Kamis, 28 Januari 2021

PUISI: SIAPA GERANGAN

Gelinang hujan merayap lirih

Raung tapak langkah memijar karsa 

Mengilhami raga persada

Pena mengalun dalam elegi rindu

Lebur cakrawala menghias pesona

Asa menyala dalam keheningan

Terucap epitaf-epitaf sendu menghujam adiwarna

Siapa gerangan 

Jiwa tak kuasa berpaling



Senin, 25 Januari 2021

PUISI: PERNAH PATAH

Beranjak hati tidak seperti bersilat lidah

Teruntuk jiwa-jiwa yang tak mudah hijrah ke lain hati 

Bukan tentang rasa silam yang terendap lara, bukan tentang memori sosoknya yang masih melekat

Tetapi tentang cinta. Perihal Asmara. 

Cinta dan asmara adalah dua getaran yang sulit ku dapati. Walau senarai kecantikan sering menyapa 

Jiwa ku pernah patah bak perahu tersapu gelombang pasang. Tercerai-berai. Tertatih untuk waktu yang lama

Kini, perahu yang pernah patah telah bertemu dermaga hati

Jiwa yang pernah layu telah bersemi dan bangkit seperti perkasanya busur gandiwa Arjuna




Jumat, 15 Januari 2021

PENDEKATAN EKONOMI MIKRO TERHADAP HUKUM PIDANA

 

Dalam dinamikanya, bekerjanya hukum pidana sangat dipengaruhi oleh beberapa aliran pemikiran hukum pidana. Secara teoritik, terdapat 4 aliran pokok dalam hukum pidana yakni aliran klasik, aliran modern, dan aliran neoklasik. Ketiga aliran ini memiliki konsep pemikiran yang berbeda satu sama lain.

Pertama, aliran klasik. Menurut aliran klasik, titik sentral dari pada penegakan hukum pidana adalah pada perbuatan atau tindak pidana (daad strafrecht). Sehingga titik penekanannya adalah sepanjang orang melakukan perbuatan (delik) yang sesuai dengan rumusan aturan hukum pidana, maka orang tersebut harus dijatuhi sanksi pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan aturan hukum pidana. Secara implisit, aliran klasik memandang bahwa setiap perbuatan atau delik pidana yang sama harus dijatuhi pidana yang sama. Aliran klasik pada dasarnya dipengaruhi oleh paham indeterminisme yakni paham yang memandang manusia dan perbuatannya sebagai sebuah relasi yang otonom (tidak dipengaruhi oleh faktor di luar diri).

Kedua, aliran modern. Menurut aliran modern, titik sentral dari pada perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada subyek pelaku tindak pidana. Sehingga ketika terjadi suatu delik pidana, maka tidak selalu dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan aturan pidana yang menjadi dasar legitimasi penjatuhan pidana, namun akan dilihat terlebih dahulu kondisi obyektifitas yang melatarbelakangi pelaku melakukan tindak pidana tersebut. Aliran modern ini di sebut juga daader strafrecht, di mana titik penekanannya diletakkan pada subyek pelaku tindak pidana.

Aliran modern pada dasarnya dipengaruhi oleh paham determinisme yaitu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya tidak bersifat otonom. Artinya, perbuatan seorang manusia tidak disebabkan oleh kehendak dari dalam dirinya namun dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar dirinya. Menurut aliran modern, orang yang melakukan delik pidana yang sama dapat dijatuhi sanksi yang berbeda. Konkretnya, penjatuhan sanksi pidana harus dilihat dari latar balakang maupun kondisi subyektif seseorang.

Ketiga, aliran neoklasik. Merupakan sintesis dari kedua aliran di atas. Menurut aliran neoklasik titik sentral perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada aspek perbuatan dan juga pelaku (orang) secara seimbang. Berangkat dari sini, maka suatu pemidanaan haruslah memperhatikan secara matang dan seimbang antara perbuatan yakni delik pidana dan juga kondisi subyektif dari pelaku saat melakukan delik pidana.

Keempat, aliran post-neoklasik atau victims-daad-dadder strafrecht. Menurut aliran ini titik sentral perhatian dan penegakan hukum tidak hanya terletak pada aspek perbuatan dan juga pelaku (orang) tetapi juga kepada pihak korban. Korban merupakan subyek penting dalam penegakan hukum pidana, mengingat keadilan materil hanya dapat terwujud jika korban mendapatkan treatments yang proporsional dan adil.

KUHP sebagai ratio legis dari hukum pidana positif di Indonesia pada prinsipnya mengandung ajaran hukum pidana klasik di mana menitikberatkan pada aspek perbuatan (delik pidana). Artinya, titik penekanannya adalah pada perbuatan bukan terhadap pelaku (faktor subyektif). Oleh karena itu, aspek penjeraan terasa lebih kental dari pada aspek restoratif. Orientasi penegakan hukum pidana bersifat represif yang secara outcomes justru semakin menyuburkan berbagai praktik tindak pidana, lembaga pemasyarakatan di berbagai wilayah Indonesia mengalami over capacity. Dikutip dari hukumonline.com, per Maret 2020 jumlah tahanan di rutan/lapas seluruh Indonesia mengalami over kapasitas sebesar 24 persen dari jumlah penghuni Hal ini merupakan salah satu indikasi kegegalan hukum pidana dalam membangun kehidupan hukum yang lebih baik.

Over capasity lembaga pemasyarakatan sendiri mengandung dua implikasi. Pertama, dis-optimalisasi fungsi lembaga pemasyarakatan dalam melakukan fungsi pembinaan dan resosialisasi narapidana. Kedua, terjadi pemborosan atau biaya anggaran negara membengkak untuk membiyai kebutuhan hidup narapidana, yang dalam pendekatan ekonomi tentu merugikan negara.

Menurut Romli Atmasasmita dalam bukunya Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (2017) mengutarakan 2 penyebab mengapa hukum pidana Indonesia belum bisa berkontribusi dalam membangun kehidupan negara yang lebih baik. Pertama, kurangnya pemahaman pembentuk Undang-Undang pidana yang lalu, di mana masih berpedoman pada peristiwa pidana yang telah terjadi (ex ante) tetapi belum mempertimbangkan dampak dari peristiwa pidana tersebut dengan menggunakan pendekatan maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan.

Kedua, penegakan hukum pidana selama ini masih menggunakan parameter keberhasilan semata (output) belum menggunakan parameter kemanfaatan bekerjanya hukum pidana (outcomes). Rumus sukses hukum pidana masih I (input) + P (Proses)= output, seharusnya, I (input) + P (proses) + output= outcomes (dampak). Aspek dampak hanya dapat mawujud jika dipergunakan juga pendekatan non-hukum yakni analisis ekonomi mikro yang melakukan kajian evaluasi berdasarkan prinsip maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan. Pendekatan analisis ekonomi mikro tersebut dapat mengubah analisis metaphysic menjadi analisis in-concreto yang terukur. Minimnya pendekatan ekonomi mikro dalam fungsionalisasi hukum pidana selama ini membuat penegakan hukum pidana kita masih belum efektif dan efisien.

Modderman, mantan Menteri Kehakiman Belanda mengatakan bahwa penjatuhan hukum pidana tidak harus selalu diutamakan, Modderman juga mengingatkan bahwa hukuman pidana tidak boleh menambah kronis “penyakit”. Dalam bahasa ekonomi, apa yang disampaikan oleh Modderman dapat diejawantahkan bahwa hukum pidana berikut sanksinya harus difungsikan secara efektif dan efisien.

J. Remmelink juga mengingatkan bahwa dalam porses legislasi (pembentukan hukum) ada dua asas hukum yang harus diperhatikan yakni asas proporsionalitas dan asas subsidaritas. Menurut J. Remmelink, penjatuhan sanksi (pidana) harus memperhatikan aspek ekonomi mirko, cost-benefit dari pada sekadar penjeraan semata. Dalam pendekatan ekonomi mikro, hukum pidana seharusnya mengutamakan dampak dari pada hukuman dari pada hanya soal keberhasilan “memenjarakan” saja.

Praksis dari pada prinsip maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan dalam fungsionalisasi hukum pidana dapat diejawantahkan dengan pendekatan restorative justice, individualisasi pidana, permaafan hakim, dan double track sanksi pidana. Keempatnya merupakan variabel yang memiliki kapabilitas untuk mengimplementasikan analisis ekonomi mikro demi efisiensi dan efektifitas hukum pidana.

 

 

LABIRIN KORUPSI DAN ANOMALI MAHKAMAH AGUNG

“Perjuanganku akan lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri” demikian ucap Bung Karno saat berpidato pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November tahun 1961 silam. Secara retrospektif, makna dari ucapan tersebut dapat dielaborasi sebagai berikut: “Dahulu sebelum kemerdekaan tujuan kita adalah merdeka, dan untuk mencapai kemerdekaan, maka kita memiliki musuh yang sama yang harus kita lawan secara bersama, yakni penjajah”. Tak heran, sebelum masa kemerdekaan, spektrum politik yang sangat diametrikal sekalipun; komunis, nasionalis, dan Islam bisa “bersatu” untuk bersama-sama berjuang melawan penjajah.

Sebaliknya, setelah kemerdekaan diraih, perjuangan justru akan semakin sulit karena melawan bangsa sendiri. Kemerdekaan, di satu sisi memberikan kedaulatan dan martabat, namun di sisi lain juga memberikan peluang terjadinya perbenturan pelbagai kepentingan dan tumbuhnya sifat egoisme-primitif yang mengejawantah menjadi musuh dan ancaman bagi eksistensi bangsa, salah satunya adalah budaya korupsi.

Di era orde lama dan orde baru baru, praktik korupsi di Indonesia masih bersifat sentralistik mengingat sistem pemerintahannya bersifat terpusat. Kemudian, munculah era rennaisans Indonesia (era reformasi) yang menghendaki adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Sejak era reformasi inilah, Indonesia justru bertransformasi sebagai labirin praktik korupsi. Korupsi tumbuh secara masif dalam berbagai motif dan segala lini baik secara vertikal maupun horizontal. Bak labirin, Indonesia kini menghadapi turbulensi dan kebingungan dalam melawan praktik korupsi.

Bagaimana cara dan dari mana dimulai agenda-agenda fundamental pemberantasan korupsi agar bangsa ini dapat keluar dari labirin korupsi? Hal tersebut merupakan pertanyaan klise yang bisa dimaknai sebagai sarkasme untuk merefleksikan betapa parahnya praktik korupsi di negeri ini.

Ironisnya, beberapa agenda reformasi yang dahulu digaungkan sebagai jalan keluar bagi praktik pemerintahan yang lebih baik, justru saat ini menjadi celah dan penyebab tumbuhnya budaya korupsi. Agenda otonomi daerah dan desentralisasi menyebabkan praktik korupsi meluas hingga kabupaten/kota bahkan desa. Pemilu atau pilkada langsung menyebabkan maraknya praktik politik uang yang menjadi causa proxima tumbuhnya praktik korupsi. Agenda pemberantasan korupsi pun demikian, tidak mampu secara signifikan untuk melepas jerat dari labirin korupsi.

Perihal agenda pemberantasan korupsi, secara infrastruktur, legal substance, dan sistem memang era pasca reformasi jauh lebih complicated dari pada era sebelum reformasi. Namun secara outcome, realitas agenda pemberatasan korupsi seakan masih berjalan stagnan. Banyak faktor yang menyebabkan agenda pemberantasan korupsi seakan kurang tajam dalam menjebol labirin korupsi, salah satunya yang paling krusial adalah lemahnya penegakan hukum.

Anomali Mahkamah Agung

Lemahnya penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi penulis bagi dalam dua tataran, yakni hulu dan hilir. Hulu adalah ranah di mana potensi terjadinya korupsi muncul, yakni dalam tataran kontestasi politik. Praktik politik uang sudah menjadi praktik sub-kultur masyarakat ketika pesta demokrasi datang. Sayangnya, praktik ini tidak mampu dicegah dengan penegakan hukum yang tegas dan konsekuen baik penegakan hukum publik (pidana) maupun penegakan hukum administratif.

Kemudian dalam  tataran hilir, lemahnya penegakam hukum tindak pidana korupsi dapat dilihat dari rendahnya vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), selama Januari hingga Juni 2020, rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi di berbagai tingkatan pengadilan hanya 3 tahun penjara. Selama Januari hingga Juni 2020 terdapat 1008 perkara korupsi dan 1043 terdakwa yang disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung.

Rinciannya, pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan penjara. Pengadilan tinggi menyidangkan 162 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 3 tahun 6 bulan penjara. Tingkat kasasi dan peninjauan kembali di mahkamah agung terdapat 8 perkara dengan rata-rata vonis 4 tahun 8 bulan penjara. Bahkan untuk kasus korupsi tindak pidana suap yang ancaman hukuman maksimalnya 5 tahun penjara, rata-rata hukuman yang dijatuhkan kepada 74 terdakwa hanya 1 tahun 7 bulan penjara. Realitas demikian menunjukkan bahwa korupsi yang berlabel extraordinary crime, yang bisa dimaknai sebagai kejahatan yang luar biasa dan reasonable untuk dijatuhkan pidana yang lebih berat dari tindak pidana biasa nampaknya hanya sekadar macan kertas belaka.

Lebih ironis lagi, mahkamah agung sebagai lembaga peradilan yang agung, tertinggi, yang diisi oleh hakim-hakim agung justru mengalami gejala anomali dengan atribut keagungannya. Mahkamah agung malah terkesan permisif terhadap praktik korupsi. Koran Tempo mencatat sepanjang tahun 2019-2020, mahkamah agung telah memangkas hukuman bagi 23 terpidana korupsi. Salah duanya adalah Anas Urbaningrum, dari 14 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara saja dan O.C. Kaligis, dari 10 tahun penjara menjadi 7 tahun penjara. Kemudian pada tahun 2019, mahkamah agung juga membebaskan terpidana kasus korupsi BLBI, mantan Kepala BPPN, Syafrudin Tumenggung di level kasasi. Korupsi ini telah merugikan keuangan negara sebesar 4,58 triliun rupiah.

Terbaru, mahkamah agung menyunat vonis pidana penjara Fahmi Darmawansyah terkait kasus suap kepada Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husein di tingkat peninjauan kembali dari 3,5 tahun penjara menjadi 1,5 tahun penjara. Alasan pemotongan vonis itu sendiri sangat aneh dan bertentangan dengan nurani serta akal sehat.

Sesuai fakta persidangan, pemohon peninjauan kembali (Fahmi Darmawansyah) menyetujui untuk membelikan mobil tersebut bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh pemohon melainkan karena sifat kedermawanan pemohon” demikian bunyi putusan mahkamah agung, dilansir melalui website mahkamah agung (7/12/2020). Mahkamah agung sebagai peradilan yang agung, tertinggi, dan diisi oleh hakim-hakim agung (hakim pilihan) seharusnya bisa menjadi justice guardians dengan putusan-putusannya yang tidak hanya mengandung kepastian hukum, tetapi juga memiliki basis filosofis dan sosiologis yang kuat.

Selama mahkamah agung masih “permisif” terhadap tindak pidana korupsi dengan indikasi rendahnya vonis yang dijatuhkan, maka penegakan hukum tindak pidana korupsi akan tumpul sehingga menyebabkan labirin praktik korupsi semakin subur di bumi pertiwi.

           

 

SEMIOTIKA HUKUM

 

Menurut Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, hukum dapat ditelaah dalam 5 konsep pendekatan. Pertama, hukum sebagai asas-asas moral dan keadilan yang bersifat kodrati dan universal. Kedua, hukum sebagai norma-norma positif yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan (in abstracto). Ketiga, hukum sebagai putusan pengadilan secara in concreto yang mengejawatah sebagai judge made law. Keempat, hukum sebagai pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Kelima, hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial (masyarakat) sebagai entitas interasi antar mereka.

Pendekatan pertama merupakan telaah hukum dalam perspektif filosofis. Pendekatan hukum kedua da ketiga merupakan telaah hukum dalam perspektif yuridis-normatif. Sedangkan pendekatan keempat dan kelima merupakan telaah hukum dalam perspektif sosiologis. Secara komprehensif, hukum sendiri terdiri atas teks dan konteks yang meliputi moral, etika, nilai, simbol, dan ekspresi. Maka dari itu, pemaknaan terhadap hukum selalu mengalami fabrikasi pluralitas dalam tataran praktisnya.

Secara filosofis dan sosiologis, hukum dapat dieksplanasi secara luas, mengingat pemaknaan terhadap hukum tidak bersifat rigid-dogmatik dengan hanya bersandarkan pada ketentuan teks. Pemaknaan dan eksplanasi hukum menjadi lebih cair. Sedangkan secara yuridis-normatif, hukum hanya dimaknai secara letterlijk atau apa yang tertulis dalam teks.

Secara filosofis dan sosiologis, hukum difungsikan sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan kemanfaatan. Sedangkan secara yuridis-normatif, hukum difungsikan sebagai sarana untuk mewujudkan kepastian dan ketertiban hukum. Pendekatan pertama, memungkinkan adaya keluwesan dalam pemaknaan dan praktik hukum, sedangkan pendekatan kedua tidak memungkinkan adaya keluwesan dalam pemaknaan dan praktik hukum, hukum diletakkan secara restriktif dalam obyektivitas teks.

Semiotika Hukum

Semiotika merupakan terminologi yang berasal dari Yunani. Semiotika berasal dari kata semeion yang memiliki arti tanda. Menurut Saussure, semiotika merupakan disiplin yang mempelajari dan mengkaji mengenai kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat (a science that studies the life of sign within society).

Menurut Scholes, semiotika merupakan studi atas kode-kode, yakni sistem yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda atau sesuatu yang bermakna. Secara sederhana, semiotika dapat disimplifikasikan sebagai sebuah pendekatan teoritis untuk menganalisis tanda sekaligus pemaknaannya dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sosial.

Semiotika sendiri memiliki 3 cabang penyelidikan. Pertama, sintaksis. Penyelidikan yang mengkaji hubungan formal antara suatu tanda dengan tanda yang lain karena relasi tersebut akan mengendalikan intepretasi. Sintaksis bisa dimaknai sebagai pendekatan gramatikal. Kedua, semantik. Penyelidikan yang mempelajari hubungan-hubungan diantara tanda-tanda dengan designata atau obyek-obyek yang ditelaahnya. Designata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu. Ketiga, pragmatik. Penyelidikan yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter, khususnya terkait fungsi situasional yang melatari tuturan.

Sejalan dengan konstruksi di atas, maka semiotika hukum dapat dipahami sebagai sebuah pendekatan teoritis dan analisis terhadap hukum yang dimaknai sebagai tanda agar termaknai dan fungsional di dalam ruang sosial. Semiotika hukum sejalan dengan adagium “membaca hukum adalah menafsirkan hukum”. Penafsiran hukum adalah jantungnya hukum, demikian ucap Prof Satjipto Rahardjo. Dalam tataran penafsiran, semiotika hukum akan berkolaborasi dengan hermenutika hukum yang memiliki fungsi “bringing the unclear into clarity”.

Hukum tidak hidup di ruang hampa, melainkan hidup dalam masyarakat yang kuyup dengan nilai-nilai, ide, dan presepsi yang bersifat relatif. Dalam tataran tersebut, semiotika hukum memiliki peran strategis sebagai sarana teoritikal untuk menjabarkan dan menafsirkan pemaknaan hukum yang sarat dengan tanda baik eksplisit maupun implisit.

Dalam kajian semiotika hukum, peraturan hukum tidak sekadar dibaca dan dipahami secara an sich pada teks yang tertulis, tetapi teks yang tertulis tersebut harus digali ide, pemikiran, historisitas, konsep, perasaan, dan tujuan yang melandasi rumusan teks peraturan hukum tersebut. Dengan demikian, teks hukum yang telah dikonsepsikan secara predictable untuk mewujudkan kepastian pada tataran praksis bisa fungsikan secara terbuka demi mendapatkan keadilan dan kemanfaatan, mengingat keadilan dan kemanfaatan yang merupakan warwah hukum tidak bisa direstriksi dalam teks yang statis, ia bersifat relatif dan cair (dinamis).

Pada akhirnya, semiotika hukum merupakan pendekatan teoritikal yang penting dipahami dan digunakan khususnya oleh para penegak hukum sebagai sarana untuk memahami hukum secara lebih komprehensif dan sarana untuk optimalisasi fungsi hukum, tidak sekadar pada nilai ketertiban dan kepastian hukum melainkan juga nilai keadilan dan kemanfaatan.

 

RUDAPAKSA HAM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

 

Indonesia adalah negara hukum, hal ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Konsekuensi logis sebagai negara hukum tentunya mengandung implikasi-implikasi yuridis terkait pemenuhan aspek-aspek fundamental negara hukum baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan organik, maupun dalam praktis-implementatif.

Dan dari sekian banyak aspek fundamental negara hukum, hak asasi manusia merupakan aspek yang memerlukan atensi lebih. Mengapa demikian? Karena esensi dari pada negara hukum adalah perlindungan HAM. Pemenuhan aspek-aspek fundamental negara hukum lain pada akhirnya juga bermuara pada perlindungan HAM. Misalnya, terkait pembagian kekuasaan pada lembaga negara, tujuannya adalah untuk meminimalisir otoritarianisme. Otoritarianisme sendiri adalah entitas yang mengancam perlindungan hak asasi manusia. Jadi, bisa disimpifikasikan bahwa aspek pembagian kekuasaan pada negara hukum muaranya adalah perlindungan HAM.

Hak asasi manusia sendiri adalah seperangkat hak yang melekat secara inheren pada diri setiap manusia sebagai karunia dari Tuhan yang wajib dihormati oleh setiap pihak baik negara, hukum, maupun oleh sesama manusia demi harkat dan martabat manusia. Sebagai negara hukum, maka peraturan maupun mekanisme hukum yang ada di Indonesia harus akomodatif terhadap perlindungan hak asasi manusia.

HAM dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Sistem peradilan pidana merupakan mekanisme hukum yang berfungsi untuk memproses dan menyelesaikan perkara pidana. Menurut Marjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Dari definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan mekanisme untuk memproses suatu perkara pidana dengan pendekatan sistematik dan integralistik. Dari kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), kejaksaan (penuntutan), pengadilan (peradilan), dan lembaga pemasyarakatan (pemasyarakatan narapidana)

Dalam perspektif HAM, konsekuensi tersebut melahirkan dua implikasi. Pertama, implikasi rawan terjadinya pelanggaran HAM, mengingat proses penyelesaian perkara pidana harus melalui tahap sistematik kelembagaan, di mana setiap lembaga memiliki kewenangan hukum strategis yang cukup potensial melahirkan abuse of power dan rudapaksa HAM. Kedua, implikasi protektif. Bahwa negara harus hadir dalam rangka memberikan perlindungan HAM di dalam sistem peradilan pidana.

Berdasarkan penelahaan penulis, terdapat dua problematika dalam sistem peradilan pidana yang berafiliasi erat dengan praktik rudapaksa HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Rudapaksa sendiri adalah istilah untuk menggambarkan bagaimana otoritas melakukan atau membiarkan terjadinya perampasan hak asasi manusia.

Pertama, perampasan hak-hak hukum. Secara normatif, proses penegakan hukum pidana dalam bingkai sistem peradilan pidana sangat menjunjung tinggi asas due process of law. Due process of law adalah prinsip penegakan hukum yang menjunjung tinggi hukum dan HAM melalui pemenuhan hak-hak hukum secara proporsional. Dalam KUHAP hak-hak hukum bagi tersangka dan terdakwa secara normatif terjamin dalam Pasal 50 hingga Pasal 64, seperti: hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52) dan hak untuk mendapatkan bantuan hukum (Pasal 54 dan 55).

Secara normatif, memang hak-hak hukum sebagai konsekuensi due process of law telah terjamin dalam KUHAP, namun dalam aplikasinya masih banyak dijumpai praktek-praktek penegakan hukum yang mengingkari prinsip due process of law khususnya dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Lebih spesifik lagi berbicara mengenai perampasan hak hukum bagi tersangka terkait hak untuk memberikan keterangan secara bebas pada penyidik, kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan, hingga praktik kekerasan.

Dalam realitasnya, memang kerap terjadi tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh polisi ketika melakukan proses penyidikan. Menurut Putri Kanesia, Kepala Bidang Advokasi KontraS, kasus-kasus kekerasan di ruang interogasi kerap terjadi karena polisi masih menganggap penyiksaan dan intimidasi sebagai cara efektif untuk memperoleh keterangan dari tersangka. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan dan intimidasi dalam penyidikan juga minim. Kemudian dari sisi eksternal, minimnya pendampingan hukum turut menjadi faktor pelengkap mengapa kekerasan dan intimidasi pada tahap penyidikan kerap terjadi. Menurut catatan dari KontraS, sepanjang tahun 2011-2019 telah terjadi 445 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap tahanan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga memotret hal serupa. Dalam laporan hukum dan hak asasi manusia 2019 dan proyeksi 2020, YLBHI merilis 169 kasus pelanggaran terhadap prinsip fair trial sepanjang tahun 2019. Dari data tersebut, polisi merupakan aktor yang paling banyak melakukan pelanggaran, yakni sebanyak 58%. Pelanggaran terhadap prinsip fair trial oleh polisi terutama terjadi pada tahap penangkapan dan penahanan. Paling aktual, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia merilis bahwa telah terjadi penahanan dan penangkapan secara sewenang-wenang oleh polisi kepada 2643 orang di 10 provinsi terkait unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 lalu. Jumlah ini bahkan kemungkinan besar meningkat jika ditotal pada 34 provinsi.

Dalam perspektif HAM, praktik kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam tahap penyidikan serta kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang tertuang dalam konstitusi (Pasal 28 G ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 1) dan Konvensi Anti-Penyiksaan yang diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 5 tahun 1998.

Kedua, over capacity dan prisonisasi dalam lembaga pemasyarakat. Menurut data dari Kemenkumham pada 2018 lalu, over capacity lapas di Indonesia mencapai 203%. Kapasitas lapas secara nasional hanya bisa menampung 126.164 narapidana sedangkan jumlah narapidana sebesar 256.273 orang. Tahun 2020 ini pun hampir semua lapas di Indonesia masih mengalami over capacity, tidak ada perubahan signifikan.

Lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana sendiri memiliki fungsi strategis dalam rangka resosialisasi dan pembinaan narapidana. Sayangnnya, fungsi tersebut tidak bisa berjalan optimal karena over capacity. Over capacity membuat keadaan lapas jauh dari kondisi yang manusiawi, tidak sehat, dan marak praktik prisonisasi yang bertentangan dengan HAM, seperti: perploncoan, perbudakan, penganiayaan, hingga pelecehan seksual. Realitas ini menyebabkan lembaga pemasyarakatan gagal menjadi institusi resosialisasi narapidana, malah sebaliknya justru menjadi tempat bagi perampasan hak-hak asasi manusia.

Solusi

Pertama, terkait praktik perampasan hak hukum ketika proses penyidikan di kepolisian terdapat dua solusi untuk mengatasinya. Pertama, harus ada perubahan kultural dalam tubuh polri untuk menjauhi praktik-praktik yang bertentangan dengan asas due procces of law. Polri harus profesional dengan menjunjung tinggi penegakan hukum berdasarkan hukum. Peran pimpinan polri, propam, dan kompolnas harus dioptimalisasi agar para penyidik polisi bekerja on the track. Kedua, masifisitas bantuan hukum struktural. Bantuan hukum struktural berfungsi memberikan pendidikan dan pendampingan hukum kepada klien agar tidak terjadi perampasan hak-hak hukum. Negara harus hadir di sini melalui support anggaran dalam APBN/APBD agar implementasi bantuan hukum struktural tumbuh secara masif. Selain itu, peran dan awareness dari akademisi hukum, dosen, hingga mahasiswa hukum diperlukan untuk memperkuat praksis advokasi hukum. Advokat juga harus lebih optimal dalam melaksanakan bantuan hukum pro-bono, agar semakin banyak masyarakat khususnya yang miskin untuk mendapatkan akses bantuan hukum.

Kedua, terkait prisonisasi dan over capacity lapas solusinya adalah optimalisasi pendekatan restorative justice sebagaimana tertuang dalam Perkap Nomor 6 Tahun 2019, optimalisasi pidana percobaan (sepanjang memenuhi syarat yuridis), dan pembangunan lapas baru yang representatif-proporsional. Pada prinsipnya, lembaga pemasyarakatan harus direstorasi menjadi tempat yang efektif untuk menjalankan peran pembinaan dan resosialisasi narapidana. Akhir sekali, 10 Desember adalah hari peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Momentum ini hendaknya menjadi bahan refleksi dan koreksi bersama bagaimana kita membangun peradaban hidup dan kehidupan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.