Jumat, 30 April 2021

PUISI: POTRET HIDUP

Edi, anak konglomerat. Hidup hedon segala tercukupi

Fadholi, anak orang sederhana. Garis hidupnya penuh liku dan perjuangan

Edi, tiap hari ngompleks pulang dini hari

Fadholi, tiap hari berpeluh keringat membantu orang tua

Edi, malas sekolah hanya kenal pesta, heroin, dan putauw

Fadholi, selalu juara kelas tiap malam hanya belajar dan berdoa

Edi, playboy sejati tabur benih cinta dimana-mana

Fadholi, pria santun bersahaja taat beribadah

Edi, mati muda. Masuk neraka jahanam

Fadholi, panjang umur penuh kebahagian di hari tua. Mati masuk surga



PUISI: ANJING

Biarpun wangi berdasi tapi maling uang rakyat. Anjing !

Biarpun berpangkat tinggi hanya bisa menjilat. Anjing !

Biarpun sekolah S3 tapi pikirannya perut dan farji doang. Anjing !

Biarpun kaya raya tetap memperkosa hak kaum papa. Anjing !

Biarpun memiliki kuasa hanya bisa nyimeng. Anjing !

Buldog. Harder. Dachshund. Doberman. American Pit Bull Terrier. Cane Corso

Spesies anjing marah karena banyak manusia lebih anjing dari anjing

Anjing pusing mau berkeluh ke mana?





Kamis, 29 April 2021

PUISI: DWIPA

Atas dwipa orang tua dan Yang Maha Kuasa

Dua insan merajut kasih suci

Ikatan sakral membiat kisah sejoli

Sebagaimana tertulis di Lahuil Mahfudz

Mengayuh bahtera hidup bermahligai iman

Dalam mihrabNYA terukir langgam nirmala

Kesetiaan terukir hingga haribaan

Binar cinta memancar sampai nirwana




Sabtu, 17 April 2021

PUISI: BUNGAKU

Bungaku serpihan jiwaku

Masa lalumu masa laluku lebur tak bersisa

Manunggal atma aku dan kamu

Dalam bahtera suci hingga ujung waktu

Rasa ini bukan milik manusia biasa

Tak pernah berkurang dan berpaling

Sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai





Jumat, 09 April 2021

VIABILITAS SANKSI PIDANA BAGI PENOLAK VAKSINASI COVID-19

 

Dalam artikel opini saya berjudul “Perspektif Hukum: Vaksinasi Covid-19 Hak Atau Kewajiban?” di ayosemarang.com, saya mengatakan bahwa secara yuridis, penolakan terhadap vaksinasi Covid-19 yang merupakan bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan ratio legis Pasal 9 jo Pasal 15 ayat (2) jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memberikan konstruksi makna “Bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (vaksinasi adalah bagian dari kekarantinaan kesehatan) dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (Seratus juta rupiah). Berdasarkan pemaparan tersebut, vaksinasi Covid-19 pada prinsipnya merupakan kewajiban hukum dan bukan merupakan sebuah hak.

Logika Hukum

Pada prinsipnya, setiap orang berhak untuk memilih pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang berhak secara mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka secara letterlijk vaksinasi Covid-19 adalah sebuah hak individu sebagai bagian pemilihan pelayanan kesehatannya sendiri.

Namun jika digunakan konstruksi hukum secara sistematis (mengacu pada sistem peraturan perundang-undangan secara komprehensif) dan kontekstual (kondisi aktual), maka hak individu terkait vaksinasi Covid-19 akan bertransformasi sebagai hak publik tatkala dihubungkan dengan kondisi darurat kesehatan dan wabah penyakit menular yang memiliki implikasi pada pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat luas yang mana konsekuensi tersebut menjadi tanggungjawab konstitusional pemerintah. Dalam konteks ini, vaksinasi Covid-19 harus dilihat secara utuh sebagai upaya pemerintah (negara) untuk melakukan pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat.

Oleh karena itu, vaksinasi Covid-19 sebagai bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan solusi dari wabah penyakit menular merupakan domain hak publik dalam rangka pemenuhan jaminan dan pemenuhan kesehatan. Tanpa adanya (kewajiban) vaksinasi, seseorang bisa menjadi causa bagi penularan wabah penyakit (Covid-19) dan membahayakan hak publik (masyarakat) untuk memperoleh jaminan dan pemenuhan kesehatan.

Maka dari itu, ancaman sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 secara in casu mengejawantah sebagai instrumen perlindungan hak publik khususnya terkait pemenuhan hak atas kesehatan dan perlindungan dari wabah penyakit menular yang memiliki basis filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam kerangka sistem hukum maupun legitimasi konstitusional.

Namun, di sisi lain jangan dikesampingkan terkait konsepsi UU Kekarantinaan Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit Menular sebagai UU pidana administratif bukan UU pidana khusus. Secara teoritik, UU pidana administratif adalah UU administratif yang memiliki kelengkapan sanksi pidana. UU pidana administratif meletakkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium, artinya sanksi pidana akan diterapkan jika pendekatan sanksi administratif dirasakan tidak efektif. Sanksi pidana dalam UU pidana administratif berfungsi sebagai sarana represif-alternatif (bukan utama) untuk memperlancar penyelenggaraan birokrasi dan administrasi pemerintahan.

Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana terkait kewajiban vaksinasi Covid-19 dalam UU Kekarantinaan Kesehatan harus diaplikasikan dan diletakkan dalam kerangka sebagai “obat terakhir” setelah sanksi adminitratif maupun tindakan preventif (sosialisasi) tidak efektif. (Dikutip dari artikel “Perspektif Hukum: Vaksinasi Covid-19 Hak Atau Kewajiban?”, ayosemarang.com, 18 Januari 2020).

Viabilitas Sanksi Pidana

Viabilitas dapat dimaknai sebagai daya hidup, efisiensi, dan efektivitas keberlakuan dan eksistensi sesuatu. Dalam konteks pemberlakuan sanksi pidana terhadap penolak vaksinasi Covid-19 hendaknya negara harus memperhatikan viabilitas dari sanksi pidana itu sendiri. Jangan sampai, penerapan sanksi pidana justru malah menjadi boomerang dan anomali yang malah membuat situasi menjadi chaos.

Pada prinsipnya, penerapan sanksi pidana terhadap penolak vaksinasi Covid-19 harus diletakkan sebagai ultimum remedium yang mana merupakan karakteristik dari hukum pidana administratif dan prinsipil dari hukum pidana moderen. Kalaupun harus dijatuhi sanksi pidana, negara melalui alat kelengkapannya (peradilan) hendaknya mengutamakan penerapan sanksi denda dari pada penjara. Ada beberapa alasan kondisonil terkait hal ini.

Pertama, over capasity lembaga pemasyarakatan. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan) maka akan kontraproduktif dengan tujuan dari pemidanaan itu sendiri yakni resosialisasi. Resosialisasi sendiri tidak akan efektif selama lembaga pemasyarakat masih over capasity. Dalam praktiknya, over capasity lembaga pemasyarakatan mengejawantah menjadi praktik penindasan terhadap hak asasi manusia seperti pemerkosaan, perbudakan, dan penganiayaan.

Kedua, menambah kerumunan. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan) maka akan berimbas pada menaiknya penghuni lembaga pemasyarakatan yang sebenarnya sudah over capasity. Hal ini akan berimbas pada meningkatnya kerumunan dan potensi penularan Covid-19 dalam lembaga pemasyarakatan yang kontraproduktif dengan tujuan dari sanksi pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Ketiga, beban ekonomi negara. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan), makas akan berimbas pada menaikknya jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang secara logis akan berimbas pada naiknya ongkos ekonomi negara untuk memenuhi kebutuhan para narapidana baru tersebut selama dibina di lembaga pemasyarakatan.

Dalam kondisi pandemi Covid-19, negara mengalami defisit anggaran, maka kalaupun penolak vaksinasi Covid-19 “terpaksa” dijatuhi sanksi pidana, hendaknya lebih diutamakan penerapan sanksi pidana denda (masuk kas negara) dari pada sanksi penjara (menambah pengeluaran negara). Hal ini sesuai dengan penerapan prinsip ekonomi mikro terhadap hukum pidana yang berlandaskan pada asas efisiensi, maksimisasi, dan keseimbangan.

Pada prinsipnya, ditinjau berdasarkan karakteristik hukum pidana administratif dan prinsipil hukum pidana moderen (teoritik) maupun kondisi empirik sebagaimana saya jelaskan di atas, maka keberlakuan sanksi pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit Menular harus diletakkan sebagai sarana pamungkas ketika upaya sanksi administratif maupun upaya preventif (edukasi/sosialisasi) tidak efektif. Selain itu, jikalau sanksi pidana harus “terpaksa” diterapkan, maka sanksi pidana denda hendaknya lebih diutamakan dari pada sanksi pidana penjara. Dengan demikian, sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 akan memiliki viabilitas sehingga tidak kontraproduktif dengan realitas yang ada.

 

           

KLITIH DALAM PERSPEKTIF DOKTRIN HUKUM PIDANA

 

Klitih merupakan diksi yang memiliki konotasi menyeramkan khususnya bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Klitih identik dengan kekerasan yang dilakukan secara acak untuk tujuan-tujuan non-spesifik. Nglitih juga bisa dimaknai aktivitas mencari eksistensi (keberanian) dan kesenangan di jalanan dengan melakukan kekerasan tanpa memandang siapa korbannya. Mirisnya, pelaku klitih mayoritas masih berstatus sebagai pelajar.

Dikutip dari tirto.id (05/02/2020), Kapolda DIY Irjen Asep Suhendar memaparkan data kasus klitih dari Januari tahun 2019 hingga Januari tahun 2020 tercatat ada 40 kasus yang dikategorikan sebagai klitih. Dari 40 kasus tersebut, terdapat 81 pelaku yang ditangkap dan 70 persen pelakunya pelajar.        

Maraknya kasus klitih yang masih berstatus pelajar, regeneratif, dan repetitif menandakan minimnya peranan dan internalisasi intrinsik pendidikan bagi pembentukan karakter pelajar khususnya pelajar di Yogyakarta. Fenomena ini juga bisa dilihat sebagai kegagalan peranan preemtif dan preventif kepolisian dalam penanggulangan kejahatan (klitih).

Pada awal 2020, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan statement bahwa Yogyakarta darurat klitih. Di sisi lain, tirto.id pada tanggal 5 Februari 2021 menulis sebuah berita (feature) dengan judul “Darurat Klitih Jogja dan Gagalnya Polisi Melindungi Warga”.

Menurut Aroma Elmina Martha, kriminolog sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bahwa klitih (dahulu) sebenarnya bermakna netral. Menurutnya, klitih sebenarnya bermakna keluyuran untuk menghabiskan waktu luang. Dalam berbagai referensi, klitih sendiri pada awalnya merujuk pada aktivitas mengunjungi Pasar Klitikan Yogya, sebuah pasar “gelap” yang menjual barang-barang bekas.

Menurut Ahmad Fuadi dkk dalam Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih (2019), Klitih pada mulanya diartikan sebagai kegiatan jalan-jalan biasa tanpa tujuan yang jelas. Dalam konteks kenakalan remaja, klitih dapat diartikan sebagai kegiatan jalan-jalan (mengitari kota) untuk mencari pelajar dari sekolah lain yang dianggap musuh kemudian membuat kekerasan (tawuran, perkelahian dll).

Namun dalam dinamikanya, klitih kemudian bertransformasi tidak sekadar kenakalan remaja untuk menyerang pelajar lain yang dianggapnya musuh (sasaran spesifik) melainkan tindakan kekerasan kepada masyarakat umum dengan sasaran korban secara acak.

Dalam konteks doktrin hukum pidana, klitih (kejahatan dengan sasaran korban acak) digolongkan sebagai dolus indeterminatus yakni kesengajaan yang tidak ditujukan kepada obyek (korban) tertentu, tetapi pada sembarang obyek (acak) atau tidak memperdulikan siapa saja yang menjadi korban. Kebalikan dari dolus indeterminatus adalah dolus determinatus yakni kesengajaan yang ditujukan terhadap obyek tertentu.

Sebagai dolus indeterminatus, maka perbuatan klitih meskipun tidak memiliki sasaran obyek kejahatan yang ditentukan tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kesengajaan dalam doktrin hukum pidana memiliki arti menghetahui dan menghendaki. Jadi, tidak melihat perihal sasaran yang ditentukan maupun tidak.

Secara kualifikasi yuridis, klitih memang tidak dimasukan sebagai delik pidana secara letterlijk, namun substansi perbuatan-perbuatan klitih dapat masuk dalam berbagai rumusan delik, misalnya penganiayaan biasa (Pasal 251 KUHP), penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia (Pasal 354 KUHP), hingga Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.

Menurut hemat saya, persoalan klitih di Yogyakarta tidak dapat direstriksi sekadar permasalahan hukum tetapi harus dilihat sebagai sebuah gejala sosial yang lebih luas. Jika dilihat sekadar sebagai permasalahan hukum, maka orientasi solusinya adalah represif (penegakan hukum pidana) dan hal ini terbukti gagal dalam memberantas praktik klitih, realitasnya klitih terus saja berulang dari generasi ke generasi.

Namun, jika klitih diletakkan sebagai gejala sosial yang lebih luas, maka orientasi solusi untuk mengatasi klitih menjadi lebih komprehensif dan multi-sektoral, tidak sekadar penegakan hukum, tetapi juga melibatkan pendekatan multi-aspek, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial-budaya sebagai bagian kesatuan yang utuh dan integral.

BANTUAN HUKUM DALAM NEGARA HUKUM DEMOKRATIS

 

Berdasarkan pemaknaan komprehensif terhadap UUD NRI 1945 dan secara khusus pada Pasal 28 I ayat (5), dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia berlandaskan pada prinsip negara hukum demokratis. Secara teoritik, negara hukum demokratis memiliki 3 prinsip fundamental. Pertama, adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kedua, adanya penegakan hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum (due procces of law). Ketiga, adanya akses masyarakat untuk memperoleh keadilan secara luas.

Dalam konteks di atas, maka hadirnya bantuan hukum pada prinsipnya merupakan sebuah konsekuensi logis sebagai tools pemenuhan akses masyarakat untuk memperoleh keadilan, dimana hal tersebut merupakan prinsip fundamental dalam negara hukum demokratis. Secara lebih luas, bantuan hukum juga dapat menjadi sarana bagi pemenuhan perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak hukum serta pemenuhan terhadap proses penegakan hukum yang berbasis fairness (due procces of law).

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, bantuan hukum didefinisikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Jasa hukum di sini dapat berupa konsultasi hukum, pendampingan, menjalankan kuasa baik litigasi maupun non-litigasi serta melakukan tindakan hukum lain demi kepentingan hukum penerima bantuan hukum.

Dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 16 tahun 2011 dijelaskan bahwa penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 16 tahun 2011 dijelaskan bahwa pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini.

Berdasarkan konstruksi Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 tahun 2011, konsepsi bantuan hukum yang ditransplantasi dalam sistem hukum Indonesia adalah konsepsi bantuan hukum legal aids. Legal aids adalah bantuan hukum gratis kepada masyarakat miskin. Di sisi lain, dalam doktrin juga dikenal konsepsi bantuan hukum legal assistance atau bantuan hukum profesional. Legal assistance adalah bantuan hukum sebagai jasa hukum profesional yang diberikan kepada klien tanpa melihat status sosial. Menurut Todung Mulya Lubis, legal assistance mengandung konotasi pelayanan hukum atas jasa hukum yang dilakukan oleh advokat kepada masyarakat mampu dan tidak mampu.

Jika ditelaah dalam kerangka paradigma, bantuan hukum terbagi menjadi dua paradgima. Pertama, bantuan hukum konvensional. Merupakan bantuan hukum yang meletakkan klien (penerima bantuan hukum) dalam posisi pasif. Bantuan hukum diletakkan sebagai pure mekanisme hukum dan charity. Tujuan dari bantuan hukum konvensional hanya sebatas dalam kerangka kepentingan hukum klien.

Kedua, bantuan hukum struktural. Merupakan paradigma bantuan hukum yang menjadi landasan dan strategi pemberian bantuan hukum YLBHI dan lembaga bantuan hukum yang berada di bawah naungannya. Bantuan hukum struktural tidak sekadar memberikan jasa hukum an sich, melainkan sarana advokasi sosial baik kepada klien maupun kepada masyarakat laus agar memiliki kesadaran dan pemahaman memadai tentang hukum dan segala manifestasinya. Bantuan hukum struktural berusaha memberikan pelayanan hukum substantif dengan mengutamakan konsep edukasi, advokasi, dan kepedulian guna merobohkan sistem struktural yang timpang.

Kemudian jika ditelaah dari segi sumbernya, bantuan hukum terbagi menjadi bantuan hukum pro deo dan bantuan hukum pro bono. Bantuan hukum pro deo adalah bantuan hukum yang didanai oleh negara sebagai kewajiban konstitusional melalui APBN maupun APBD. Sedangkan bantuan hukum pro bono adalah bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma oleh advokat kepada individu/masyarakat miskin atas dasar moralitas dan tanggungjawab yang melekat pada profesi (officium nobile).

Menurut penulis, tujuan dari bantuan hukum dalam sistem hukum terbagi menjadi dua segi. Segi langsung dan segi tidak langsung. Segi langsung terbagi atas 3 tataran. Pertama, tataran high (filosofis). Tujuan bantuan hukum adalah untuk mewujudkan terciptanya keadilan dalam sistem hukum. Kedua, tataran middle (yuridis). Tujuan bantuan hukum adalah guna mewujudkan prinsip equality before the law dan due procces of law dalam proses penyelesaian sengketa hukum demi tegaknya kedaulatan hukum (supremacy of law) dalam negara hukum yang demokratis. Ketiga, tataran low (praktis). Tujuan bantuan hukum adalah untuk guna menjamin perlindungan hak asasi manusia, atau secara khususnya jaminan mengenai pemenuhan hak-hak hukum dalam proses penyelesaian sengketa hukum.

Sedangkan dari segi tidak langsung, tujuan bantuan hukum adalah untuk membangun kesadaran hukum masyarakat, mendorong terwujudnya sistem peradilan yang profesional dan akuntabel, memberikan edukasi dan advokasi terhadap masyarakat, hingga memperkuat trust terhadap sistem hukum.

 

URGENSI BANTUAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

 

Sistem peradilan pidana merupakan mekanisme hukum yang berfungsi untuk memproses dan menyelesaikan perkara pidana. Menurut Marjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Dari definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan mekanisme untuk memproses suatu perkara pidana dengan pendekatan sistematik dan integralistik. Dari kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), kejaksaan (penuntutan), pengadilan (peradilan), dan lembaga pemasyarakatan (pemasyarakatan narapidana)

Realitas tersebut membuat urgensi hadirnya bantuan hukum menjadi krusial. Secara harfiah, hukum pidana adalah hukum publik di mana entitas negara dalam wujud alat-alat kelengkapannya (aparatur penegak hukum) akan “berhadapan” dengan individu sehingga rawan terjadi arogansi kekuasaan dan kesewenang-wenangan.

Ditinjau dalam Pasal 56 KUHAP, bantuan hukum (legal aids) merupakan kewajiban hukum (pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan) sekaligus sebagai hak hukum yang harus diberikan kepada tersangka/terdakwa dengan syarat limitatif diancam dengan pidana mati atau pidana penjara minimal 15 tahun atau lebih dan bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun atau lebih yang tidak memiliki penasehat hukum sendiri.

Berdasarkan konstruksi Pasal 56 KUHAP, maka bagi masyarakat miskin yang diancam dengan pidana penjara dibawah 5 tahun, tidak ada kewajiban hukum bagi pejabat di setiap tingkat pemeriksaan untuk menunjuk penasehat hukum guna memberikan bantuan hukum. Oleh karena itu, hadirnya UU Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum secara praktis merupakan sebuah langkah brilian (looking forward) guna menjamin terpenuhinya hak-hak hukum bagi masyarakat yang diancam dengan pidana penjara diluar ketentuan Pasal 56 KUHAP.

Kemudian ditinjau dari segi urgensi, hadirnya bantuan hukum dapat dalam sistem peradilan pidana memiliki beberapa landasan kondisionil. Pertama, hukum pidana memiliki sanksi istimewa yakni sanksi pidana. Sanksi pidana adalah sanksi istimewa karena merupakan sanksi terberat (terdapat perampasan kemerdekaan) diantara sanksi lapangan hukum lain.

Maka dari itu, proses peradilan pidana dari penyidikan, penuntunan, vonis, hingga pemasyarakatan harus dilakukan secara adil dan proporsional dengan terpenuhinya hak-hak hukum bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana sebagaimana tercantum dalam hukum pidana formil. Karena sanksinya berat, alat bukti sebagai dasar penjatuhan sanksi dalam hukum pidana harus lebih terang dari cahaya (in criminalibus probantiones clariores bedent esse luce clariores). Di sinilah relevansi dan urgensi bantuan hukum diperlukan sebagai sarana terwujudnya proses peradilan yang fair dan menjaga terpenuhinya hak-hak hukum tersangka/terdakwa.

Kedua, kinerja aparat penegak hukum. Secara normatif, memang hak-hak hukum sebagai konsekuensi due process of law telah terjamin dalam KUHAP, namun dalam aplikasinya masih banyak dijumpai praktek-praktek penegakan hukum yang mengingkari prinsip due process of law khususnya dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Lebih spesifik lagi berbicara mengenai perampasan hak hukum bagi tersangka terkait hak untuk memberikan keterangan secara bebas pada penyidik, kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan, hingga praktik kekerasan.

Dalam realitasnya, memang kerap terjadi tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh polisi ketika melakukan proses penyidikan. Menurut Putri Kanesia, Kepala Bidang Advokasi KontraS, kasus-kasus kekerasan di ruang interogasi kerap terjadi karena polisi masih menganggap penyiksaan dan intimidasi sebagai cara efektif untuk memperoleh keterangan dari tersangka. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan dan intimidasi dalam penyidikan juga minim. Kemudian dari sisi eksternal, minimnya pendampingan hukum turut menjadi faktor pelengkap mengapa kekerasan dan intimidasi pada tahap penyidikan kerap terjadi. Menurut catatan dari KontraS, sepanjang tahun 2011-2019 telah terjadi 445 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap tahanan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga memotret hal serupa. Dalam laporan hukum dan hak asasi manusia 2019 dan proyeksi 2020, YLBHI merilis 169 kasus pelanggaran terhadap prinsip fair trial sepanjang tahun 2019. Dari data tersebut, polisi merupakan aktor yang paling banyak melakukan pelanggaran, yakni sebanyak 58%. Pelanggaran terhadap prinsip fair trial oleh polisi terutama terjadi pada tahap penangkapan dan penahanan. Realitas demikian menunjukkan ketidakprofesionalan aparat penegak hukum (polisi) dalam melakukan tugas penegakan hukum, maka dari itu urgensitas bantuan hukum menjadi penting sebagai sarana kontrol bagi aparat penegak hukum agar bekerja secara profesional dan akuntabel.

Ketiga, minimnya penghetahuan hukum. Minimnya penghetahuan hukum dari masyarakat awam tentunya merupakan sebuah kondisi kriminogen yang (potensial) memungkinkan terjadinya arogansi kekuasaan aparatur penegak hukum yang berimbas pada perampasan hak-hak hukum masyarakat awam/miskin yang berurusan dengan hukum pidana. Urgensitas bantuan hukum di sini hadir agar individu/masyarakat awam/miskin yang berurusan dengan hukum pidana mendapatkan perlindungan dan pencerahan hukum dari pemberi bantuan hukum (advokat).

Keempat, masifisitas kemiskinan. Berdasarkan data BPS, presentase kemiskinan periode September 2019 hingga Maret 2020 mencapai 9,78 persen atau 26,42 juta jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa telah terjadi masifisitas kemiskinan yang memiliki implikasi dan potensi perampasan keadilan khususnya ketika berhadapan dengan sistem peradilan pidana yang memiliki sistem kerja sistematik-integralistik dan sarat akan nilai-nilai otoritatif. Masyarakat miskin (sebagai tersangka/terdakwa) membutuhkan sarana compasion dan praksis nilai keadilan dalam kerangka sistem peradilan pidana. Dalam kerangka inilah bantuan hukum hadir sebagai sarana compasion dan praksis nilai keadilan (perlindungan hak asasi manusia) agar tercipta sistem peradilan pidana yang fair dalam setiap tingkat pemeriksaan.