Rabu, 28 Agustus 2019

REKONSILIASI POLITIK PASCA PEMILU: MERAWAT DEMOKRASI DAN KESATUAN BANGSA




Proses pemilu presiden dan wakil presiden nan panjang dan menguras energi kebangsaan kita telah berakhir, setelah 27 Juni lalu Mahkamah Konstitusi memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang isinya menolak permohonan pihak pemohon pasangan capres dan cawapres 02. Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri bersifat final dan mengikat. Dalam arti tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk menguji putusan tersebut sehingga putusannya bersifat final dan harus dipatuhi.

Sebagaimana kita ketahui bersama pemilu presiden dan wakil presiden 2019 dalam perjalanannya begitu menguras energi kebangsaan serta mengeroposi sendi-sendi kohesifitas sosial masyarakat akibat terciptanya dan menguatnya segregasi sosial yang didasari oleh perbedaan pilihan politik.
 
Sejak masa kampanye (pra-pemilu), pemilu hingga pasca pemilu polarisasi dalam masyarakat begitu kuat, para elite pendukung maupun simpatisan Prabowo dan Jokowi begitu massif menghembuskan narasi-narasi kebencian satu sama lain. Hal demikian itu membuat pemilu presiden dan wakil presiden 2019 terkonstruksi menjadi ajang perkubuan dan persaingan kekuasaan semata sehingga substansi demokrasi dan esensi pemilu tidak mendapat ekosistem dan ruang yang memadai untuk unjuk gigi.

Oleh karenanya, setelah putusan MK 27 Juni lalu saya sangat berharap segregasi sosial dan polarisasi dalam masyarakat segera surut mengingat pemilu telah usai. Jika hal tersebut dilanjutkan maka akan menjadi sebuah hal yang kontraproduktif dalam rangka mendukung eksekusi program-program strategis nasional 5 tahun kedepan yang tentu membutuhkan peran serta dan konsolidasi warga masyarakat.

Perlu dipahami bahwa arti mendukung disini tidak hanya sekadar bermakna positif namun juga mengandung arti negatif berupa kritik dan masukan konstruktif demi berhasilnya eksekusi program-program strategis nasional agar dapat menjadi tonggak bagi terwujudnya kemaslahatan bersama (rakyat).

Jika digunakan perspektif top to bottom, maka rekonsiliasi politik harus dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo sebagai personifikasi dari dua kutub kekuatan politik yang bersaing keras pada kontestasi pilpres kemarin.

Konkretnya, Jokowi dan Prabowo harus segera membangun rekonsiliasi politik agar segregasi sosial dan polarisasi politik dalam masyarakat akibat pilpres 2019 segera mereda dan tidak semakin meruncing menjadi hal-hal yang bersifat negatif bagi konsolidasi kebangsaan dan kewargaan kita.

Secara praksis, rekonsiliasi politik sendiri bermakna terjalinnya komunikasi politik yang baik antara dua kutub kekuatan politik guna meleburkan titik didih segregasi politik sekaligus menciptakan kesejukan suasana kebathinan kebangsaan.

Perihal rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo sejatinya sudah dihembuskan sejak lama. Pasca pencoblosan, letupan-letupan asa agar tercipta rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo pun mulai berhembus.

Namun baru menjelang proses pemilu berakhir inilah letupan-letupan asa tersebut mulai menampakkan titik terang. Jokowi  pada hari sidang pertama MK mengatakan bahwa rekonsiliasi politik dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja tidak perlu formalitas yang justru membuat suasana menjadi kaku. 

Hal ini kemudian dipertegas dengan statement dari wakil ketua TKN Arsul Sani dan juru bicara TKN Arya Sinulingga yang mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan Prabowo bersama partai Gerindra akan masuk kedalam poros kekuasaan pemerintahan Jokowi 2019-2024.

Arya Sinulingga bahkan secara eksplisit menyebut posisi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) adalah posisi yang pantas bagi Prabowo. Di sisi lain, Prabowo sebelumnya juga telah menghimbau kepada para pendukung dan simpatisannya untuk menerima keputusan MK secara lapang dada apapun hasilnya.

Terbaru, terjalinnya pertemuan dan komunikasi politik yang hangat antara Prabowo dan Jokowi maupun antara Prabowo dan Megawati mengindikasikan rekonsiliasi politik di kalangan elite sudah menuju titik terang.

Dinamika politik yang terbangun akhir-akhir ini menjadi sinyalemen kuat bahwa rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo hanyalah tinggal menunggu waktu.

Model Rekonsiliasi Politik

Pada prinsipnya ada 3 model bentuk rekonsiliasi politik yang dapat dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo. Pertama, model power sharing, dimana kubu Prabowo akan masuk menjadi bagian dari poros kekuasaan Jokowi. Jika hal ini terjadi maka dapat dipastikan elite-elite Gerindra akan mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Besar kemungkinan Gerindra akan mendapat beberapa jatah menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi. 

Kedua, model substantif-agreements, dimana Prabowo dan Gerindra akan tetap menjadi pihak oposisi namun akan ada semacam kesepakatan bahwa program-program strategis dan potensial dari Prabowo akan diakomodasi dan kemudian dielektisasi dengan program-program Jokowi untuk dijadikan program kebijakan dalam era pemerintahan Jokowi.

Ketiga, model rekonsiliasi terbuka. Dalam model rekonsiliasi ini tidak akan ada deal-deal politik baik dalam konteks pragmatis maupun substansial. Inti dari pada rekonsiliasi politik terbuka adalah terjalinnya komunikasi politik yang sehat dan beradab tanpa menghapus fragmentasi politik yang ada antara dua kutub kekuatan politik.

Singkatnya, dalam model rekonsiliasi model ini adalah adanya penegasan posisi bahwa Prabowo bersama Gerindra akan menjadi poros utama kekuatan oposisi dalam rangka mengawal jalannya roda pemerintahan Jokowi. Dengan pengertian lain, Prabowo bersama Gerindra akan mendukung pembangunan negara dari luar kekuasaan melalui kritik dan masukan konstruktif yang di barengi dengan ahlak demokrasi sebagai pihak oposisi.

Dari ketiga model rekonsiliasi politik diatas, secara pribadi saya berharap jika model rekonsiliasi bentuk kedua dan/atau ketiga yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo. Untuk yang model pertama yakni model power sharing saya tidak sepakat mengingat model power sharing akan dapat memberikan dampak negatif baik secara impresi maupun secara praktis dalam tertib bernegara.

Secara impresi, model power sharing akan memunculkan presepsi kuat dari masyarakat luas bahwa kontestasi pilpres yang begitu menguras emosi, pikiran, tenaga, dan materi ternyata hanya sekadar menghasilkan kompromi pragmatis bagi-bagi kue kekuasaan semata di kalangan elitis. Hal ini tentunya akan dapat berdampak kepada menurunnya trust rakyat akan sarana demokrasi bernama pemilu yang sekaligus berpotensi menaikkan presentase golput pada pemilu mendatang.

Sedangkan secara praktis, model power sharing akan dapat menurunkan kualitas demokrasi sekaligus meningkatkan potensi terciptanya otoritarianisme yang disebabkan mengendurnya sistem check and balance mengingat kekuatan pihak oposisi akan semakin melemah dengan bergabungnya Prabowo dan Gerindra dalam poros kekuasaan Jokowi.

Idealnya, rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo janganlah sampai menghapus fragmentasi-diametrikal politik yang ada. Biarlah tetap demikian. Hanya ahlak demokrasi, etiket, dan etika berpolitiknya saja yang perlu diperbaiki. Konkretnya, jangan lagi ada rasa kebencian, permusuhan dan narasi-narasi politik yang memecah belah kerukunan dan persatuan bangsa hanya karena perihal perbedaan posisi politik.

Kedepan, perbedaan posisi politik harus diejawantahkan dengan hal-hal yang bersifat konstruktif, misalnya mengkanalisasi nilai-nilai substantif demokrasi, menggali dan menguji gagasan progresif untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, serta mengawal jalannya kekuasaan roda pemerintahan dari oligarki dan otoritarianisme. 

Pada prinsipnya, demokrasi yang sehat membutuhkan adanya dua kutub kekuatan politik yang berseberangan agar terbentuk sistem check and balance yang kuat dan ruang ekosistem demokrasi yang memadai. Semoga rekonsiliasi politik demikianlah yang dipilih oleh Jokowi dan Prabowo. Konkretnya, rekonsiliasi politik harus bermuara pada terjaganya entitas demokrasi yang sehat.

Esensi Rekonsiliasi Politik

Secara praksis, sebagaimana saya jelaskan diatas bahwa makna dari pada rekonsiliasi politik sendiri adalah terjalinnya komunikasi politik yang baik antara dua kutub kekuatan politik guna meleburkan titik didih politik sekaligus menciptakan kesejukan suasana kebathinan kebangsaan.

Pasca pemilu yang menyebabkan tensi politik memanas, tidak dapat dipungkiri bahwa riak-riak dis-harmonisasi dan narasi kebencian antar golongan masyarakat masih berkelindan dalam ruang sosial dan entitas konsolidasi kewargaan kita. Untuk itu, esensi hadirnya rekonsiliasi politik sendiri adalah sebagai sarana menetralisir riak-riak dis-harmonisasi dan kebencian antar masyarakat guna terwujudnya harmoni kebangsaan dalam nafas persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam negara demokrasi, persatuan dan kesatuan bangsa adalah modal sosial-politik yang sangat penting guna menjaga eksistensi negara dan mendorong terwujudnya kemaslahatan bangsa. Persatuan dan kesatuan akan menyemai spirit konsolidasi masyarakat untuk bahu membahu berkontribusi positif bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa ini. Dapat disederhanakan bahwa pondasi untuk menjaga eksistensi dan memajukan sebuah negara adalah dengan terdapatnya pesatuan dan kesatuan bangsa.

Salah satu tokoh besar dunia, Abraham Lincoln bahkan menyebut bahwa sebuah bangsa yang terpecah dari dalam niscaya tidak akan pernah tegak berdiri. Ucapan Abraham Lincoln tersebut bermakna selama persatuan dan kesatuan tidak bisa mawujud dalam ruang internal sebuah bangsa. Niscaya, bangsa tersebut tidak akan pernah mampu berdiri sebagai sebuah bangsa yang besar dan sejahtera.

Apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln diatas hendaknya kita jadikan bahan renungan dan refleksi bersama guna memperbaiki entitas persatuan dan kesatuan kebangsaan kita yang sedikit koyak karena efek persaingan tampuk kekuasaan dalam pemilu.

Asa untuk merajut kembali harmonisasi kebangsaan selepas pemilu tentunya melalui rekonsiliasi politik, sebagaimana saya jelaskan diatas. Namun rekonsiliasi politik di kalangan elite saja niscaya tidak akan mampu menyebar luas hingga golongan akar rumput tanpa adanya peran sumbangsih dari para pihak-pihak influencer atau opinion maker yang secara empiris memiliki pengaruh besar dalam dinamika sosial kehidupan masyarakat.

Pihak-pihak yang dapat menjadi influencer adalah pers, tokoh agama, tokoh sosial, tokoh adat, dan akademisi. Pihak-pihak tersebut adalah opinion maker yang dapat membawa pengaruh besar dalam membentuk presepsi dan pandangan masyarakat khususnya di kalangan akar rumput.

Artinya, persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh selepas pemilu hanya bisa mawujud jika rekonsiliasi politik di kalangan elit dibarengi dengan adanya upaya-upaya dari para opinion maker untuk menghembuskan narasi-narasi kesejukan dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa sendiri merupakan modal sosial-politik sebagai pondasi menjaga eksistensi negara, membangun demokrasi, dan mendorong terwujudnya kemaslahatan bangsa.

Oleh karena itu, marilah kita bersama dengan spirit gotong royong dan cita bernegara yang luas selalu memiliki idealisme untuk menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa diatas segalanya. Kontestasi politik harus kita konstruksikan sebagai sarana guna membawa perubahan ke arah yang lebih baik bukan malah sebaliknya, justru kita ejawantahkan guna membawa perpecahan dan dis-harmonisasi kebangsaan kita.

Mari bersatu dalam harmoni dengan balutan nafas Pancasila dan bhinneka tunggal ika. Mari bersama-sama kita menjaga, merawat dan membangun bangsa ini dengan spirit persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak ada kata perpecahan dan permusuhan. Karena kita adalah Indonesia.


“Kedewasaan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari bagaimana cara mereka dalam menghargai dan menghormati adanya sebuah perbedaan namun lebih jauh adalah bagaimana cara mereka dalam menyikapi serta mengejawantahkan perbedaan-perbedaan yang ada (termasuk perbedaan politik) guna membawa kemaslahatan dan tamansari kebahagiaan bagi entitas kehidupan kebangsaan bersama”.


Jumat, 23 Agustus 2019

SUPORTER ADALAH NYAWA SEBUAH KLUB


Klub sepak bola adalah sebuah sistem yang eksistensinya digerakkan oleh kinerja beberapa sub-sistem, salah satunya suporter.

Suporter sendiri memiliki 3 peran penting bagi eksistensi sebuah klub sepak bola. Pertama, peran moril. Secara harfiah-normatif, suporter memiliki peran utama untuk mendukung klub kesayangannya berlaga baik di laga kandang maupun tandang. Di sinilah peran moril suporter bagi klub kesayangannya ditunaikan.

Kedua, peran materil. Peran materil dapat mengejawantah secara langsung melalui pembelian tiket pertandingan/marchendise untuk mendongkrak neraca keuangan klub. Bisa juga terejawantah secara tidak langsung dimana peran suporter akan berimbas dan menentukan daya tawar atau nilai jual klub di mata investor/sponsor.

Di era industrialisasi sepak bola dimana setiap klub profesional wajib berbentuk PT (Perseroan Terbatas), maka melahirkan tanggungjawab logis bagi klub untuk mencari sumber keuangan klubnya secara mandi lepas dari APBD.

Dahulu (ketika masih memakai APBD) prestasi sebuah klub akan sangat ditentukan oleh "kepedulian" kepala daerah dan DPRD melalui gelontoran dana APBD. Maka tak heran, dibalik kesuksesan klub-klub di Indonesia sebelum adanya pelarangan APBD pasti ada peran menonjol kepala daerah atau anggota dewan (DPRD) dibelakangnya.

Namun pada era industrialisasi sepak bola (tanpa APBD) maka, prestasi sebuah klub akan sangat ditentukan oleh seberapa profesional sebuah klub dalam membranding dirinya agar memiliki nilai jual ekonomis yang tinggi. Terkait nilai jual ekonomis inilah suporter memiliki peran potensial dalam mendongkrak daya tawar klub di mata investor/sponsor.

Dengan kata lain, klub yang memiliki basis suporter fanatis, masif, dan militan tentunya akan lebih memiliki nilai jual ekonomis tinggi di mata investor/sponsor. Dan hal ini tentunya akan memiliki implikasi strategis baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap prestasi maupun eksistensi sebuah klub.

Ketiga, peran konstruktif, yang terbagi dalan dua dimensi. Pertama, dimensi internal, yakni peran konstruktif suporter terkait sikap kritis dalam mengawal kebijakan klub agar kebijakan klub senantiasa berafiliasi dan bermuara pada terwujudnya iklim sepak bola yang profesional dan berprestasi. Kedua, dimensi eksternal, yakni sikap kritis yang dilakukan suporter untuk menjaga eksistensi klub kesayangannya maupun entitas persepakbolaan pada umumnya yang ditujukan terhadap pihak-pihak diluar organisasi klub misalnya kepada PSSI sebagai pemangku kebijakan sepak bola di Indonesia. Contoh praksisnya, adanya gerakan masif (unjuk rasa, aksi, protes dll) dari organisasi suporter untuk mendorong PSSI agar lebih profesional dalam menyelenggarakan liga.

Suporter Nyawa Sebuah Klub

Berdasarkan tiga konstuksi peran yang dimiliki oleh suporter diatas, maka saya memiliki keyakinan bahwa suporter sejatinya adalah nyawa bagi sebuah klub.

Saya adalah orang yang meyakini dan percaya bahwa kekuatan sebuah klub sepak bola itu ada pada suporternya. Dengan kata lain, suporter adalah nyawa bagi eksistensi sebuah klub.

Hal ini bermakna bahwa klub yang memiliki suporter fanatik dan masif akan memiliki bergaining position kuat di mata investor dan sponsor (terkait sumber pendanaan), hingga pemangku kebijakan dalam hal ini PSSI (terkait kebijakan) untuk mendukung eksistensi diri.

Ambil contoh sederhana, seandainya Persebaya tidak memiliki bonek, apakah Persebaya masih bisa eksis hingga saat ini ?. Di tahun-tahun "mati surinya" Persebaya, Boneklah yang begitu gigih dan militan melakukan perlawanan (menuntut keadilan) pengembalian status Persebaya. Jika tidak ada Bonek, maka dapat dipastikan akan terasa lebih mudah bagi tangan-tangan jahat di sekup pemangku kebijakan untuk "melenyapkan" Persebaya mengingat tidak adanya resistensi secara masif dan militan. Peran yang dilakukan oleh Bonek tersebut merupakan wujud dari pengejawantahan peran konstruktif suporter dengan dimensi eksternal.

Contoh berikutnya, klub-klub yang tidak memiliki basis suporter kuat pada akhirnya banyak yang gulung tikar, merger, atau bergonta-ganti nama dan home base hanya demi "memiliki" suporter. Hal ini dapat terjadi lantaran klub yang miskin suporter akan memiliki nilai jual dan daya tawar rendah di mata investor/sponsor, dimana hal ini tentunya akan memiliki ekses negatif bagi sumber pendanaan klub untuk bisa terus eksis di kerasnya belantika persepakbolaan nasional.

Dua contoh diatas setidaknya dapat menjadi dasar pembenar bahwa kekuatan klub sepak bola itu ada pada suporternya. Suporter adalah nyawa bagi eksistensi sebuah klub melalui tiga peran pentingnya yakni peran moril, peran materil, dan peran konstruktif.

Pemain, pelatih, manajemen bisa datang dan pergi silih berganti. Namun selama masih ada suporter yang fanatis, masif dan militan. Eksistensi sebuah klub sepak bola niscaya akan terus bisa survive.






Sabtu, 17 Agustus 2019

INDONESIA NEGARA "BUKAN-BUKAN"


Gus Dur dalam suatu kesempatan pernah menyebut Indonesia sebagai negara yang "bukan-bukan". Kelakar Gus Dur tersebut dilatarbelangi karena spektrum dimensi ketatanegaraan Indonesia yang tidak jelas dalam meletakkan posisi.

Indonesia bukan negara agama namun juga bukan negara sekuler. Indonesia bukan negara liberal namun juga bukan negara sosialis. Indonesia bukan negara berpaham individualis namun juga bukan negara berpaham kolektif. Indonesia bukan negara hukum dengan tradisi civil law namun juga bukan negara hukum dengan tradisi common law.

Di sisi lain, Prof Mahfud MD menyebut Indonesia sebagai negara prismatik atau negara jalan tengah. Negara prismatik sendiri menurut Fred W. Riggs adalah negara yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai dimensi nilai yang sejujurnya memiliki posisi diametris.

Konsepsi negara prismatik tersebut menurut saya setidaknya mengejawantah dalam 3 hal:

Pertama, negara Indonesia memadukan substansi nilai yang baik antara paham individualisme (liberal) dan paham kolektivisme (sosialis). Manusia tetap di akui memiliki hak asasi dan kebebasan pribadi namun di sisi lain manusia juga memiliki kewajiban asasi sebagai mahluk sosial yang tunduk pada norma, hukum, dan konstitusi demi terjaganya harmoni dan kepentingan kolektiv dalam pri-kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kedua, negara Indonesia mengintegrasikan konsep negara hukum rule of law yang menekankan pada keadilan (common law) dan konsep negara hukum rechtstaat yang menekankan pada kepastian hukum (civil law). Negara Indonesia berdasarkan pada hukum formal yang di bentuk oleh negara namun di sisi lain negara juga mengakomodasi hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

Ketiga, negara Indonesia menganut paham religious nation state. Tidak dikendalikan oleh satu agama saja (bukan negara agama) tetapi, di sisi lain negara Indonesia juga bukan hampa agama (karena bukan negara sekuler). Spiritualitas dan religiusitas adalah nafas dalam entitas dan relasi kebangsaan kita. Mengingat sila pertama Pancasila berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Demikianlah negara Indonesia. Negara unik yang mampu mengambil nilai kompromistis dalam berbagai segi dan dimensi ketatanegaraan.

74 tahun sudah negara "bukan-bukan" ini merdeka secara fisik. Namun kemerdekaan substansial belum jua mengejawantah dalam pri-kehidupan kebangsaan kita. Kemiskinan dan ketimpangan sosial masih kental terasa. Hukum dan keadilan masih jauh panggang dari api. Kohesifitas sosial mudah renggang oleh hal-hal yang bersifat identitas-politis, budaya dan kepribadian bangsa mulai tergerus oleh arus globalisasi.

Oleh karenanya, ada empat hal yang perlu di bangun (restorasi) secara integral demi mewujudkan kemerdekaan substansial.

Pertama, pembangunan bidang ekonomi sebagai landasan guna mewujudkan kesejahteraan material bagi rakyat.

Kedua, pembangunan bidang hukum sebagai panglima dalam mewujudkan ketertiban dan optimalisasi bidang-bidang kehidupan negara lainnya.

Ketiga, pembangunan bidang budaya sebagai pengendapan nilai dan karakter budaya Indonesia sebagai dasar internalisasi nilai dan ciri khas keindonesiaan dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keempat, pembangunan bidang sosial dan politik, sebagai platform kebijakan dalam menjaga integrasi keindonesiaan nan majemuk dan dinamika ketatanegaraan yang kompleks.

Pada prinsipnya, keempat bidang tersebut harus di bangun secara integral guna mampu bekerja fungsional dan optimal dalam rangka mewujudkan kemerdekaan substansial (kemerdekaan ekonomi, budaya, hukum, dan sosial-politik).

Pembangunan bidang ekonomi, budaya, hukum, dan sosial-politik sendiri tentunya membutuhkan sumbangsih peran secara kolektif (gotong royong) oleh semua elemen bangsa yang tentu di sesuaikan dengan peran, porsi, dan posisinya masing-masing.

Maka dari itu, mari kita bersama-sama (sesuai peran, porsi dan posisi) menyemai semangat gotong royong dalam membangun bangsa ini guna meraih kemaslahatan kolektif. Adil, makmur, dan sejahtera dalam bingkai Pancasila dan nafas perekat bhinneka tunggal ika.

Dahulu kita dapat merdeka secara fisik lantaran adanya semangat gotong royong dari seluruh elemen bangsa, maka dari itu, saya yakin saat ini pun kita bisa meraih dan mewujudkan kemerdekaan yang hakiki (substantif) asalkan kita mampu merekonstruksi spirit gotong royong sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.

Dirgahayu Indonesia ku. Negara yang "bukan-bukan" namun jelas "bukan" negara sembarangan !!!.




Rabu, 14 Agustus 2019

MEMAKNAI KEMERDEKAAN GUNA MENYEMAI SPIRIT ALTRUISME




Memasuki bulan Agustus, seketika gegap gempita dan keriuhan menghiasi setiap daerah di penjuru Indonesia. Ya, dalam rangka memperingati hari kemerdekaaan negara Indonesia yang jatuh di bulan Agustus tepatnya tanggal 17 Agustus, setiap daerah di penjuru Indonesia “sibuk” dengan kemeriahannya masing-masing dalam menyambut dan memperingati hari kemerdekaan bangsa ini.

Memasuki tanggal 1 Agustus biasanya bendera merah putih sudah berdiri kokoh di depan rumah para warga. Lingkungan perumahan dan kampung juga mulai di tata dengan ornamen-ornamen khas kemerdekaaan. Selanjutnya lomba-lomba 17-an baik untuk kalangan dewasa, remaja, hingga anak-anak mulai diselenggarakan. Dapat di katakan, nuansa kebersamaan dan semangat gotong royong terasa begitu kental dan mengejawantah secara nyata dalam entitas kehidupan sosial masyarakat.

Atau dalam pengertian lain, dapat di konkretisasi bahwa peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus “telah” mampu mendorong terwujudnya soliditas dan kerukunan dalam tata kehidupan masyarakat. Hal ini tentunya memberikan efek positif bagi konstruksi kebangsaan dan relasi kohesifitas sosial masyarakat.

Namun sebagaimana yang sudah lazim terjadi, biasanya setelah melewati bulan Agustus, soliditas, kerukunan, kebersamaan dan semangat gotong royong dari para warga masyarakat relatif akan memudar. Menurut hipotesis saya, hal ini dapat terjadi lantaran peringatan (pemaknaan) hari kemerdekaan cenderung hanya dimaknai sekadar perayaan simbolistik dan kemeriahan sesaat. Tidak mampu mengendapkan apa yang di namankan spirit altruisme yakni spirit kebajikan untuk memberikan kontribusi konstruktif bagi entitas kemanusiaan dan harmoni kebangsaan yang relatif memiliki daya dan jangka waktu lebih lama.

Lebih lanjut, minimnya pengendapan spirit altruisme sendiri pada dasarnya merupakan imbas dari pandangan warga masyarakat dalam memaknai kemerdekaan yang relatif masih sekadar pakem pada nilai tradisional-simbolistik (memeriahkan) belum membumi pada nilai substansi (kontemplasi).

Saya tidak sedang berkata bahwa perayaan simbolistik kemerdekaan itu salah namun perayaan simbolistik tanpa menggali makna dan substansi dari pada hakikat kemerdekaan saya rasa kurang tepat. Kurang tepat tentunya berbeda dengan salah ya. Ketika (peringatan) kemerdekaan terpaku pada perayaan simbolistik, maka energi kebangsaan dan soliditas kewargaan hanya bersifat insidentil dan sporadis sehingga hanya menghasilkan kemeriahaan sesaat sedangkan ketika (peringatan) kemerdekaan dapat dimaknai secara substantif, maka energi kebangsaan dan soliditas kewargaan relatif akan bersifat langgeng sekaligus mampu memunculkan spirit altruisme.

Spirit altruisme dalam konteks relasi antara warga negara dengan negara ditandai dengan adanya awareness dari warga negara guna memberikan kontribusi yang konstruktif dalam rangka menjaga keutuhan dan mendorong kemajuan negara. Adanya kesadaran untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Adanya kesadaran untuk menempatkan kepentingan kolektif di atas kepentingan individu. Konkretnya, warga negara yang memiliki spirit altruisme secara sadar (alamiah) akan menempatkan persatuan dan keutuhan bangsa di atas hasrat oportunitas dan sikap individualistis yang di balut dengan nalar kebangsaan untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara.

Dengan demikian, spirit altruisme sejatinya dapat menjadi energi kebangsaan yang mangkus guna membangun tata kehidupan bernegara yang lebih baik. Spirit altruisme akan mampu menekan perilaku koruptif dan individualistis, spirit altruisme akan mampu mendorong semangat nasionalisme dan patriotisme, spirit altruisme akan mampu meningkatkan partisipasi politik warga negara dsb. Pada intinya, spirit altruisme dapat menjadi bahan bakar energi untuk mewujudkan kemajuan peradaban dan kemaslahatan bangsa.

Maka dari itu, peringatan (pemaknaan) kemerdekaan kedepan hendaknya mampu di ejawantahkan dan dimaknai secara lebih substantif (kontemplasi) meski tanpa meninggalkan perayaan simbolistiknya. Apasih hakikat peringatan kemerdekaan. Apasih fungsi kemerdekaan. Apasih yang harus kita lakukan guna menghargai jasa pahlawan yang telah gugur demi memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu hendaknya harus direnungkan kemudian di jawab melalui tindakan nyata dengan munculnya spirit altruisme.

Bagaimana Menciptakan Spirit Altruisme ?

Menurut teori evolutionary psychology, spirit altruisme akan mudah di ciptakan jika tercipta sebuah karakteristik yang sama. Namun saya kira, teori demikian hanya akan merestriksi ruang bagi tumbuhnya spirit altruisme. Jika menggunakan pendekatan teori evolutionary psychology, maka spirit altruisme hanya akan menjalar pada sekup sosial yang sempit meliputi sekup genealogis dan sekup pimordial saja, tidak mampu menjangkau sekup yang lebih luas dalam konteks kemajemukan sosial. Terlebih Indonesia adalah negara multikultural dengan tingkat kemajemukan sosial yang tinggi.

Lalu bagaimana menciptakan spirit altruisme secara lebih luas khususnya dalam konteks memaknai kemerdekaan. Menurut hemat saya ada tiga hal yang perlu di tekankan dalam rangka membumikan spirit altruisme. Pertama, mengenal sejarah dan fakta-fakta historis mengenai berdirinya negara Indonesia secara lebih komprehensif. Hal ini penting guna memupuk rasa nasionalisme (sebagaimana kredo "tak kenal maka tak tayang"), membakar semangat patriotisme (menebar inspirasi), dan mengendapkan awareness akan tanggungjawab (bahan pembelajaran) baik secara moral, sosial, maupun individual untuk menjaga dan bersumbangsih positif bagi kemajuan bangsa dan negara ini. Sumbangsih apa yang dapat di berikan, tentu secara sederhana ialah berbuat yang terbaik atas profesi yang kita geluti, kemudian memupuk idealisme untuk mengutamakan persatuan dan kesatuan dari pada hasrat pribadi dan kepentingan pragmatis, serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum maupun norma-norma sosial lain yang dapat berimbas pada instabilitas sosial.

Kedua, mengamalkan dan meningkatkan pemahaman akan Pancasila. Nah, salah satu kunci guna menyemai spirit altruisme agar dapat membumi di bumi pertiwi adalah dengan mengamalkan dan meningkatkan pemahaman akan Pancasila secara lebih mendalam. Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia (volkgeist) yang di dalamnya tertanam spirit altruisme yang seharusnya benar-benar di jiwai oleh segenap masyarakat Indonesia baik penguasa, pejabat, insfrastuktur politik hingga rakyat biasa. Oleh karenanya, secara das sollen segala pri-kehidupan bangsa Indonesia harus berdasar dan mencerminkan karakter dari nilai-nilai Pancasila. Produk hukum, budaya politik, budaya sosial, budaya ekonomi, relasi warga negara, dan lainnya harus mengejawantahkan nilai praksis dari pada Pancasila.

Terkait pemahaman Pancasila secara lebih mendalam (substansial) inilah yang saya kira kurang mengejawantah dalam tata kehidupan negara Indonesia. Baik dalam bidang ekonomi, hukum, sosial, budaya, hingga politik. Hal ini berimplikasi pada rendahnya implementasi semangat altruisme yang merupakan jiwa dari Pancasila.

Ketiga, mewujudkan keteladanan pemimpin. Saya percaya bahwa spirit altruisme akan dapat membumi di bumi pertiwi jika terwujudnya keteladanan pemimpin baik pimpinan dari sekup sosial yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Ketika keteladanan pemimpin dapat mengejawantah tentu hal ini akan memiliki implikasi strategis dalam rangka memperluas ruang praksis spirit altruisme.

Oleh karenanya, pemaknaan (peringatan) kemerdekaan seharusnya tidak sekadar terfokus pada perayaan simbolistis semata namun di sisi lain juga harus mampu menggali makna dan arti kemerdekaan itu sendiri. Dalam konteks ini, kemerdekaan harus dimaknai guna menyemai spirit altruisme yang dapat di ciptakan melalui tiga hal. Pertama, mengenal sejarah dan fakta-fakta historis mengenai berdirinya negara Indonesia secara lebih komprehensif. Kedua, mengamalkan dan meningkatkan pemahaman akan Pancasila. Ketiga, mewujudkan keteladanan pemimpin.

Ketiga hal inilah yang menurut saya seharusnya di perkuat dalam rangka memaknai kemerdekaan negara ini. Karena jika ketiga hal tersebut mampu diwujudkan (secara kolektif dan integral) tentunya spirit altruisme akan dapat membumi secara masif di bumi pertiwi sebagai energi kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan dan tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea II dan IV.

Akhir sekali, kembali saya tegaskan bahwa memaknai kemerdekaan secara simbolistik dan kemeriahan tidak pernah salah, namun menjadi kurang tepat jika hal demikian itu mengesampingkan hakikat dan makna substansi dari pada kemerdekaan. Yakni menciptakan energi kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi kita.


Selasa, 13 Agustus 2019

PUISI: SENJA


Raga ku terbalut senja.
Berteman teduhnya deru ombak.
Beserta perahu-perahu yang bersandar lirih.
Langit jingga berhias burung camar.
Menanti mentari sirna di pelupuk waktu.

Kemilau senja semakin redup.
Senyap kian merayap.
Sepi hening menyelinap.

Raga ku mengais sisa-sisa terang.
Sebelum terbenam dalam malam temaram nan panjang.