Senin, 30 September 2019

WAWANCARA VIA EMAIL: TEORI HUKUM MURNI


Berikut adalah hasil wawancara via e-mail antara saya (sebagai narasumber) dan Riskiyah Tsalas Dewi (penanya), mahasiswi ilmu komunikasi USM. Wawancara ini sendiri merupakan bagian pemenuhan tugas kuliah jurnalistik cetak saudari Riskiyah Tsalas Dewi dan kelompoknya. Tema yang dibahas sendiri terkait dengan teori hukum atau secara lebih spesifik berbicara mengenai teori hukum murni.

Wawancara

1.Riskiyah: Bagaimana pendapat Anda tentang hukum murni yang ada di Indonesia, apakah masih berlaku atau tidak ?

Saya: Teori hukum murni yang digagas oleh Hans Kelsen sejujurnya telah kadaluwarsa. Dalam arti sudah tidak kompatibel dan nir-relevansi dengan dinamika dan kondisi zaman. Esensi dari Hukum murni adalah hukum harus dipisahkan antara bentuk (formal) dan isi (material). Hukum berurusan dengan bentuk bukan isi. Hukum murni juga sering disebut dengan mazhab neo-kantian (memisahkan antara bentuk dan isi/substansi). Hukum adalah tentang apa yang ada bukan apa yang seharusnya. Konkretnya, hukum murni adalah hukum yang harus murni dan bersih dari unsur-unsur non-yuridis diluar hukum.

Teori ini tentu tidak sejalan dengan konteks dan dinamika zaman modern dimana hukum di konstruksikan sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai dan keyakinan hidup masyarakat yang kemudian ditransformasikan menjadi hukum positif guna mewujudkan ketertiban dan kemaslahtan bersama.

Bagi saya, di Indonesia teori hukum murni sudah tidak ada. Mengapa saya mengatakan demikian ? karena segala peraturan perundang-undangan (hukum dalam arti peraturan) yang ada baik dari Undang-Undang hingga level peraturan dengan hierarki terendah selalu erat dengan nilai-nilai sosiologis, historis, dan filosofis yang tercantum dalam konsideran sebuah peraturan perundang-undangan, substansi (muatan pasal), hingga dalam penjelasan yang biasanya memuat politik hukum (tujuan) suatu peraturan.

Singkatnya, teori hukum murni sudah tidak ada di indonesia. Karena tidak ada satu pun hukum di indonesia yang lepas dari unsur-unsur non-yuridis sebagaimana prinsip hukum murni.

2.Riskiyah: Apa maksud dari hukum murni merupakan pemberontak terhadap ilmu hukum yang ideologis ?

Saya: Maksudnya adalah bahwa hukum murni merupakan antitesis dari pada ilmu hukum ideologis yang menyandarkan hukum sebagai cerminan dari naluri, intuisi cita keadilan, dan nilai ideologi yang didasarkan atas kesadaran manusia. Hukum murni mencoba mendobrak hal tersebut dengan mengkonsepsikan hukum sebagai ilmu pengehetahuan yang bebas dari naluri, intuisi cita keadilan, dan nilai ideologi. Konklusinya, hukum harus bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai nilai.

3.Riskiyah: Apa yang dimaksud dengan semua hukum bersumber pada satu induk, dalam teori hukum murni dari konsep Hans Kelsen ?

Saya: Maksud dari semua hukum bersumber pada satu induk yang sama dalam teori hukum murni Hans Kelsen adalah berkaitan dengan konsep teori stufenbau. Dalam konsep teori stufenbau, hukum membentuk suatu hierarki norma dimana norma yang paling tinggi adalah norma dasar (grundnorm) yang masih bersifat abstrak. Norma dasar inilah yang menjadi dasar validitas bagi berlakunya suatu peraturan hukum dibawahnya. Norma dasar inilah yang menjadi induk bagi terbentuknya peraturan-peraturan dibawahnya. Atau secara a contrario dapat diartikan bahwa semua peraturan hukum pada prinsipnya merupakan penjabaran dan pengejawantahan secara lebih konkret dari pada norma dasar (norma induk). Oleh karenanya, disebut semua hukum bersumber dari satu induk yang sama yakni grundnorm (norma dasar yang bersifat abstrak).

Jika diibaratkan di Indonesia, maka semua peraturan hukum yang ada pada prinsipnya menjabarkan dan menginduk pada Pancasila yang merupakan norma dasar negara.

4.Riskiyah: Bagaimana hukum murni jika diterapkan di kehidupan sehari-hari apa dampaknya ?

Saya: Jika hukum murni diterapkan pada kehidupan sehari-hari (saat ini) tentu akan menimbulkan kesenjangan (legal gaps) antara hukum dan rasa kesadaran hukum masyarakat. Hukum murni yang bebas dari unsur-unsur non-yuridis termasuk bebas dari nilai dan cita-cita masyarakat akan mendapat penolakan secara common sense dari masyarakat, karena hukum yang ada tidak mengakomodasi cita-cita dan rasa kesadaran hukum mereka. Hal demikian itu membuat hukum yang berlaku (hukum murni) tidak akan efektif bahkan justru menjadi penyebab timbulnya instabilitas sosial.



Kamis, 26 September 2019

PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG KPK DAN JALAN KELUAR


Hukum dapat dilihat dalam dua sisi. Hukum sebagai norma (law on book) dan hukum sebagai nilai (law in mind). Sebagai norma, hukum pada pada dasarnya merupakan institusi dan manifestasi dari pencerminan nilai-nilai. Nilai sendiri adalah pikiran atau ide dasar yang bersumber dari norma dasar negara. Dalam konteks Indonesia, norma dasar negara tentunya adalah Pancasila. Pancasila adalah dasar sekaligus bintang penuntun bagi pembangunan sistem hukum nasional kita. Konkretnya, substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia haruslah selaras dan mempraksiskan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Hukum sendiri pada prinsipnya hadir untuk menata tata kehidupan masyarakat agar tercipta keteraturan, ketertiban, dan keselarasan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Untuk mampu menata tata kehidupan masyarakat dan mencapai tujuan-tujuan tertentu (keadilan, kemanfaatan, kesejahteraan dll), hukum (dalam bentuknya sebagai peraturan perundang-undangan) tentunya harus dibentuk dengan tiga landasan legitimasi, yakni legitimasi yuridis, legitimasi sosiologis, dan legitimasi filosofis.

Pertama, legitimasi yuridis. Legitimasi yuridis mengandung arti bahwa setiap peraturan hukum haruslah dibentuk berdasarkan hukum itu sendiri. Hukum harus dibentuk oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Hukum harus dibuat berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kedua, legitimasi sosiologis. Legitimasi sosiologis mengandung arti bahwa setiap peraturan hukum haruslah selaras dengan apa yang menjadi kebutuhan dan tujuan masyarakat. Hukum harus memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Hukum harus mampu mampu menjadi sarana pelindung kepentingan publik.

Ketiga, legitimasi filosofis. Legitimasi filosofis mengandung arti bahwa setiap peraturan hukum harus mengandung norma-norma yang selaras dengan nilai filosofis sebuah bangsa (dasar negara). Hukum harus selaras dengan tujuan fundamental yang hendak capai oleh sebuah bangsa.

Nah, disinilah letak problematika revisi Undang-Undang KPK yang kini telah disetujui oleh Presiden dan DPR. Maraknya kritik tajam, resistensi, hingga demonstrasi menolak revisi Undang-Undang KPK (yang kini telah disahkan) adalah karena Undang-Undang KPK tersebut menurut saya lemah dari tiga aspek legitimasi peraturan perundang-undangan. Baik lemah secara legitimasi yuridis, sosiologis, dan filosofis.

Secara yudiris, pembentukan Undang-Undang KPK masih kental dengan hal-hal yang bersifat subyketif dari pembentuk Undang-Undang serta lemah dari sisi asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU KPK sejujurnya tidak masuk dalam prolegnas namun akhirnya dibahas dan disetujui dalam waktu yang sangat singkat. Memang pembentukan peraturan perundang-undangan bisa dibentuk diluar prolegnas dalam hal terdapat keadaan-keadaan "mendesak" misalnya konflik, bencana alam, keadaan luar biasa, dan urgensi nasional. Nah, poin mendesak ini yang kemudian dimaknai secara subyektif oleh pembentuk Undang-Undang tanpa memperhatikan kondisi kebathinan dan psikologis-sosial masyarakat. Kemudian, dari sisi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang KPK sejujurnya juga kurang memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik. Undang-Undang KPK dibuat dengan kesan terburu-buru serta penuh dengan nuansa politis-oportunis. Hal ini membuat substansi dari Undang-Undang KPK diametris dengan apa yang menjadi harapan publik.

Secara sosiologis. Substansi Undang-Undang KPK bertentangan dengan apa yang menjadi aspirasi dan harapan masyarakat. Masyarakat membutuhkan penguatan KPK sebagai lembaga independen dalam pemberantsan korupsi. Namun, ghiroh dari masyarakat tersebut justru tidak dapat mengejawantah dalam substansi Undang-Undang KPK. Maraknya protes, kritik, hingga demonstrasi terhadap Undang-Undang KPK menandakan ada yang tidak selaras antara substansi Undang-Undang KPK dengan harapan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dalam perspektif sosial. Undang-Undang KPK dapat dikatakan cacat sosiologis.

Secara filosofis, seluruh Undang-Undang yang dibuat pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Salah satu tujuan negara Indonesia adalah menciptakan kesejahteraan umum. Yang mana tujuan ini (hanya) akan dapat terwujud jika minim terjadi korupsi sehingga alokasi keuangan negara dapat dialokasikan dan distribusikan secara optimal untuk menciptakan kesejahteraan umum.

Minimalisasi korupsi sendiri dapat terjadi jika terwujud iklim dan sistem pemberantsan korupsi yang kondusif dan efektif. Nah, jika revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan justru cenderung mengarah pada pelemahan KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi yang secara logis berarti melemahkan iklim dan sistem pemberantasan korupsi, maka hal ini menjadi langkah kontraproduktif dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan negara khususnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan umum. Logisnya, jika pemberantasan korupsi melemah, maka potensi terjadinya korupsi akan semakin besar. Jika potensi terjadinya korupsi semakin besar, maka kesejahteraan umum akan semakin jauh panggang dari api.

KPK sendiri mencatat terdapat 26 poin dari revisi Undang-Undang KPK yang cenderung melemahkan KPK. Namun disini saya hanya akan membahas satu poin penting terkait pembentukan dewan pengawas dimana pembentukan dewan pengawas ini justru semakin memperumit birokrasi penegakan hukum dan sangat potensial dapat mengurangi independensi KPK dalam rangka pro-justicia, mengingat kegiatan-kegiatan pro-justicia seperti penyadapan dan penggledahan harus dilakukan atas izin dewan pengawas. Dewan pengawas sendiri dibentuk oleh presiden yang tentu bertendensi kuat dengan kepentingan politis.

Ide dasar pembentukan pengawas bagi KPK sendiri dilatarbelakangi oleh pola pikir bahwa KPK merupakan lembaga yang tanpa pengawasan padahal memiliki kewenangan yang besar. Pola pikir ini tentunya sangat keliru, siapa bilang KPK lembaga tanpa pengawasan. KPK diawasi oleh BPK dalam konteks audit keuangan. KPK juga dapat diawasi oleh DPR melalui rapat dengar pendapat bahkan hak angket (Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017). KPK yang dipersonifikasi dalam wujud komisioner KPK, dalam hal kegiatan penegakan hukum maupun non penegakan hukum juga diawasi (dibatasi) oleh peraturan-peraturan hukum. Selain itu, dalam internal KPK sendiri juga ada pengawas internal yang dapat menyasar kepada pegawai maupun komisioner KPK (melalui pembentukan komite etik).

Jadi, pandangan yang mengatakan KPK adalah lembaga tanpa pengawasan sehingga harus dibentuk dewan pengawas merupakan pandangan yang salah besar. Secara teoritik, pengawasan itu dapat berbentuk lembaga dan juga sistem. KPK secara historis-filosofis lahir sebagai lembaga independen karena terdapat ketidakefektifan fungsi penegakan hukum pemberantasan korupsi oleh lembaga penegak hukum konvensional yakni kepolisian dan kejaksaan.

Ditinjau dari proporsi ini, maka KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi harusnya diperkuat pengawasannya dari sisi sistem bukan lembaga. Khususnya terkait penguatan sistem rekrutmen komisioner KPK yang harus lepas atau minim dari kepentingan-kepentingan politis serta mengutamakan sistem meritokrasi dan aspek integritas.

Dari sisi komparatif, akademisi UGM, Zainal Arifin Mochtar yang kebetulan dahulu mengambil disertasi mengenai lembaga independen, menambahkan bahwa tidak ada lembaga independen di negara manapun di dunia ini yang diawasi oleh lembaga pengawas. Dalam lembaga independen, aspek pengawasannya dititik beratkan pada penguatan sistem bukan pembentukan lembaga pengawas mengingat entitasnya sebagai lembaga independen.

Jalan Keluar

Kini, revisi Undang-Undang KPK telah disetujui oleh DPR dan Presiden. Hal ini berarti bahwa Undang-Undang KPK tinggal disahkan oleh presiden, bahkan meskipun tanpa disahkan oleh presiden sekalipun, Undang-Undang KPK akan berlaku secara resmi dengan sendirinya setelah 30 hari sejak disetujui oleh DPR dan presiden.

Dengan kondisi demikian, maka hanya ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki substansi Undang-Undang KPK agar kembali pada semangat dan ghiroh penguatan pemberantasan korupsi.

Pertama, melalui permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi baik melalui hak uji formil maupun hak uji materil terkait Pasal-Pasal yang berkecenderungan melemahkan KPK. Hak uji formil sendiri berkaitan dengan aspek pembentukan peraturan perundang-undangan, disini akan dinilai apakah pembentukan Undang-Undang KPK telah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 atau tidak. Jika permohonan hak uji formil ini dikabulkan oleh MK, maka suatu Undang-Undang (keseluruhan) akan dibatalkan keberlakuannya. Sedangkan hak uji materil berkaitan dengan aspek apakah suatu muatan Pasal dalam Undang-Undang dalam hal ini Undang-Undang KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak. Jika permohonan dikabulkan, maka muatan Pasal yang diajukan dalam hak uji materil akan dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Kedua, melalui Perppu pembatalan Undang-Undang KPK baru (hasil revisi) yang dapat dilakukan setelah Undang-Undang diundangkan dan resmi berlaku. Terkait Perppu tentunya kita bersama harus mendesak presiden, mengingat yang berwenang mengeluarkan Perppu adalah presiden. Perppu sendiri merupakan manifestasi hak subyektif presiden dalam hal menilai ihwal kegentingan yang memaksa. Meskipun kemudian hak subyektif ini nanti akan dibahas dan dinilai oleh DPR dalam sidang paripurna. Jika DPR menyetujui, maka Perppu akan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Namun jika DPR tidak setuju, maka Perppu harus dicabut.

MK sendiri dalam putusannya Nomor 138/PUU-VII/2009 memberikan kriteria terkait "kegentingan yang memaksa" dalam pengeluaran Perppu oleh presiden. 1. Ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan permasalahan hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. 2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada atau belum lengkap sehingga terdapat kekosongan hukum. 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat Undang-Undang melalui prosedur biasa.

Ketiga, melalui legislatif review.  Terkait legislatif review tentunya kita harus mendorong presiden dan DPR periode 2019-2024 untuk melakukan revisi kembali pada Undang-Undang KPK. Tentunya, revisi guna menjaga indepedensi KPK sekaligus memperkuat semangat dan sistem pemberantasan korupsi. Konkretnya, muatan-muatan Pasal yang bertendensi melemahkan semangat pemberantasan korupsi harus diubah dengan muatan Pasal yang lebih akomodatif terhadap ghiroh pemberantasan korupsi.

Selain ketiga upaya diatas,  jika memang KPK ingin diperkuat secara lebih permanen, maka kita juga harus mendorong MPR (DPR dan DPD) untuk memasukkan KPK dalam konstitusi melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa rongrongan dan upaya-upaya untuk melemahkan bahkan membubarkan KPK melalui sarana legislasi akan sangat potensial terus dilakukan oleh DPR dan Presiden yang tidak memiliki concern kokoh dalam pemberantasan korupsi. Di sisi lain, memilih presiden dan anggota DPR yang memiliki concern kokoh terkait semangat pemberantasan korupsi dalam pemilu juga merupakan sebuah hal yang tidak mudah mengingat kuatnya pengaruh oligarkis dalam sistem politik kita.

Dengan kondisi demikian, maka menjadi penting guna memasukkan KPK dalam konstitusi melalui amandemen. Dengan masuknya KPK dalam konstitusi, maka secara kelembagaan, posisi KPK akan jauh lebih kuat mengingat landasannya adalah Undang-Undang Dasar bukan Undang-Undang, yang mana proses perubahannya akan jauh lebih rumit dari pada perubahan Undang-Undang. Melihat proporsi demikian, maka dapat dikonkretisasi bahwa sejujurnya berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi sangat tergantung dan ditentukan dari kehendak politik penyelenggara negara dalam hal ini eksekutif dan legislatif khususnya terkait pengambilan kebijakan politis (legislasi), karena disinilah pelemahan maupun penguatan sistem pemberantasan korupsi ditentukan.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh John ST. Quah bahwa berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh seberapa kuat kehendak politis pihak penguasa dalam mendukung pemberantasan korupsi. Kehendak politis disini dapat diejawantahkan dalam bentuk kebijakan, alokasi anggaran, dukungan sarana/prasarana, hingga dukungan moril.

Pada poin lainnya, kita sebagai masyarakat Indonesia juga harus kompak untuk terus mendorong pemerintah dan DPR guna memperkuat KPK dan sistem pemberantasan korupsi. Jika ada upaya-upaya pelemahan KPK sebagai lembaga independen dan upaya pelemahan sistem pemberantasan korupsi, maka melalukan shock therapy baik melalui demonstrasi, unjuk rasa, hingga aksi protes secara masif menjadi hal yang penting untuk memberikan semacam tekanan moral dan tekanan sosial kepada penyelenggara negara agar tidak lalai dan kontraproduktif dalam mengambil langkah-langkah strategis terkait pemberantasan korupsi. Pada prinsipnya, korupsi harus senantiasa kita lawan bersama, korupsi harus senantiasa kita tekan sekecil dan seminimal mungkin, karena korupsi adalah virus akut yang dapat menghambat kemajuan dan pembangunan bangsa.

Selama korupsi masih merajalela, maka kesejahteraan dan keadilan sosial akan jauh panggang dari api. Selama korupsi masih menggerogoti sendi-sendi dan struktur kenegaraan kita, maka selama itu pula ketimpangan sosial dan kemelaratan akan selalu membayangi kehidupan kebangsaan kita.







Rabu, 25 September 2019

HISTORISITAS POMNAS DAN NARASI KEBANGSAAN


Olahraga pada dasarnya tidak sekadar aktivitas fisik dan jasmani semata, olahraga adalah dimensi peradaban manusia yang multiperspektif. Dalam pemaknaan lain, olahraga adalah entitas dinamika peradaban manusia itu sendiri. Olahraga tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan entitas sosio-kultural masyarakat baik secara ekonomis, politis, sejarah, sosiologis, budaya, nasionalisme, altruisme hingga religiusitas.

Ditinjau dari segi sejarah, perhelatan even olahraga pertama kali yang diselenggarakan oleh umat manusia adalah olimpiade (kuno) yang diselenggarakan oleh masyarakat Yunani kuno pada tahun 776 sebelum masehi. Pada waktu itu, olimpiade (kuno) diselenggarakan sebagai wujud penghormatan terhadap Dewa Zeus. Dewa yang sangat dihormati oleh bangsa Yunani kuno. Nama “olimpiade” sendiri diambil dari Gunung Olimpus yang dipercaya sebagai tempat bersemayam Dewa Zeus.

Dalam berjalannya waktu, olahraga berkembang semakin kompleks baik secara teknis maupun fungsional. Secara teknis, olahraga semakin berkembang pesat antara abad 18-19 dimana ditandai dengan lahirnya cabang-cabang olahraga baru yang sangat digemari masyarakat seperti sepakbola dan basket. Secara fungsional, olahraga juga berkembang masif dan progresif. Olahraga dapat bermetamorfosa menjadi beragam fungsi. Menjadi alat politis, menjadi alat ekonomi, simbol kehormatan dan perlawanan, hingga penyemai spirit altruisme dan nasionalisme.

Di Indonesia sendiri perkembangan olahraga sudah tumbuh sebelum Indonesia merdeka. Misalnya, Induk organisasi sepakbola Indonesia (PSSI) yang telah lahir sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta. Lahirnya PSSI diinisiasi oleh seorang tokoh bernama Soeratin Sosrosoegondo. PSSI sendiri saat itu dibentuk sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa melalui sarana olahraga. Sebelum PSSI lahirpun, sepakbola sejujurnya sudah hidup dalam hiruk-pikuk kehidupan masyaakat Indonesia. Menurut buku 40 Jar Voetbal in Nederlandsch-Indie 1896-1934 40 (Berrety) pertandingan sepakbola “resmi” di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1901 di alun-alun kota Bandung yang ketika itu penuh sesak oleh penonton.

Setelah Indonesia merdeka, geliat olahraga di bumi pertiwi semakin berkembang. Pekan Olahraga Nasional pertama berhasil diselenggarakan pada tahun 1948 di kota Solo. Kemudian Indonesia berhasil menjadi tuan rumah ajang pesta olahraga terbesar Benua Asia, Asian Games pada tahun 1962 dan tuan rumah Ganefo (tandingan olimpiade) pada tahun 1963.

Sejarah POMNAS

Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional adalah ajang olahraga antar provinsi yang diikuti oleh mahasiswa tingkat diploma, sarjana, dan magister yang digelar setiap dua tahun sekali. Di runtut dari segi sejarah, lahirnya POMNAS diawali dan tidak bisa dilepaskan oleh peran dari Badan Koordinasi Olahraga Mahasiswa Indonesia (BKOMI). BKOMI dibentuk pada tahun 1980 yang kemudian berubah menjadi BAPOMI (Badan Pembinaan Olahraga Mahasiswa Indonesia) sebagai induk organisasi keolahragaan mahasiswa di tanah air. Sebelum lahirnya BAPOMI, organisasi keolahragaan mahasiswa sejujurnya telah ada misalnya UFIA di Jakarta, IOMA di Bandung, dan UFA di Bogor.

Organisasi-organisasi tersebutlah yang mendorong  dan memprakarsai lahirnya Pekan Olahraga Mahasiswa (POM). POM edisi pertama sendiri berhasil diselenggarakan pada tahun 1951 di Yogyakarta. Kegiatan POM kemudian dapat berjalan secara kontinyu setiap 2 tahun sekali. Namun pada tahun 1975, POM yang sebenarnya diadakan di kota Bandung tidak dapat diselenggarakan karena faktor situasi dan kondusifitas. Sejak saat itu, praktis selama kurang lebih 3 tahun kondisi keolahrgaan mahasiswa menjadi lesu, tak berlangsung lama, pada tahun 1978 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memprakarsai pertemuan yang digelar di Semarang. Pertemuan itu sendiri bertujuan untuk membahas dan mengkoordinir pembentukan organisasi keolarahragaan mahasiswa Indonesia. Pertemuan itu sendiri pada akhirnya menghasilkan sebuah badan organisasi bernama Pembina Olahraga Mahasiswa tingkat nasioanal dan terselenggaranya Pekan Olahraga dan Seni Mahasiswa (PORSENI) Nasional 1 pada tahun 1978.

Pada tahun 1980 akhirnya dibentuk BKOMI (Badan Koordinasi Olahraga Mahasiswa Indonesia) yang kemudian berganti nama menjadi BAPOMI (Badan Pembinaan Olahraga Mahasiswa Indonesia). Di bawah BAPOMI, pada tahun 1990, Pekan Olahraga dan Seni Mahasiswa berubah nama menjadi Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) yang pertama kali diselenggrakan di Yogyakarta. POMNAS sendiri secara kontinyu diselenggarakan setiap dua tahun sekali.

Tercatat kota-kota diberbagai provinsi di Indonesia pernah bertindak sebagai tuan rumah POMNAS. POMNAS I 1990 (Yogyakarta), POMNAS II 1992 (Surabaya), POMNAS III 1994 (Medan), POMNAS IV 1996 (Makassar), POMNAS V 1998 (Kaltim), POMNAS VI 2000 (Bali), POMNAS VII 2001 (Denpasar), POMNAS VIII 2003 (Pekanbaru), POMNAS IX 2005 (Bandung), POMNAS X 2007 (Banjarmasin), POMNAS XI 2009 (Palembang), POMNAS XII 2011 (Batam), POMNAS XIII 2013 (Yogyakarta), POMNAS XIV 2015 (Aceh), POMNAS XV 2017 (Makassar), POMNAS XVI 2019 (Jakarta).

Pada tahun 2019 ini, POMNAS telah memasuki edisi ke XVI yang akan digelar di Jakarta. Penyelenggaraan POMNAS sendiri memiliki tiga tujuan pokok. Pertama, meningkatkan daya saing bangsa melalui kegiatan kemahasiswaan di bidang olahraga. Kedua, menjalin persahabatan antar mahasiswa dari berbagai daerah dan provinsi di Indonesia sebagai upaya memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Ketiga, mencari bibit-bibit atlet potensial dari kalangan mahasiswa guna berkontribusi bagi kemajuan prestasi olahraga nasional.

Narasi Kebangsaan

Jika diruntut secara historisitas (nilai sejarah) entitas olahraga nasional pada umumnya maupun secara khusus dalam hal ini POMNAS tentu tidak akan bisa dilepaskan dari narasi kebangsaan. Narasi kebangsaan dalam rangka memperkuat rasa solidaritas, persatuan, dan kesatuan bangsa. Sebagai bangsa yang multikultural, negara Indonesia membutuhkan ruang-ruang titik temu bagi beragam sekat dimensi perbedaan yang ada, dan salah satu ruang titik temu tersebut tentunya melalui ajang olahraga mahasiswa nasional dalam hal ini POMNAS.

Olahraga adalah sebuah kegiatan yang sarat akan nilai-nilai filosofis nan positif. Nilai-nilai luhur seperti kerja keras, disiplin, kejujuran, pantang menyerah, kolektivitas, respect persatuan (teamwork), hingga sportivitas merupakan nilai-nilai fundamental yang secara harfiah melekat dan inheren dengan kegiatan dan kompetisi olahraga.

Melalui olahraga, mahasiswa/mahasiswi sebagai pemuda/pemudi harapan bangsa akan dididik dan dibekali dengan nilai-nilai luhur tersebut sebagai bekal pribadi maupun modal sosial untuk meningkatkan daya saing bangsa kedepan. Mahasiswa dan mahasiswi Indonesia dituntut tidak hanya cerdas secara intelektual namun juga harus dibekali dengan kesehatan jasmani dan value hidup yang kokoh baik sebagai individu, mahluk sosial, dan sebagai bagian dari bangsa Indonesia (rakyat).

Oleh karena itu, hadirnya POMNAS tentunya menjadi semacam oase yang dapat menjadi sarana positif sekaligus efektif untuk menghembuskan dan menanamkan narasi-narasi kebangsaan. Pertama, melalui ajang POMNAS, para mahasiswa/mahasiswi dapat belajar bekerja keras dengan menjunjung tinggi nilai sportivitas dalam berkompetisi yang mana hal itu dapat digunakan sebagai value hidup dalam menghadapi kerasnya persaingan global.

Kedua, melalui ajang POMNAS, para mahasiswa/mahasiswi memiliki saluran positif guna mengejawantahkan energi dan potensi mereka. Ketiga, Melalui POMNAS, para mahasiswa/mahasiswi dapat mengenal dan bersilaturahmi dengan mahasiswa/mahasiswi dari berbagai daerah di Indonesia. Hal ini dapat menjadi sarana positif bagi mahasiswa/mahasiswi Indonesia guna mengenal kebhinekaan Indonesia yang berderivasi dengan munculnya rasa persaudaraan, rasa solidaritas dan semangat toleransi akan keberagaman bangsa Indonesia. Dalam hal ini, POMNAS dapat menjadi ruang titik temu, titik tumpu, dan titik ikat bagi kebhinekaan dan kemajemukan bangsa Indonesia.

Di akhir artikel ini, saya berharap bahwa penyelenggaraan POMNAS XVI yang diselenggarakan pada tanggal 19-26 September di Jakarta dapat berjalan lancar, kondusif, dan kontributif. Selain itu, dalam konteks jangka panjang, saya berharap kegiatan POMNAS ini dapat terus diselenggarakan secara kontinyu sebagai ajang narasi kebangsaan guna menyemai dan membentuk mahasiswa/mahasiswi Indonesia yang berdaya saing, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki value kebangsaan yang kokoh sebagai modal untuk menjaga kebhinekaan dan kemajemukan bangsa serta mampu berkontribusi positif bagi kemajuan dan peradaban bangsa Indonesia.

Salam Olahraga. Hidup mahasiswa.

Selasa, 24 September 2019

MAHASISWA DAN DEMONSTRASI


Mahasiswa sering mendapat label sebagai agent of change. Agen perubahan bagi kemajuan dan peradaban sebuah negara. Tidak berlebihan, mengingat mahasiswa adalah anak muda harapan bangsa, generasi penerus, serta calon suksesor para pemimpin yang ada saat ini guna menyongsong hari esok nan lebih cerah.

Sebagai agen perubahan. Mahasiswa memiliki dua peran penting dalam konstelasi tata kehidupan politik-negara. Pertama, sebagai generasi penerus bangsa dan simbol regenerasi tampuk kepemimpinan negara di masa depan. Pada poin ini dapat di elaborasi bahwa kualitas dan kapasitas dari mahasiswa saat ini akan menjadi faktor yang sangat menentukan bagaimana kemajuan dan kemunduran sebuah bangsa di masa depan. Dengan kata lain, bangsa yang memiliki mahasiswa berkualitas dan memiliki kapasitas (skills) dapat dikatakan akan memiliki masa depan yang lebih cerah, mengingat regenerasi dan peremajaan estafet kepemimpinan bangsa akan berjalan baik dan kondusif. Melihat proporsi demikian, maka membangun sistem dan iklim pendidikan yang berkualitas di perguruan tinggi menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka membentuk dan mencetak mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa.

Kedua, sebagai contra balance bagi penyelenggara negara agar tetap berfungsi on the track. Secara historis, di negara manapun, mahasiswa selalu erat dengan simbol perlawanan terhadap rezim pemerintahan yang "nyeleweng" dari khitahnya sebagai pemegang amanat rakyat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Di Indonesia sendiri, kekuatan mahasiswa sebagai contra balance pernah mencapai titik kulminasi ketika mampu "menggulingkan" rezim otoriter Soeharto pada tahun 1998 silam.

Sebagai contra balance, mahasiswa memiliki tiga legitimasi kekuatan. Pertama, kekuatan intelektual. Mahasiswa secara harfiah berasal dari kata maha (besar/agung/tinggi) dan siswa. Yang berarti siswa yang besar/agung/tinggi tentunya secara intelektualitas maupun budi pekerti. Oleh karenanya, dengan bekal intelektualitas dan budi pekerti yang tinggi, mahasiswa diharapkan mampu menjadi pihak yang jernih dalam menempatkan dan menilai sesuatu fenomena secara obyektif dan berkeadilan. Mampu membangun argumen yang logis dalam rangka "melawan" rezim yang tidak pro-rakyat dan anti-demokrasi. Mampu melakukan pemberdayaan dan advokasi sosial kepada masyarakat agar tidak mudah di "bodohi" oleh penguasa lalim.

Kedua, kekuatan idealisme. Tan Malaka pernah berujar bahwa "idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda". Mahasiswa adalah pemuda. Pemuda yang masih bebas nilai. Dalam arti, masih belum terjangkit racun matrialistis dan kepentingan-kepentingan politis-pragmatis. Mengapa demikian, ya karena mahasiswa masih bergelut dengan ilmu, teori, dan nilai idealisme di kampus belum masuk dan terlibat dalam sistem politik praktis yang berpotensi besar dapat menggerus nilai idealisme diri.

Kemudian, dengan kekuatan idealisme itulah, mahasiswa mampu bertransfromasi sebagai senyawa "konstitusionalisme" bagi penguasa agar tidak melakukan tindakan dan kebijakan yang kontradiksi dengan tujuan dan esensi bernegara. Kekuatan idealisme sendiri secara praksis akan melahirkan sikap kritis dan keberanian dari para mahasiswa.

Ketiga, kekuatan masifisitas. Mahasiswa memiliki daya ledak dan daya masifisitas yang tinggi (jumlah yang banyak dan menyebar) hal demikian membuat mahasiswa memiliki daya tawar atau bergaining position yang kuat dimata penguasa dalam rangka pembuatan kebijakan. Kekuatan masifisitas mahasiswa memberi semacam social pressure dan morality pressure kepada penguasa dalam hal mengambil sebuah kebijakan yang memiliki dampak luas kepada masyarakat. Sudah banyak kebijakan yang tidak pro kepada rakyat dan keadilan akhirnya dirubah oleh penguasa baik di tingkat pusat maupun daerah karena adanya resistensi secara masif (demonstrasi) dari mahasiswa. Hal ini menandakan bahwa kekuatan masifisitas dari mahasiswa dapat menjadi resistensi yang efektif dalam mencegah maupun melawan kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak pro terhadap rakyat dan keadilan.

Demonstrasi

Permasalahan kompleks yang melanda negeri ini dan cenderung berdekatan memantik resistensi mahasiswa dari segala penjuru daerah. Demonstrasi secara masif pun terjadi di Jakarta, Yogya, Malang, Semarang, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Permasalahan Papua, lambatnya penanganan kabut asap akibat kebakaran hutan, pelemahan KPK, RUU KUHP yang sarat pasal kontroversial tak pelak memicu perlawanan mahasiswa.

Demonstrasi sendiri dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan. Meskipun pada sisi lain, juga dapat dilihat sebagai saluran untuk mengekspresikan aspirasi. Pada prinsipnya, demonstrasi adalah saluran demokratis guna membawa perubahan yang konstruktif. Meskipun secara hasil tidak selalu demikian.

Demonstrasi bagi mahasiswa sendiri adalah salah satu bentuk pengejawantahan dari kekuatan mahasiswa sebagai contra balance bagi penguasa agar tidak sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan.

Demonstrasi yang masif dari mahasiswa saat ini tentunya memberikan titah positif (asal tidak berujung pada anarki). Karena menandakan bahwa kekuatan mahasiswa ternyata masih ada. Idealisme itu masih tertanam dalam sanubari dan keberanian itu masih pendar menyala.

Yang menjadi lucu kemudian, adalah adanya pihak-pihak, khususnya dilingkaran kekuasaan yang menuding bahwa demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini dibungkus sebagai alat politis praktis pihak-pihak tertentu yang tidak suka terhadap rezim yang berkuasa.

Saya kira terlalu berlebihan bahkan cenderung naif tudingan tersebut. Memang, penyusupan-penyusupan kecil sangat potensial ada, namun arus utamanya tentu tetap mahasiswa yang memegang peranan. Perlu diingat, dalam catatan sejarah, mahasiswa selalu memiliki nalar, logika, daya analisa dan idealismenya sendiri. Mahasiswa tidak pernah mau menjadi kaki-tangan pihak-pihak yang memiliki tujuan politis-pragmatis. Jadi, jangan pernah meragukan nilai indepedensi mahasiswa atas aksi demonstrasi yang kini tengah mereka lakukan. Mahasiswa sendiri menurut Bung Hatta adalah hati dan akalnya masyarakat. Oase yang mampu mengejawantahkan harapan dan aspirasi masyarakat.

Dengan menggunakan logika umum diatas. Konkretnya, ketika mahasiswa sudah mulai bergerak (melawan) dari segala penjuru daerah di Indonesia. Dapat dipastikan sedang terjadi sesuatu yang tidak "beres" di negeri ini.

Menurut hemat saya, alangkah bijak jika pihak penguasa beserta lingkarannya lebih fokus guna merespons, menjawab, dan menindaklanjuti apa yang menjadi substansi perlawanan dari pihak mahasiswa, bukan malah sebaliknya, justru sibuk membuang-buang energi untuk membangun narasi picik. Mahasiswa ditunggangi, mahasiswa alat politis pihak oposisi, mahasiswa memiliki tujuan politis tertentu dsb.

Sekali lagi, mahasiswa selalu memiliki nalar, logika, daya analisa dan idealismenya sendiri.

Memang benar, setiap demonstrasi pasti memiliki dan tidak bisa dilepaskan dari tujuan politis. Mengingat esensi demonstrasi sendiri adalah menyuarakan aspirasi untuk membawa perubahan. Namun tujuan politis dari mahasiswa bukanlah tujuan pragmatis-materialistis melainkan tujuan kolektif-substantif demi tegaknya demokrasi, nomokrasi, dan welfarestate.

Hidup Mahasiswa. Masa depan rakyat, bangsa, dan negara ada di pundak kalian.



Minggu, 22 September 2019

MAKNA KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA: MEWUJUDKAN KEMERDEKAAN SUBSTANSIAL


(Artikel ini saya tulis pada tanggal 25 April 2019)


Tanggal 17 Agustus merupakan tanggal bersejarah bagi negara kita tercinta Indonesia, sebuah tanggal sakral yang menandai dua momen penting. Pertama, terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan yang telah membuat rakyat menderita selama ratusan tahun, baik secara fisik maupun psikologis. Kedua, lahirnya sebuah negara baru bernama Indonesia. Secara de facto tanggal 17 Agustus dimaknai sebagai hari lahirnya negara Indonesia yakni saat Soekarno bersama Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.

Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus tahun 1945 sendiri memiliki empat makna penting bagi bangsa Indonesia. Pertama, kemerdekaan merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah. Kemerdekaan yang diraih Indonesia saat itu merupakan buah dari perjuangan, pengorbanan, dan persatuan yang dibalut oleh tekad bulat untuk hidup merdeka sebagai sebuah bangsa yang berdaulat.

Kedua, kemerdekaan memberikan kebebasan dan kedaulatan kepada negara Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebebasan dan kedaulatan ini hendaknya mampu dimanfaatkan dan dikelola secara baik demi kelangsungan bangsa Indonesia kedepan.

Ketiga, kemerdekaan merupakan jembatan emas dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Kemerdekaan adalah modal dasar bagi sebuah negara untuk membangun dan mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Keempat, kemerdekaan adalah anugerah dari Tuhan sebagai hasil jerih payah, perjuangan serta pengorbanan dari para pejuang dan pahlawan pendahulu kita. Oleh karenanya, anugerah kemerdekaan ini hendaknya harus senantiasa kita jaga dan kita rawat bersama agar kemerdekaan ini bisa kekal dan tidak terenggut kembali oleh penjajahan dalam segala bentuk manifestasinya.

Pada titik ini, kemerdekaan secara alamiah memberikan sebuah rasa keterikatan (interrelation) dan tanggungjawab untuk manunggal dalam berbagai dimensi sebagai sebuah bangsa guna merawat dan mempertahankan kemerdekaan. 

Menurut Otto Bauer, bangsa adalah suatu kelompok manusia yang memiliki persamaan karakter karena adanya persamaan nasib. Dalam konteks bangsa Indonesia, persamaan nasib yang dimaksud tentu adalah pahitnya belenggu penjajahan yang dulu dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia.

Secara lebih dalam, entitas kemerdekaan yang kita miliki saat ini hendaknya harus dimaknai secara bijak guna membawa kemaslahatan bersama. Konkretnya, kemerdekaan fisik yang kita miliki saat ini harus diejawantahkan guna mewujudkan kemerdekaan substansial yang meliputi: berdikari secara ekonomi yang ditandai dengan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial, berdaulat secara politik yang ditandai dengan adanya daulat negara tanpa intervensi bangsa lain, dan berkepribadian dalam budaya yang ditandai dengan mengejawantahnya nilai budaya dan falsafah bangsa dalam pri-kehidupan sosial masyarakat.

Kemerdekaan secara substansial sendiri hanya bisa terwujud dengan adanya tiga modal sosial-politik. Pertama, adanya persatuan dan kesatuan dari seluruh rakyat (terjalinnya ikatan kohesifitas sosial-kebangsaan). Kedua, adanya pemerintah yang pro kepada rakyat dan pro kemandirian. Ketiga, adanya kehidupan demokrasi dan nomokrasi yang berjalan beriringan.

Oleh karena itu, tugas kita bersama saat ini dalam rangka menciptakan kemerdekaan substansial adalah dengan membangun ketiga modal sosial-politik tersebut agar membumi secara nyata dalam ruang sosial kebangsaan kita. Persatuan dan kesatuan harus senantiasa kita rajut. Pemerintah yang pro rakyat dan pro kemandirian harus kita wujudkan (pilih) dalam pemilu. Kehidupan demokrasi dan nomokrasi harus kita bangun bersama. 

Terkait hal ini tentunya di perlukan common sense kebangsaan secara kolektif dan integral dari rakyat, eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik dan pers sesuai peran dan porsinya masing-masing. Tidak mudah memang, namun jika kita bersama mau dan mampu menurunkan ego, hasrat pribadi, dan oportunitas sembari mengedepankan semangat sinergitas, denyut kolektifitas, dan ghiroh gotong royong sebagai satu kesatuan bangsa, maka tiada yang tidak mungkin untuk bisa dilakukan.


Senin, 09 September 2019

REFLEKSI INDONESIA: MENGUATNYA POLITIK OLIGARKIS DAN MELEMAHNYA DEMOKRASI SUBSTANSIAL


Secara historis, Indonesia tergolong negara demokrasi berpengalaman. Berbagai corak demokrasi sudah pernah dirasakan. Dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi semu, hingga demokrasi substansial, semua pernah dirasakan dalam perjalanan historis bangsa ini. Selepas reformasi, pembangunan demokrasi yang substansial mulai di bangun sebagai blue print sistem demokrasi kita.

Lalu apa itu demokrasi substansial, demokrasi substansial adalah entitas demokrasi yang di landasi oleh prinsip-prinsip fundamental demokrasi yang mengejawantah dalam tertib kehidupan bernegara yang meliputi empat aspek kunci yakni: adanya pemilu berkala yang demokratis dan imparsial, adanya jaminan HAM, adanya kebebasan pers, dan adanya partisipasi politik strategis dari rakyat.

Oleh karenanya, selepas era reformasi sistem politik Indonesia mulai di bangun guna dapat menjadi ekosistem nan memadai bagi tumbuhnya demokrasi substansial. Amandemen Konstitusi dilakukan untuk meletakkan prinsip-prinsip fundamental sebagai pondasi dalam membangun entitas demokrasi yang substansial. Perbaikan sistem pemilu, lahirnya Undang-Undang pers, lahirnya Undang-Undang HAM, jaminan kebebasan berpolitik, dan penguatan partisipasi politik rakyat adalah langkah-langkah yang di bangun sebagai sarana demokratisasi guna mewujudkan demokrasi substansial.

Tujuan dari demokrasi substansial sendiri adalah guna menciptakan masyarakat madani (civil society) sebagai motor penggerak bagi terwujudnya cita-cita dan tujuan negara.

Namun, selepas era reformasi yang diukur melalui 4 penyelenggaraan pemilu (2004, 2009, 2014, 2019) wajah demokrasi kita justru semakin kontraproduktif dengan platform sistem demokrasi yang hendak di bangun. Hal ini di tandai dengan semakin jauhnya entitas demokrasi kita dari ghiroh demokrasi substansial.

Apa indikatornya ?. Pertama, sistem pemilu tidak dapat mengejawantah menjadi sarana filter untuk memilih pemimpin terbaik. Sebaliknya, sistem pemilu justru mengejawantah menjadi ruang yang penuh dengan nuansa transaksional, tarik menarik kekuatan kapital, dan kesepakatan kompromis-pragmatis. Selanjutnya, pemilu juga masih kental dengan intrik kecurangan khususnya terkait politik uang.

Kedua, minimnya peran partai politik dalam rangka mewujudkan demokrasi substansial. Partai politik tidak mampu melaksanakan fungsinya sebagai agen demokratisasi khususnya terkait fungsi kaderisasi dan pendidikan politik. Sebaliknya, partai politik justru mawujud sebagai lembaga pencetak para koruptor dan ladang tumbuhnya kultur oligarkis. Pola interaksi internal parpol sendiri cenderung bersifat layaknya perusahaan yang jauh dari prinsip demokrasi. Ketiga, minimnya peran strategis rakyat dalam sistem politik karena suaranya telah “terbeli” oleh para elite politik. Menurut Burhanudin Muhtadi, fenomena semacam ini disebutnya sebagai vote buying yang dilatarbelakangi adanya permintaan dan kebutuhan bercorak ekonomis. Keempat, minimnya peran konstruktif dari pers. Mayoritas pers kini di kuasai oleh para elite politis dan di gunakan sebagai sarana promosi politik. Dengan kondisi demikian, indepedensi dan peran konstruktif pers akan sulit mawujud dalam ruang demokrasi kita.

Melemahnya demokrasi substansial sendiri menurut hemat saya di sebabkan oleh menguatnya politik oligarkis. Konkretnya, politik oligarkis adalah penyakit yang menghambat terwujudnya entitas demokrasi substansial. Politik oligarkis mencengkram sendi-sendi fundamental demokrasi sehingga substansi demokasi tidak dapat mengejawantah dalam proses dan entitas demokrasi.

Politik oligarkis sendiri bermakna pola kekuasaan yang di kendalikan oleh sekelompok kaum elitis yang memiliki kekuatan kapital. Kekuatan kapital inilah yang kemudian mengesampingkan prinsip meritokrasi, sehingga orang-orang yang duduk pada posisi-posisi strategis politik bukanlah orang-orang yang memiliki kapasitas mumpuni melainkan orang-orang yang memiliki kekuatan kapital.

Menurut Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy, oligarki di bagi dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki di bangun atas dasar kekuatan modal ekonomi yang masif, sehingga mampu menguasai dan mendominasi sekup-sekup kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan politik yang menggurita secara sistemik. Tujuan para kaum oligarki terjun dalam ekosistem politik sendiri tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengamankan sumber daya materil yang dimilikinya.

Jika kita cermati seksama, fenomena sebagaimana di jelaskan oleh Jeffrey A. Winters adalah fenomena empirik bagi wajah perpolitikan kita khususnya ketika berbicara spektrum partai partai politik. Menurut Vedi Hadiz, pengelolaan parpol di Indonesia masih kental dengan nuansa oligarkis-pragmatis dan jauh dari prinsip demokratis-egaliter. Keputusan internal parpol cenderung bersifat paternalistik bukan mufakat-demokratis. Hal ini membuat sikap dan kebijakan parpol hanya mencerminkan keinginan pragmatis dari patron parpol.

Gurita oligarki dalam partai politik sendiri menyebabkan partai politik mengalami disfungsi sebagai agregator demokratisasi. Fungsi kaderisasi politik macet. Pendidikan politik nihil. Mahar politik sebagai causa dari korupsi semakin masif lantaran partai politik lebih tertarik memberikan “tiket” politik kepada pemburu kekuasaan berkekuatan modal kapital dari pada yang memiliki kapasitas dan integritas. Oportunitas partai politik meningkat, sehingga partai politik cenderung hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek untuk meraih legitimasi kekuasan bukan subyek untuk di sejahterakan.

Menguatnya politik oligarkis inilah yang menyebabkan demokrasi substansial menjadi melemah dan sulit mengejawantah dalam proses dan entitas demokrasi. Akibatnya, demokrasi tidak mampu menjadi motor penggerak bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial. Justru sebaliknya, demokrasi malah menjadi sarang penyamun bagi tumbuhnya budaya korupsi yang menyengsarakan kehidupan rakyat.