Rabu, 29 Januari 2020

PUISI: ZIARAH RINDU


Aku berziarah ditempat pertama kali menatapmu tajam. 

Tempat di mana rasa itu sayup-sayup mengendap di hatiku.

Tanpa setangkup bunga, hanya untaian rindu. Aku mengais belantara kenangan ditempat ini.

Sembari meneteskan pilu. Mengingat riak memori indah masa lalu.

Waktu kini telah memisahkan jiwa kita.

Rasa cinta juga sudah raib dalam hati kita.

Namun tempat ini masih menyimpan rasa rindu nan dalam. Bukan tentang kamu. Juga bukan tentang kita.






Selasa, 28 Januari 2020

NASKAH PIDATO SISWA SEKOLAH DASAR: MELAWAN KORUPSI


Asalamualaikum Wr Wb

Yang saya hormati bapak dan ibu guru serta teman teman yang saya banggakan.

Indonesia adalah negara hebat. Negara yang memiliki potensi besar baik sumber daya alam dan sumber daya manusia. Namun sayangnya, Indonesia kita tercinta belum mampu menjadi negara maju dengan segala potensi besar yang dimilikinya. Salah satu penyebabnya adalah korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Kejahatan yang memiliki dampak buruk bagi segala bidang kehidupan negara. Korupsi membuat pertumbuhan ekonomi mandek. Korupsi membuat dana pendidikan dan kesehatan tidak teralokasi optimal kepada masyarakat. Korupsi membuat pembangunan infrastruktur tidak berjalan sebagaimana mestinya. Korupsi membuat rakyat semakin sengsara.

Titik tekan yang ingin saya sampaikan disini bahwa korupsi adalah kejahatan luar bisa yang menjadi musuh kita bersama. Oleh karenanya, harus kita lawan pula secara bersama-sama sesuai dengan peran dan porsi kita masing-masing. Dalam konteks penegakan hukum biarlah pemberantasan korupsi menjadi otoritas pihak penegak hukum. Sedangkan porsi dan peran kita sebagai siswa dan siswi sekolah dasar adalah bagaimana menjauhi perilaku-perilaku koruptif sejak dini. Misalnya bersikap jujur, bekerja keras, dan selalu mendekakatkan diri kepada Allah. Hal tersebut penting untuk menjaga dan membentengi diri kita dari perilaku keji termasuk perbuatan-perbuatan koruptif.

Akhir sekali saya menghimbau sekali lagi bahwa korupsi adalah musuh kita bersama. Mari lawan korupsi secara bersama-sama sejak dini, bisa dengan hal-hal yang bersifat sederhana. Misalnya bersikap jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Mari lawan korupsi. Korupsi adalah musuh bangsa.

Wasalamualaikum Wr Wb


Senin, 27 Januari 2020

BELAJAR HIDUP DARI KEHIDUPAN


Kepergian seseorang pasti meninggalkan bahan pembelajaran hidup. Begitupun juga dengan kepergian salah satu legenda terbesar NBA, Kobe Bryant.

"Kobe Bryant cepat tapi tidak secepat itu, dia kuat tapi tidak sekuat itu. Intinya banyak yang lebih berbakat dari dia, namun saya tak heran dia bisa lebih sukses dan dapat menjelma sebagai salah satu pemain NBA terbesar sepanjang sejarah. Kobe memiliki ambisi dan jiwa kompetitif yang luar biasa". Tutur Garry Vitty eks pelatih fisik Lakers.

Kisah hidup Kobe Bryant (selama berkarir) semakin menyakinkan saya bahwa energi yang membuat kita dapat sampai pada titik yang ingin kita tuju adalah ambisi dan mimpi bukan bakat dan potensi.

Anda tentu tau Bambang Pamungkas (Bepe) ?. Dengan bakat teknis pas-pasan sebagai pesepakbola, nyatanya seorang Bepe mampu menjadi top skor dan mengoleksi caps terbanyak timnas Indonesia sepanjang masa. Soal bakat teknisnya yang pas-pasan sebagai pesepakbola bahkan diamini sendiri oleh pemain yang identik dengan nomor punggung 20 tersebut.

Kalau dilihat dari bakat dan potensi tentunya banyak pemain sepak bola di Indonesia yang lebih berbakat dan potensial dari Bepe bukan ?. Bepe menyatakan kunci suksesnya adalah kepercayaan diri, keyakinan dan ambisi. Serta bagaimana membangun hubungan dan kultur profesional baik didalam maupun diluar lapangan.

Anda tau Cristiano Ronaldo ?. Hampir semua orang tentunya mengamini bahwa bakat Cristiano Ronaldo jauh berada dibawah bakat Ronaldo Nazario Brazil. Namun, fakta berbicara. Cristiano Ronaldo mampu menjadi pemain terbaik dunia 5 kali sedangkan Ronaldo Nazario "hanya" 3 kali. Etos dan kerja keras Cristiano Ronaldo nampak lebih menggigit dan berhasil dari pada bakat luar bisa Ronaldo Nazario yang dikenal indisipliner dan gemar dugem.

Belajar Kehidupan

Hal diatas hanyalah contoh kecil saja bahwa bakat dan potensi bukanlah kunci sukses utama dalam hidup. Justru mimpi dan ambisilah yang memegang peranan penting.

Saya banyak belajar dari kehidupan di sekeliling saya, dari orang-orang dekat, dan teman-teman saya bahwa bakat dan potensi besar saja tidak cukup.

Banyak orang-orang di sekitar saya yang sebenarnya memiliki bakat dan potensi besar (dibidangnya masing-masing) namun terhempas oleh cobaan dan godaan duniawi. Mereka karam karena tidak memiliki mimpi dan ambisi yang tinggi. Mereka layu sebelum berkembang karena tidak memiliki energi dan kanal kehidupan yang kokoh.

Mimpi dan ambisi memiliki dua peran penting dalam hidup. Pertama, sebagai kanal. Sebagai alat pencegah kita dari hal-hal negatif yang bisa menggagalkan kita dalam mencapai tujuan hidup yang ingin kita capai.

Kedua, sebagai stimulator. Sebagai suntikan energi, gairah, dan hasrat. Yang kemudian mengejawantahkan dalam wujud etos dan kerja keras. Etos dan kerja keras pada akhirnya membuat kita hanya berjarak 1 cm dari kesuksesan dan keberhasilan.

Akhir sekali. Belajarlah hidup dari kehidupan. Karena kehidupan pada hakikatnya adalah sumber ilmu terbesar di dunia ini. Barangsiapa bisa belajar dari kehidupan maka kehidupan akan berpihak padamu. Itu adalah joke yang selalu saya yakni.

Percuma banyak membaca buku kalau tidak bisa membaca kehidupan

#RIPKobe




BELAJAR KEHIDUPAN DARI TOTTI


Dalam kehidupan, setiap manusia pasti selalu terobsesi pada kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sebuah entitas kehidupan yang selalu dikejar oleh manusia di dunia ini. Sayangnya, sebagian besar manusia cenderung mengartikulasikan makna kebahagiaan hanya sebatas nilai fisik dan materi.

Di berbagai bidang kehidupan, kebahagiaan selalu identik dengan harta, prestasi, pencapaian, hingga kememawahan. Namun, pada sisi kehidupan lain, ada sebagian kecil manusia yang mengejawantahkan arti kebahagiaan kepada hal-hal yang bersifat non-materi. Tidak melulu tentang fisik dan materi. Bagi mereka, kebahagiaan sejati adalah tentang cinta, gairah, kenyamanan, dan dedikasi.

Bagi saya pribadi, justru sosok-sosok seperti itulah yang mampu memberi nilai sakral terhadap arti dan makna kebahagiaan. Mereka tidak mengkerdilkan arti dan makna kebahagiaan sebatas nilai fisik dan material. Hal ini sejalan "fatwa kehidupan" bahwa kebahagiaan memang tidak semata-mata soal kepuasan ragawi tetapi juga tentang kepuasan hati.

Dalam ranah teologis Islam, hakikat kebahagiaan adalah aktualisitas dari rasa syukur atas karunia kehidupan. Kebahagiaan adalah hasil dari bagaimana kita mensyukuri karunia hidup bukan tentang akumulasi dan kuantitas dari karunia hidup itu sendiri.

Dengan kata lain, seberapa besar kebahagiaan yang bisa kita dapat dalam kehidupan tergantung dari bagaimana kita mensyukuri kehidupan ini.

Belajar Dari Totti

Sudah saya singgung diatas bahwa ada sebagian kecil manusia yang mengejawantahkan arti dan makna kebahagiaan kepada hal-hal yang bersifat non-materi seperti cinta, kenyamanan, gairah, dan dedikasi. Salah satu sosok langka itu adalah Fransesco Totti. Ya, Totti pesepakbola eks timnas italia dan eks kapten sekaligus legenda termahsyur giallorosi AS Roma.

Totti adalah sosok langka dalam dunia sepak bola. Totti adalah bagian dari sebagian kecil pesepakbola yang bisa meletakkan values diatas materi. Goresan perjalanan karir Totti dalam dunia sepak bola dapat memberikan nilai pembelajaran hidup yang universal. Tidak hanya sebatas pada dunia yang digelutinya (sepak bola), tetapi juga bisa menembus dimensi kehidupan yang lebih luas. Yakni kehidupan itu sendiri.

Ada dua nilai kehidupan yang dapat dipetik dari seorang Totti. Nilai memaknai kebahagiaan dan nilai menjaga kesetiaan. Dua nilai tersebutlah yang saya kira sangat menonjol dalam 20 tahun karir sepak bolanya.

Perlu dipahami, sepak bola adalah bidang kehidupan yang identik dengan 3 hal. Materi, prestasi, dan popularitas. Konsekuensi logisnya, sebagian besar pesepakbola tentunya selalu terobsesi dengan ketiga hal tersebut. Pesepakbola selalu ingin bergelimang materi, prestasi, dan popularitas.

Nah disinilah, uniknya seorang Totti. Obsesi Totti dalam sepak bola hanya kepada cinta sejatinya, AS Roma. Sebagai pesepakbola normal, Totti tentunya juga terobsesi dengan prestasi. Hanya saja, prestasi tersebut di mata Totti hanya akan memiliki nilai dan marwah jika diraihnya bersama klub pujaannya, AS Roma. Meraih banyak prestasi tanpa berbaju AS Roma baginya sungguh tiada artinya.

Dari sini dapat kita nilai bahwa kesetiaan Totti kepada Roma adalah karena cinta tak bersyarat. Dari sini dapat kita pahami bahwa makna kebahagiaan bagi seorang Totti tidak sekadar tentang nilai materi, tetapi lebih kepada arti kenyamanan, cinta, ketulusan hati.

Paulo Maldini dan Lionel Messi misalnya, dapat setia dengan AC Milan dan Barcelona adalah sebuah hal yang wajar. Karena AC Milan dan Barcelona sendiri dapat memberikan mereka banyak gelar (prestasi). Tak terhitung deretan gelar, baik gelar domestik maupun gelar di tingkat eropa yang memenuhi CV karir mereka. Materi melimpah dan popularitas juga mereka dapatkan. Wajar tentunya jika mereka memilih setia.

Beda halnya dengan Totti, dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Totti tentunya akan mudah bergabung dengan klub yang dapat memberikannya kesempatan meraih banyak gelar dan materi berlimpah. Banyak klub besar yang meminati Totti. Namun Totti tak bergeming. Bahkan klub sekaya dan sebesar Real Madrid pun harus rela patah hati kepada Totti. Pinangan El Real ditolak oleh sang pangeran Roma.

Banyak lelaki tampan. Banyak lelaki mapan. Namun hanya secuil lelaki yang memiliki kesetiaan. Franseco Totti adalah salah satunnya (termasuk saya tentunya hehe). Seumur hidupnya hanyalah tentang Roma. kebahagiaan hidupnya adalah tentang Roma. Obsesi dalam karir sepak bolanya adalah tentang Roma. Cinta sejatinya. Meski godaan meraih gelar dan gelimang materi dari klub lain selalu datang menggoda, tetap tak mampu membuatnya berpaling dari kota abadi.

Baginya, meraih 1 gelar bersama Roma jauh lebih berarti dari pada meraih 10 gelar bersama klub lain. Baginya, sepak bola tidak sekadar tentang materi dan pencapaian, tetapi lebih dari itu, sepak bola adalah tentang cinta dan dedikasi sepenuh hati.






Kamis, 23 Januari 2020

PSM DAN MEMORI DUA DEKADE

Di awal artikel ini perkenankanlah saya untuk terlebih dahulu mengutarakan alasan mengapa saya begitu mencintai klub PSM Makassar yang notabene merupakan klub yang jauh dari tempat saya lahir dan berdomisili. PSM Makassar adalah klub yang ber-home base di kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan saya lahir, tumbuh, berdomisili di kota Rembang serta kota Semarang, nama terakhir adalah kota tempat saya menimba ilmu di perguruan tinggi.

Hal ini tentunya menjadi fenomena unik, mengingat faktor umum yang menyebabkan seseorang memfavoritkan sebuah klub sepak bola biasanya berkaitan dengan faktor lingkungan sosial dan kedaerahan. Misalnya saja, seorang yang tumbuh dan besar di kota Bandung, maka 99% pasti akan menjadikan Persib Bandung sebagai klub favoritnya. Fenomena ini tentunya jauh berbeda dengan saya, saya yang notabene anak Jawa Tengah justru memfavoritkan sebuah klub yang jauh dari tempat lahir dan domisili saya, yakni PSM Makassar.

Ada dua alasan mengapa saya memfavoritkan PSM Makassar sebagai klub favorit saya di Indonesia. Pertama, alasan sederhana. Hal ini terkait dengan kostum PSM Makassar yang berwarna merah, warna yang melambangkan keberanian dan kejantanan, yang notabene adalah warna favorit saya. Kedua, alasan idealisme. Alasan ini berkaitan dengan nilai dan prinsip sebuah klub, pada titik ini saya menilai PSM Makassar adalah sebuah klub yang memiliki values. Klub yang memiliki relasi kental dengan budaya dan nilai-nilai sosio-kultural masyarkat setempat. Relasi tersebut mengejawantah dalam wujud karakter bermain di lapangan, spirit klub, hingga gaya dukungan suporter yang selalu kental dengan budaya dan nilai-nilai sosio-kultural  masyarakat Makassar. Berani, lugas, pantang menyerah, dan menjunjung tinggi siri’.

Secara historis, PSM Makassar merupakan klub tertua di Indonesia. PSM berdiri sejak tahun 1915 atau saat ini telah berusia 115 tahun. Dalam perjalanannya, PSM beberapa kali mencatat tinta manis dalam catatan sejarah sepak bola nasional. PSM pernah meraih juara perserikatan sebanyak 5 kali (1956/1957, 1958/1959, 1964/1965, 1965/1966, 1991/1992), 1 kali juara liga Indonesia (1999/2000), 1 kali juara piala Indonesia (2018/2019), selain itu, PSM juga tercatat sebagai klub yang meraih gelar runner-up liga Indonesia terbanyak yakni sebanyak 5 kali.

Dengan segala catatan prestasi dan pergumulan historis, dapat dikatakan PSM adalah salah satu klub besar di Indonesia. Klub yang lekat dengan kejayaan dan gelar juara. Sayangnya, sudah dua dekade ini tim Juku Eja belum pernah lagi menggondol gelar juara liga. Memang sih, tahun lalu PSM Makassar berhasil menuntaskan dahaga gelar juara yang telah tertahan 19 tahun lamanya, namun perlu diingat bahwa gelar yang diraih PSM Makassar tahun lalu adalah gelar piala Indonesia bukan gelar liga.

Bagi klub sebesar PSM, 20 tahun puasa gelar juara liga tentunya menggoreskan rasa kerinduan nan mendalam. Tahun ini asa untuk menuntaskan dahaga tersebut terbuka lebar, mengingat PSM memiliki segalanya untuk bertransformasi sebagai kandidat kuat juara. PSM di sokong oleh pengelola yang profesional, di tunjang oleh materi pemain yang berkualitas, dilatih oleh pelatih yang berpengalaman, serta di dukung oleh belasan ribu suporter fanatik.

Memori Dua Dekade

Saat PSM meraih gelar juara liga Indonesia musim 1999/2000, PSM Makassar adalah klub bertabur bintang. Ketika itu skuad Juku Eja merupakan perpaduan dari pemain lokal berkualitas, pemain timnas, dan pemain asing mumpuni.

Skuad juara PSM saat itu berisikan nama-nama seperti, Hendro Kartiko, Aji Santoso, Rony Ririn, Bima Sakti, Kurniawan Dwi Julianto, Ortizan Sallosa, hingga Carlos De Mello. Di bawah komando manajer tim Nurdin Halid dan pelatih Henk Wullem, PSM Makassar menjelma sebagai tim yang mengerikan pada musim itu. Sepanjang musim 1999/2000, PSM Makassar mencatat total 21 kemenangan, 8 seri, dan hanya 2 kali merasakan kekalahan. Mencetak 53 gol dan hanya kebobolan 19 gol.

Sebenarnya musim ini, konstelasi tim yang dimiliki oleh PSM Makassar tak berbeda jauh dengan apa yang dimiliki oleh tim PSM Makassar era 1999/2000. Saat ini, PSM Makassar memiliki CEO “Cinta tak bersyarat” yang total dan loyal Munafri Ariffudin, PSM juga memiliki materi pemain mumpuni perpaduan pemain putra daerah seperti Rasyid Bakri, Hilmansyah, Asnawi Mangkualam, M. Arfan, hingga Abdurahman. Pemain-pemain berlabel timnas seperti Rizki Pellu, Ferdinand Sinaga, Bayu Gatra, hingga Ezra Walian. PSM juga diperkuat pemain asing mumpuni sekaliber Wiljan Pluim, Marc Klok, Husein El Dor, dan Giancarlo Lopes. Di sisi lain. PSM juga memiliki pelatih sarat pengalaman Bojan Hodak serta dukungan militan dari suporternya.

Dengan segala modal diatas, tak berlebihan jika PSM mematok target juara sekaligus mengulang prestasi dua dekade silam. Secara teknis bisa dikatakan PSM cukup mumpuni untuk bersaing memperebutkan juara. Tidak ada masalah.

Problem PSM menurut hemat saya justru terletak pada faktor nont teknis yakni mental juara. Berkaca pada musim lalu, PSM sangat lemah saat bermain tandang. Dari 17 kali laga tandang, PSM hanya mampu mengoleksi 3 poin, tanpa sekalipun meraih kemenangan. Capaian yang tentunya berbanding terbalik ketika PSM Makassar bermain di Stadion Mattoanging, rekor kandang PSM musim lalu adalah 13 kemenangan, 2 kali imbang, dan hanya 2 kali menelan kekalahan.

Oleh karenanya, hal yang harus diperbaiki tim PSM musim ini adalah bagaimana membenahi faktor non teknis yakni membangun mental juara. Salah satu caranya, segenap elemen tim PSM harus mampu menyemai memori juara dua dekade silam sebagai energi dan spirit tim Juku Eja musim ini. Kalau dulu bisa juara mengapa sekarang tidak ?. #EwakoPSM


Senin, 20 Januari 2020

PUISI: CINTA TAK BERSYARAT


Meski dua puluh tahun tanpa gelar juara, cintaku tak bersyarat.

Meski raga kita terpisah oleh selat dan pulau, cintaku tak bersyarat.

PSM Makassar

Juku Eja

Pasuka Ramang

Cintaku padamu tak bersyarat

Walaupun jarak dan waktu memberi sekat jeda.

Doa-doa sunyiku selalu terukir untuk kejayaanmu.



Sabtu, 18 Januari 2020

KASUS NATUNA UTARA BUKAN PERKARA KEDAULATAN NEGARA


Di tengah tingginya curah hujan yang melanda wilayah Indonesia beberapa hari terakhir ini hingga membuat cuaca menjadi sangat dingin, justru berbanding terbalik dengan emosi dan energi sebagian besar masyarakat Indonesia yang beberapa hari terakhir memanas.

Situasi "panas" ini sendiri di picu oleh masuknya kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di laut Natuna Utara atau sering disebut juga laut China Selatan.

Masyarakat Indonesia menilai bahwa kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China tersebut telah lancang memasuki wilayah kedaulatan negara Indonesia. Yang berarti pula telah melecehkan kedaulatan bangsa Indonesia. Hal tersebut sontak memancing emosi masyarakat Indonesia, dimana sebagian besar emosi masyarakat Indonesia nampak di curahkan melalui media sosial.

Maka tak heran beberapa hari terakhir ini, media sosial begitu riuh, membahas kedaulatan Indonesia di laut Natuna Utara yang menurut pemahaman masyarakat umum telah dilancangi oleh China.

Beberapa hari terakhir, paltform media sosial seperti Twitter, Facebook, Whatapps, hingga Instagram pun dipenuhi dengan narasi-narasi resistensi dari masyarakat untuk melawan tindakan arogansi China yang mereka anggap telah lancang memasuki wilayah kedaulatan negara Indonesia.

Bahkan, ada beberapa masyarakat (di status medsosnya) menyatakan siap mengorbankan jiwa dan raganya untuk menjaga kedaulatan laut Natura Utara dari China.

Sekilas dapat kita lihat begitu kentalnya aura nasionalisme dan patriotisme dari para masyarakat Indonesia, meskipun di sisi lain ada juga sebagaian masyarakat Indonesia yang justru “memancing di air keruh” dengan memanfaatkan peristiwa ini untuk kepentingan-kepentingan pragmatis.

Distorsi Pemahaman

Sejujurnya ada distorsi pemahaman yang keliru dari masyarakat dalam menyikapi kasus Natuna Utara. Kasus ini berawal dari masuknya kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China di kawasan laut Natuna Utara yang masuk dalam kawasan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE).

Secara umum, masyarakat Indonesia geram dan mengecam China, karena dianggap telah lancang melanggar kedaulatan Indonesia. Masyarakat pun menyeru kepada pemerintah untuk bertindak tegas menegakkan kedaulatan negara di laut Natuna Utara demi tegaknya harga diri dan martabat bangsa.

Namun, ditinjau dalam perspektif hukum internasional, UNCLOS tahun 1982 yang mana telah diratifikasi oleh Indonesia dan China. Persoalan Natuna Utara ini sebenarnya bukan perkara kedaulatan negara tetapi hak berdaulat. Beda ya. Perlu diketahui, kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China bergerak di kawasan Zona Eksklusif Ekonomi (200 mill) bukan laut teritorial (12 mill).

Zona Eksklusif Ekonomi menurut UNCLOS 1982 berkaitan dengan hak berdaulat (sovereign right), yakni hak eksklusif negara pantai untuk mengelola sumber daya alam di wilayah tersebut. ZEE tidak berada di laut teritorial melainkan di laut lepas, yang mana sebuah negara tidak berdaulat penuh, sehingga tidak berhak menegakkan kedaulatan.

Sedangkan laut teritorial, adalah kawasan sejauh 12 mill dari garis pantai terluar negara pantai, dimana negara memiliki kedaulatan penuh (sovereign). Di dalam wilayah laut teritorial, negara berkuasa penuh untuk menegakkan kedaulatannya.

Jadi, dapat dipahami bahwa masuknya kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China di wilayah Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia, tepatnya di laut Natuna Utara, menurut perspektif hukum internasional (UNCLOS 1982) bukanlah sebuah pelanggaran terhadap kedaulatan negara melainkan pelanggaran terhadap hak berdaulat. Perlu dipahami bahwa kedaulatan dan hak berdaulat merupakan dua hal yang berbeda.

Pada prinsipnya, friksi di laut Natuna Utara yang melibatkan Indonesia dan China harus di selesaikan. Bisa melalui pendekatan persuasif-diplomatis, namun pendekatan ini saya kira akan mengurangi kewibawaan bangsa dan juga menciderai emosi psikologis-sosial masyarakat yang berharap negara tidak "lembek" terhadap China.

Pendekatan kedua adalah pendekatan represif. Pendekatan represif disini sebatas penegakan hukum bukan penegakan kedaulatan. TNI AL harus turun tangan, namun sekali lagi, bukan untuk menegakkan kedaulatan, tetapi sebatas menegakkan hukum. Perlu dipahami, penegakan hukum dan penegakan kedaulatan memiliki kualifikasi dan implikasi hukum yang berbeda.

Senin, 06 Januari 2020

PUISI: MENULIS ADALAH CANDU


Saat raga ku masih beraroma matahari
Lusuh berkalang tanah  
Sepak bola adalah candu

Ketika usia ku beranjak remaja
Mencari sekeping jati diri
Judi adalah candu

Saat masa dewasa tiba
Rasa haus ilmu menyala
Menulis adalah candu

Menulis menjelma sebagai kebutuhan biologis
Obat mangkus energi nyawa

Menulis lagi-lagi adalah candu
Tidak sekadar menuangkan gagasan
Mempraksiskan pikiran
Lebih dari itu

Menulis adalah orgasme jiwa
Hasrat terukir sepanjang usia





Jumat, 03 Januari 2020

2020: REFLEKSI KEBANGSAAN



Tahun 2019 telah berlalu meninggalkan beberapa catatan, baik catatan positif maupun catatan negatif bagi entitas kebangsaan kita. Menyambut tahun baru 2020 tentu beberapa catatan positif harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, sedangkan beberapa catatan negatif tentunya harus kita perbaiki dan kita benahi demi terwujudnya harmonisitas bangsa. Harmonisitas bangsa menjadi modal penting guna menyambut tahun baru yang penuh tantangan baik secara internal maupun global. 

Perlu digarisbawahi disini, bahwa diksi harmonisitas bangsa bukan bermakna mengesampingkan realitas perbedaan yang ada, tidak demikian. Makna harmonisitas bangsa sendiri adalah terwujudnya relasi yang positif dalam mengejawantahkan spektrum-spektrum perbedaan yang ada sehingga dapat menjadi sebuah energi positif bagi entitas kebangsaan. Hal inilah yang akan menjadi stimulus bagi terwujudnya persatuan dan kemaslahatan bangsa berdasarkan nafas relasi kewargaan yang kokoh. 

Tahun 2019 lalu menurut hemat saya ada beberapa catatan negatif terkait harmonisitas kebangsaan kita. Pilpres tentu mengambil peran besar dalam membentuk segmentatif negatif dalam masyarakat. Distingsi dalam masyarakat begitu kuat. Hal ini membuat riak-riak disharmonisasi dalam masyarakat baik pada saat pra-pilpres (masa kampanye) hingga pasca-pilpres begitu kental. 

Elit politik boleh saja selesai bermusuhan ketika pilpres selesai, hal ini tentunya berbeda di kalangan akar rumput. Mengapa berbeda ? sederhana saja, karena orientasi politik dari elite politik dan akar rumput jauh berbeda. Orientasi politik elit politik adalah kekuasaan yang cenderung bernilai pragmatisme (terdapat potensi akomodatif politik) sedangkan orientasi politik akar rumput adalah aspirasi dimana terkandung nilai fanatisme. 

Di kalangan grassroot sendiri hingga kini masih nampak riak-riak pembelahan hasil residu pilpres 2019 lalu. Dapat dikatakan pembelahan di dalam masyarakat pasca pilpres 2019 lalu masih relatif kuat. Hal ini merupakan sebuah realitas yang harus jujur kita akui.

Sebenarnya akar dari pada pembelahan masyarakat sendiri tidak sekadar efek residu dari pilpres semata, ada banyak faktor berkelindan yang turut serta baik faktor penegakan keadilan, faktor menguatnya politik identitas, hingga faktor sosial-budaya. Faktor-faktor tersebut kemudian terakumulasi menjadi sebuah stimulus bagi terbentuknya pembelahan di dalam masyarakat.

Problematika Kebangsaan

Jika kita cermati seksama, problematika kebangsaan kita pada 2019 lalu terkait harmonisitas dan integrasi kewargaan ada dua hal. Dua hal ini tidak bersifat parsial namun bersifat integral sehingga satu sama lain memiliki efek respirokal. 

Pertama, menguatnya politik identitas. Menurut Amartya Sen dalam Kekerasan dan Identitas (2006) sesungguhnya, berbagai masalah sosial-politik saat ini disebabkan oleh perseteruan yang dilatarbelakangi oleh penegasan identitas dalam sebuah kelompok masyarakat yang berbeda-beda (plural), sebab konsepsi mengenai identitas ini memang mempengaruhi pikiran dan tindakan. Hal inilah yang kemudian melahirkan apa yang dinamakan politik identitas, yang dimaknai sebagai perjuangan politik untuk penegasan dan akomodasi identitas (previlege afirmatif).

Menguatnya politik identitas memang memiliki efek positif yakni meningkatnya pastisipasi rakyat dalam pemilu, hal ini dilatarbelakangi oleh militansi identitas, namun sisi negatifnya adalah politik identitas tidak melihat kepada substansi (gagasan, rekam jejak, kapasitas) namun melihat kepada identitas yang sama. Sehingga dapat di simplifikasikan bahwa politik identitas akan memberikan gaps terhadap terwujudnya politik yang substansial.

Efek negatif lain dari pada politik identitas adalah penggunaan simbol-simbol identitas sebagai sarana komodifikasi politik praktis. Misalnya isu-isu yang berafiliasi dengan segmen identitas di kapitalisasi sedemikian rupa untuk memberikan keuntungan politis. Hal ini tentunya akan berimbas kepada terwujudnya “ketegangan-ketegangan” sosial sehingga stabilitas nasional dapat terganggu.

Kedua, gagap dalam mengelola perbedaan. Gagap mengelola perbedaan sejujurnya menjadi sebuah fenomena “aneh” karena berlawanan dengan realitas alamiah bangsa ini yang memang terbentuk dan kuyup dengan berbagai spektrum perbedaan. Namun harus kita akui dalam 3 tahun terakhir bangsa ini terlihat gagap dalam mengelola perbedaan khususnya perbedaan dalam spektrum identitas dengan segala bentuk manifestasinya. Kegagapan dalam mengelola perbedaan ini seringkali menghasilkan ekses yang negatif.

Misalnya, terkait perbedaan dalam menyikapi dan memaknai isu-isu identitas seringkali malah dijadikan alat justifikasi untuk menyudutkan kelompok lain, contoh sederhana, terkait pengucapan selamat hari Natal. Kelompok A mengatakan haram bagi orang Islam mengucapkan selamat hari Natal, sedangkan kelompok B mengatakan orang Islam tidak masalah mengucapkan selamat hari Natal. 

Perbedaan pendapat ini kemudian diejawantahkan dengan menjustifikasi negatif satu sama lain sehingga muncul bibit kebencian. Kelompok A menganggap kelompok B melanggar akidah, di sisi lain, kelompok B menganggap Kelompok A terlalu konservatif dan intoleransi. Memang tidak semua kelompok A dan kelompok B bersikap demikian, hanya saja cukup sebagian dari kelompok A dan sebagian Kelompok B bersikap demikian sudah cukup untuk membuat kegaduhan dalam ruang publik.

Kemudian soal Uyghur, kelompok A menuding kelompok B tidak memiliki simpati sebagai sesama muslim karena minimnya tindakan atau empati secara simbolik.

Sedangkan kelompok B menganggap kelompok A hanya sekadar memanfaatkan isu Uyghur untuk kepentingan politik praktis. Keduanya saling tuding satu sama lain, dan lagi-lagi mampu "memanaskan" ruang publik. Hal ini tentunya tak lepas dari peran buzzer-buzzer di media sosial yang mencoba memancing air keruh.

Lalu, sebagaimana kita lihat pada pilpres lalu, perbedaan pilihan politik juga mengejawantah kepada ekses-ekses negatif berupa timbulnya rasa kebencian antara dua kelompok yang memiliki perbedaan pilihan politik.

Tanpa kita sadari energi kebangsaan kita seringkali harus dikeluarkan untuk hal-hal sepele yang sebenarnya tidak perlu kita keluarkan jika kita bisa mengelola dan menempatkan perbedaan pada tempat yang semestinya.

Sebenarnya, konsep mengelola perbedaan (pendapat) sederhana saja, kita boleh merasa benar bahkan boleh menyalahkan, namun kita tidak boleh menghina, merendahkan, dan membatasi kebebasan orang lain. Kita boleh merasa benar, namun kita tidak boleh memaksakan apa yang kita anggap benar itu kepada orang lain yang mungkin tidak sependapat dengan kita. Kita boleh merasa tindakan yang kita lakukan dalam menyikapi sesuatu fenomena itu benar, namun kita tidak boleh memaksakan kepada orang lain untuk melakukan tindakan yang sama sebagaimana yang kita lakukan. Kita boleh saja memiliki pilihan politik yang berbeda, namun perbedaan pilihan itu hendaknya jangan sampai kita ekspresikan dengan merusak nilai kerukukan dan nilai kemanusiaan.

Refleksi Kebangsaan

Akhir sekali, dari pemaparan secara umum diatas, ada dua catatan refleksi guna menyambut tahun baru 2020 ini. Dua catatan refleksi tersebut adalah dua problematika kebangsaan 2019 lalu yang harus kita benahi pada tahun 2020 ini. Pertama, bagaimana mengarahkan politik identitas agar tidak mengejawantah secara negatif bagi dinamika politik dan harmonisitas kebangsaan. 

Untuk mewujudkan hal ini tentunya membutuhkan pendekatan persuasif dan sinergi peran dari berbagai pihak, baik pemerintah, partai politik, tokoh agama, akademisi, tokoh masyarakat, pers, dan masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya, politik identitas sah-sah saja, hanya saja politik identitas harus memberikan efek yang substansial bagi entitas kebangsaan dan kemaslahatan bersama. 

Kedua, bagaimana mengelola perbedaan dalam berbagai spektrum termasuk perbedaan identitas dan segala bentuk manifestasinya guna membangun rasionalitas publik. Bagaimana mengelola perbedaan agar tidak mengancam harmoni dan kebhinekaan bangsa. Jika dua problematika kebangsaan ini dapat dibenahi, maka tahun 2020 ini saya yakin kondisi sosial-politik Indonesia akan lebih stabil dan lebih kondusif yang tentunya akan berimbas positif bagi dimensi dan relasi kebangsaan kita.