Senin, 18 Maret 2019

PUISI : DIALEKTIKA RINDU


Rinai hujan mendesah manja.
Dingin seketika mencengkeram erat.
Pada sebuah ruang pengap hatiku meronta.
Sinar temaram memasung jiwa pada kerinduan akut.

Bejana kehidupan menggores luka.
Di gores oleh raungan rindu yang menggebu.
Hembusan senyap angin menentramkan sejenak.
Namun tak mampu menghapus gundah jiwa seluruhnya.

Setangkai mimpi masih ku rajut.
Asa nan indah itu masih pendar menyala.
Sebagaimana dendam yang membara, getir rindu pun harus dibayar tuntas.

Semoga takdir tidak menikam kejam.




Selasa, 12 Maret 2019

PRABOWO DAN KETIDAKBERUNTUNGAN POLITIK



Prabowo Subianto kembali maju dalam kontestasi pilpres untuk ketiga kalinya, meski di dua kontestasi sebelumnya Prabowo menelan pil pahit karena harus kalah, namun Prabowo nampak tidak putus asa untuk merajut mimpi menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Mimpi menjadi orang nomor satu di Indonesia sejujurnya telah dirajut oleh Prabowo sejak tahun 2004, ketika ia maju dalam konvensi calon presiden Partai Golkar, namun saat itu ia kalah, konvensi dimenangkan oleh Wiranto yang kemudian maju sebagai calon presiden dari Partai Golkar berpasangan dengan Sholahuddin Wahid.

Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh Prabowo untuk menjadi penguasa istana negara menurut saya disebabkan karena Prabowo dihadapkan pada kondisi ketidakberuntungan politik baik dalam konteks momentum politik maupun jejak konstelasi diri. 

Dalam konteks momentum politik, ketidakberuntungan Prabowo dimulai pada pilpres 2009, dimana saat itu ia menjadi cawapres berpasangan dengan Megawati, sialnya, pada pilpres 2009 lawan yang dihadapi oleh Prabowo dan Megawati adalah SBY, sang petahana yang sedang on fire atau dalam bahasa jawanya ngedhap-ngedhapi

Pada pilpres 2009, SBY relatif berada diatas angin berbekal kinerja yang cukup baik selama menjabat presiden pada periode 2004 – 2009. Pilpres 2009 sendiri sering disebut sebagai ajang formalitas belaka untuk memberikan legitimasi kekuasaan pada SBY, mengingat jarak elektabilitas SBY yang saat itu berpasangan dengan Boediono terlampau jauh untuk dikejar oleh pasangan capres-cawapres lainnya. Hasilnya pun bisa ditebak SBY kembali menjadi presiden Indonesia untuk periode yang kedua, sedangkan Prabowo harus gigit jari.

Momen ketidakberuntungan Prabowo kembali terjadi pada pilpres 2014, pilpres 2014 sejujurnya adalah momen emas Prabowo untuk menjadi RI 1, Megawati sudah “daluwarsa” sedangkan SBY sudah tidak bisa mencalonkan diri, hal ini tentunya menjadi keuntungan tersendiri bagi Prabowo, karena tanpa dua sosok tersebut praktis tidak ada tokoh politik yang memiliki elektabilitas diatas Prabowo.

Namun tiba-tiba terjadi momen yang tidak diinginkan oleh Prabowo, dalam waktu dua tahun (2012 – 2014) muncul tokoh politik yang dipresepsikan publik sebagai satrio piningit, pemimpin sederhana, pemimpin yang bersih dari korupsi dan pemimpin pro rakyat yang hobi blusukan bernama Joko Widodo. Keberhasilan Jokowi memenangkan kontestasi pilgub DKI dan rekam jejak selama menjadi walikota Surakarta turut mengatrol elektabilitas Jokowi pada bursa capres 2014. Alhasil, Jokowi yang saat menjadi calon gubernur DKI didukung oleh Partai Gerindra dan Prabowo, kemudian berubah menjadi lawan politik bagi Prabowo pada pilpres 2014.

Pada pilpres 2014, Prabowo menjadi capres berpasangan dengan Hatta Rajasa sedangkan Jokowi menjadi capres berpasangan dengan Jusuf kalla. Meskipun Prabowo saat itu diusung oleh lebih banyak partai dari pada Jokowi, namun pamor Jokowi sebagai pemimpin yang sedang naik daun dengan presepsi bersih, sederhana dan merakyat tidak mampu dibendung oleh Prabowo. Prabowo pun kembali gagal memenangkan hati rakyat Indonesia sedangkan Jokowi berhasil menjadi Presiden ketujuh Indonesia.

Seandainya pada pilpres 2014 lalu tidak ada Jokowi, besar kemungkinan Prabowo lah yang akan duduk sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Dua momen diatas telah menunjukkan ketidakberuntungan Prabowo dari segi momentum politik, Prabowo selalu berada pada momen politik yang kurang mendukung dan menguntungkan beliau untuk dapat duduk sebagai presiden (2014) maupun sebagai wakil presiden (2009).

Pada 2009 Prabowo harus melawan juara bertahan yang sedang on fire, sedangkan pada 2014 Prabowo harus menghadapi sosok rising star yang sedang digandrungi rakyat. Prabowo pun kalah.

Jejak Konstelasi Diri

Selain dari segi momentum politik, ketidakberuntungan Prabowo juga terpatri dalam jejak konstelasi diri, ada dua jejak konstelasi diri Prabowo yang “mengganjal” Prabowo guna memenangkan hati rakyat Indonesia. Pertama, Prabowo dikonotasikan dan berlabel sebagai trah rezim orde baru, “gelar” tersebut tidak berlebihan, mengingat Prabowo merupakan mantan menantu dari Soeharto. Dengan “gelar” tersebut, secara langsung maupun tidak langsung tentu dapat menggerus simpati dan kepercayaan masyarakat terhadap Prabowo, dan hal ini tentunya memiliki dampak elektoral yang negatif bagi Prabowo.

Kedua, Prabowo sering diafiliasikan dengan peristiwa pelanggaran HAM serta penculikan aktivis dan mahasiswa pada 1998. Meskipun secara hukum Prabowo belum terbukti bersalah, namun secara sosial, masyarakat secara umum relatif menganggap dan mempercayai Prabowo terlibat dalam peristiwa tersebut, apalagi ditambah fakta bahwa Prabowo diberhentikan dari kedinasan TNI sebelum pensiun.

Selain dua jejak konstelasi diri diatas, ketidakberuntungan politik Prabowo (secara spesifik) dalam hal ini terkait pilpres 2019 adalah karena Prabowo dikelilingi oleh mitra politik yang “kontroversial”, kaum elite pendukung Prabowo mayoritas adalah orang-orang “kontroversial” yang justru menjadi penghambat bagi Prabowo guna meraih atensi dan simpati rakyat Indonesia dengan sikap dan pernyataan kontroversial yang mereka umbar, orang-orang tersebut misalnya, Fadli Zon, Andi Arief, Egi Sudjana, Tengku Zulkarnain, Ratna Sarumpaet, Rocky Gerung, Fahri Hamzah, Ahmad Dhani, Habib Rizieq, Haikal Hasan, Rizal Ramli, Habib Bahar Bin Smith, Amien Rais, dan Neno Warisman.

Sedangkan dari kubu Jokowi, mayoritas didukung oleh elite yang teduh sebut saja Tuan Guru Bajang, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawangsa, Soekarwo, Yenny Wahid, Budiman Sudjatmiko, Surya Paloh, Rhenald Khasali, Addie MS, Slank dll. Meskipun pada satu sisi, kubu pendukung Jokowi pun tak lepas dari sosok-sosok kontroversial seperti Ali Ngabalin dan Ruhut Sitompul, namun ekskalasinya tidak sebesar dari kubu pendukung Prabowo.

Di sisi lain, menjelang hari H pilpres 2019 yang berjarak sekitar sebulan lagi, elektabilitas Jokowi masih unggul relatif jauh dari Prabowo, dari rilis survei terbaru 4 lembaga survei yakni SMRC (10 Maret), LSI Denny JA  (5 Maret), Cyrus Network (28 Februari), dan Populi Center (7 februari) Jokowi masih leading diatas 20 %. 

Dengan mengacu pada 4 hasil survei tersebut dan waktu pencoblosan yang hanya tinggal menghitung hari, maka Prabowo berpotensi besar akan kembali mengulang kegagalannya pada 2004 (gagal menjadi capres), 2009 (gagal menjadi wapres), dan 2014 (gagal menjadi presiden) mengingat terlampau sulit untuk mengejar ketertinggalan elektabilitas sebesar 20 % lebih.

Melihat dari segi momentum politik, jejak konstelasi diri, hingga kualitas deretan pendukungnya (pada pilpres 201)), mungkin Prabowo memang tidak ditakdirkan untuk menjadi presiden Indonesia, jalan kehidupan menempatkan Prabowo pada ketidakberuntungan politik yang menyulitkan Prabowo untuk memenangkan hati rakyat Indonesia.

Prabowo (mungkin) memang tidak ditakdirkan oleh Tuhan menjadi presiden Indonesia, namun dengan kapasitas diri, modal sosial, modal politik hingga modal kapital, Prabowo sejujurnya masih memiliki banyak peran dan lahan yang dapat digarap untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi positif bagi masyarakat, bangsa, dan negara ini.

Oleh karenanya, apapun hasil pilpres 17 April nanti, semoga pak Prabowo dapat menerimanya dengan lapang dada, berjiwa ksatria dan tak pernah berhenti untuk mendedikasikan dirinya bagi kemajuan bangsa dan negara ini, entah sebagai presiden Indonesia maupun tidak.



  • Terkadang alam tidak memberikan mu anugerah berupa keberuntungan, namun tanpa keberuntungan sekalipun seharusnya tidak menjadi penghalang bagi dirimu untuk menjadi manusia yang berguna.



Selesai ....

Jumat, 08 Maret 2019

SUPREMASI SIPIL DEMI TEGAKNYA DEMOKRASI



Menyeruaknya wacana penempatan perwira aktif TNI di lembaga sipil yang digulirkan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu lalu menimbulkan polemik, wajar saja wacana ini menimbulkan polemik, mengingat wacana ini seakan mengembalikan memorabilia kolektif masyarakat akan sebuah era gelap kekuasaan militer terhadap ranah sipil, dwi fungsi ABRI, yang memberi kesan traumatik bagi masyarakat akan sebuah rezim otoritarianisme yang lekat dengan pemberangusan HAM dan demokrasi.

Di era sebelum reformasi, kekuasaan militer memang cukup massif, tidak sekadar pada bidang pertahanan namun juga meliputi bidang sipil-politik. Sehingga tidak mengherankan, pada masa itu banyak anggota ABRI mengisi jabatan-jabatan sipil seperti anggota DPR, anggota MPR, Gubernur, dan Bupati. Doktrin The Middle Way menjadi paradigma kekuasaan militer saat itu.

Kembali pada pokok pembahasan, wacana penempatan perwira TNI aktif di lembaga sipil oleh Panglima TNI sendiri dilatarbelakangi oleh banyaknya perwira tinggi dan menengah dilingkup TNI yang “Nganggur” karena tidak memiliki jabatan struktural alias non-job. Menurut Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi, ada 650 orang perwira TNI yang non-job, terdiri dari 150 perwira tinggi berpangkat jenderal dan 500 perwira menengah berpangkat kolonel.

Merujuk Pasal 47 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, sejujurnya para prajurit TNI aktif dapat mengisi posisi diluar struktural TNI yakni pada kantor yang membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intilijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung. Namun hal ini nampak belum mampu mereduksi jumlah perwira TNI non-job secara signifikan.

Supremasi Sipil dan Solusi

Marcus Mietzner dalam bukunya “The politics of Military Reform in Post-Soeharto Indonesia” ( 2006 ) mengatakan bahwa supremasi sipil adalah sebuah syarat mutlak guna menjamin tegaknya HAM dan demokrasi di Indonesia. Supremasi sipil mengandung makna bahwa militer dalam konteks ini perwira aktif, tidak boleh lagi menempati jabatan-jabatan sipil.

Ada dua alasan penting mengapa penempatan perwira aktif TNI untuk mengisi jabatan sipil harus ditolak, pertama, mengkhianati agenda reformasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu agenda penting reformasi adalah penghapusan dwi fungsi ABRI sekaligus meletakkan militer ( TNI ) pada khitahnya guna menjalankan fungsi pertahanan negara. Sehingga, jika perwira aktif  TNI kembali “Dikaryakan” untuk mengisi jabatan-jabatan sipil tentu ini menjadi sebuah langkah mundur agenda reformasi kita.

Kedua, supremasi sipil. Supremasi sipil menjadi sebuah keniscayaan demi tegaknya demokrasi, supremasi sipil memiliki arti bahwa jabatan-jabatan sipil harus diisi oleh non-militer, distingsi antara sipil dan militer menjadi sebuah hal penting dalam kehidupan demokrasi, guna mempertegas peran dan fungsi antara sipil dan militer agar tercipta balance system of state.

Secara konseptual, militerisasi dalam jabatan sipil harus kita tolak dengan 4 landasan, pertama filosofis, secara filosofis tugas militer dalam hal ini TNI adalah guna menjalankan fungsi pertahanan negara bukan fungsi sipil, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat ( 3 ) UUD NRI Tahun 1945, kedua sosiologis, mayoritas masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan menolak wacana pengisian jabatan sipil oleh perwira TNI aktif, dalam hal ini aspek kedaulatan rakyat tentunya harus dipertimbangkan.

Ketiga historis, wacana menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil dapat mengembalikan memori traumatik kolektif masyarakat akan sebuah era kelam bagi supremasi HAM dan demokrasi. Keempat futuristik, wacana menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil harus kita tolak sebagai langkah preventif guna mencegah potensi terjadinya otoritarianisme pada masa mendatang. Otoritarianisme akan mudah hidup jika fungsi sipil lemah dalam artian fungsi sipil di substitusi oleh kekuasaan militer.

Jika wacana menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil dilatarbelakangi oleh banyaknya perwira yang non-job, maka saya memiliki 3 solusi efektif guna mengatasi problematika tersebut tanpa menggerus sisi supremasi sipil, pertama, pengurangan usia pensiun bagi perwira tinggi dari 58 tahun menjadi 56 tahun, dimana hal ini secara bertahap akan memiliki dampak signifikan guna menekan presentase perwira TNI yang nganggur, kedua, penambahan pos jabatan struktural baru dilingkup TNI, namun hal ini tentunya membutuhkan dana operasional yang besar sehingga perlu dikaji secara seksama dan komprehensif, ketiga, perwira TNI aktif boleh mengisi jabatan-jabatan sipil, namun setelah mengisi jabatan sipil statusnya berubah menjadi sipil bukan militer.

Oleh karenanya, ketiga solusi yang saya utarakan diatas perlu diakomodir melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang TNI, revisi bukan untuk menempatkan perwira aktif TNI dalam jabatan sipil, namun guna mengurangi jumlah perwira TNI non-job sekaligus menjaga marwah supremasi sipil demi tegaknya demokrasi.






Jumat, 01 Maret 2019

PERBEDAAN ADALAH KHITAH KEHIDUPAN TERMASUK PERBEDAAN PILIHAN POLITIK



Esensi dari keindahan adalah bersatunya segala perbedaan * Felix Mendelssohn *


Satu konsekuensi hidup yang pasti dihadapi oleh seorang manusia dan tak akan pernah bisa dihindarinya adalah realitas bahwa hidup ini tersususun atas sekat-sekat perbedaan dalam segala entitasnya. Perbedaan adalah khitah kehidupan, ciptaan Tuhan, sekaligus konsekuensi hidup yang mesti dijalani oleh seorang manusia di dunia ini.

Perbedaan adalah sebuah conditio sine quanon dalam kehidupan, manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya perbedaan, ambil contoh sederhana, apakah kehidupan ini bisa terus berlangsung andaikata semua manusia hanya berjenis kelamin laki-laki tanpa ada manusia yang berjenis kelamin perempuan ? jawabannya tentu saja tidak.

Apakah kehidupan ini akan bisa seimbang seandainya semua manusia memiliki pekerjaan yang sama, misalnya petani semua, pengusaha semua, atau pegawai semua ? jawabannya tentu saja tidak. Pada titik ini kita bersama harus mahfum bahwa perbedaan pada hakikatnya ada dan berfungsi guna menciptakan keberlangsungan dan keseimbangan hidup manusia.

Dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa perbedaaan adalah sebuah keniscayaan sebagai ketetapan Allah SWT, hal ini tercantum dalam Surat Al-Maidah ayat 48 : “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-NYA kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”

Ayat diatas menegaskan bahwa perbedaan sejatinya adalah karunia sekaligus kehendak Tuhan, perbedaan adalah sebuah keniscayaan hidup yang seharusnya dirawat dan didayagunakan untuk menyemai tamansari kebajikan guna tercipta harmoni bagi kehidupan bersama, bukan malah sebaliknya, justru digunakan untuk menanam rasa kebencian dan permusuhan, yang pada akhirnya hanya menghabiskan energi kolektif serta merusak solidaritas kemanusiaan.

Oleh karenanya, kecerdasan sosial minimum yang harus dimiliki oleh seorang manusia dalam menjalani kehidupan adalah dengan tidak membenci perbedaan dalam segala entitasnya. Perbedaan adalah khitah kehidupan, ciptaan Tuhan sekaligus konsekuensi hidup yang mestinya disadari secara penuh oleh seorang manusia, ketika seorang manusia membenci manusia lain karena alasan perbedaan, sejujurnya manusia tersebut sedang melawan kodrat kehidupan.

Perbedaan Pilihan Politik Sebuah Keniscayaan

Masyarakat Indonesia sejatinya adalah masyarakat yang telah akrab dan mendarah daging dengan realitas perbedaan, mengingat kontur masyarakat Indonesia bersifat heterogen dengan berbagai entitas perbedaan baik suku, agama, ras, budaya dan lain-lain. Oleh karena itu, semboyan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 36 A UUD NRI Tahun 1945 adalah bhinneka tunggal ika yang berarti meskipun berbeda-beda tetap satu jua, bangsa Indonesia.

Meski secara historis-sosiologis masyarakat Indonesia telah akrab dan mendarah daging dengan berbagai entitas perbedaan, namun semua itu terasa sirna ketika berbicara mengenai perbedaan pilihan politik khususnya pada pilpres 2019 ini. 

Pilpres 2019 mampu mempolarisasi dan mendistingsi masyarakat kedalam dua kelompok secara tegas yakni kubu pendukung Jokowi dan kubu Pendukung Prabowo. Dalam dinamikanya, kedua kelompok ini pun sering terlibat friksi, baik dalam ruang sosial maupun dunia maya seperti saling hina, saling fitnah, perkelahian fisik, bahkan hingga terjadi pembunuhan. Sungguh miris.

Fanatisme politik sempit menyebabkan masyarakat tidak mampu menempatkan kontestasi pilpres pada tempat yang semestinya, pilpres yang pada khitahnya adalah sarana bagi masyarakat guna membawa kemaslahatan bersama, justru dimaknai oleh masyarakat sebagai ajang perkubuan dan persaingan kekuasaan secara membabi buta. Paradigma seperti inilah yang menyebabkan seseorang melihat pihak lain yang berbeda pilihan politik sebagai musuh.

Dalam kehidupan demokrasi, dimana kemerdekaan pikiran dan hati nurani dilindungi dan dijamin secara konstitusional, maka menjadi sebuah hal yang lumrah jika terdapat perbedaan pandangan, pendapat, dan juga pilihan politik. Setiap manusia memiliki konstelasi diri yang berbeda dengan manusia lainnya, baik dari segi latar belakang keluarga, agama, pekerjaan, tingkat pendidikan, lingkungan sosial dll, dimana hal tersebut akan berpengaruh dalam menentukan sikap dan pandangan politik seseorang tersebut. Jadi, perbedaan pilihan politik pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan, yang seharusnya disikapi secara biasa sebagai sebuah konsekuensi hidup dalam ruang demokrasi. 

Menurut hemat saya, ada 3 paradigma pemikiran yang harus dimiliki oleh masyarakat agar tidak terjerumus dalam fanatisme politik sempit yang dapat berimplikasi pada disharmonisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pertama, masyarakat harus menyadari bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan hidup yang tidak mungkin bisa dihindari, perbedaan adalah konsekuensi kehidupan yang seharusnya dirawat guna menyemai nilai-nilai kebajikan dan harmonisasi hidup. Kedua, masyarakat harus menyadari bahwa pilpres adalah sarana guna mewujudkan kemaslahatan bersama bukan kemaslahatan golongan tertentu saja, sehingga perbedaan pilihan politik hendaknya disikapi secara normal dan wajar tanpa menggerus persatuan, persaudaraan, dan rasa kemanusiaan. Ketiga, masyarakat harus mampu menempatkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai panduan sikap dan moral dalam kehidupan demokrasi, dengan demikian, perbedaan pilihan politik tentu akan mawujud dalam adu gagasan dan narasi konstruktif yang berimplikasi pada menguatnya ikatan kohesi sosial masyarakat.

Elite politik, akademisi, tokoh agama, tokoh adat, dan pihak-pihak lain yang memiliki daya influencer hendaknya mampu memberikan suri tauladan kepada masyarakat bagaimana menyikapi perbedaan pilihan politik dalam kontestasi pilpres secara bijak dan konstruktif. Narasi-narasi positif harus senantiasa dikumandangkan ditengah persaingan kontestasi pilpres yang ada.

Pada akhirnya, mari kita jadikan perbedaan pilihan politik pada pilpres 2019 ini sebagai sebuah control balance dan ruang wacana untuk menyemai gagasan-gagasan substansial demi kemajuan bangsa dan negara, debat boleh saja, namun persatuan, kesatuan, persaudaraan, serta rasa kemanusiaan harus kita letakkan diatas segalanya.


Selesai