Kamis, 11 Oktober 2018

KONSEP MACHIAVELLI DALAM IKLIM POLITIK INDONESIA


"POLITIK ADALAH SARANA UNTUK MEMBAWA KEMASLAHATAN BAGI MANUSIA BUKAN AJANG MENANCAPKAN HEGEMONI KEKUASAAN DENGAN MENGHALALKAN SEGALA MACAM CARA. POLITIK ADALAH JALAN SUCI UNTUK PENGABDIAN DIRI"



Secara das sollen politik adalah sarana yang memberikan wadah bagi seseorang, sekelompok orang atau partai politik untuk mengimplementasikan ide, gagasan, dan sumbangsih pemikiran yang dimilikinya sebagai upaya untuk mendukung terciptanya kemaslahatan bersama. Pengertian politik yang demikian ini sering dimaknai sebagai konsep politik klasik.

Konsep politik klasik adalah konsep politik tertua dan paling ideal yang digagas oleh Aristoteles, Aristoteles mendefinisikan politik sebagai sebuah usaha yang dilakukan oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Menurut Aristoteles manusia adalah mahluk politik, karena pada dasarnya hakikat kehidupan sosial adalah politik, dimana didalamnya terdapat interaksi dan komunikasi antar individu demi mencapai tujuan dan kebaikan bersama.

Namun konsep politik klasik yang demikian itu agaknya sulit terejawantahkan secara das sein (kenyataan) dalam iklim politik secara nyata, contohnya saja di negara kita Indonesia, pengejawantahan konsep politik klasik atau ideal tersebut teramat jauh panggang dari api, politik justru cenderung dimaknai sekedar sebagai sebuah upaya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan semata yang kemudian berkonotasi kuat disertai konsep-konsep  kotor menghalalkan segala macam cara untuk merebut atau mempertahankan sebuah kekuasaan.

Konsep politik yang demikian merupakan konsep politik ala Niccolo Machiavelli, yang merestriksi makna politik hanya sekedar meraih atau mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara. Konsep politik Machiavelli meletakkan kekuasaan sebagai spektrum utama dalam politik, kekuasaan adalah inti dari pada politik, politik tidak dilihat sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan bersama (kolektif) namun dilihat sebagai sarana untuk menancapkan hegemoni kekuasaan (individualistik), oleh karena meletakkan kekuasaan sebagai spektrum yang utama maka segala macam cara “Halal” dilakukan baik untuk merebut ataupun mempertahankan kekuasaan.

Dalam buku fenomenalnya berjudul “Il Principle”, Niccolo Machiavelli menjelantrahkan bagaimana pandangan dan konsep-konsep tentang politik dan kekuasaan, yang intinya dalam buku ini Niccolo Machiavelli memandang politik sebagai sebuah ruang yang penuh intrik, tipu muslihat, dramaturgi hingga kekejaman. Segala macam cara halal atau absah-absah saja dilakukan sebagai jalan dalam berpolitik.

Memasuki tahun-tahun politik konsep-konsep “Menghalalkan” segala macam cara ala Machiavelli diatas seringkali juga mewarnai bahkan tidak bisa dilepaskan dalam dinamika iklim perpolitikan nasional, hal ini nampak secara nyata baik diruang nyata maupun dalam dunia maya khususnya dalam rangka persiapan menuju kontestasi akbar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019.

Bisa dibilang politik di indonesia memang relatif bergenre Machiaveli, dimana kontestasi politik seringkali disertai dan tak bisa dilepaskan dengan konsep-konsep kotor ala Machiaveli seperti berita bohong (hoax), black campaign, agitasi hingga fitnah yang tujuannya adalah untuk menjatuhkan legitimasi dan reputasi lawan politik di mata publik, sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan politis dibalik itu.

Hujatan, cacian, saling fitnah, black campaign, dan hoax pun nyaring berkelindan dalam ruang-ruang kehidupan kita di tahun-tahun politik menjelang Pilpres seperti saat ini baik dalam dunia nyata dan khususnya dalam dunia maya yang memiliki daya jangkau lebih luas dan efektif. Baik dari kubu Jokowi maupun kubu Prabowo seperti terkesan hanya “Sibuk” dalam wacana-wacana non substansial.

Maka bisa dilihat dalam aktivitas, gerakan dan kampanye politik yang terjadi adalah perdebatan-perdebatan atau wacana non substansial yang sekedar bertujuan untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik, sedangkan perdebatan-perdebatan atau wacana substansial seperti adu gagasan, adu ide, adu pemikiran, dan adu solusi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa tidak terlalu menjadi diskursus yang utama.

Sangat disayangkan jika kontestasi politik dalam negeri ini relatif digunakan sebagai sarana untuk“Melegitimasi” konsep politik ala Machiavelli yang hanya merestriksi politik sekedar sarana untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan semata dengan menghalalkan segala macam cara. Jika itu paradigma yang dibangun maka kontestasi politik hanya akan menjadi ruang “Kotor” tempat para serigala politik menciptakan chaos dalam masyarakat. Dengan kondisi demikian, maka kontestasi politik niscaya tidak akan bisa menjadi sarana yang dapat memberikan impact positif bagi pembangunan bangsa.

Kedepan konsep kontestasi politik idealnya harus dimaknai dan diletakkan sebagai sarana untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat melalui penerapan nilai-nilai positif dalam politik sekaligus sebagai sarana untuk mengejawantahkan ide, gagasan, dan pemikiran-pemikiran solutif untuk menyelesaikan permasalahan bangsa demi mewujudkan kemaslahatan bersama.

Kontestasi politik harus memberikan suasana yang damai, sportif, gembira dan penuh nuansa konstruktif untuk pembangunan bangsa bukan justru memperlihatkan nuansa yang non konstruktif, penuh amarah, saling mencaci, saling hujat dan diwarnai cara-cara kotor untuk meraih kekuasaan dengan mengabaikan hal-hal substantif politik.

Saya kira kita semua harus memiliki idealisme kolektif untuk membangun budaya dan peradaban politik kita menuju arah yang lebih maju dan beradab, kita semua baik rakyat, Pemerintah, DPR, partai politik, pengawas pemilu dan terutama aktor-aktor politik harus memiliki cara pandang bahwasanya politik adalah jalan suci untuk mewujudkan kemaslahatan bersama bukan sekedar menancapkan hegemoni kekuasaan. Jika paradigma seperti itu yang kita bangun maka cara-cara kotor ala Machiavelli tidak akan mendapatkan tempat dalam iklim politik negeri ini.
 

Namun pertanyaannya apakah bisa kita semua mewujudkan itu ?




Senin, 08 Oktober 2018

MAKNA DIBALIK HOAX RATNA SARUMPAET



Peristiwa hoax Ratna Sarumpaet telah memberikan presepsi kuat bahwasanya tingkat literasi informasi mayoritas masyarakat Indonesia relatif rendah. Mengapa saya menjustifikasi seperti itu ? karena yang menjadi "Korban" hoax dari pada Ratna Sarumpaet adalah mereka-mereka yang tergolong kaum elitis, birokrat, politisi dan dosen yang seharusnya atau idealnya memilki modal literasi informasi lebih baik dengan bekal pengalaman dan pendidikan tinggi yang mereka enyam, namun fakta justru menyuguhkan hal yang sebaliknya.

Menurut data dari Liputan6.com beberapa nama prominen tercatat menjadi “Korban” hoax dari pada Ratna Sarumpaet yakni Dahnil Nizar yang berkata “Mbak Ratna dikeroyok di bandara Bandung 21 September 2018, Nanik S Deyang berkata “Mbak Ratna dihajar dan diinjak perutnya”, Rizal Ramli berkata “Tega-teganya bilang ini permainan operasi plastik”, Fadli Zon berkata “Beliau dianiaya 2-3 pria”, dan Amin Rais yang berkata “Tangkap pelakunya”. Padahal faktanya Ratna Sarumpaet bukan dianiaya melainkan operasi sedot lemak (awalnya Ratna berbohong dengan mengatakan dianiaya hingga akhirnya dia mengaku akan hal yang benar).

Fakta diatas kemudian mengkonstruksi sebuah logika “Jika kaum yang mengenyam pendidikan tinggi (Sarjana, Magister, doktor hingga Profesor) saja mudah termakan hoax bagaimana dengan kaum akar rumput yakni para rakyat kecil yang tidak mengenyam pendidikan tinggi ?”. Sebuah analogi yang secara implisit mencerminkan rendahnya tingkat literasi informasi masyarakat Indonesia.

Sesungguhnya hal yang patut kita sesalkan adalah dalam isu yang sensitif seperti itu dimana peristiwa itu terkait dengan penganiayaan dan kekerasan kepada seorang perempuan bahkan ibu (meski pada akhirnya hoax) seharusnya pihak-pihak diatas benar-benar menelaah dan me-recheck kebenaran informasi tersebut secara lebih seksama (literasi informasi) atau ber-tabayun terlebih dahulu sebelum menyampaikan kepada publik, apalagi hal itu berkaitan dengan isu yang sensitif (kekerasan terhadap perempuan/ibu) yang sangat potensial menghadirkan gejolak di dalam masyarakat.

Karena, setiap hal yang kita katakan, kita utarakan, dan kita sampaikan hendaknya adalah hal yang benar-benar kita ketahui kebenarannya. Sehingga hal yang kita katakan, kita utarakan dan kita sampaikan tidak menyesatkan dan merugikan orang lain maupun diri kita sendiri.

Penguasaan literasi informasi menjadi penting disini, literasi informasi adalah suatu rangkaian individu untuk mengenali informasi saat diperlukan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi tersebut secara efektif (America Library Asociation : 2000), secara sederhana literasi informasi saya artikan sebagai sebuah kemampuan individu untuk menggali dan menelaah kebenaran suatu informasi yang diterimanya baik informasi secara verbal maupun digital yang tujuannya untuk menghadirkan kebijaksanaan dalam mengolah informasi.

Bekal literasi informasi menjadi sangat krusial, mengingat di era digitalisasi dan globalisasi arus informasi berjalan begitu cepat dan masif, apalagi memasuki tahun politik, hampir dipastikan arus hoax atau informasi bohong akan berkelindan semakin masif dalam ruang-ruang kehidupan kita. Tanpa memiliki bekal literasi informasi, kita akan mudah menjadi korban sekaligus penyebar konten hoax yang tentunya dapat merugikan diri kita sendiri maupun pihak lain.

Di sinilah pentingnya literasi informasi dalam menghadirkan kebijaksanaan dalam mengolah informasi yang didapat, individu yang memiliki bekal literasi informasi yang baik pasti akan sangat hati-hati dalam menyebarkan informasi yang di dapatnya, jikalau memang kebenaran informasi yang didapatnya belum terang dan nyata kebenarannya, maka ia akan cenderung menyimpan atau setidaknya mengkonsumsi informasi yang didapatnya tersebut secara pribadi, sehingga pada akhirnya tidak akan menimbulkan efek kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung baik bagi diri sendiri maupun bagi pihak lain dikemudian hari.

Dalam peristiwa hoax Ratna Sarumpaet saya melihat pihak-pihak tersebut kurang berliterasi informasi karena ada komoditas politik disana yang berkaitan dengan sisi fanatisme terhadap kelompok sendiri dan sisi sinisme terhadap pihak lawan yang dapat memberikan keuntungan politis bagi kelompoknya, hal tersebut membuat kekritisan dalam mengolah informasi menjadi hilang, idealnya literasi informasi tidak terbatas pada dimensi apapun, baik politik, ekonomi, hukum, rasa suka maupun tidak suka dan lainnya, namun titik beratnya ada pada informasi itu sendiri.

Pada satu titik selalu ada makna positif yang bisa kita petik dari sebuah peristiwa, dan makna positif yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah agar kita senantiasa meningkatkan kemampuan atau daya literasi informasi kita, kita harus senantiasa kritis dan bijak dalam mengolah informasi yang kita dapat apalagi ditahun-tahun politik seperti sekarang ini dimana arus informasi hoax berkelindan masif, jika kebenaran informasi yang kita dapat belum terang dan nyata kebenarannya, maka hendaknya kita menyimpan dan mengkonsumsi informasi tersebut untuk diri kita sendiri.



“SEMUA YANG KITA KETAHUI TIDAK HARUS KITA KATAKAN, TETAPI APA YANG KITA KATAKAN HARUSLAH BENAR-BENAR KITA KETAHUI KEBENARANNYA, ITULAH NAMANYA KEBIJAKSANAAN DALAM BERINFORMASI”




Selesai ......
                                                                                        

Minggu, 07 Oktober 2018

KOMUNISME SEBAGAI PSEUDO RELIGION DAN ANTITESIS PANCASILA




Banyak yang berkata bahwa komunisme tidak akan pernah bisa tumbuh lagi di Indonesia mengingat tidak ada lagi struktur kekuasaan politik secara struktural yang menopang gerakan komunisme baik ditingkat nasional maupun internasional, bubarnya PKI dan runtuhnya Uni Soviet sebagai struktur kekuasaan politik dan pusat episentrum ideologi komunis membuat perkembangan komunisme di negara-negara dunia termasuk Indonesia tidak dapat berkembang masif dan cenderung mati.

Di satu sisi, berkembangnya doktrin negara hukum (ideal) dan sistem politik demokrasi dalam percaturan global ikut mempersempit ruang bernafas bagi tumbuhnya komunisme, mengapa doktrin negara hukum dan demokrasi dapat mempersempit ruang gerak bagi tumbuhnya komunisme ? karena paradigma dan prinsip pokok yang dibangun dalam negara hukum dan demokrasi tidak kompatibel dengan paradigma dan prinsip pokok dari pada komunisme yang memiliki prinsip perjuangan kelas (dengan kekerasan dan nir demokratis) untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat tanpa kelas.  

Oleh karena itu, negara-negara hukum dan demokrasi tentu akan melarang hidupnya komunisme, di Indonesia instrumen hukum yang melarang komunisme dan segala manifestasinya dapat kita jumpai dalam Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999.

Komunisme sering dipersamakan dengan atheisme walaupun antara keduanya sejatinya memiliki gap perbedaan yang terang dan jelas. Atheisme adalah sebuah paham, sebuah paham yang tidak mengakui adanya agama dan Tuhan, bagi penganut atheis agama dan Tuhan hanyalah sekedar abstraksi dari pada khayalan manusia, sedangkan komunisme memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari atheisme yang sekedar berkutat dengan dimensi spiritual, komunisme adalah sebuah ideologi yang meliputi sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem politik untuk merubah tatanan sebuah masyarakat atau negara menjadi komunis (tanpa kelas). Di satu sisi komunisme juga menganut atheisme filosofis yang tidak mengakui adanya Tuhan maupun agama, bagi komunisme Tuhan dan agama hanyalah sekedar candu nan semu sebagai tempat pelarian dari kemiskinan dan ketidakadilan.

Menurut Yusril Ihza Mahendra (di kutip dari majalah tajuk tahun 2000) komunisme adalah sebuah pseudo religion (agama palsu) yang dapat membangkitkan semangat fanatisme dan keyakinan, sebagai pseudo religion komunisme tidak akan pernah bisa mati, dalam sebuah kondisi tertentu komunisme akan dapat hidup kembali yakni saat kondisi ketimpangan, kesenjangan sosial, kemiskinan dan ketidakadilan tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Saya sependapat dengan perspektif Yusril dalam memandang komunisme sebagai pseudo religion(agama palsu) yang dapat membangkitkan fanatisme dan keyakinan, yang dalam kondisi tertentu dapat hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Komunisme memiliki falsafah prinsipal (perjuangan kelas) yang dalam kondisi tertentu akan dapat menstimulasi alam bawah sadar manusia (yang tertindas) sehingga menimbulkan keyakinan, fanatisme serta membangun presepsi  yang kuat bahwa komunisme adalah ideologi yang terbaik.

Di saat ketimpangan dan kesenjangan sosial memiliki rasio yang tinggi, di saat kesejahteraan dan keadilan hanya sekedar angan-angan semu belaka, maka komunisme akan bisa muncul sebagai sebuah pseudo religion yang memberikan fanatisme, keyakinan dan dorongan kepada rakyat kecil atau mereka yang tertindas untuk menghidupkan kembali intisari ideologi komunisme yakni mewujudkan masyarakat tanpa kelas melalui perjuangan kelas sebagai upaya untuk melawan dan menghapus ketimpangan, kesenjangan, kemiskinan dan ketidakadilan.

Dalam pandangan komunisme, ketimpangan, kesenjangan sosial, kemiskinan dan ketidakadilan itu muncul sebagai sebuah konsekuensi atas adanya pengelompokkan masyarakat dalam status sosial tertentu. Mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi cenderung akan menindas kepada mereka yang memiliki status sosial yang rendah yakni para rakyat kecil. Oleh karena itu, diperlukan sebuah perjuangan kelas baik dengan kekerasan, pemberangusan dan nir demokratis terhadap mereka yang memiliki status sosial lebih tinggi maupun kepada mereka yang tidak sepaham untuk dapat mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud.

Oleh karenanya, sebagai pseudo religion komunisme tidak akan pernah bisa mati, dan selalu menyimpan potensi terpendam untuk tumbuh kembali. Sebagai pseudo religion, komunisme tidak bisa dijelaskan secara analisa stuktural dengan mengatakan bahwa komunisme tidak akan bisa tumbuh lagi, karena tidak ada struktur kekuasaan politik yang menopangnya dengan runtuhnya Uni Soviet sebagai episentrum komunisme.

Komunisme akan selalu menyimpan potensi terpendam untuk dapat tumbuh kembali dalam kondisi-kondisi kondusif yakni saat ketimpangan, kesenjangan, kemiskinan dan ketidakadilan tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat. Maka untuk menekan dan meminimalisir tumbuhnya komunisme dapat dilakukan dengan 3 upaya. Pertama, Pemerintah harus mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat atau setidaknya gap gini ratio tidak terlalu jauh, kedua upaya penegakan hukum baik secara preventif maupun represif harus optimal untuk menekan tumbuhnya komunisme dan segala bentuk manifestasinya, ketiga, ikatan solidaritas dalam masyarakat harus lebih diperkuat.

Kesejahteraan dan keadilan yang ditawarkan komunisme sejatinya hanyalah khayalan belaka, tidak adanya pengakuan terhadap Tuhan dan agama, tidak adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia, tidak adanya kelas sosial (pengatur), dan menolak prinsip-prinsip demokratis. Apa benar kesejahteraan dan keadilan akan dapat terwujud ?, bukankah justru sebaliknya, kehidupan tanpa landasan agama dan spiritual, tanpa penghormatan hak asasi manusia, dan tanpa rules dengan batas-batas yang jelas bukankah justru berpotensi memendam chaos yang lebih besar ?.


KOMUNISME SEBAGAI ANTITESIS PANCASILA


Prinsip atau cita dasar dari komunisme adalah menciptakan suatu tatanan masyarakat tanpa kelas sosial demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Karena dalam perspektif komunisme, jika masih ada kelas sosial dalam suatu masyarakat, maka akan mustahil dapat terwujud keadilan dan kesejahteraan. Mereka yang memiliki kelas sosial lebih tinggi akan cenderung menggunakan kekuatan modal (kapital) untuk menekan dan menindas yang lemah, maka dalam perspektif komunisme, hak milik pribadi harus di hapus, karena itulah sumber dari pada terciptanya perbedaan kelas yang menyebabkan ketimpangan, kesenjangan, kemiskinan dan ketidakadilan.

Komunisme meletakkan pendekatan analisa struktur perjuangan kelas yang pada prinsipnya mengandung etos perlawanan, kekerasan, dan tindakan-tindakan nir demokratis sebagai gerakan untuk merubah tatanan masyarakat menjadi masyarakat tanpa kelas. Maka dari itu, komunisme menolak prinsip demokrasi yang mereka anggap cenderung lunak dan rules.

Komunisme juga tidak mengakui adanya agama dan Tuhan, karena komunisme menganut paham atheisme filosofis, dalam perspektif komunisme, agama dan Tuhan hanyalah sebuah candu nan semu sebagai tempat pelarian dari kemiskinan dan penindasan, agama dan Tuhan hanya memberikan khayalan semu akan kebahagiaan, keadilan dan kesejahteraan. Dan demi menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang hakiki maka agama dan Tuhan harus ditinggalkan untuk melakukan perjuangan kelas demi terwujudnya tatanan masyarakat tanpa kelas sosial. Franz Magnis Suseno dalam bukunya "Dalam Bayang-Bayang Lenin : Enam Pemikiran Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka" hal 28, mengungkapkan bahwa setiap komunisme adalah atheis, karena komunisme meletakkan filsafat materialisme dimana menganggap semua yang ada di dunia hanyalah materi, materi adalah inti kehidupan sehingga hal-hal yang imateri seperti Tuhan dan agama dianggap tidak ada.

Prinsip-prinsip dan falsafah dasar dari komunisme diatas jelas bertentangan dan menjadi antitesis dari pada Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara yang dibangun berdasarkan ideologi Pancasila yang memiliki nilai-nilai dasar yang rigid yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan atau demokrasi dan juga keadilan sosial.

Kelima nilai dasar dari Pancasila tersebut jelas bertentangan dan merupakan antitesis dari prinsip-prinsip yang diajarkan oleh ideologi komunisme, dimana ideologi komunisme tidak mengakui adanya agama dan Tuhan, tidak meletakkan penghargaan terhadap kemanusiaan, mengancam persatuan, menolak demokrasi dan memberikan angan semu akan hadirnya keadilan dan kesejahteraan, oleh karenanya, ideologi komunisme dan segala bentuk manifestasinya dilarang di negara Indonesia yang memiliki dasar negara dan ideologi Pancasila, larangan tersebut dapat kita jumpai melalui instrumen hukum Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997.

Sejatinya antara Pancasila dan komunisme memiliki goals yang sama yakni menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi masyarakat, akan tetapi cara atau prinsip yang dibangun untuk mencapai tujuan itu sangat bertentangan atau antitesis, Pancasila bertujuan untuk mengatur dan membawa masyarakat indonesia dalam mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan dengan dilandasi spirit agama dan ketuhanan, rasa kemanusiaan, semangat persatuan atau gotong royong, serta dituangkan dalam nuansa demokratis dalam batas-batas yang jelas, sehingga diharapakan manusia Indonesia dapat tumbuh menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang adil, makmur dan sejahtera secara lahir dan batin dengan dilandasi nilai-nilai spiritual yang melekat sebagai pengejawantahan dari nilai dasar tertinggi Pancasila yakni ketuhanan yang maha esa.

Sedangkan komunisme meletakkan prinsip dan struktur analisa perjuangan kelas untuk menciptakan tatanan masyarakat tanpa kelas yang mengandung etos perlawanan, kekerasan, atheisme filosofis, dan nir demokratis sebagai ujung tombak untuk mencapai tujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dengan prinsip dan pendekatan struktur analisa perjuangan kelas tersebut, maka spiritualitas, penghormatan kemanusiaan, persatuan, perdamaian, dan iklim demokratis akan mustahil tumbuh dalam komunisme. Lebih dari itu keadilan dan kesejahteraan yang ditawarkan oleh komunisme pada dasarnya hanyalah buaian semu belaka.

Secara historis, bangsa Indonesia juga telah menyaksikan sendiri bagaimana kejamnya komunisme yang telah memberikan luka dan psikologis traumatik bagi bangsa ini, komunisme dalam wadah Partai Komunis Indonesia (PKI) telah banyak melakukan tindakan nir kemanusiaan, nir demokratis dan cenderung anarkis sebagai bentuk pengejawantahan dari prinsip perjuangan kelas. Tahun 1948 (pemberontakan PKI Madiun) dan tahun 1965 (peristiwa lubang buaya) telah menjadi saksi bisu sejarah betapa kejamnya PKI dalam membantai para tokoh agama, pejabat dan birokrat, petinggi militer hingga rakyat-rakyat biasa yang tidak sepaham dengan PKI. Meski di satu sisi upaya penegakan hukum terhadap anggota-anggota PKI pada waktu itu juga tidak menganut prinsip Due Procces of Law.

Pada prinsipnya ada 4 pendekatan yang membuat komunisme tidak boleh tumbuh dalam negara Indonesia yang berlandaskan pada ideologi Pancasila. Pertama, secara filosofis, secara filosofis falsafah dan prinsip yang diajarkan komunisme sangat bertentangan dan merupakan antitesis dari pada Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia sebagaimana dijelaskan diatas, kedua, secara sosiologis, secara sosiologis prinsip yang diajarkan oleh komunisme dapat memberangus nilai kemanusiaan dan persatuan dalam ruang kehidupan masyarakat, secara sosiologis, komunisme tidak akan mampu membuat masyarakat Indonesia hidup sejahtera secara lahir dan batin dalam bingkai spiritualitas yang merupakan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan adat ketimuran. Ketiga, secara historis, secara historis komunisme telah memberikan luka dan psikologis traumatik bagi bangsa Indonesia, sehingga peristiwa dan rekam jejak sejarah tersebut hendaknya dijadikan bahan pembelajaran dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menciptakan tatanan kehidupan yang lebih baik dan beradab, keempat, secara yuridis, Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 telah memberikan konsekuensi hukum bagi larangan berkembangnya komunisme dan segala bentuk manifestasinya.

Pada akhirnya kita (harus) sepakat dan sepaham bahwa komunisme adalah ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara kita, Pancasila. Prinsip-prinsip yang di ajarkan dalam komunisme merupakan antitesis dari pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan ideologi dan modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia yang digali dari nilai dan kepribadian bangsa Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, maka komunisme dan segala bentuk manifestasinya tidak boleh diberikan ruang sedikitpun untuk hidup dan berkembang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta ini.


SELESAI