak langsung. Bagi kelompok ini, merubah pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung adalah sebuah kemunduran peradaban demokrasi. Di sisi lain, ada pihak yang menghendaki peninjauan kembali terhadap pelaksanaan pilkada langsung, karena dalam realitasnya, pilkada langsung justru banyak menghasilkan ekses negatif yakni politik uang (hulu) dan korupsi (hilir). Konkretnya, kelompok ini menghendaki dilaksanakannya pilkada tidak langsung sebagai solusi atas kegagalan pilkada langsung dalam mewujudkan peradaban demokrasi yang lebih baik. Alasannya, dengan pilkada tidak langsung, maka politik uang akan dapat dicegah.

Namun, apakah dengan memilih pilkada tidak langsung politik uang lantas bisa dicegah ? tidak juga. Menurut saya, praktik politik uang hanya akan beralih obyek saja. Dari politik uang kepada rakyat saat pilkada langsung menjadi politik uang kepada anggota DPRD bahkan parpol saat dilaksanakan pilkada tidak langsung. Konkretnya, politik uang akan mengarah kepada siapa yang memiliki hak legitimasi suara dalam pilkada.

Sedangkan dalam pandangan saya, problematika utama demokrasi kita hari ini bukanlah terletak pada platform pilkada, apakah itu pilkada langsung maupun tidak langsung. Bukan. Problematika utama demokrasi kita hari ini yang lekat dengan ekses-ekses negatif khususnya terkait politik uang dan mahar politik yang bermuara pada menguatnya ekskalasi dan budaya korupsi oleh para kepala daerah adalah terletak pada sistem politik atau lebih spesifik berbicara mengenai sistem pilkada yang amburadul. Misalnya, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam pilkada sehingga politik uang bisa berkelindan secara masif. Kemudian rendahnya fungsi dan idealisme partai politik dalam rangka mewujudkan iklim politik yang substantif dan bermartabat.

Jadi, problematika besar demokrasi kita hari ini bukan terletak pada paltform pilkada, apakah langsung maupun tidak langsung, namun terletak pada fungsi dan kinerja dari sistem pilkada. Perlu dipahami bahwa pilkada langsung maupun tidak langsung hanyalah sekadar sarana untuk membangun demokrasi. Sebagai sarana, pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama memiliki peluang untuk membuat maju maupun membuat mundur peradaban demokrasi kita, tergantung dari bagaimana fungsi sistem yang bekerja pada platform pilkada tersebut.

Sistem yang menentukan maju tidaknya demokrasi (pilkada) terletak pada tiga faktor. Pertama, substansi (UU) pilkada apakah mengandung legitimasi yuridis guna mendukung penyelenggaraan pilkada yang bersih dan akuntabel atau tidak. Kedua, ada tidaknya proses pengawasan dan penegakan hukum baik pidana maupun administratif yang tegas dan konsekuen dalam penyelengaraan pilkada. Ketiga, terkait kultur dari suprastruktur dan infrastruktur politik.

Konkretnya, baik pilkada langsung maupun tidak langsung tidak menjadi masalah selama ketiga hal diatas mampu mengejawantah secara ideal dalam ranah empiris penyelengaaraan pilkada. Ketika ketiga hal diatas mampu mengejawantah secara ideal, maka politik uang, mahar politik, dan penyakit-penyakit politik lainnya yang menghambat kemajuan demokrasi tentunya akan dapat diminimalisir sekecil mungkin.

Konstitusionalitas dan Esensi Pilkada 

Berbicara mengenai aspek konstitusionalitas, maka baik pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama konstitusional. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyebut "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah dipilih secara demokratis". Frasa demokratis disini tentu dapat dimaknai baik dalam bentuk pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung.

Jadi, berbicara aspek konstitusionalitas, maka baik pilkada langsung maupun tidak langsung adalah sama-sama konstitusional. Tinggal platform pilkada apa yang dipilih oleh pihak legislatif sesuai dengan prinsip opened legal policy.

Selanjutnya, berbicara mengenai esensi pilkada. Esensi pilkada pada prinsipnya terbagi dalam tiga dimensi. Pertama, dimensi ideal. Menurut dimensi ideal, esensi hadirnya pilkada adalah untuk memilih dan mendapatkan pemimpin terbaik dari suatu kelompok masyarakat (primus interpares). Kedua, dimensi praksis. Dalam dimensi praksis esensi hadirnya pilkada adalah untuk memilih pemimpin terbaik dari yang ada (yang ikut kontestasi). Atau dalam bahasa Franz Magnis Suseno "mencegah pemimpin yang terburuk memimpin". Ketiga, dimensi realitas. Dalam dimensi realitas, esensi hadirnya pemilu justru mengarah pada praktik oligarki, dimana tolok ukur atau faktor kunci yang menentukan menang tidaknya seseorang dalam kontestasi pilkada bukanlah kapasitas, rekam jejak, dan integritas melainkan kemampuan logistik-materil.

Berbicara mengenai konteks esensi pilkada. Maka, baik pilkada langsung maupun tidak langsung sejujurnya tidak bisa serta merta dapat menjamin terwujudnya dimensi ideal atau setidaknya dimensi praksis dalam pelaksanaan pilkada. Karena faktor penentu sebagaimana saya jelaskan diatas adalah tergantung dari bagaimana fungsi sistem yang bekerja pada platform pilkada. Yakni, substansi (UU), penegakan hukum dalam penyelengaaraan pilkada, serta kultur dari suprastruktur dam infrastruktur politik.

Lalu, apa sisi positif dari pilkada langsung dan pilkada tidak langsung ?

Sisi positif yang pasti didapat dari pilkada langsung adalah adanya keleluasaan (restriktif) rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sedangkan sisi positif yang didapat dari pilkada tidak langsung adalah menghemat biaya penyelengaaraan pilkada.

Namun jika ditarik dalam konteks nilai esensial penyelengaaraan pilkada khususnya dalam dimensi ideal dan dimensi praksis. Maka, baik pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama tidak bisa menjamin terwujudnya pilkada yang fungsional (menghasilkan pemimpin berkualitas) dan bermartabat (bebas dari politik uang, mahar politik, dll).

Jadi, esensinya bukan pada platform pilkada apa, melainkan bagaimana kita membangun sistem pilkada agar dapat menghasilkan pilkada yang fungsional dan bermartabat.


Selesai ...






Kamis, 14 November 2019

PERGERAKAN MAHASISWA: HISTORISITAS, RASIONALITAS, DAN AKTUALISITAS




Wakil presiden pertama Indonesia, Bung Hatta, mengatakan bahwa mahasiswa adalah hati dan akalnya masyarakat. Hati dan akalnya masyarakat karena mahasiswa adalah oase yang bisa memperjuangkan apa yang menjadi harapan dan aspirasi masyarakat. “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, apabila angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa” demikian ucap Pramoedya Ananta Toer.

Sebagaimana ucapan Pram, mahasiswa sebagai kaum muda memang harapan (masa depan) sekaligus tumpuan bagi rakyat dan bangsa ini. Secara esensial, mahasiswa menyimpan tiga kekuatan yang dapat menjadi power bagi terwujudnya stabilitas dan progresifitas negara. Pertama, kekuatan intelektual. Kekuatan intelektual ini berguna baik sebagai contra balance dan juga kontra narasi terhadap sikap dan kebijakan pemerintah yang tidak substantif dan nir-aspiratif maupun untuk mengadvokasi masyarakat baik secara ekonomi, sosial, hukum, teknologi, dan politik.

Kedua, kekuatan idealisme. Hal ini terkait independensi sikap dan daya responsif mahasiswa terhadap problematika kebangsaan. Kekuatan idealisme membuat mahasiswa pure berjuang demi nilai kemaslahatan publik bukan untuk tujuan pragmatis-oportunis. Kekuatan idealisme sendiri memiliki makna kekuatan untuk menempatkan nilai-nilai ideal kebangsaan sebagai dasar dan nafas dalam melakukan perjuangan.

Ketiga, kekuatan masifisitas dan militansi. Kekuatan masifisitas dan militansi merupakan kekuatan daya ledak yang membuat mahasiswa memiliki bergaining position kuat dimata pemerintah. Ketika mahasiswa sudah mulai bergerak (demonstrasi) dari segala penjuru karena sebuah kebijakan pemerintah yang kontradiksi dengan aspirasi publik, maka pemerintah tentu akan mengambil sikap dan mempertimbangkan apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi mahasiswa. Dalam konteks ini mahasiswa akan dapat mempengaruhi pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan.

Pada prinsipnya, apa yang diucapkan oleh Bung Hatta dan Pram diatas merupakan wujud apresiasi dimana melekat tanggungjawab dan fakta historis bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam mengubah momentum kebangsaan dan perjalanan demokrasi. Dengan tiga kekuatan diatas, mahasiswa memiliki potensi besar untuk berperan sebagai agent of change guna membawa kemajuan dan kemaslahatan bangsa ini.

Pergerakan Mahasiswa

Secara gramatikal, arti dari kata pergerakan adalah kebangkitan untuk perjuangan dan perbaikan. Pergerakan artinya adalah bertindak. Tidak sekadar bertindak, namun tindakan tersebut harus beresensi membangkitkan. Kebangkitan inilah yang memicu perbaikan. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, maka tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa harus berkorelasi pada sebuah momentum kebangkitan yang bermuara pada perbaikan.

Dari sisi historisitas (pergulatan sejarah), mahasiswa selalu memiliki tindakan-tindakan besar yang memacu perbaikan dalam konstelasi kebangsaan kita. Sebelum kemerdekaan, mahasiswa berperan dalam pembentukan organisasi pergerakan pertama di Indonesia, Budi Utomo pada 1908. Mahasiswa juga membentuk organisasi Perhimpunan Indonesia pada 1925 yang berfokus pada tujuan kemerdekaan RI dan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1928 para mahasiswa dan organisasi pemuda juga menginisiasi terwujudnya sumpah pemuda yang menjadi tonggak momentum persatuan bangsa. 

Setelah kemerdekaan, peran pergerakan mahasiswa tak surut. Dari peristiwa 66 dimana mahasiwa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) mempelopori kesatuan aksi yang melahirkan Tritura, kemudian mahasiswa juga berperan dalam peristiwa malari 1974 dengan melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes atas kedatangan Perdana Menteri Jepang (terkait modal asing dan neo-imperialisme) yang kemudian melahirkan tiga tuntutan yang diberi nama “Tritura Baru 1974”, peran pergerakan mahasiswa mencapai titik kulminasi pada saat “berhasil” melengserkan kekuasaan otoritarianisme Soeharto sekaligus membangun tatanan demokrasi baru (reformasi) pada tahun 1998.

Di tinjau dari sisi historisitas, dapat kita nilai dan simpulkan bahwa pergerakan mahasiswa selalu mampu memicu momentum kebangkitan dan perbaikan dalam perjalanan demokrasi bangsa ini.

Selanjutnya kita berbicara mengenai rasionalitas pergerakan mahasiswa. Dalam konteks rasionalitas, aktivitas pergerakan mahasiswa harus dan selalu diletakkan untuk kepentingan bangsa dan kemaslahatan publik. Rasionalitas dalam hal ini berbicara tentang logika dan akal sehat mengenai dasar argumentasi atau latar belakang apa yang melandasi mahasiswa melakukan tindakan, kesemuanya itu harus bisa dijelaskan secara logis dengan dasar data dan argumentasi yang kuat. Dengan demikian, marwah dari pergerakan dan tindakan mahasiswa akan memiliki nilai dan mendapat kontekstualisasinya (apresiasi) dalam ruang publik. Oleh karenanya, pergerakan mahasiswa jangan sekadar menjadi gerakan masif dan militan namun juga harus menjadi gerakan intelektual dan society common sense.
 
Terakhir, berbicara mengenai aktualisitas. Pergerakan mahasiswa kedepan harus diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Demonstrasi tetap penting sebagai sarana kontrol terhadap pemerintah agar tidak membuat kebijakan yang kontradiksi dengan kebutuhan dan aspirasi publik. Namun advokasi sosial secara struktural dan berkesinambungan kepada masyarakat juga harus menjadi concern mahasiswa. Kedepan mahasiswa harus dapat berperan sebagai inisiator pembentuk civil society 4.0 melalui advokasi sosial dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan wujud kontribusi substantif (jangka panjang) mahasiswa guna membangun peradaban bangsa yang lebih berkemajuan. 

Mahasiswa jangan hanya menjadi menara gading.

Selesai ......


Rabu, 06 November 2019

NEGARA HUKUM TRANSENDENTAL DAN KEPEMIMPINAN PROFETIK DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA


Thomas Aquinas mengatakan bahwa kitab suci sebagai hukum Tuhan yang tertulis (the part of eternal law which revealed in scriptures) berada di atas konstitusi sebagai human law. Aquinas menambahkan bahwa hukum alam sebagai hukum Tuhan yang melekat pada manusia (the part of eternal law which discovered through human reason) juga berada di atas konstitusi. Hukum alam disini mengandung tiga prinsip. Pertama, hidup secara terhormat (honeste vivere). Kedua, tidak merugikan orang lain (alterum non leadere). Ketiga, memberikan kepada setiap manusia apa yang menjadi haknya (suum quique tribuere).

Menempatkan hukum Tuhan yang tertulis dan hukum alam yang melekat pada diri manusia diatas konstitusi menjadikannya norma transendental yang harus menjadi pertimbangan dalam proses penegakan hukum, baik dari tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Terkait norma transendental, bangsa Indonesia sejujurnya telah memiliki nyawa itu dalam Pancasila. Pancasila sebagai precept dengan kekuatan imperatif kategoris pada prinsipnya telah memuat norma transendental khususnya pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Dengan demikian, Indonesia sebagai religous nation state seharusnya kuyup oleh norma-norma transendental dalam segala dimensi kehidupan, khususnya terkait dimensi hukum yang mana menjadi garda utama dalam rangka mewujudkan keadilan hakiki dan tata keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.

Jika ditelaah secara seksama, Indonesia pada prinsipnya tidak sekadar mengejawantah sebagai negara hukum demokratis, tetapi juga negara hukum transendental. Setidaknya ada tiga dasar legitimasi untuk dapat mengatakan Indonesia sebagai negara hukum transendental. Pertama, sila pertama dan sila kedua Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kedua, Pasal 29 ayat (1) konstitusi yang mengatakan “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, irah-irah putusan pengadilan yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Konsekuensi logis sebagai negara hukum transendental, maka segala aktivitas berhukum kita seharusnya melampaui dan tidak terkekang oleh rutinitas-rutinitas prosedural. Penegakan hukum harus dilaksanakan dengan memperhatikan tujuan dan makna filosofis dari aktivitas penegakan hukum itu sendiri yakni pencarian keadilan. Dalam bahasa Satjipto Rahardjo, penegakan hukum harus dilakukan dengan mesu budi, yakni mengerahkan seluruh potensi kejiwaan dalam diri dengan basis spiritualitas untuk mendapat inti cahaya keadilan.

Dalam negara hukum transendental, aktivitas pencarian keadilan (penegakan hukum) tidak sekadar dimaknai sebagai aktivitas formal-prosedural an sich, namun juga aktivitas teologis-spiritual yang mana mengharuskan manusia (penegak hukum) untuk menggali kaidah-kaidah Tuhan sebagai penuntun guna mendapat cahaya keadilan. Karena pada akhirnya, segala aktivitas pencarian keadilan (penegakan hukum) yang dilakukan oleh penegak hukum akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kepemimpinan Profetik

Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam kamus besar bahasa Indonesia profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Dalam dinamikanya, profetik berkaitan erat dengan kepemimpinan, maka lahirlah istilah “kepemimpinan profetik”.

Dalam konteks kepemimpinan, makna kepemimpinan profetik sendiri adalah kepemimpinan yang membawa misi humanisasi, liberasi, dan transendensi. Menurut Kuntowijoyo, makna kepemimpinan profetik dapat ditemukan dalam Surat Ali-Imran ayat 110.

Menurut Kuntowijoyo, kepemimpinan profetik yang pertama adalah “ta’muruna bil ma’ruf” yang diartikan sebagai misi humanisasi. Misi humanisasi pada prinsipnya adalah misi besar untuk memanusiakan manusia. Mengangkat harkat dan martabat manusia. Serta menanamkan nilai tanggungjawab atas apa yang mereka lakukan.

Kepemimpinan profetik yang kedua adalah “tanhauna ‘anil munkar” yang diartikan sebagai misi liberasi. Misi liberasi pada prinsipnya adalah misi untuk membebaskan manusia dari sistem penghetahuan, sosial, ekonomi, dan politik yang membelenggu. Serta membebaskan manusia dari dominasi struktural yang membuat manusia terjerat dalam penindasan.

Kepemimpinan profetik yang ketiga adalah “tu’minuna billah” yang diartikan sebagai misi transendensi. Misi transendensi adalah usaha untuk menuntun hidup manusia agar bermakna. Bermakna disini mengandung arti mengarahkan manusia untuk menjalankan nilai-nilai humanisme ke arah nilai-nilai ketuhanan sebagai sebuah kesadaran ilahiyah.

Jika ditelaah menggunakan kacamata filsafat yakni ontologis, epistimologis, dan aksiologis, maka tiga pilar diatas akan tampil berurutan. Humanisasi sebagai landasan ontologis. Liberasi sebagai landasan epistimologis. Dan transendensi sebagai landasan aksiologis. Mengingat transendensi dipandang sebagai nilai yang dituju (aksiologis), maka hakikat dari kehidupan manusia pada dasarnya adalah untuk mengabdi kepada tujuan-tujuan transendensi atau tujuan ilahiyah.

Urgensi Kepemimpinan Profetik Dalam Penegakan Hukum Pidana

Hukum pidana sering disebut sebagai hukum materil dan hukum substantif. Mengingat hakikat hukum pidana menitikberatkan pada pencarian kebenaran materil dan keadilan substantif.

Hal ini tentunya berbeda dengan hukum perdata yang lebih menitikberatkan pada pencarian kebenaran dan keadilan formal.
Dalam hukum pidana, asas pembuktiannya adalah beyond reasonable of doubt (tanpa keraguan). Hal ini mengandung arti bahwa hakim ketika menjatuhkan hukuman pidana kepada seseorang harus tanpa keraguan sedikitpun, di mana selain minimal terdapat dua alat bukti, seorang hakim juga harus memiliki keyakinan kuat bahwa memang benar-benar terdakwalah yang bersalah dan patut dijatuhi pidana. Sedangkan dalam hukum perdata, asas pembuktiannya adalah prepoderance evident yang mana menitikberatkan pada bukti-bukti formal.

Konkretnya, penegakan hukum pidana pada prinsipnya bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materil dan keadilan substantif. Hal yang tentunya berbeda dengan penegakan hukum perdata yang mana bertujuan untuk mendapatkan kebenaran formil, kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti formil. Maka dari itu, dalam konteks pembuktian, hukum perdata meletakkan alat bukti surat (nilai formal) pada posisi pertama dalam hierarki alat bukti. Sedangkan dalam pembuktian hukum pidana, alat bukti keterangan saksi (nilai materil) diletakkan sebagai alat bukti pertama dalam hierarki alat bukti.

Penegakan hukum pidana sendiri pada prinsipnya merupakan aktivitas sistem dalam bingkai sistem peradilan pidana. Di mana terdapat kinerja secara integral dan sistematik antara kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), kejaksaan (penuntutan), pengadilan (vonis), dan lembaga pemasyarakatan (pelaksanaan pemidanaan) untuk mendapatkan kebenaran materil dan keadilan substantif. Jika di kontekstualisasikan dengan esensi kepemimpinan profetik, maka proses penegakan hukum pidana akan membentuk suatu hubungan respirokal antara misi transendensi dan misi mencari keadilan substantif. Di mana misi transendensi akan mengejawantah sebagai landasan untuk mempermudah mendapatkan keadilan substantif.

Kepemimpinan profetik sendiri mengandung dua pengertian. Kepemimpinan secara struktur dan juga kepemimpinan secara internal. Kepemimpinan profetik secara struktur mengandung arti bahwa pimpinan dalam proses penegakan hukum pidana di setiap tingkat pemeriksaan harus mengejawantahkan nilai-nilai kepemimpinan profetik. Sedangkan kepemimpinan profetik secara internal mengandung arti bahwa dalam proses penegakan hukum pidana tiap-tiap penegak hukum dalam dirinya harus dipimpin oleh ghiroh kepemimpinan profetik.

Kepemimpinan profetik dalam penegakan hukum pidana memiliki dua arti penting. Pertama, meletakkan aktivitas penegakan hukum pidana tidak sekadar aktivitas formal-prosedural tetapi juga aktivitas teologis-spiritual. Hal ini mengandung arti bahwa penegakan hukum pidana tidak sekadar dimaknai sebagai aktivitas menegakkan hukum secara an sich, tetapi juga aktivitas bringing to the justice dengan menggali norma-norma transenden universal yang termaktub dalam kitab suci.

Kedua, meletakkan aktivitas penegakan hukum pidana sebagai bentuk tanggungjawab ilahiyah tidak sekadar tanggungjawab formal. Dalam arti, proses dan hasil dalam penegakan hukum pidana akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Hal ini membuat para penegak hukum akan mengkonstruksikan aktivitas penegakan hukum pidana sebagai misi suci, misi ilahiyah yang kuyup dengan nilai-nilai spiritualitas religius. Konkretnya, para penegak hukum akan membawa misi transendensi (tujuan kepemimpinan profetik) ke dalam aktivitas penegakan hukum pidana yang kemudian akan melahirkan sinkretisme energi (ghiroh) sebagai basis untuk menggali sekaligus mendapatkan kebenaran materil dan keadilan substantif.

Oleh karena itu, urgensi kepemimpinan profetik dalam penegakan hukum pidana adalah sebagai basis filosofis (moral) dan basis tanggungjawab untuk menggali, menemukan, dan mendapatkan kebenaran materil serta keadilan substantif yang mana merupakan nilai esensial dalam penegakan hukum pidana.

Selasa, 05 November 2019

RADIKALISME TOPIK SEKSI


Dewasa ini istilah "Radikalisme" begitu nyaring menyeruak dalam ruang publik. Radikalisme menjadi topik seksi sebagai wacana diskursus yang begitu intens dibahas baik dalam forum perjamuan ilmiah, diskusi publik, hingga obrolan ringan warung kopi.

"Radikalisme" menjadi topik primadona yang masif dibahas dalam segala dimensi sosial. Sayangnya, topik mengenai radikalisme akhir-akhir ini justru cenderung semakin liar bahkan mengarah pada alat justifikasi yang dapat mengancam penghormatan terhadap hak asasi manusia. Labeling radikalisme terkesan menjadi liar, karena arti dan makna radikalisme sendiri belum menemukan konsensusnya secara yuridis-formal, sehingga memungkinkan setiap orang dapat mengejawantahkan makna dan arti radikalisme sesuai apa yang mereka pahami dimana terkandung nilai subyektifitas, bahkan nilai subyektifitas tersebut cenderung mengarah pada sterotipe dan over-generalized terhadap hal-hal non-substantif seperti aksesoris fashion, simbol-simbol, dan golongan tertentu.

Radikalisme sendiri jika ditinjau secara harfiah (gramatikal) berasal dari kata radikal dan isme. Radikal berasal dari bahasa latin radix yang artinya akar. Sedangkan isme artinya adalah paham. Sehingga jika disatukan, arti dan makna dari radikalisme adalah paham yang menghendaki pemikiran mendalam (akar). Ciri radikalisme sendiri setidaknya ada lima hal. Pertama, berpikir komprehensif. Kedua, berpikir sistematis-holistik. Ketiga, berpikir kontemplasi. Keempat, menggali makna secara mendalam. Kelima, kritisisme dan skeptisme.

Oleh karena itu, radikalisme sendiri memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi konstruktif. Radikalisme dalam dimensi konstruktif artinya bahwa radikalisme menghasilkan suatu wacana konstruktif. Contoh radikalisme konstruktif adalah berpikir filsafat (filosofis) yang kemudian melahirkan suatu gagasan atau ilmu baru yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.

Kedua, dimensi destruktif. Dalam hal ini radikalisme menghasilkan efek yang negatif atau merusak. Contoh radikalisme destruktif adalah melakukan tindakan-tindakan kekerasan diluar koridor hukum untuk mengganti dasar negara.

Dari sini sebenarnya dapat kita pahami bahwa radikalisme sendiri pada dasarnya memiliki dua arti. Yakni arti yang positif dan arti yang negatif. Arti positif jika radikalisme menghasilkan suatu gagasan dan ilmu yang bermaslahat atau konstruktif. Sedangkan arti negatif jika radikalisme menghasilkan suatu ekses yang bersifat negatif dan merusak. Menciptakan instabilitas sosial yang menghasilkan nilai mudharat.

Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof Irfan Idris. Radikalisme terdiri atas empat hal. Pertama, bersikap intoleransi. Kedua, anti Pancasila. Ketiga, anti NKRI. Keempat, takfiri (golongan yang menganggap kafir terhadap golongan lain yang berbeda). Apa yang dikatakan Prof Irfan Idris ini tentunya terkait radikalisme dalam dimensi yang destruktif. Di sisi lain, corak radikalisme sendiri bisa bercorak politik maupun bercorak agama.

Gerakan Radikalisme

Terkait empat bentuk radikalisme diatas kemudian akan mengejawantah dalam tiga bentuk gerakan, dimana treatment atas tiap-tiap ekskalasi gerakan radikalisme tentunya berbeda.

Pertama, jika gerakan radikalisme masih sebatas wacana (keyakinan) maka cukup dilawan dengan kontra-wacana melalui diskursus deliberatif atau dialog intelektual.

Kedua, jika gerakan radikalisme sudah mengejawantah menjadi sebuah tindakan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia. Maka harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Ketiga, jika gerakan radikalisme sudah mengejawantah menjadi gerakan politik misalnya gerakan mengganti ideologi negara tentu harus tindak secara tegas baik terhadap organisasi maupun individu karena sudah masuk kepada tindak pidana subversif (kejahatan terhadap keamanan negara)

Pada prinsipnya, gerakan pertama cukup digunakan pendekatan persuasif. Sedangkan gerakan kedua dan ketiga harus ditindak secara represif. Karena sudah mengejawantah menjadi tindak pidana yang berbahaya bagi jiwa manusia, keamanan, dan stabilitas nasional.

Celana Cingkrang dan Cadar Itu Radikalisme ?

Apakah orang yang bercelana cingkrang dan orang yang memakai cadar itu lantas disebut sebagai wujud radikalisme ?. Menurut saya tidak bisa.

Mengapa tidak bisa ? ya, karena radikalisme (dalam arti negatif) tidak bisa distereotip dan dilekatkan terhadap simbol-simbol atau aksesoris fashion secara sepihak. Mengapa demikian ? sederhana saja. Karena tidak ada hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara celana cingkrang dan cadar dengan radikalisme.

Kemudian berbicara soal konteks HAM. Apakah wacana pelarangan pemerintah (menteri agama) bagi ASN untuk memakai celana cingkrang dan cadar adalah sebuah pelanggaran HAM ?. Tunggu dulu, bisa kita cari teori yang membenarkan wacana pemerintah namun bisa juga kita cari teori untuk menyalahkan wacana pemerintah.

Teori yang bisa membenarkan wacana pemerintah misalnya adalah teori dari Prof. Buys yang mengatakan bahwa hak asasi manusia dapat dikurangi jika seseorang secara sukarela masuk dalam suatu instansi atau organisasi.

Teori yang bisa membenarkan wacana pemerintah selanjutnya adalah teori pembatasan hak asasi manusia. Dalam konteks konstitusi, pembatasan HAM sudah diatas secara eksplisit dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Syaratnya, legitimasi pembatasannya harus berwujud Undang-Undang. Yang tujuannya terkait dua hal. Pertama, menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua, untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan Ketertiban umum. Pertanyaannya, apakah pelarangan memakai cadar dan cingkrang bagi ASN memiliki korelasi makna dengan dua tujuan alasan pembatasan HAM sebagaimana ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 diatas ?.

Kemudian teori yang dapat menyalahkan wacana pemerintah untuk melarang pemakaian cadar dan celana cingkrang tentunya terkait hak kebebasan agama yang tergolong sebagai hak non-derogable right (hak asasi esensial yang tidak dapat dibatasi). Hak kebebasan agama sendiri dalam perspektif HAM tergolong sebagai hak negatif. Dalam arti hak tersebut akan semakin dapat terpenuhi jika semakin minimnya campur tangan pemerintah. Nah, dalam konteks pemakaian cadar dan celana cingkrang tentunya harus dilihat sebagai bagian hak kebebasan beragama. Kebebasan ekspresi spiritualitas (non-derogable right) yang seharusnya tidak boleh dibatasi oleh pemerintah.

Radikalisme dan Jalan Keluar

Pada akhirnya, menurut hemat saya, alangkah baik jika definisi radikalisme itu sendiri ditetapkan secara yuridis-formal dalam Undang-Undang, agar tidak menimbulkan multitafsir yang melahirkan justifikasi atau labelling sepihak.

Selama tidak ada definisi yuridis-formalnya, maka radikalisme akan selalu menjadi topik seksi yang dapat (rentan) di komodifikasi dan di framming untuk kepentingan-kepentingan negatif (pembunuhan karakter, perampasan HAM dll) yang pada akhirnya dapat memberikan dampak negatif bagi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Sedangkan bagaimana solusi untuk menekan radikalisme sendiri, menurut hemat saya harus dilakukan pendekatan secara holistik dan integral mengingat penyebab orang menjadi radikal (dalam arti negatif) tidak disebabkan oleh faktor tunggal, banyak faktor yang berkelindan. Penegakan hukum, pendekatan persuasif, deradikalisasi, pemenuhan kesejahteraan sosial dan ekonomi, pemenuhan keadilan secara komprehensif hingga menjaga kohesifitas dan inklusivitas sosial adalah langkah-langkah yang harus dilakukan. Oleh siapa ? oleh seluruh elemen bangsa sesuai dengan peran, porsi, dan posisinya masing-masing.



Selesai ...














Sabtu, 02 November 2019

MEMBANGUN HULU (CATATAN SINGKAT)


Ketika yang menentukan terpilih tidaknya seseorang dalam sebuah institusi/organisasi adalah faktor-faktor non-teknis seperti uang, kedekatan, dan nepotisme, maka niscaya rusaklah institusi/organisasi tersebut.

Rusak, karena institusi/organisasi tidak dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi. Logika dasarnya, institusi/organisasi adalah entitas mati yang hanya akan dapat berfungsi dan berjalan dengan baik jika dijalankan oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi.

Saya meyakini bahwa untuk membangun sebuah institusi/organisasi yang baik, maka yang pertama kali harus dibangun dan dibenahi adalah dari sektor hulu (input/rekrutmen).

Hulu harus dibenahi melalui penerapan sistem meritokrasi, dimana yang menentukan terpilih tidaknya seseorang dalam sebuah institusi/organisasi adalah karena faktor kompetensi, kapasitas, dan integritas.

Jika sebuah institusi/organisasi sudah bermasalah sejak dari hulu (input/rekrutmen), dimana orang-orang yang terpilih menjalankan institusi/organisasi adalah orang-orang yang tidak kompeten, maka berjalannya roda institusi/organisasi tersebut niscaya akan tebal dengan riak-riak problematika baik secara intern maupun ekstern, sehingga pada akhirnya tidak mampu mencapai tujuan-tujuan yang ingin dituju.

Mengapa dunia politik-pemerintahan kita tidak kunjung mampu menciptakan welfarestate bagi segenap rakyat ? ya karena sebab diatas. Mengapa banyak BUMN/BUMD bermasalah ? ya karena sebab diatas. Mengapa pengelolaan sepak bola kita bermasalah dan timnas kita tak kunjung mampu berprestasi ? hehehehe.

Pada prinsipnya, untuk memperbaiki sebuah institusi/organisasi, maka perbaikilah hulunya terlebih dulu yakni sistem rekrutmen, baru kita bisa berbicara banyak.

Perbaikilah sistem hulu, dengan memastikan bahwa orang-orang yang terpilih untuk menjalankan institusi/organisasi adalah orang-orang yang memang memiliki kompetensi, kapasitas, dan integritas.

Buatlah sistem dan ekosistem agar terpilih tidaknya seseorang untuk mengemban amanah dalam sebuah institusi/organisasi didasarkan pada faktor-faktor teknis tersebut.

Membangun sistem artinya membangun struktur, rule, penegakan aturan, dan partisipasi positif dari para stakeholders. Membangun ekosistem artinya membangun kultur. Menginternalisasi dan membudayakan nilai-nilai positif dalam membangun institusi/organisasi yang dimulai dari hulu hingga hilir.

Demikian garis besar tulisan saya ini.



Jumat, 01 November 2019

11 PEMAIN TERBAIK PSM VERSI SAYA


Selamat ulang tahun yang 104 untuk PSM Makassar. Di hari ulang tahun PSM yang 104 ini akan saya susun 11 pemain terbaik yang pernah membela dan mengabdikan diri untuk klub kebanggaan masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan. 11 pemain terbaik PSM disini tentunya adalah pemain-pemain yang pernah saya saksikan aksi dan permainannya dengan mata kepala saya sendiri. Dan berikut susunannya.

Menggunakan formasi 4-2-3-1.

Kiper: Ansar Abdullah. Postur tubuh ideal. Kesetiaan tak perlu diragukan, dari 1987-2003 setia mengawal gawang Juku Eja. Turut berkontribusi mempersembahkan dua gelar kepada PSM (1992 dan 2000).

Bek kanan: Asnawi Mangkualam. Di awal karirnya sesungguhnya bermain di posisi gelandang. Asnawi mengingatkan saya kepada Maicon bek kanan asal Brazil. Menyerang dan bertahan sama bagusnya. Bertenaga. Rapat, sulit lewati. Memiliki kecepatan dan eksplosivitas. Dribling oke.

Bek tengah: Rony Ririn. Meksi posturnya kurang ideal untuk posisi bek tengah namun soal kemampuan mematikan pergerakan striker lawan tak perlu diragukan. Dialah ahlinya, dengan ciri khas permainan keras, lugas, dan tanpa kompromi. Ketika PSM banyak diperkuat pemain-pemain berlabel bintang medio 2000-2002. Dia tetap menjadi pemain andalan tak tergantikan.

Bek tengah: Hamka Hamzah. Hanya satu musim membela PSM Makassar yakni di musim 2017 (dan 2001/2002 di awal karir). Hamka Hamzah adalah bek tengah favorit saya. Salah satu bek terbaik Indonesia sepanjang masa. Salah satu dari sangat sedikit pemain belakang Indonesia yang memiliki visi bermain bagus. Jago duel udara. Dan memiliki kemampuan plus yakni rajin mencetak gol.

Bek Kiri: Aji Santoso. Juga hanya satu musim memperkuat Juku Eja tepatnya pada musim 1999/2000 saat merengkuh gelar juara liga Indonesia. Aji Santoso memiliki gaya bermain keras dan bertehnik tinggi. Rajin membantu serangan, meski saat itu gaya bermain full-back secara umum masih konservatif (bertahan saja) namun Aji "berani" keluar dari pakem. Aji, banyak dinilai oleh para pengamat dan mantan pemain nasional sebagai bek kiri terbaik timnas Indonesia sepanjang masa. Oleh karenanya, posisi bek kiri terbaik PSM versi saya, saya kira cukup pantas disandangnya.

Gelandang bertahan: Syamsul Chaeruddin. Putra kelahiran Gowa inilah yang saya rasa paling dapat mengejawantahkan falsafah Siri' Na Pacce di lapangan. Bermain tidak sekadar atas nilai profesionalitas namun lebih dari itu dia bermain dengan cinta dan harga diri. Keras, lugas, pantang menyerah, selalu bermain habis-habisan, dan memiliki stamina yang luar biasa. Begitulah karakter yang melekat pada diri Syamsul Chaeruddin.

Gelandang bertahan: Marc Klok. Tipe gelandang pembunuh serangan lawan. Namun juga bisa menjadi kreator serangan dengan passing-passing cantiknya. Saya kira, Marc Klok adalah tipe gelandang bertahan modern yang mana tidak hanya sekadar pandai memutus serangan lawan tetapi juga lihai dalam mendistribusikan bola.

Gelandang serang. Wiljan Pluim. The one and only. Sang metronom lini tengah PSM dari musim 2016 hingga saat ini. Wiljan Pluim memiliki visi bermain kelas wahid. Umpan-umpan "manja" dan visioner begitu mudah keluar dari kakinya. Pandai mengatur ritme permainan serta cukup produktif dalam mencetak gol. Siapapun klub yang bertanding menghadapi PSM, pasti keluar perintah dari sang pelatih klub tersebut "matikan Wiljan Pluim".

Sayap kanan: Zulham Zamrun. Mejadi top skor dan pemain terbaik piala Indonesia musim ini adalah bukti kualitas putra Ternate. Pemain yang dijuluki "Cristiano Ronaldo Indonesia" ini memiliki penguasaan bola bagus dan naluri mencetak gol tinggi meski bermain di posisi sayap. Salah satu kelebihan Zulham adalah sering melakukan trik-trik bertehnik tinggi yang menghibur penonton.

Sayap kiri: Andi Oddang. Pemain asal Jeneponto ini adalah tipe pemain licin. Memiliki kecepatan dan dribbling bagus. Pandai merusak skema pertahanan tim lawan. Serta memiliki naluri mencetak gol yang cukup tinggi.

Striker: Ferdinand Sinaga. Top skor PSM dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Musim 2016 10 gol, musim 2017 12 gol, dan musim 2018 10 gol. Ferdinand tipe striker oportunis, cepat, dan pandai mencari ruang untuk mencetak gol. Salah satu kelebihan Ferdinand adalah memiliki tendangan kaki kiri yang keras dan akurat. Musim ini Ferdinand telah mencetak 7 gol dan menjadi top skor sementara PSM. Konsistensi dalam mencetak gol adalah bukti nyata kualitas dari pria kelahiran Bengkulu, berdarah medan, dan berjiwa Makassar ini.

Pelatih: Robert Rene Alberts. Pelatih yang memiliki reputasi bagus di Indonesia dan Asia Tenggara. Pernah meraih gelar juara liga Indonesia, liga Malaysia, dan liga Singapura menjadi bukti nyata kualitas Robert Rene Alberts. Selama melatih PSM dalam kurun waktu 2016-2018, Rene mencatat prestasi bagus dengan mengantarkan PSM meraih peringkat 6 musim 2016, peringkat 3 musim 2017, dan peringkat 2 musim 2018. Saya kira tim ini akan menjadi semakin mengerikan dibawah nahkoda sekaliber Robert Rene Alberts.