Senin, 29 Juni 2020

PUISI: MENGINGAT MU


Dikurung memorabilia tentang mu.
Lamat-lamat, harum parfum mu menyeruak nakal.
Wanginya khas menyengat.
Membuai jiwa tuk mengingat semua yang telah berlalu.

Aroma mu begitu kuat menjejali memori otak ku.
Terngiang akan indahnya lesung pipi nan merekah.
Dan ku simpan senyum mu di sela ampas kopi ku.
Manis, ku nikmati pahit ini.

Mengingat mu.
Berkelindan sepanjang usia ku.



Jumat, 26 Juni 2020

PUISI: HANYA UNTUK MU


Hamparan asa bertahta kilau angkasa.
Desir nafas menghela sari pati nyawa.
Bertiup sapaan resah pujaan jiwa.
Pesan ku satu. Tetaplah tegar walau badai menerpa.

Wahai cinta.
Seluruh raga, ku persembahkan untuk mu.
Culasnya hidup aku lawan untuk mu.
Tetaplah harum memayu, walau hati nanar diterpa gulana.

Wahai cinta.
Akulah Arjuna mu.
Akulah zirah, yang siap mati untuk melindungi mu.
Hanya untuk mu. Ku pertaruhkan segalanya.






Senin, 22 Juni 2020

URGENSI PENGESAHAN RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL



Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual masih mandek pada tahap pembahasan (pembicaraan) tingkat I. Itu artinya, masih perlu jalan yang “cukup” panjang bagi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Perlu diketahui, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mekanisme atau proses pembuatan suatu Undang-Undang akan melewati beberapa tahapan.
Pertama, tahap perencanaan. Tahap perencanaan peyusunan Undang-Undang dilakukan dalam program legislasi nasional (prolegnas). Prolegnas sendiri merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Penyusunan prolegnas sendiri dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. Kedua, tahap penyusunan. Tahap penyusunan ini merupakan tindak lanjut dari tahap perencanaan. Pada tahap ini sebuah RUU akan dilengkapi dengan naskah akademik yang merupakan kajian empirik (ilmiah) mengenai permasalahan yang akan menjadi substansi sebuah RUU. Penyusunan RUU bisa berasal dari Pemerintah maupun DPR tergantung dari siapa yang mengajukan.
Ketiga, tahap pembahasan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU dilakukan melalui 2 tingkat pembicaraan yakni pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Pembicaraan tingkat I merupakan pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisis, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus. Sedangkan pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR. Pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini. Sedangkan pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.
Keempat, tahap pengesahan. Jika RUU mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden, maka RUU yang telah disetujui bersama tersebut akan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.Kelima, tahap pengundangan. Setelah Undang-Undang disahkan oleh Presiden, maka Undang-Undang akan memasuki tahap pengundangan. Pengundangan sendiri merupakan penempatan Undang-Undang dalam lembaran negara Republik Indonesia dan berita negara Republik Indonesia.
Hingga detik ini sendiri, RUU PKS masih memasuki tahap pembahasan pada tahap pembicaraan tingkat I. Pada tanggal 26 September 2019 lalu , Ketua Panitia Kerja RUU PKS, Marwan Dasopang menyebut DPR dan Pemerintah sudah menyepakati pembentukan tim perumus RUU PKS yang akan bertugas untuk melakukan proses sinkronisasi lebih lanjut antara RUU PKS dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Sayangnya, hingga detik ini kinerja dari tim perumus RUU PKS tidak diketahui bagaimana kinerja dan kelanjutannya.
Undang-Undang Adalah Produk Politik
Perlu dipahamai bahwa Undang-Undang adalah produk politik mengingat lembaga yang memiliki otoritas konstitusional untuk membuatnya yakni DPR dan Presiden merupakan pihak-pihak yang terpilih dalam proses politik (pemilu) dan juga berafiliasi dengan institusi politik (parpol).
Oleh karena itu, tak mengherankan, jika pembentukan sebuah Undang-Undang tidak lepas dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam tiap fase pembentukannya. Begitupun juga dalam proses pembuatan RUU PKS yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam proses pembuatannya.
Seidman dan Chamblis dalam teori bekerjanya hukum mengatakan bahwa dalam proses pembuatan suatu aturan hukum (Undang-Undang) tidak akan bisa lepas dari faktor-faktor non-yuridis seperti faktor personal, ekonomi, sosial, dan politis yang bisa menghambat terbentuknya aturan hukum yang substansial dan fungsional. Sejalan dengan hal tersebut, Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia secara implisit mengatakan bahwa lahir dan tidak lahirnya sebuah Undang-Undang terkadang tidak berdasarkan pada nilai urgensinya melainkan pada nilai kompromistisnya.
Menurut Mahfud MD, terkadang ada Rancangan Undang-Undang yang substansinya bagus nilai urgensinya tingg namun justru tidak disahkan karena RUU tersebut tidak memiliki nilai impact secara politis atau tidak sejalan dengan kepentingan pembuat Undang-Undang. Inilah yang dikatakan Mahfud MD sebagai sebuah kondisi di mana hukum ditorpedo oleh politik, sehingga membuat nilai urgensi dan kemaslahatan dikesampingkan demi memberi jalan kepada kepentingan oportunis dan impact politis.
Maka tak mengherankan jika selama ini DPR dan Pemerintah seringkali justru nggebet mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang secara substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya rendah, sedangkan Rancangan Undang-Undang yang nilai substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya tinggi justru seringkali “terbengkalai” hanya karena tidak memiliki frame kepentingan sebagaimana yang mereka inginkan. Mungkin (bisa jadi) kondisi inilah yang membuat DPR dan Pemerintah tidak segera mengesahkan RUU PKS menjadi sebuah Undang-Undang.
Nilai Keberlakuan Undang-Undang
Sebuah Undang-Undang akan memiliki nilai urgensi dan fungsional jika Undang-Undang tersebut memiliki tiga nilai keberlakuan Undang-Undang yakni nilai filosofis, nilai yuridis, dan juga nilai sosiologis. Tiga nilai keberlakuan Undang-Undang inilah yang akan menjadi tolok ukur urgensi mengapa RUU harus segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Pertama, nilai filosofis. Sebuah Undang-Undang secara filosofis merupakan instrumen bagi negara untuk menginternalisasi dan mempraksiskan prinsip-prinsip abstrak yang tertuang dalam dasar negara yakni Pancasila di satu sisi, sekaligus mewujudkan tujuan-tujuan negara di sisi yang lain. Oleh sebab itu, setiap substansi Undang-Undang idealnya harus mengandung nilai dan norma yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan memungkinkan (stimulatif) terwujudnya tujuan-tujuan negara baik secara kumulatif maupun segmentatif sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan UUD alinea IV yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Secara filosofis, RUU PKS sejujurnya merupakan instrumen yang memiliki koherensi nilai dengan Pancasila khususnya sila pertama, sila kedua, dan sila kelima. RUU PKS juga cukup compatible untuk mewujudkan salah satu tujuan negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Kedua, nilai yuridis. Secara yuridis, sebuah Undang-Undang merupakan instrumen untuk menerjemahkan dan mengelaborasi secara lebih teknis norma-norma yang tertuang dalam hukum dasar atau konstitusi demi terselenggaranya negara hukum Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Sejalan dengan hal tersebut, maka secara yuridis, RUU PKS pada prinsipnya merupakan instrumen hukum yang memiliki nilai kohesifitas dengan norma yang tertuang dalam konstitusi yakni perlindungan hak asasi manusia.
Ketiga, nilai sosiologis. Sebuah Undang-Undang harus mengandung norma yang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat agar dapat menjadi dasar legitimasi untuk memberikan perlindungan hukum serta mewujudkan ketertiban dalam tatanan kehidupan masyarakat. RUU PKS sejujurnya merupakan oase yang dibutuhkan oleh masyarakat (terutama kaum perempuan) sebagai basis legalitas untuk memberikan perlindungan hukum baik secara preventif maupun represif dari kekerasan seksual. Di bawah ini, akan saya jelaskan secara lebih teknis mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Urgensi Pengesahan RUU PKS
Dikutip dari situs resmi DPR, beberapa substansi pokok dan penting dari RUU PKS adalah mengenai tujuan penghapusan kekerasan seksual yakni untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara, masyarakat, dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Kemudian cakupan perbuatan yang tergolong tindak pidana kekerasan seksual juga diperluasa meliputi eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual baik dalam lingkup relasi personal, keluarga, relasi kerja, dan lingkungan publik. Selain itu, ketentuan mengenai hak korban, keluarga korban, dan saksi kekerasan seksual juga diatur secara tegas di dalam Pasal 21 hingga 39 RUU PKS. Berikut akan saya jelaskan urgensi pengesahan RUU PKS berdasarkan realitas sosiologis (empirik) maupun basis yuridis.
Pertama, angka kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat. Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2019 lalu terjadi sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari pada tahun 2018 lalu yang hanya berjumlah 406.178 kasus atau naik sebesar 6 persen. Berikut data lengkap kasus kekerasan terhadap perempuan dalam 7 tahun terakhir.

Tahun

Jumlah kasus kekerasan perempuan

2013

279.688

2014

293.220

2015

321.752

2016

259.150

2017

348.466

2018

406.178

2019

431.471
                        Data: Komnas Perempuan
Selain itu, Komnas Perempuan juga membeberkan data yang mencengangkan yakni meningkatnya kasus kekerasan pada anak perempuan sebanyak 65 % dari pada tahun 2018 ke tahun 2019. Pada tahun 2018 kekerasan pada anak perempuan sebesar 1.417 kasus sedangkan pada 2019 naik menjadi 2.341 kasus. Jenis kekerasan tertinggi yang dialami oleh anak perempuan pada 2019 lalu adalah inses sebesar 770 kasus dan seksual 571 kasus.
Melihat realitas bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang relatif meningkat saban waktu membuat pengesahan RUU PKS untuk menjadi Undang-Undang semakin urgen sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan hukum baik secara preventif, represif, restitutif, dan rehabilitatif terhadap kaum perempuan secara khususnya.
Kedua, penyelesaian kasus kekerasan seksual pada perempuan selama ini tidak memuaskan. Hal ini sebenarnya dipengaruhi oleh watak karakter hukum pidana kita yang masih bersifat konservatif, di mana sanksi pidana diletakkan dalam dimensi retributif atau pembalasan. Dimensi retributif hanya terpaku pada pelaku, asalkan pelaku sudah dipidana setimpal dengan perbuatannya, penyelesaian kasus dianggap sudah memenuhi nilai keadilan. Padahal di sisi lain masih ada kepentingan korban yang perlu diperhatikan. Korban dalam hal ini perempuan tentu masih mengalami kerugian khususnya kerugian fisik dan psikologis (traumatik) jangka panjang. Di sinilah kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan guna memberikan perlindungan secara restitutif dan rehabilitatif kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual guna menyembuhkan penderitaan fisik maupun traumatik psikologisnya.
Ketiga, keluarga korban dan saksi kekerasan seksual akan mendapatkan rehabilitasi dari negara. Ketika seorang mengalami kekerasan seksual, pada dasarnya yang merasakan dampak negatif dari kekerasan seksual tersebut tidak hanya korban tetapi juga keluarga korban dan juga orang yang melihat kekerasan seksual (saksi) tersebut. Dalam RUU PKS perlindungan dan pemulihan terhadap keluarga korban kekerasan seksual dan saksi dalam tindak pidana kekerasan seksual akan dijamin oleh negara guna memberikan keadilan substansial dalam penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual. Pendekatan ini merupakan sebuah langkah maju dan progresif.
Keempat, dalam RUU PKS diatur mengenai sinergitas negara, masyarakat, dan korporasi dalam rangka mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Hal ini penting, mengingat kekerasan seksual pada prinsipnya dapat terjadi dalam segala tataran sekup kehidupan baik dalam lingkungan keluarga, tempat pekerjaan, hingga lingkungan publik. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas seluruh komponen bangsa untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.

ROBERT RENE ALBERTS, MUNAFRI ARIFUDDIN, DAN KEMBALINYA TARING PSM



Robert Rene Alberts, bukan nama sembarangan dalam kancah persepakbolaan nasional. Gelar liga Indonesia 2009/2010 bersama Singo Edan menjadi bukti kapasitasnya sebagai pelatih jempolan. Pun di kancah Asia Tenggara, Nama Robert Rene Alberts juga cukup disegani. Robert Rene Alberts pernah membawa klub yang dilatihnya menjuarai kompetisi kasta tertinggi di liga Singapura (Home United 1999) dan liga Malaysia (Kedah FA 1993, Sarawak FA 2013). Mampu menjuarai liga Indonesia, liga Singapura, dan Liga Malaysia sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bagaimana kualitas seorang Robert Rene Alberts sebagai seorang pelatih.
Dengan reputasi dan jejak prestasi Robert yang luar biasa, PSM Makassar pada pertengahan tahun 2016 pun melamar Robert agar bersedia menahkodai pasukan Ramang yang ketika itu tengah limbung selepas ditinggal sang pelatih sekaligus berlabel legenda Juku Eja, Luciano Leandro. Luciano Leandro diberhentikan manajemen PSM, imbas dari rentetan hasil buruk yang harus diterima Juku Eja diawal kompetisi TSC A 2016.
Masuk dipertengahan kompetisi putaran pertama, Roberts Rene Alberts dibebani tugas tidak mudah untuk mengangkat prestasi PSM, yang saat itu tengah terjerembab di papan bawah klasemen. Di sisi lain, Robert mau tidak mau harus mampu memaksimalkan potensi pemain yang ada setidaknya hingga putaran pertama berakhir.
Putaran pertama berakhir, prestasi PSM dibawah kendali Roberts belum menunjukkan peningkatan signifikan. Hal tersebut membuat manajemen PSM dibawah komando Munafri Arifuddin selaku CEO PSM melakukan perombakan besar, baik dengan mencoret pemain yang minim kontribusi maupun dengan melakukan belanja pemain baru.
Akhirnya, memasuki putaran kedua, nama-nama baru pun menghiasi skuad Juku Eja, yang paling krusial tentu pembelian tettanya Samuel, Wiljan Pluim, yang di musim tersebut mengejawantah sebagai roh permainan PSM. Adanya Wiljan Pluim memberi pengaruh besar terhadap hidupnya permainan dan lancarnya aliran bola dari lini tengah ke lini depan. Singkat kata, PSM yang pada putaran pertama akrab dengan papan bawah klasemen akhirnya mampu finish diperingkat 6 kompetisi TSC A 2016. Bahkan, PSM sejujurnya memiliki kesempatan untuk finish diposisi yang lebih baik, seandainya di pekan 33 tidak tumbang melawan Persija Jakarta di Mattoanging. Dan perlu diketahui, sebelum laga melawan Persija tersebut, PSM mampu mencatat 6 kemenangan beruntun, dari pekan 27 hingga pekan 32.
TSC A 2016 sendiri menjadi titik balik prestasi PSM Makassar di kancah persepakbolaan nasional. Selepas kompetisi “tidak resmi” tersebut, reputasi dan prestasi PSM Makassar sebagai salah satu klub raksasa di Indonesia kembali menunjukkan taringnya. Peringkat 3 liga 1 2017, peringkat 2 liga 1 2018, juara piala Indonesia 2019, dan dua kali mentas di kompetisi Piala AFC menunjukkan PSM Makassar telah kembali dari tidur panjangnya sebagai tim besar. Dari raihan prestasi gemilang PSM tersebut, Robert Rene Alberts yang menahkodai PSM selama 2,5 musim (2016-2018) bisa dikatakan merupakan mailstones (peletak pondasi) bagi skuad dan permainan PSM walaupun tidak memberikan gelar apapun.
Perihal prestasi PSM, perlu diketahui, selama rentang musim 2005/2006 hingga 2016, reputasi dan prestasi PSM Makassar pada gelaran kompetisi sepakbola Indonesia sangat jauh dari gambaran sebuah tim besar. Selama rentang waktu tersebut, papan tengah klasemen menjadi langganan skuad Juku Eja (kecuali musim IPL 2011/2012, PSM finish peringkat 3).
Kembalinya taring PSM dalam gelaran kompetisi sepakbola Indonesia sendiri tidak bisa dilepaskan dari 3 aspek. Manajemen bagus, materi pemain dan pelatih mumpuni, serta dukungan masif suporter. Kunci perubahan di tubuh PSM Makassar sendiri diawali oleh masuknya Munafri “cinta tanpa syarat” Arifuddin pada tahun 2016 selepas ditunjuk sebagai CEO oleh pemegang saham PSM. Masuknya APPI mampu memberikan perubahan signifikan terkait kualitas manajerial di tubuh PSM Makassar. Kualitas manajerial yang bagus sendiri akan berimbas pada meningkatnya daya tarik klub di mata pemain, hal tersebut akan memudahkan sebuah klub untuk menggaet pemain-pemain yang memiliki “nama” di Indonesia.
Pada musim 2017, APPI akhirnya berhasil memulangkan dua pemain senior putra daerah sekaliber Hamka Hamzah dan Zulkifli Syukur ke Mattoanging. Alasan dua pemain senior itu kembali pulang relatif juga sama, “sekarang manajemen PSM bagus dan serius” tutur Hamka dan Zulkifli. Keseriusan APPI untuk membuat Juku Eja kembali berkokok lantang bukan isapan jempol belaka. Puncaknya tentu saja, ketika PSM Makassar mampu meraih juara piala Indonesia 2019 sekaligus menghapuskan dahaga juara yang telah tersemat 19 tahun lamanya.
PSM dan seluruh elemennya tentu masih menyimpan asa dan harapan untuk meraih kembali kejayaan hakiki sebagai juara liga, hanya saja, asa dan harapan itu sementara waktu harus tertunda. Entah sampai kapan. Yang pasti, ketika kompetisi telah bergulir kembali, dapat dipastikan daya juang dan totalitas untuk meraih kejayaan dari 3 elemen kunci Juku Eja, manajemen, pelatih dan pemain, serta suporter tidak akan pernah padam. Sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai. Ewako ewaki kuewai !!!!!!.

           


PUISI: SEMAKIN DEKAT


Lamat-lamat, isak tangis berbisik pilu.
Lembah jiwa menanti bunga hati.
Rindu memeluk raga nan menggigil.
Berpacu dentum waktu.
Mendaki rintihan takdir.

Tirai mimpi tinggal selangkah.
Meleburkan segala yang membuncah.
Purnama berkilau. Lekat pijar.
Cerah. Merona.

Semakin dekat.
Nafas berdebar.
Darah mendidih.
Ah. Aku terperangah.

Semakin dekat.
Ah. Aku tak sabar berpacu dalam ranjang asmara.











Kamis, 18 Juni 2020

PUISI: DI WAJAHMU ADA KETEDUHAN


Di wajahmu ada keteduhan.
Kasmaran mekar pada denyut nadi.
Larungan rasa menjejali angan.
Gelora asmara berdawai dalam irama syahdu.

Di wajahmu ada keteduhan.
Suluh cinta membuat ku tak kuasa beranjak.
Memagut erat.
Menumbuhkan kenyamanan

Di wajahmu ada keteduhan.
Elegi pesona menyerami jiwa.
Tak lagi ku temukan.
Sosok insan seteduh diri mu.

PUISI: MELATI KU


Harum mewangi keringat rindu ku pada melati ku.
Singgasana hati telah menemukan penguasa abadi.
Meski raga kita terpisah bilik jeda.
Sayatan pedih penantian tak membuat ku lapuk.

Terbaring jiwa ku dalam alunan musik bach.
Menjamah imajinasi dalam tegukan caipirinha.
Aku melayang. Meraung lirih. Mengadah pada langit sendu.

Melati ku.
Pesona mu memikat kekal dalam fikir ku.
Kecantikan mu terpahat selamanya dalam labirin hati.
Hingga akhir waktu, tatkala maut menjemput.
Aku tetap mencintai mu. Semesta alam menjadi saksinya.









Sabtu, 13 Juni 2020

PUISI: CAH AYU


Malam bengis membisu, kesunyian mendekap erat.
Sebilah hasrat terpatri dalam sanubari.
Membawa tatihan rindu ke haribaan hati.

Pesona mu terlukis kekal dalam maji.
Raut wajah teduh, memikat luluh.
Terpana daku, memandang setiap jengkal kecantikan mu.
Kemolekan latif perempuan pribumi.

Cah ayu, tak sabar ku mengayuh dawai perahu berdua. Menyusuri sungai kecil dan bangunan arkais kota Venice.
Mencium kening mu mesra ditengah semerbak bunga tulip, kota Leiden.
Memeluk mu hangat dalam hamparan rerumputan hijau nan luas, Kepulauan Faroe.

Cah ayu, semoga takdir segera menyatukan kita.
Manunggal. Merajut perjalanan fana atas ridho-NYA.










Senin, 08 Juni 2020

MENINGKATKAN KUALITAS RISET PERGURUAN TINGGI



Perguruan tinggi memiliki tugas tri dharma perguruan tinggi yang meliputi tiga komponen fungsi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Ketiga komponen tersebut merupakan fungsi pokok berdirinya perguruan tinggi. Lebih dari itu, ketiga komponen tersebut juga akan menjadi tolok ukur kualitas dari sebuah perguruan tinggi.

Secara global, kualitas perguruan tinggi di Indonesia relatif masih rendah, buktinya belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang mampu menembus peringkat 100 besar perguruan tinggi terbaik di dunia. Menurut rilis QS World University Rankings yang merilis daftar 1000 perguruan tinggi terbaik di dunia pada tahun 2019 lalu, terdapat 9 universitas di Indonesia yang masuk dalam daftar 1000 besar universitas terbaik di dunia. Sayangnya, dari 9 universitas tersebut tidak ada yang mampu menembus peringkat 100 besar. Peringkat tertinggi ditempati oleh Universitas Indonesia yang “hanya” menempati peringkat 296, diikuti oleh UGM pada peringkat 320, dan ITB pada peringkat 331.

Indikator penilaian dari QS World University Rankings sendiri terdiri atas 6 poin sebagaimana tabel berikut.
Indikator penilaian dari QS World University Rankings
Sumber grafik: katadata.co.id
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa indikator terendah adalah mengenai jumlah sitasi paper dalam 5 tahun yang bersumber dari scopus yang hanya memiliki nilai 2,4 jauh tertinggal dengan rata-rata skor 10 universitas terbaik di dunia yang memiliki rataan nilai 88,3. Data ini menunjukkan bahwa kualitas riset dari perguruan tinggi kita yang dituangkan dalam paper sangat jauh teringgal secara kualitas dengan perguruan-perguruan tinggi top 10 dunia. Realitas ini tentunya harus menjadi bahan refleksi dan introspeksi bagi perguruan tinggi kita untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas riset, mengingat riset merupakan komponen penting baik dalam konteks fungsi perguruan tinggi maupun dalam fungsi impaact terhadap kemajuan negara.

Urgensi Riset
Riset memiliki fungsi penting bagi perguruan tinggi baik dalam konteks formil maupun material. Dalam konteks formil (formalitas), riset merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sebuah universitas. Oleh karena itu, sebuah perguruan tinggi tentunya harus memiliki kualitas maupun kuantitas riset yang baik.

Sedangkan dalam konteks material, urgensi riset berafiliasi dengan stimulus bagi kemajuan sebuah bangsa. Di era modern seperti sekarang ini, riset adalah tulang punggung bagi kemajuan sebuah negara. Menurut Yanuar Nugroho dalam artikel Membangun Ekosistem Riset di Indonesia (Kompas, 15/2/2019), riset memiliki 3 fungsi penting bagi negara. Pertama, membuka cakrawala untuk membuka berbagai kemugkinan kemajuan bangsa (progress). Kedua, membangun kualitas kewargaan (citizenry). Ketiga, membangun keadaban publik (public civility).

Sejalan dengan hal tersebut maka kualitas riset pada dasarnya tidak sekadar menentukan kualitas bagi sebuah perguruan tinggi, namun juga memiliki impact bagi kehidupan negara dan masyarakat. Tidak ada universitas maju dan berkualitas tanpa memiliki kualitas riset berkualitas, begitupun juga tidak ada negara maju tanpa memiliki kualitas riset mumpuni. Riset adalah kunci untuk mendorong kualitas hidup manusia dan bernegara yang pada ujungnya adalah produktivitas dan daya saing bangsa (Nelson, 1993).

Problematika
Riset pada dasarnya merupakan sebuah kerangka sistem yang didalamnya terdapat ekosistem yang menunjang bagi berjalannya riset itu sendiri. Ekosistem riset meliputi anggaran dana, sumber daya manusia, kelembagaan, dan birokrasi.

Di Indonesia, keempat ekosistem riset tersebut belum berada pada tataran optimal, hal ini membuat kualitas riset perguruan tinggi di Indonesia pun terhambat. Dalam hal anggaran dana untuk riset, Indonesia masih sangat rendah. Realitas ini dapat kita lihat melalui postur APBN untuk dana riset pada tiga tahun kebelakang yang relatif masih sangat rendah, 2019 Rp. 2,1 triliun, 2018 Rp. 1,84 triliun, dan 2017 Rp. 1,5 triliun. Angka tersebut belum mencapai 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Presentase tersebut masih jauh dibawah negara-negara Asia dengan riset mumpuni seperti Jepang, Korea, dan China yang mencapai lebih dari 3 persen dari PDB mereka.

Kemudian secara sumber daya manusia, problematika Indonesia terletak pada minimnya kemampuan dosen Indonesia untuk menuangkan hasil penelitian mereka dalam bahasa Inggris atau bahasa resmi PBB. Hal tersebut menjadi problematika tersendiri karena akan menghambat terciptanya jurnal atau paper berkualitas internasional. Kemampuan menulis bahasa internasional menjadi problematika dosen-dosen kita untuk menghasilkan karya penelitian yang berkualitas internasional.

Selanjutnya secara kelembagaan, permasalahan kualitas riset perguruan tinggi di Indonesia adalah karena ego dan gengsi masing-masing perguruan tinggi masih tinggi. Kedepan guna menunjang kualitas dan kuantitas riset perguruan tinggi, kolaborasi riset antar perguruan tinggi harus menjadi kultur akademik.

Terakhir soal birokrasi,birokrasi nan menumpuk yang harus dihadapi oleh seorang dosen membuat intensitas waktu untuk meneliti menjadi berkurang. Kesibukan mengajar dan mengurus hal-hal yang bersifat administratif membuat dosen-dosen di perguruan tinggi kita minim waktu untuk meneliti dan menuangkan hasil penelitiannya. Hal ini akan berdampak negatif bagi kuantitas maupun kualitas hasil penelitian.

Solusi
Pertama, hal pokok tentunya berkaitan dengan political will dari pemerintah bersama DPR untuk meningkkan anggaran riset dalam APBN setidaknya dengan presentase 3 persen dari produk domestik bruto kita. Anggaran yang cukup akan menjadi ekosistem yang memadai bagi peningkatan kualitas riset perguruan tinggi.

Kedua, peningkatan sumber daya manusia yakni para dosen-dosen baik secara kapasitas membuat karya ilmiah maupun penguasaan menulis dengan bahasa internasional. Konkretnya, program-program yang menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia dosen harus masif dilakukan misalnya memperbanyak alokasi beasiswa bagi dosen untuk bisa mengenyam pendidikan S3 di luar negeri atau mengirim para dosen untuk melakukan kursus pendidikan singkat antara 3-6 bulan di perguruan tinggi bonafide dunia. Hal ini penting bagi para dosen untuk meningkatkan kapasitas menghasilkan riset berkualitas mengingat para dosen yang menimba ilmu di perguruan tinggi bonafide dunia tentunya akan dibimbing oleh profesor-profesor yang berpengalaman dalam menelurkan hasil riset berkualitas internasional.

Ketiga, perguruan tinggi-perguruan tinggi hendaknya membangun kultur pendidikan yang progresif dengan melakukan kolaborasi riset antar perguruan tinggi. Hal ini masih cukup jarang dilakukan oleh para dosen lintas perguruan tinggi. Ego dan gengsi yang masif relatif tinggi antar perguruan tinggi membuat kolaborasi riset antar perguruan tinggi masih cukup jarang. Oleh karena itu, kultur seperti ini harus kita rubah, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia harus merestorasi mindset aplikatif riset sebagai sarana fungsional-publik. Sarana untuk berkontribusi bagi kemajuan dan kemaslahatan bangsa. Oleh karena itu, kolaborasi riset antar perguruan tinggi bahkan lintas keilmuan harus dibangun sebagai cultural aducation guna meningkatkan kualitas riset perguruan tinggi kita.

Keempat, modifikasi birokrasi. Birokrasi dan urusan administratif nan banyak yang harus dihadapi para dosen memang membuat intensitas waktu mereka untuk melakukan riset yang berkualitas menjadi tereduksi. Sejalan dengan hal tersebut, maka diperlukan perubahan atau modifikasi birokrasi guna menunjang produktifitas dosen dalam meneliti. Misalnya membuat kebijakan sabatical leave bagi para dosen yang telah mengajar 3 tahun berturut-turut untuk mendapatkan cuti bebas mengajar guna melakukan penelitian mendalam selama 1 tahun. Sabatical leave ini bisa dianggarkan oleh para perguruan tinggi sebagai program unggulan untuk meningkatkan kualitas salah satu komponen tri dharma perguruan tinggi yakni penelitian dan pengembangan.

Pada akhirnya, kita semua masyarakat Indonesia berharap perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki tugas tri dharma yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat bisa melaksanakan tugas-tugas fungsionalnya secara optimal untuk mendorong terwujudnya kemajuan peradaban dan kemaslhatan publik dalam hal ini khususnya perihal komponen penelitian dan pengembangan. Kita juga membutuhkan political will yang kuat dari pemerintah dan DPR sebagai pembuat otoritas kebijakan pendidikan untuk selalu mendukung perguruan tinggi dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas riset perguruan tinggi khususnya publikasi ilmiah internasional yang mana sejauh ini Indonesia masih tertinggal sangat jauh dalam tataran global.