Jumat, 27 November 2020

SELAMAT JALAN MARADONA

Maradona adalah prototipe sejati seorang pesepakbola legendaris. Berprestasi, namun juga sarat kontroversi. Berbagai gelar baik di level klub, negara, dan individu pernah dirasakan. Di sisi lain, keliaran hidup Maradona di luar lapangan hijau juga bukan rahasia. Narkoba, seks, dan alkohol adalah 3 hal yang lekat dengan perjalanan hidup Maradona.

Selain membawa Argentina juara Piala Dunia 1986 dengan gol-gol epicnya (gol 'tangan Tuhan' dan gol solo run) Maradona juga akan dikenang abadi karena "keberaniannya" mengambil jalan sangat tidak populer dengan pindah dari Barcelona ke klub semenjana asal Italia Selatan, Napoli pada tahun 1984.

Berada di usia emas dan puncak karir (24 tahun) sebagai mega bintang sepak bola saat itu, Maradona justru memilih melanjutkan karir di kota Naples, Italia Selatan dari pada bergabung ke klub-klub mapan Italia Utara macam Juve, Milan, atau Inter. 

Italia Selatan adalah daerah yang diametris dengan Italia Utara. Jika Italia Utara sangat erat dengan kemajuan dan kemapanan, Italia Selatan lebih erat dengan kemiskinan dan kesemrawutan. Kelompok mafia-mafia brutal juga ada di sana: Cosa Nostra, Camora dan Ndrangheta. 

Bagi masyarakat Italia, orang-orang Italia Selatan adalah beban dan sampah negara, masyarakat kelas dua. Masyarakat Italia Selatan adalah "kaum kalah", termasuk dalam sepak bola. Juara liga Italia menjadi langganan klub-klub dari Italia Utara.

Sebelum kedatangan Maradona, Napoli sendiri adalah klub semenjana dan belum pernah sekalipun menjadi juara liga Italia. Kedatangan Maradona kemudian merubah peta. Napoli dibawa Maradona menjadi juara liga Italia 2 kali. Pada musim 1986/1987 dan 1989/1990.

Keluarnya Napoli sebagai juara liga Italia tidak hanya bermakna sekadar prestasi klub semata namun lebih jauh merupakan kemenangan secara psikologis dan sosio-politis masyarakat Italia Selatan atas masyarakat Italia Utara. 

Maradona mampu membuat para kaum kalah dan marjinal mengangkangi kaum bos dan kapitalis. Hal yang tidak pernah terulang kembali hingga saat ini. Karena sejak kepergian Maradona dari San Paolo pada tahun 1991, Napoli tidak pernah lagi mampu merengkuh gelar juara liga Italia.

Maradona kini telah tutup usia. Meninggalkan berbagai kisah heroik dan kontroversi yang dia ukir selama hidupnya. Menurut Bambang Pamungkas, setiap legenda selalu hadir dengan kontroversinya masing-masing. Begitupun juga dengan Maradona. 

Dalam setiap bidang pasti akan ada beberapa nama yang dikenang abadi. Dan dalam bidang sepak bola, keabadian itu tidak perlu diragukan lagi salah satunya adalah milik Maradona. Pada titik waktu, Maradona adalah fakta berbalut mitologi. Kekal.

Selamat jalan Diego Armando Maradona.

KORUPSI DAN PROBLEMATIKA SISTEM PERADILAN PIDANA

 

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah mekanisme kerja dalam proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan untuk menanggulangi tindak pidana. Menanggulangi tindak pidana dalam hal ini mengandung dimensi pencegahan baik prevensi general maupun prevensi khusus serta penghukuman (pembinaan) demi terwujudnya keamanan dan ketertiban, serta keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai sebuah mekanisme sistematik, maka agar tujuan dari pada sistem peradilan pidana dapat tercapai secara mangkus, tentu diperlukan suatu keselarasan peran yang maksimal dari masing-masing sub-sistem peradilan pidana. Itu artinya, kepolisian sebagai pintu masuk dari sistem peradilan pidana harus mampu bekerja secara profesional, kemudian kejaksaan juga demikian harus mampu melaksanakan tugas dan perannya secara profesional, pengadilan harus mampu menjadi lembaga yang dapat mewujudkan keadilan substantif, dan terakhir lembaga pemasyarakatan harus mampu membina narapidana agar para narapidana dapat menyadari kesalahannya dan dapat kembali hidup secara normal dalam lingkungan masyarakat untuk mendukung pembangunan (selepas bebas).

Romly Atmasasmita dalam bukunya Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisme (2006) menambahkan bahwa agar sistem peradilan pidana dapat menghasilkan kinerja yang optimal dan efektif maka diperlukan sinkronisasi dan keselarasan dalam 3 hal yaitu: sinkronisasi struktural (hubungan kelembagaan), sinkronisasi substansial (peraturan materil), dan sinkronisasi kultural (nilai dan budaya).

Berhasil tidaknya sistem peradilan pidana dalam menanggulangi tindak pidana akan sangat tergantung dari peran dan sinkronisasi dari masing-masing sub-sistem tersebut. Hal inilah yang tidak nampak dalam sistem peradilan pidana kita khususnya ketika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang masih merajela dan masif dalam segala lini kehidupan negara disebabkan karena gagalnya sistem peradilan pidana kita dalam menanggulanginya. Konkretnya tekait vonis hakim yang cenderung rendah dan “impotennya” lembaga pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan narapidana. Lapas mengalami impotensi fungsi diakibatkan oleh rendahnya integritas baik dari pejabat maupun petugas lapas.

Permasalahan Sistem Peradilan Pidana Terkait Perkara Korupsi

Menurut data ICW pada 2018 lalu, vonis yang dijatuhkan hakim terhadap kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi jika dirata-rata masih cukup rendah yakni 6 tahun 4 bulan penjara. Kemudian menurut data ICW pada 2017 lalu vonis hakim pengadilan negeri yang dijatuhkan terhadap para koruptor juga masih sangat rendah, jika dirata-rata hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Fakta ini tentu memprihatinkan, terlepas bahwa vonis adalah wujud dari kemerdekaan dan kebebasan seorang hakim, namun jika vonis yang dijatuhkan relatif rendah tentu efek jera dari suatu vonis pidana tidak akan begitu terasa. Korupsi yang berlabel sebagai extra ordinary crime nampak hanya “sangar” pada diksi namun ompong dalam segi penegakannya.

Setelah permasalahan dalam konteks vonis pengadilan, permasalahan penegakan hukum korupsi dalam bingkai sistem peradilan pidana selanjutnya adalah terletak pada impotensi pembinaan di lembaga permasyarakatan. Secara filosofis-normatif atau das sollen lembaga permasyarakatan adalah tempat narapidana dirampas kemerdekaannya agar ia mendapatkan efek jera atas perbuatan yang dilakukannya sekaligus tempat narapidana itu dibina agar ia menyadari kesalahannya dan dapat berubah manusia yang lebih baik. Baik secara individu maupun secara kesadaran sosial. Namun secara das sein khususnya dalam perkara yang terkait dengan narapidana korupsi, lembaga permasyarakatan seakan menjadi lembaga tanpa wibawa dan impoten karena sudah berulang kali integritas dan keperkasaannya runtuh oleh silaunya pengaruh dan materi dari para white collar crime tersebut.

Secara umum ada dua hal previllage yang biasanya didapatkan oleh narapidana korupsi ketika menjalani hukuman hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakatan. Pertama, akses mendapatkan fasilitas-fasilitas mewah didalam lapas sehingga membuat para napi korupsi tersebut seakan hidup di hotel bintang lima walaupun tinggal di lapas, kasus ini contohnya terjadi pada mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin pada 2013 lalu di lembaga permasyarakatan Sukamiskin.

Kedua, kemudahan untuk keluar dari lapas secara ilegal (tanpa alasan yang sah dan patut) sebagaimana yang terjadi pada Gayus Tumbunan dan Setya Novanto yang tertangkap kamera sedang plesiran bersama istrinya di toko bangunan mewah kawasan Padalarang. Apa yang terjadi pada Setya Novanto tersebut diyakini hanyalah fenomena gunung es belaka, karena diluar itu, sangat potensial banyak para narapidana korupsi yang mendapatkan previllege seperti Novanto ketika menjalani hukuman di lapas.

Previllege-previllege yang didapatkan oleh para narapidana korupsi sebagaimana yang terjadi di atas menyebabkan fungsi penghukuman dan pembinaan oleh lapas mengalami disfungsi sehingga efek jera dan pembelajaran diri (resosialisasi) yang seharusnya menjadi tujuan dari permasyarakatan narapidana tidak memiliki implikasi apapun terhadap narapidana secara khusus maupun kepada masyarakat pada umumnya.

Hal ini secara langsung maupun tidak langsung turut berkontribusi membuat perbuatan korupsi menjalar masif mengeroposi sendi-sendi kehidupan negara lantaran hilangnya fungsi prevensi general dan pevensi khusus dari suatu penghukuman. Konklusinya, para pihak lainnya yang belum korupsi menjadi tidak takut untuk melakukan korupsi dan para mantan narapidana korupsi yang telah menjalani penghukuman dan pembinaan di lapas tidak memiliki sikap jera dan pembelajaran diri (resosialisasi).

Perlu diketahui bahwa korupsi adalah kejahatan kerah putih, dalam arti orang-orang yang melakukannya adalah orang-orang berpengaruh yang memiliki jaringan kekuasaan dan kemampuan materi yang dapat dimanfaatkannya untuk mendapatkan berbagai previllege dengan memanfaatkan rapuhnya ketegasan dan lemahnya integritas para pejabat dan petugas Lapas. Oleh karenanya perlu dicarikan solusi baku untuk mengatasi permasalahan ini.

Pertama, tentunya perlu political will dari pemerintah dalam hal ini Kemenkumham untuk membangun ekosistem bersih top to bottom dengan jalan memilih kepala lapas berdasarkan prinsip good governance dan sistem meritokrasi agar yang terpilih menjadi pemimpin lapas adalah sosok yang memiliki kapasitas, integritas dan rekam jejak bersih. Kemudian Kemenkumham melalui Menteri maupun Ditjen PAS juga harus rutin melakukan pengawasan terhadap lapas khususnya bagi lapas yang memiliki rekam jejak buruk dalam integritas membina narapidana korupsi.

Kedua, perlunya sikap dan keberanian dari Kemenkumham untuk menempatkan narapidana korupsi ke lapas Nusakambangan secara proporsionalitas setidaknya untuk saat ini. Di lapas Nusakambangan, narapidana korupsi bisa ditempatkan di sel penjara yang memiliki kualifikasi maximum security. Ketiga, negara perlu sekiranya mempertimbangkan untuk membentuk sebuah lapas khusus narapidana korupsi berkualifikasi maximum security dengan kuantitas yang besar di daerah yang jauh dengan aksesbilitas publik misalnya di pedalaman Kalimantan atau Papua.

Akhir sekali, pada prinsipnya, berhasil tidaknya pemberantasan tindak pidana korupsi tergantung dari bagaimana efektifitas dan kolektifitas kinerja sistem peradilan pidana dalam menanggulangi korupsi. Melihat kenyataan di atas, maka, sebagus dan seprofesionalismenya apapun kinerja dari KPK/Polri/Kejaksaan dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara korupsi, selama vonis hakim yang dijatuhkan terhadap para koruptor relatif rendah dan fungsi pembinaan di lapas impoten karena lacurnya integritas, maka selama itu pula sistem peradilan pidana terkait perkara korupsi tidak akan pernah bisa berjalan efektif dan cenderung tumpul dalam menanggulangi korupsi. Sehingga membuat korupsi akan senantiasa tumbuh subur di negeri yang katanya memiliki nenek moyang jujur dan beradab ini.

 

 

 

 

HUKUM DAN DAULAT RAKYAT

 

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 ini mengandung konsekuensi konstitusional bahwa kedaulatan tertinggi dalam tata penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat dengan mekanisme aplikatifnya diatur berdasarkan ketentuan UUD sebagai hukum yang tertinggi. Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, “negara Indonesia adalah negara hukum”.

Dari konstruksi Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 di atas mengandung dua relasi respirokal integral bahwa negara Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum serta negara hukum yang berkedaulatan rakyat.

Negara berkedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum artinya bahwa hukum berperan sebagai mekanisme aplikatif sekaligus kanalisator (batas) terhadap implementasi kedaulatan rakyat. Hal ini berfungsi agar praktik kedaulatan rakyat dalam tata kenegaraan maupun kenyataan sosial memiliki basis yuridis yang jelas, sehingga potensi chaos dan friksi sosial dapat diminimalisasi atau dikendalikan untuk stabilitas negara.

Kemudian, makna dari pada negara hukum yang berkedaulatan rakyat adalah bahwa negara harus dipandu berdasarkan hukum yang dibentuk secara aspiratif berdasarkan prinsip-prinsip demokratis bukan dengan pendekatan elitis-otoritarianisme. Selain itu, hukum harus mampu menjadi pelindung maupun sarana bagi keberlangsungan eksistensi kedaulatan rakyat itu sendiri. Dengan demikian, negara hukum yang berkedaulatan rakyat pada prinsipnya merupakan wujud ekspresi kedaulatan rakyat untuk mengatur tata kehidupan dalam aktifitas bernegara maupun relasi bermasyarakat demi terwujudnya kemaslahatan bersama.

Dalam dimensi praksis, kedua entitas di atas harus saling bersinergi berdasarkan premis: daulat rakyat harus berdasaran hukum dan hukum harus berdasarkan prinsip daulat rakyat. Namun dalam praktiknya, memang relasi ideal ini terkadang sulit mengejawantah sebagai sebuah kenyataan. Seringkali ekspresi daulat rakyat justru mengingkari mekanisme yang ditetapkan oleh hukum sehingga berakhir chaos, misalnya massa yang melanggar aturan hukum terkait mekanisme demo/unjuk rasa sehingga berakhir bentrok dengan aparat.

Selanjutnya, tak berbeda jauh, seringkali pembentukan hukum juga mengingkari prinsip daulat rakyat. Hukum seringkali dibentuk tanpa memperhatikan aspirasi rakyat. Akibatnya, produk hukum yang lahir dari lembaga yang berwenang mendapatkan resistensi yang masif dari beragam kelompok masyarakat. Misalnya: UU KPK dan UU Cipta Kerja.

Secara prosedur, aspirasi dan partisipasi masyarakat merupakan aspek formil yang sangat penting tidak hanya secara yuridis namun juga secara sosiologis, mengingat masyarakat merupakan subyek sasaran dari pada bekerjanya produk hukum tersebut. Dalam praktiknya, seringkali aspek aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan produk hukum hanya menjadi tugas-tugas formalitas saja sehingga tidak mampu menyerap aspirasi rakyat secara substantif.

Secara teoritik sebenarnya dapat dijelaskan mengapa produk hukum yang dibentuk oleh lembaga yang dipilih berdasarkan prinsip daulat rakyat justru mengingkari aspirasi dari rakyat itu sendiri. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengenai hal tersebut, diantaranya: teori tipologi hukum dan teori bekerjanya hukum.

Pertama, teori tipologi hukum Nonet dan Selznick. Nonet dan Selznick membedakan tipe hukum dalam 3 jenis. Pertama, hukum represif. Hukum represif adalah hukum yang didesain sebagai pelayanan kekuasaan represif. Di sisni hukum berfungsi sebagai sarana legitimasi untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan oportunis penguasa. Dengan demikian, prinsip daulat rakyat dalam pembentukan hukum dikebiri sehingga produk hukum yang lahir tidak sesuai dengan aspirasi rakyat pada umumnya. Kedua, hukum otonom. Di sini hukum berfungsi sebagai institusi otonom untuk melindungi integritas dirinya sendiri. Ketiga, hukum responsif. Di sini hukum mengejawantah sebagai implementasi daulat rakyat, hukum dibentuk secara demokratis sehingga produk hukum yang lahir memiliki kesesuaian dengan aspirasi dan harapan rakyat.

Kedua, teori bekerjanya hukum Seidman dan Chamblis. Pertama, perlu dipahami bahwa Undang-Undang adalah produk politik mengingat lembaga yang memiliki otoritas konstitusional untuk membentuknya yakni DPR dan Presiden merupakan pihak-pihak yang terpilih dalam proses politik (pemilu) dan juga berafiliasi dengan institusi politik (parpol).

Oleh karena itu, tak mengherankan, jika pembentukan sebuah produk hukum khususnya Undang-Undang tidak lepas dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam tiap fase pembentukannya. Seidman dan Chamblis dalam teori bekerjanya hukum telah menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan suatu aturan hukum (Undang-Undang) tidak akan bisa lepas dari faktor-faktor non-yuridis seperti faktor personal, ekonomi, sosial, dan politis yang bisa menghambat terbentuknya aturan hukum yang substansial dan fungsional.

Sejalan dengan hal tersebut, Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia secara implisit mengatakan bahwa lahir dan tidak lahirnya sebuah Undang-Undang terkadang tidak berdasarkan pada nilai urgensinya melainkan pada nilai kompromistisnya.

Menurut Mahfud MD, terkadang ada Rancangan Undang-Undang yang substansinya bagus nilai urgensinya tinggi namun justru tidak disahkan, karena RUU tersebut tidak memiliki nilai impact secara politis atau tidak sejalan dengan kepentingan pembuat Undang-Undang. Inilah yang dikatakan Mahfud MD sebagai sebuah kondisi di mana hukum ditorpedo oleh politik, sehingga membuat nilai urgensi dan kemaslahatan dikesampingkan demi memberi jalan kepada kepentingan oportunis dan impact politis.

Maka tak mengherankan jika selama ini DPR dan Pemerintah seringkali justru nggebet mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang secara substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya rendah, sedangkan Rancangan Undang-Undang yang nilai substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya tinggi justru seringkali “terbengkalai” hanya karena tidak memiliki frame kepentingan sebagaimana yang mereka inginkan. Inilah yang menjadi alasan mengapa hukum dan daulat rakyat secara das sein sulit mengejawantah dalam relasi yang sinergis-integratif, sebaliknya hukum dan daulat rakyat justru seringkali membangun relasi yang diametris-kontradiktif.

 

RUU LARANGAN MINUMAN BERALKOHOL DAN KRIMINALISASI

 

Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol telah memasuki tahap pembahasan di Badan Legislatif DPR. Seperti biasa, diametris opini pun berkembang dalam masyarakat, ada yang dalam posisi mendukung (pro) maupun menolak (kontra). Pihak yang pro terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol pada umumnya berlandaskan pada argumentasi bahwa menenggak minuman beralkohol tendensius pada ekses-ekses negatif yang merugikan masyarakat, sehingga hal demikian perlu dikriminalisasi sebagai tindak pidana.

Sedangkan pihak yang kontra, menganggap bahwa kriminalisasi larangan minuman beralkohol terlalu berlebihan. Terlebih, di berbagai daerah Indonesia, minuman keras justru mengejawantah sebagai khasanah kekayaan tradisi. Terkait aspek kekayaan tradisi, sebenarnya hal ini telah diakomodasi sedemikian rupa dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan bahwa larangan memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, atau mengkosumsi minuman beralkohol tidak berlaku untuk kepentingan terbatas.

Pasal 8 ayat (2) mengelaborasi kepentingan terbatas yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (1) meliputi: a.kepentingan adat, b. ritual keagamaan, c. wisatawan, d. farmasi, e. tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Kemudian menurut penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf e, yang dimaksud dengan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan meliputi: restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, bar, pub, klub malam, dan toko khusus penjualan minuman beralkohol.

Dari konstruksi Pasal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kriminalisasi larangan minuman beralkohol pada prinsipnya ditujukan terhadap orang-orang yang meminum minuman keras secara sembarangan, yang tidak termasuk pada tempat maupun kegiatan di atas.

Di sisi lain, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (IJCR), Erasmus Napitupulu sebagimana dikutip dari CNN Indonesia mengatakan bahwa pendekatan pelarangan minuman beralkohol dapat memberikan dampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia karena bersifat prohibitionist (larangan buta) sebagaimana yang terjadi pada tindak pidana narkotika, di mana pendekatan prohibitionist pada narkotika tidak berdampak efektif dalam mengurangi terjadinya tindak pidana narkotika.

Aspek Kriminalisasi

Secara teoritik, kriminalisasi memiliki pengertian sebagai usaha yuridis untuk memformulasikan suatu perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana melalui forum legislasi. Antonim dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi, yakni suatu usaha yuridis untuk memformulasikan suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana menjadi bukan tindak pidana.

Menurut Herman Manheim, ada 3 aspek yang harus diperhatikan ketika mengkriminalisasi suatu perbuatan. Pertama, adanya sikap yang sama dari masyarakat atau mendapat dukungan luas dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan yang dikriminalisasi harus merupakan perbuatan yang dianggap merugikan bagi masyarakat luas. Kedua, tidak sulit dalam teknis pelaksanaannya. Baik dalam konteks infrastruktur penegakan hukumnya maupun dalam konteks aspek pembuktiannya. Ketiga, sesuai dengan obyek hukum pidana. Artinya perbuatan yang dikriminalisasi harus sesuai dengan sasaran hukum pidana atau tidak mencampuri urusan yang bersifat privat.

Lebih lanjut, Prof Sudarto menambahkan 4 syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan kriminalisasi. Pertama, tujuan kriminalisasi adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Kedua, perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban. Ketiga, harus memperhatikan faktor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang. Keempat, memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui beban tugasnya sehingga tidak efektif.

Dari dua pendapat ahli di atas, kiranya kriminalisasi larangan meminum minuman beralkohol perlu dikaji berdasarkan perspektif efektifitas dalam teknis pelaksanaan, cost and benefit, dan kemampuan aparat penegak hukum (keterbatasan sumber daya manusia). Ketiga aspek tersebut harus dikaji dan dielaborasi mendalam dalam naskah akademik untuk melihat nilai urgensinya.

Secara prinsip, penulis sendiri tidak setuju dengan wacana kriminalisasi larangan minum minuman beralkohol. Ada 3 dasar argumentasi yang mendasari sikap penulis. Pertama, bahwa sesuai dengan prinsip hukum pidana, hukum pidana hendaknya dijadikan sebagai ultimum remedium atau senjata pamungkas. Hal ini mengandung makna bahwa perbuatan yang diformulasi sebagai tindak pidana harusnya perbuatan-perbuatan yang nilai urgensinya tinggi yang tidak bisa diatasi dengan pendekatan lain.

Kedua, mengacu pada konstruksi Pasal 8 RUU Larangan Minuman Beralkohol, bahwa sasaran yang dituju adalah kepada orang yang minum minuman beralkohol secara sembarangan (tidak sesuai tempat dan kegiatan) terkait hal ini sebenarnya bisa dicover dengan pendekatan Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP.

Ketiga, over capasity lapas. Hampir seluruh lapas di Indonesia mengalami over capasity yang kemudian menjadi masalah baru terkait efektifitas pembinaan. Oleh karena itu, kriminalisasi minum minuman beralkohol harus memperhatikan realitas ini agar tujuan dari kriminalisasi maupun tujuan dari hukum pidana itu sendiri pada akhirnya tidak mengalami anomali.

           

           

DISPARITAS PIDANA SEBAGAI SARANA MEWUJUDKAN KEADILAN MATERIL

 

Hukum pidana dapat dibedakan dalam arti yang luas maupun dalam arti yang sempit. Dalam arti luas, pengertian hukum pidana meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formil atau hukum acara pidana, dan juga hukum penitensier (hukum pelaksaanaan pidana). Sedangkan dalam arti yang sempit, pengertian hukum pidana hanya mengacu kepada hukum pidana materil.

Hukum pidana materil merupakan bagian dari hukum yang ditetapkan oleh negara yang mengatur mengenai: perbuatan apa yang dilarang atau diperintahkan yang diancam dengan pidana, kapan dan dalam hal apa orang dapat dijatuhi pidana, dan dengan sarana apa pemidanaan dijatuhkan. Jika dikonkretisasi, hukum pidana materil akan berbicara dan membahas mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan (sanksi pidana). Pada artikel ini pengertian hukum pidana yang dimaksud tentunya adalah pengertian hukum pidana dalam arti yang sempit yakni hukum pidana materil.

Dalam dinamikanya, bekerjanya hukum pidana sangat dipengaruhi oleh beberapa aliran pemikiran hukum pidana. Secara teoritik terdapat tiga aliran pokok dalam hukum pidana yakni aliran klasik, aliran modern, dan aliran neoklasik. Ketiga aliran ini memiliki konsep pemikiran yang berbeda satu sama lain.

Pertama, aliran klasik. Menurut aliran klasik, titik sentral dari pada penegakan hukum pidana adalah pada perbuatan atau tindak pidana (daad strafrecht). Sehingga titik penekanannya adalah sepanjang orang melakukan perbuatan (delik) yang sesuai dengan rumusan aturan hukum pidana, maka orang tersebut harus dijatuhi sanksi pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan aturan hukum pidana. Secara implisit, aliran klasik memandang bahwa setiap perbuatan atau delik pidana yang sama harus dijatuhi pidana yang sama. Aliran klasik pada dasarnya dipengaruhi oleh paham indeterminisme yakni paham yang memandang manusia dan perbuatannya sebagai sebuah relasi yang otonom (tidak dipengaruhi oleh faktor diluar diri).

Kedua, aliran modern. Menurut aliran modern, titik sentral dari pada perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada subyek pelaku tindak pidana. Sehingga ketika terjadi suatu delik pidana, maka tidak selalu dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan aturan pidana yang menjadi dasar legitimasi penjatuhan pidana, namun akan dilihat terlebih dahulu kondisi obyektifitas yang melatarbelakangi pelaku melakukan tindak pidana tersebut. Aliran modern ini di sebut juga daader strafrecht, di mana titik penekanannya diletakkan pada subyek pelaku tindak pidana.

Aliran modern pada dasarnya dipengaruhi oleh paham determinisme yaitu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya tidak bersifat otonom. Artinya, perbuatan seorang manusia tidak disebabkan oleh kehendak dari dalam dirinya namun dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar dirinya. Menurut aliran modern, orang yang melakukan delik pidana yang sama dapat dijatuhi sanksi yang berbeda. Konkretnya, penjatuhan sanksi pidana harus dilihat dari latar balakang maupun kondisi subyektif seseorang.

Ketiga, aliran neoklasik. Merupakan sintesis dari kedua aliran diatas. Menurut aliran neoklasik titik sentral perhatian dan penegakan hukum pidana terletak pada aspek perbuatan dan juga pelaku (orang) secara seimbang. Berangkat dari sini, maka suatu pemidanaan haruslah memperhatikan secara matang dan seimbang antara perbuatan yakni delik pidana dan juga kondisi subyektif dari pelaku saat melakukan delik pidana.

Disparitas Pidana dan Keadilan Materil

KUHP sebagai ratio legis dari hukum pidana positif di Indonesia pada prinsipnya mengandung ajaran hukum pidana klasik dimana menitikberatkan pada aspek perbuatan (delik pidana). Artinya, titik penekanannya adalah pada perbuatan bukan terhadap pelaku (faktor subyektif). Hal ini membuat tidak memungkinkan adanya treatments yang berbeda terhadap perbuatan delik pidana yang sama meskipun dilatarbelakangi oleh kondisi obyektif yang berbeda.

Meskipun demikian, nilai subyektif dalam penjatuhan pidana tetap memiliki kontekstualisasinya dalam kerangka tinggi rendahnya vonis. Konkretnya, terhadap perbuatan yang sama dengan latar belakang yang berbeda hendaknya dijadikan ratio decidendi dalam menentukan tinggi rendahnya vonis. Misalnya, si A melakukan pencurian ayam untuk digunakan sebagai pesta menyambut tahun baru dan si A sendiri sudah terbiasa melakukan pencurian. Di sisi lain, si B melakukan pencurian ayam untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih balita karena sudah 2 hari tidak makan. Si B akhirnya terpaksa mencuri ayam untuk memenuhi kebutuhan pokok anaknya.

Terhadap dua kasus di atas secara yuridis memang sama-sama melanggar Pasal 363 KUHP yang diancaman pidana penjara paling lama 7 tahun. Namun untuk penjatuhan vonis, seharusnya terhadap si A dan si B dijatuhi vonis yang berbeda. Si A ‘wajib” dijatuhi pidana yang lebih tinggi dari si B dengan melihat kondisi subyektif dari latar belakang keduanya melakukan pencurian.

Harus ada disparitas pidana antara si A dan si B. Bagi orang yang memiliki paradigma legisme, disparitas pidana terhadap delik pidana yang sama tentunya akan mereka anggap sebagai sebuah bentuk pengingkaran terhadap nilai kepastian hukum. Namun bagi orang yang memiliki paradigma progresif, disparitas pidana adalah hal penting sebagai sarana pengayoman terhadap nilai keadilan. Pertentangan antara nilai kepastian hukum dan nilai keadilan sendiri merupakan fenomena yang selalu menjadi diskursus “abadi” dalam konteks implementasi hukum pidana.

Arti penting dari pada disparitas pidana sendiri pada prinsipnya adalah guna mewujudkan keadilan materil. Perlu dipahami, vonis adalah sarana bagi hakim untuk mewujudkan keadilan hakiki atau keadilan materil terhadap sebuah penyelesaian perkara pidana. Oleh karena itu, dalam menjatuhkan vonis, seorang hakim harus memperhatikan aspek-aspek materil di samping aspek-aspek formil.

Mengingat KUHP positif saat ini masih beraliran klasik (daad strafrecht), maka hakim harus benar-benar jeli dalam mengoptimalkan ketentuan aturan pidana yang ada untuk memperoleh keadilan materil. Salah satunya adalah dengan memperhatikan kondisi-kondisi dan latar belakang seseorang dalam melakukan tindak pidana sebagai ratio decidendi dalam menentukan tinggi rendahnya vonis.