Sabtu, 29 Agustus 2020

PUISI: PARIPURNA RASA

Senja hari ini nampak nirmala

Semilir gerimis memeluk mesra

Bumantara gulita tersirat langgam keteduhan

Aku membisu dalam temaram

Raga lenggana untuk beranjak

Menyesap latif fana Sang Kuasa


Tapi, pesona kasih ku melebihi itu

Cinta ku pada mu paripurna rasa

Suci. Manunggal abadi dalam psike

Mati pun bukan penghalang

Paripurna rasa kekal hingga nirwana









Rabu, 26 Agustus 2020

MAKNA KEMERDEKAAN INDONESIA: MEWUJUDKAN KEMERDEKAAN SUBSTANTIF

Tanggal 17 Agustus merupakan tanggal bersejarah bagi negara kita tercinta Indonesia. Sebuah tanggal sakral yang menandai dua momen penting. Pertama, terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan yang telah membuat rakyat menderita selama ratusan tahun, baik secara fisik, material, maupun psikologis. Kedua, lahirnya sebuah negara baru bernama Indonesia. 

Secara de facto tanggal 17 Agustus dimaknai sebagai hari lahirnya negara Indonesia yakni saat Soekarno bersama Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus tahun 1945 sendiri memiliki empat makna penting bagi bangsa Indonesia. 

Pertama, kemerdekaan merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan yang diraih Indonesia saat itu merupakan buah dari perjuangan, pengorbanan, dan persatuan yang dibalut oleh tekad bulat untuk hidup merdeka sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. 

Kedua, kemerdekaan memberikan kebebasan dan kedaulatan kepada negara Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebebasan dan kedaulatan ini hendaknya mampu dimanfaatkan dan dikelola secara baik demi kelangsungan bangsa Indonesia kedepan. 

Ketiga, kemerdekaan merupakan jembatan emas dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Kemerdekaan adalah modal dasar bagi sebuah negara untuk membangun dan mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. 

Keempat, kemerdekaan adalah anugerah dari Tuhan sebagai hasil jerih payah, perjuangan, serta pengorbanan dari para pejuang dan pahlawan pendahulu kita. Oleh karenanya, anugerah kemerdekaan ini hendaknya harus senantiasa kita jaga dan kita rawat bersama agar kemerdekaan ini bisa kekal dan tidak terenggut kembali oleh penjajahan dalam segala bentuk manifestasinya. 

Pada titik ini, kemerdekaan secara alamiah memberikan sebuah rasa keterikatan (interrelation) dan tanggungjawab moral untuk manunggal sebagai sebuah bangsa. Menanamkan spirit kolektif untuk bahu membahu dalam merawat dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengan tumpahan darah dan tumbangnya ribuan nyawa. 

Menurut Otto Bauer, bangsa adalah suatu kelompok manusia yang memiliki persamaan karakter karena adanya persamaan nasib. Dalam konteks bangsa Indonesia, persamaan nasib yang dimaksud tentu adalah pahitnya belenggu penjajahan yang dulu dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia. 

Secara lebih dalam, anugerah kemerdekaan yang kita miliki saat ini hendaknya harus dimaknai secara bijak dan produktif guna membawa kemaslahatan bersama. Konkretnya, kemerdekaan fisik yang kita miliki saat ini harus tetap kita jaga dan selanjutnya kita ejawantahkan guna mewujudkan kemerdekaan yang substansial. 

Kemerdekaan substansial adalah terwujudnya peri-kehidupan negara yang berdikari, sejahtera, berjati diri, dan demokratis. Kemerdekaan substansial tidak hanya sekadar entitas kemerdekaan dalam arti fisik, melainkan kemerdekaan secara struktural, material, dan kultural yang meliputi: berdikari secara ekonomi yang ditandai dengan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial, berdaulat secara politik yang ditandai dengan adanya daulat negara tanpa intervensi bangsa lain, dan berkepribadian dalam budaya yang ditandai dengan mengejawantahnya nilai budaya dan falsafah bangsa dalam pri-kehidupan sosial masyarakat. 

Kemerdekaan secara substansial sendiri hanya bisa terwujud dengan adanya empat modal sosial-politik. Pertama, adanya persatuan dan kesatuan bangsa (terjalinnya ikatan kohesifitas sosial-kebangsaan). Persatuan dan kesatuan bangsa adalah modal utama untuk membangun kemerdekaan substansial. Relasi kewargaan yang egaliter dan ruang sosial yang inklusif harus terus dirajut agar potensi-potensi yang dimiliki oleh bangsa ini baik potensi material, kultural, maupun personal dalam dioptimalisasi guna mewujudkan tujuan-tujuan negara sebagaimana amanat pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea IV. 

Kedua, adanya pemerintah yang pro kepada rakyat dan pro kemandirian. Kita membutuhkan pemerintah yang berdaulat. Pemerintah yang memiliki ketulusan moral dan keberanian sikap untuk membawa rakyat kepada gerbong bestari bernama keadilan dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pemimpin yang memiliki kapasitas dan ghiroh politik yang pro kepada rakyat dan pro kemandirian harus kita produce dalam pemilu. Pemilu harus kita optimalisasi sebagai katalis fungsional untuk membawa perubahan dan kemaslahatan publik. 

Ketiga, adanya ruang sosial yang egaliter, inklusif, dan kuyup dengan nafas nilai-nilai sosio-kultural. Egaliter dan inklusif adalah modal relasi bagi kehidupan modern yang berkemajuan. Negara tidak akan bisa maju tanpa adanya kesetaraan dan keterbukan untuk membangun sinergi secara inklusif. Di sisi lain, relasi egaliter dan inklusif harus dilandasi dengan nilai-nilai sosio-kultural agar arah orientasi, kearifan, dan identitas bangsa tetap membumi dalam ruang sosial dan civic culture

Keempat, adanya kehidupan demokrasi dan nomokrasi yang substantif dan sinergis. Relasi demokrasi dan nomokrasi merupakan dua hal penting dalam entitas kehidupan negara. Demokrasi tanpa nomokrasi akan menyebabkan tirani dan kebebasan destruktif. Sedangkan nomokrasi tanpa demokrasi akan melahirkan pemerintahan otoritarianisme. 

Oleh karena itu, senyawa nomokrasi dan demokrasi musti berjalan beriringan dalam basis relasi yang sinergis dan integratif guna mewujudkan idealitas tertib bernegara. Maka dari itu, tugas kita bersama saat ini dalam rangka menciptakan kemerdekaan substansial adalah dengan membangun ketiga modal sosial-politik tersebut agar membumi secara nyata dalam ruang sosial kebangsaan kita. 

Persatuan dan kesatuan harus senantiasa kita rajut. Pemerintah yang pro rakyat dan pro kemandirian harus kita wujudkan (pilih) dalam pemilu. Kehidupan demokrasi dan nomokrasi harus kita bangun bersama. Konkretnya, kemerdekaan secara formal ini harus kita rawat sebagai basis sosial-politik untuk mewujudkan arti kemerdekaan yang lebih besar yakni kemerdekaan substantif. 

Untuk mewujudkan kemerdekaan substantif tentunya diperlukan sebuah gerakan common sense kebangsaan secara kolektif dan integral dari seluruh elemen bangsa baik rakyat, eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, masyarakat sipil, dan pers tentu sesuai peran dan porsinya masing-masing. 

Tidak mudah memang membangun sebuah common sense kebangsaan secara kolektif dan produktif, namun jika kita bersama mau dan mampu menurunkan ego, hasrat pribadi, dan oportunitas sembari mengedepankan semangat sinergitas, denyut kolektifitas, dan ghiroh gotong royong sebagai satu kesatuan bangsa, maka tiada yang tidak mungkin untuk bisa dilakukan.

Selasa, 25 Agustus 2020

BIFURKASI NEW NORMAL: ANTARA DIMENSI KESEHATAN DAN DIMENSI EKONOMI DALAM DIAMETRIKAL REPOSISI ATAU REKONSEPTUALISASI

Artikel ditulis pada 23 Juli 2020

Peningkatan kasus positif Covid-19 di Indonesia saban hari menunjukkan trend grafik yang meningkat. Korban jiwa pun berjatuhan. Total hingga tanggal 22 Juli 2020 terdapat 4.239 korban meninggal dunia terkonfirmasi positif virus corona. Dan tidak menutup kemungkinan bahkan terbuka potensi nan lebar korban meninggal akibat Covid-19 akan terus meningkat kedepannya, mengingat tidak adanya tanda-tanda positif grafik penurunan Covid-19 di Indonesia. 

Salah satu causa proxima mengapa kasus positif Covid-19 terus meningkat di Indonesia menurut saya adalah akibat dari gelorifikasi tagline new normal yang belakangan digubyah-gubyah oleh pemerintah. Gelorifikasi jargon new normal sendiri dapat dilihat dari masifisitas dan intensitas informasi serta sosialisasi mengenai new normal dalam ruang publik yang dilakukan oleh pemerintah secara terstruktur dalam segala lini. 

Makna dari new normal sendiri adalah kembalinya rutinitas kehidupan secara normal dengan perubahan lifestyle khususnya penekanan pada budaya dan nilai-nilai hidup sehat (protokol kesehatan) seperti: memakai masker, menjaga jarak (physical distancing), dan rajin mencuci tangan dengan sabun. Secara konseptual, latar belakang dari pada new normal sendiri terdiri atas dua kondisi. 

Pertama, prinsip adaptif dan akomodatif terhadap virus corona. Kita diajak untuk menyadari dan menerima bahwa kita musti terbiasa untuk hidup bersandingan dengan virus corona tentunya dengan pendekatan protokol kesehatan yang ketat. Prinsip ini merupakan derivasi dari realitas maupun penelitian ilmiah bahwa virus corona akan memiliki daya eksistensi waktu nan panjang untuk mangkat dari bumi Indonesia dan dunia. Sehingga, mau tidak mau kita harus mulai menerima kenyataan tanpa kehilangan kewaspadaan (protokol kesehatan) untuk “bercengkrama” dengan virus corona dalam realitas hidup. 

Kedua, prinsip survival ekonomi. Esensi dari pada tagline new normal adalah sebagai titik equilibrium antara prinsip ekonomi dan kesehatan. Ekonomi dan kesehatan merupakan dua entitas hidup yang sama-sama penting, Ekonomi tanpa kesehatan tidak ada guna, sebaliknya kesehatan tanpa ekonomi juga akan rapuh. 

Seyogyanya, memang entitas ekonomi dan entitas kesehatan berada pada relasi yang beriringan dan respirokatif. Nah, dalam masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah mencoba membuka tumbuhnya geliat ekonomi melalui era new normal dengan dibarengi diseminasi protokol kesehatan yang ketat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, khususnya ekonomi mikro dan ekonomi makro pada umumnya, namun tanpa mengabaikan pentingnya entitas kesehatan. 

Bifurkasi New Normal 

Dalam masa pandemi Covid-19, negara adalah entitas yang wajib hadir dalam segala kapasitasnya. Dalam konteks pandemi Covid-19, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum yang memiliki relevansi dengan nilai ekonomi-kesejahteraan. 

Negara dalam personifikasi yang lebih konkret tentunya adalah pemerintah. Dalam masa pandemi Covid-19, pemerintah memiliki tanggungjawab yang besar untuk menyelamatkan kondisi jiwa (kesehatan) maupun ekonomi negara. Maka dari itu, pemerintah dituntut untuk lebih bijak, cerdas, dan presisi dalam mengeluarkan kebijakan maupun himbauan terkait dengan pandemi Covid-19. Kembali perihal new normal. Sedari awal, jargon new normal yang digelorifikasi oleh pemerintah sejujurnya banyak mendapatkan kecaman keras dari berbagai pihak. 

Misalnya, Muhamadiyah yang mengecam penerapan new normal oleh pemerintah ditengah meningkatnya grafik Covid-19 di Indonesia. Menurut Muhamadiyah, menerapkan new normal di saat tingginya angka Covid-19 merupakan sebuah langkah kontraproduktif dan gegabah yang sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia Indonesia. Alangkah baiknya, jika pemerintah menerapkan new normal pada saat grafik persebaran Covid-19 melandai. 

Meskipun mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Toh, pemerintah akhirnya tetap kekeuh menerapkan new normal. Dampak sosiologisnya, setelah penerapan new normal, interaksi sosial mulai longgar kembali. Tempat-tempat publik pun mulai ramai. Imbasnya, grafik Covid-19 pun semakin meningkat tajam. Dilansir dari covid19.go.id, hingga tanggal 22 Juli 2020, di Indonesia terkonfirmasi 91.751 positif corona, 50.255 sembuh, dan 4.459 meninggal dunia. 

Hal ini menandakan bahwa ghiroh new normal yang memiliki pijakan konseptual guna menyeimbangkan kepentingan kesehatan dan ekonomi mengalami praktis bifurkasi. Terlihat, kepentingan kesehatan (jiwa) justru mengalami dis-equilibrium dalam relasi respirokalnya dengan kepentingan ekonomi. Sederhananya, kepentingan kesehatan seakan dinomorduakan untuk memberi jalan pada eksistensi kepentingan ekonomi. 

Menurut hemat saya, dari awal pemerintah sebenarnya tidak perlu gubyah-gubyah era new normal mengingat potensi mengalami bifurkasi (penyimpangan dari tujuan yang hendak dicapai) cukup tinggi. Ada tiga alasan saya mengenai hal ini. Pertama, masih meningkatnya grafik Covid-19. Memang ada protokol kesehatan yang rigid dalam pelaksanaan era new normal. Namun ada dua potensi permasalahan di sini. 

Dari segi medis, menerapkan protokol kesehatan tidak serta merta membuat kita aman dari penularan Covid-19. Protokol kesehatan hanya sarana meminimalisir potensi penularan Covid-19. Kemudian dari sisi praktis, banyak masyarakat kita yang abai terhadap protokol kesehatan saat menjalani aktivitas maupun interaksi publik. Inilah permasalahan besarnya. Masyarakat kita relatif kurang disiplin dalam mempraksiskan protokol kesehatan sebagaimana anjuran pemerintah. 

Banyak kita jumpai masyarakat beraktivitas dan lalu-lalang ditempat umum tanpa memakai masker. Hal ini tentunya membuat era new normal seakan membakar padi dalam sekam. Sangat potensial menstimulasi masifisitas persebaran Covid-19. Ibaratnya, tinggal menunggu waktu saja untuk melihat peningkatan persebaran virus corona di Indonesia. Dan realitasnya pun berbicara demikian. 

Kedua, dalam realitas masyarakat yang relatif minim sensitifitas dan belum melek literasi, gubyah-gubyah jargon new normal akan memberikan mindset di kalangan masyarakat bahwa kehidupan sudah kembali normal, padahal ancaman Covid-19 sendiri masih mengintai di mana-mana. Inilah yang berbahaya. Sejujurnya pemerintah bisa lebih cerdas dalam membuat kebijakan atau himbauan terkait penekanan keseimbangan antara entitas ekonomi dan entitas kesehatan dalam masa pandemi Covid-19. Menurut saya, pemerintah cukup mengeluarkan kebijakan relaksasi tanpa perlu menggelorifikasi jargon new normal

Mengapa demikian? Karena kebijakan relaksasi menyentuh aspek substansi secara langsung tanpa menyasar mindset masyarakat. Dengan demikian, aktivitas ekonomi tetap bisa berjalan, sedangkan mindset masyarakat akan bahaya corona juga masih tertanam. Sedangkan apa yang terjadi di era new normal sekarang ini adalah mindset masyarakat terhadap bahaya corona sudah berkurang. Masyarakat relatif kurang waspada dengan bahaya corona. 

Di kota-kota yang berstatus zona merah saja, dapat kita lihat masyarakat tetap membanjiri pusat keramaian publik khususnya di saat akhir pekan. Mungkin masyarakat sudah jenuh. Tetapi, mindset tersebut tentu terbangun karena ada sebab eksternal. Dan sebab eksternal itu adalah gelorifikasi jargon new normal oleh pemerintah. 

Ketiga, penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan yang masih belum efektif. Hal ini berafiliasi dengan susbtansi aturan maupun jumlah sumber daya aparat. Oleh karena itu, protokol kesehatan relatif sering dilanggar oleh masyarakat. Selain itu, common sense yang rendah dari masyarakat terhadap protokol kesehatan membuat pelanggar protokol kesehatan relatif aman dari sanksi sosial. Di mana hal tersebut tentunya berimbas pada tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. 

Reposisi atau Rekonseptualisasi 

Secara empiris, era new normal turut berkontribusi dalam menaikkan grafik persebaran Covid-19 di Indonesia. Suka tidak suka, demikianlah adanya. Sejalan dengan realitas tersebut, maka jargon new normal seharusnya dikaji dan ditinjau ulang oleh pemerintah baik untuk memperkuat posisi new normal dengan perangkat dan sumber daya yang lebih memadai (reposisi) maupun untuk merubah pendekatan konsep new normal (rekonseptualisasi). 

Jika memilih pendekatan reposisi, maka pemerintah harus memastikan bahwa perangkat dan sumber daya untuk memperkuat praksis new normal telah memadai. Sejauh ini, banyak masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan adalah karena rendahnya keterjangkauan sanksi baik sanksi formal maupun sanksi sosial. Nah, jika pendekatan reposisi yang dipilih oleh pemerintah, maka pemerintah harus menyiapkan regulasi dan infrastruktur yang memadai agar kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan dapat mengejawantah secara real baik dalam ruang privat dan khususnya dalam ruang publik. 

Protokol kesehatan sendiri pada prinsipnya merupakan roh operasional dari keberhasilan pendekatan new normal dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kepentingan kesehatan. Meskipun sebagaimana saya jelaskan di atas, bahwa protokol kesehatan sendiri tidak serta merta menjamin 100% keselamatan manusia dari terpapar virus corona. 

Di sisi lain, masyarakat dan komunitas-komunitas sosial hendaknya juga memperkuat rules dalam intra-relasi mereka untuk meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Jika masyarakat dan komunitas-komunitas sosial mampu membangun sebuah interelasi kepatuhan terhadap protokol kesehatan, maka sanksi sosial akan tumbuh sebagai kanalisator publik untuk meminimalisir ketidakpatuhan individu terhadap protokol kesehatan. 

Menurut Carl I. Fertman, Diane D. Allensworth dalam bukunya yang berjudul Health Promotion Programs: From Theory To Practice (2010) menegaskan bahwa pelibatan komunitas dalam promosi kesehatan sangatlah penting baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, komunitas merupakan sebuah relasi yang terbangun dalam basis keintiman dan keterikatan yang memiliki dimensi imperatif-kategoris untuk menginternalisasi sebuah nilai. Secara eksternal, komunitas memiliki struktural dan jaringan luas yang sangat mumpuni berperan sebagai infrastruktur dan sumber daya untuk menunjang promosi kesehatan.

Selain itu, civil society dan NGO (Non Goverment Organization) hendaknya juga berperan konstruktif baik secara material maupun komunikasi publik guna menunjang kepatuhan masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan. Civil society dan NGO memiliki kekuatan materil dan soliditas-infrastruktur yang dapat dioptimalisasi sebagai stimulan untuk mendukung penanggulangan Covid-19. 

Kemudian, jika pemeritah memilih pendekatan rekonseptualisasi baik dalam konteks istilah maupun secara substansi terhadap new normal, maka pemerintah harus memiliki basis kajian ilmiah baik secara klinis, sosiologis, maupun praktis yang relevan guna meredam persebaran Covid-19 dan sekaligus menyelamatkan kondisi perekonomian negara. 

Pemerintah harus bersinergi dengan sains dan tidak boleh gegabah dalam mengambil langkah. Pemerintah harus mengkaji dan memetakan segala aspek terlebih dahulu secara matang baik dari segi ekonomi, komunikasi, kesehatan, psikologi, dan perangkat hukum agar potensi bifurkasi sebuah kebijakan maupun jargon dapat diminimalisasi. 

Akhir sekali, pada prinsipnya, keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 maupun kepatuhan terhadap protokol kesehatan ditentukan oleh pendekatan sains, kemampuan sistem dan solidaritas masyarakat. Oleh sebab itu, mari kita maknai pandemi Covid-19 ini sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas dan soliditas common sense kewargaan kita sebagai bangsa yang beradab. 

 

PERAN PENTING KLUB DALAM REFORMASI SEPAK BOLA INDONESIA

Saya kira, kita semua sepakat bahwa dunia balbalan kita harus diperbaiki. Prestasi tim nasional (senior) yang miskin prestasi tentu saja menjadi alasan yang paling rasional dan legitimate sebagai dasar argumentasi mengapa harus dilakukan reformasi (perbaikan) terhadap sepak bola kita. Di saat Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam sudah mengenyam nikmatnya menjadi raja Asia Tenggara dengan menggondol juara piala AFF, kita masih sebatas bermimpi. Hanya sekadar menjadi juara Asia Tenggara saja, kita masih belum kesampaian. 

Sungguh ironis, Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan dan potensi baik secara teknis maupun non-teknis yang lebih baik dibanding negara-negara di atas. Secara teknis, bakat pemain muda kita melimpah, membentang dari Papua hingga Aceh. Secara non-teknis, fanatisme masyarakat kita akan sepak bola begitu luar biasa. 

Di era sepak bola modern (industri) fanatisme merupakan modal penting sebagai ceruk bisnis yang memiliki interelasi pada aspek survival maupun dimensi progresivitas dari pada entitas sepak bola itu sendiri. Kemudian, mengapa dengan potensi teknis dan non-teknis yang baik, sepak bola kita tidak kunjung maju dan berprestasi? 

Menurut saya, permasalahan dasar sepak bola kita terletak pada aspek pengelolaan dan juga mindset. Secara makro kita bicara induk organisasi (PSSI) dan secara mikro kita bicara mengenai klub. Namun, dalam kesempatan ini, saya ingin membahas spesifik mengenai klub. 

Peran Penting Klub 

Siapa yang sebenarnya memiliki peran krusial dalam rangka reformasi sepak bola kita? Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada saya, maka jawaban adalah klub. Mengapa? Karena klub memiliki setidaknya empat peran penting dalam ekosistem sepak bola. 

Pertama, peran struktural-organisatoris, yakni peran re-organisasi atau perubahan dalam tubuh PSSI. Klub memiliki hak suara untuk memilih dan menentukan siapa-siapa yang duduk sebagai pemegang peran di PSSI (ketua dan exco). Selanjutnya, ditangan pemegang peran inilah akan lahir visi dan kebijakan-kebijakan sepak bola kita. 

Oleh karena itu, maju tidaknya sepak bola kita sebenarnya sangat ditentukan dari pemilihan para pemegang peran yang duduk di PSSI. Salah memilih orang, tentu akan mengakibatkan distorsi pengelolaan sepak bola kita secara makro, yang tentu kemudian akan memiliki implikasi terhadap aspek mikro sepak bola kita. 

Pertanyaannya, apakah klub-klub selama ini sudah bijak menggunakan hak suara yang dimilikinya untuk mendorong re-organisasi atau perubahan di tubuh PSSI dengan jalan memilih orang-orang yang memiliki kompetensi, integritas, dan ghiroh untuk memajukan persepakbolaan nasional? Atau malah sebaliknya, klub-klub selama ini hanya memilih orang-orang yang bermodal material dan relasi kekuasaan politis? Sebuah pertanyaan retoris yang tentu sudah bisa Anda jawab sendiri hehehe. 

Kedua, peran integritas kompetisi. Klub adalah subyek kompetisi yang sangat menentukan integritas dari kompetisi itu sendiri. Percayalah, adanya wasit-wasit yang berat sebelah dan curang selama ini ya karena disebabkan oleh adanya klub-klub yang “meminta” baik secara langsung maupun tidak langsung kepada wasit tersebut untuk membantunya. Klub-klub seperti itu hanya berpikir pragmatis bagaimana harus menang tanpa mau belajar bagaimana caranya untuk menang. 

Logisnya, seorang wasit tidak mungkin berat sebelah dan curang jika memang tidak ada permintaan dari pihak yang memiliki kepentingan yakni klub. Jadi, klub-klub hendaknya merestorasi diri (merubah mindset), membangun solidaritas, dan bersinergi untuk menciptakan atmosfer kompetisi secara fair. Klub sebagai subyek kompetisi memiliki peran krusial dalam rangka perbaikan kualitas dan integritas kompetisi. Pada akhirnya, timnas yang berprestasi niscaya lahir dari sebuah kompetisi yang kondusif, profesional, dan berkualitas (fair). 

Ketiga, peran pembinaan pemain. Klub memiliki peran kunci dalam rangka pembinaan pemain, baik pembinaan dalam konteks maintanance pada pemain senior maupun dalam konteks build up kepada para pemain muda atau kelompok umur. Oleh karena itu, semakin profesional dan visioner sebuah klub, maka akan semakin bagus bagi ekosistem sepak bola. 

Klub yang menjunjung tinggi prinsip profesionalisme akan memiliki collateral damage yang positif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek teknis maupun aspek non-teknis sepak bola. Secara a contrario, ekosistem sepak bola tentu tidak akan berkembang, baik dari sisi prestasi maupun sisi bisnis jika klub tidak merestorasi diri dengan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme. Selanjutnya, klub yang visioner adalah klub yang memiliki visi kedepan dan desain suistanable yang baik, misalnya dengan memiliki academy pemain di setiap kelompok umur. Dalam hal ini klub memiliki peran untuk mencari, mengembangkan, dan memproduksi pemain-pemain berkualitas dalam konteks regenerasi dan optimalisasi potensi.

Keempat, peran bergaining. Klub sebagai subyek sepak bola maupun subyek kompetisi sebenarnya memiliki posisi daya tawar yang baik dalam rangka mendukung kemajuan sepak bola. Klub harus menggunakan posisi daya tawarnya untuk mendorong bahkan “mengintimidasi” PSSI untuk hal-hal yang bersifat konstruktif bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Contohnya, saat ini ketika PSSI berencana menggelar kembali kompetisi ditengah pandemi Covid-19, namun di sisi lain PSSI malah kontraproduktif, karena belum juga memberikan panduan teknis yang jelas dan detail pada klub apabila kompetisi dilanjutkan. 

Klub di sini tentu dirugikan dan harusnya klub mengambil daya tawarnya untuk menekan PSSI agar lebih responsif dan profesional. Selama ini klub-klub di Indonesia saya kira belum memaksimalkan posisi daya tawarnya yang tinggi untuk mendorong perubahan dan meng-guidance PSSI agar selalu on the track

Akhir sekali, keempat peran penting klub inilah yang menjadikan klub sebagai subyek krusial dalam rangka reformasi sepak bola kita. Dan semoga, klub-klub di Indonesia segera menyadarinya. 

 

Jumat, 21 Agustus 2020

PUISI: SAMPAI JADI DEBU

Cinta bukanlah aksioma 
Meresap dalam aorta 
Merayap jiwa, mengikis logika 
Sangkakala waktu menjadi dogma rekognisi Apakah tulus-abadi atau sekadar persinggahan 

Laut dan ombak berpagut mesra hingga akhir waktu 
Kisah ku akan terlukis demikian 
Aku ingin mencintai mu hingga sirna usia ku
Berkalang tanah
Sampai menjadi debu



Minggu, 02 Agustus 2020

STARTING 5 FUTSAL VERSI SAYA

Dalam perjalanan saya menyalurkan hobi bermain futsal. Saya telah banyak bermain bersama dengan puluhan pemain. Banyak diantara mereka yang memiliki kualitas. Namun berikut 5 starting futsal versi saya. 5 pemain dibawah ini saya kira adalah pemain-pemain yang memiliki kemampuan dan membuat saya nyaman ketika bermain bersama.

Kiper: Octadikho Mega Nugraha

Menurut saya dia adalah kiper futsal terhebat yang pernah saya lihat. Ketenangan, keberanian, dan kemampuan dia dalam menghalau tendangan/serangan lawan adalah yang terbaik. Selain itu, dia juga memiliki kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh seorang kiper futsal, bahkan untuk ukuran seorang kiper futsal profesional sekalipun. Yakni kemampuannya sebagai swiper. Dia memiliki visi bermain yang bagus. Bisa memberikan umpan-umpan kunci dari belakang kepada pemain depan.

Anchor: Adhitya Keceng

Pemain yang memiliki penguasaan bola matang. Dribblingnya mumpuni namun tidak over. Kemampuan merebut bolanya juga sangat baik. Kelebihan dia adalah kualitas menyerang dan bertahannya yang sama baik. Poin plusnya. Dia memiliki tendangan keras dan naluri gol yang baik.

Anchor: Hendrix

Jika Keceng lebih stylsh. Maka, Hendrix lebih berkarakter pemain belakang murni. Fisiknya luar biasa. Man to man markingnya juga istimewa. Pemain yang sangat sulit untuk dilewati ketika posisi satu lawan satu. Selain kuat dalam bertahan, kemampuan build up serangannya juga cukup baik. Maka, duet Keceng dan Hendrix pada posisi duo anchor saya kira akan saling melengkapi.

Flank: Soesan Dicky

Pemain yang memiliki tipe bermain yang menurut saya sangat cocok dengan gaya bermain saya dan membuat saya sangat nyaman ketika bermain bersamanya khususnya saat build-up serangan dan counter attack. Kemampuan membuka ruang dan pergerakannya selalu memudahkan saya untuk memberi umpan dan moving. Kelemahan dia hanyalah dalam hal kemampuan merebut bola yang menurut saya sedikit kurang dan transisi dari menyerang ke bertahan yang sedikit lemah.

Striker: Pradikta 86

Menurut saya pribadi, gaya bermain saya mirip dengan Cristian Gonzalez walau dengan stratifikasi level permainan yang jauh dibawah Gonzalez tentunya hehe. Saya tipe pemain yang suka menahan bola sembari membuka ruang untuk rekan-rekan. Maka dari itu, saya lebih menyukai tandem pemain yang pintar membuka ruang dan efisien (tidak egois).