Rabu, 01 Desember 2021

PUISI: KOTA JANGKAR KERAMAT

Kecil lengang tapi memikat

Panas menyengat namun mempesona

Seperempat abad memeluk erat

Beragam cerita terukir dalam kalbu

Selalu terpatri, Stadion Krida yang mendebarkan jantung itu

Terngiang selalu, pekatnya secangkir kopi lelet nan candu

Terpahat dalam maji, kisah lirih masa muda putih abu-abu  

Les Blues atau Ole-Ole menjadi labuhan sunyi asmara malam Minggu

Rembang, Kota Jangkar Keramat

Setiap sudut kota mu, terendap aroma rindu





Senin, 02 Agustus 2021

KONSTRUKSI NOTOIRE FEITEN NOTORIUS DALAM PEMBUKTIAN HUKUM PIDANA

 

           Dalam doktrin hukum acara pidana dikenal beberapa teori pembuktian. Teori pembuktian di sini berbicara mengenai dasar bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus dasar formal untuk menjatuhkan pemidanaan. Berikut beberapa teori pembuktian pidana yang dikenal di dalam doktrin.

Pertama, teori pembuktian conviction in time. Adalah pembuktian dengan hanya menggunakan keyakinan hakim an sich tanpa perlu adanya alat bukti formal. Kedua, teori pembuktian conviction in raisonee. Adalah pembuktian dengan menggunakan keyakinan hakim tanpa alat bukti formal tetapi keyakinan hakim tersebut harus dilandasi oleh alasan dan argumentasi yang logis.

Ketiga, teori pembuktian positif. Sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tanpa adanya keyakinan hakim. Keempat, teori pembuktian negatif. Sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti formal sebagaimana ditentukan oleh undang-undang serta keyakinan hakim.

Pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sendiri menganut teori pembuktian negatif. Hal ini bisa dilihat melalui ketentuan Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya

Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) ditentukan jenis-jenis alat bukti, meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kemudian dalam Pasal 184 ayat (2) terdapat klausula “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP ini disebut sebagai Notoire Feiten Notorius.

Dalam penjelasan Pasal 184 ayat (2) sendiri tidak ditemukan maksud (arti) dari pada “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (2010) menjelaskan bahwa arti dari pada “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP merujuk pada keadaan atau peristiwa yang diketahui oleh umum. Atau perihal suatu keadaan yang akan selalu mengakibatkan dampak sebagaimana yang telah menjadi pengalaman umum.

Contoh dari pada “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” (notoire feiten notorius) misalnya api itu bersifat panas, banjir itu menyebabkan genangan air, lahar dari gunung meletus itu panas, pisau itu termasuk senjata tajam, dan hal umum lainnya.

Dalam relasinya dengan ihwal pembuktian, notoire feiten notorius memiliki peran konstruksi yang harus dipahami. Pertama, hakim dapat menjadikan notoire feiten notorius sebagai kenyataan untuk menguatkan argumentasi putusan terkait penilaian terhadap suatu peristiwa atau keadaan tanpa perlu membuktikan lagi.

Kedua, notoire feiten notorius bukanlah alat bukti formal sehingga tidak bisa menjadi dasar validitas bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana. Dasar validitas bagi hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana merujuk pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yakni minimal 2 alat bukti serta keyakinan hakim.

Ketiga, notoire feiten notorius dapat digunakan oleh hakim untuk memperoleh dan memperkuat keyakinan yang didapat dari alibi atau keterangan terdakwa, saksi, atau penuntut umum ketika merujuk pada peristiwa atau keadaan tertentu yang resultantenya sudah menjadi pengalaman umum ‘bahwa hasilnya akan demikian’ namun diingkari oleh terdakwa, saksi, atau penuntut umum. Misalnya ketika terdakwa membuat alibi bahwa ia tidak menyangka bahwa pisau yang di goreskan ke tubuh korban dapat menyebabkan korban terluka. Padahal menurut pengalaman umum (notoire feiten notorius) pisau merupakan benda tajam yang bisa menyebabkan luka jika digoreskan pada tubuh manusia.

 

PENEGAKAN HUKUM PIDANA ASIMETRIS

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan menciptakan kedamaian pergaulan hidup.

Prof. Satjipto Rahardjo dalam buku Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (2002) memberikan definisi penegakan hukum sebagai suatu usaha mewujudkan ide-ide keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum menjadi kenyataan. Penegakan hukum hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Apa yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto dan Satjipto Rahardjo di atas merupakan pengertian penegakan hukum dalam arti sosiologis (menyerasikan hubungan nilai) dan arti filosofis (perwujudan ide-ide). Sedangkan secara yuridis-normatif, penegakan hukum merupakan kegiatan untuk menegakkan dan memfungsikan norma-norma hukum sebagai pedoman perilaku dalam relasi hubungan privat (hukum privat) maupun perkara publik (hukum publik). Secara lebih konkret, penegakan hukum dapat diartikan sebagai usaha menegakkan hukum materil dengan menggunakan sarana hukum formil.

Ditinjau dari sudut subyeknya. Penegakan hukum dapat ditelaah dalam arti yang luas maupun konkret (sempit). Dalam arti luas, penegakan hukum melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan hukum positif atau melaksanakan sesuatu maupun tidak melaksanakan sesuatu dengan alasan basis aturan hukum, maka subyek tersebut pada dasarnya telah menegakkan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum merujuk pada tugas dan kewajiban secara spesifik dari aparatur penegak hukum untuk menegakkan norma hukum yang berlaku.

Penegakan hukum dalam arti yuridis dan subyek yang konkret salah satunya adalah penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana sendiri didefinisikan sebagai proses yuridis menegakkan hukum pidana materil dengan sarana hukum pidana formil (KUHAP) untuk melindungi kepentingan hukum publik baik negara, masyarakat, maupun individu.

Dalam praktis implementasinya, penegakan hukum pidana dilaksanakan melalui sistem prosedural bernama sistem peradilan pidana yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai sebuah kesatuan mekanisme kerja yang integral.

Secara teoritik maupun praktis, efektivitas penegakan hukum pidana juga sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel sebagaimana dijelaskan oleh teori efektivitas hukum, Soerjono Soekanto dalam buku Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (2008), yang meliputi: faktor hukumnya sendiri (aturan), faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.

Teori efektivitas hukum inilah yang kemudian dapat menjadi basis konstruksi penjelasan terkait distingsi penegakan hukum pidana Joseph Golstein. Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian. Total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement.

Pertama, total enforcement. Adalah penegakan hukum pidana sebagaimana dirumuskan oleh hukum pidana materil (substantif). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin bisa diaktualisasikan secara real mengingat adanya pembatasan-pembatasan prosedural dalam hukum acara pidana. Selain itu, terkadang hukum pidana materil itu sendiri yang memberikan batasan-batasan, misalnya terkait delik aduan.

Kedua, full enforcement. Adalah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang tersisa dari area total enforcement. Dalam penegakan hukum pidana full enforcement penegak hukum diharapkan mampu menegakkan hukum pidana secara maksimal, walaupun ada keterbatasan-keterbatasan praktis.

Ketiga, actual enforcement. Menurut Joseph Golstein, full enforcement dianggap sebagai not a realistic expectation yang disebabkan adanya keterbatasan-keterbatasan teknis seperti jumlah personil, sarana dan pra-sarana, maupun biaya yang pada akhirnya mengharuskan adanya diskresi maupun keterasingan jangkauan penegakan hukum (penegakan hukum asimetris). Sisa area dari total enforcement dan full enforcement inilah yang disebut sebagai actual enforcement.

Berdasarkan prinsip actual enforcement inilah seringkali terwujud fenomena penegakan hukum pidana asimetris. Penegakan hukum pidana asimetris merupakan penegakan hukum yang bersifat parsial dalam satu obyek perkara pidana tertentu yang sama namun dilakukan di waktu atau tempat yang berbeda karena latar belakang adanya keterbatasan teknis dalam penegakan hukum pidana.

            Contoh sederhana penegakan hukum pidana asimetris, misalnya si A mengendarai sepeda motor tanpa SIM dan helm di jalanan yang sepi jauh dari kota, tidak ditilang oleh polisi karena kebetulan tidak ada operasi kepatuhan lalu lintas. Sedangkan si B mengendarai sepeda motor tanpa SIM dan helm di jalanan kota dan ditilang polisi yang melaksanakan operasi kepatuhan lalu lintas.

            Dari fenomena tersebut, pada dasarnya si A maupun si B telah melakukan pelanggaran pidana terkait hukum lalu lintas. Akan tetapi, pada keduanya tidak terjadi penegakan hukum pidana yang sama. Si A aman dari tilang karena tidak ada operasi kepatuhan lalu lintas, sedangkan si B ditilang karena di jalan yang dilaluinya terdapat operasi kepatuhan lalu lintas.

Peristiwa tersebut merupakan contoh aktualisasi penegakan hukum pidana yang secara empiris terkendala oleh keterbatasan-keterbatasan teknis sehingga terjadi penegakan hukum pidana asimetris sebagaimana penegakan hukum pidana actual enforcement yang dikemukakan oleh Joseph Golstein. Penegakan hukum pidana asimetris sendiri seringkali terjadi pada tindak pidana yang bersifat pelanggaran (mala in prohibitia) namun beberapa juga terjadi pada tindak pidana kejahatan (mala in se).

         

 

FATWA MUI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

 

Pada saat pemilu 2019 lalu, saya teringat sebuah peristiwa dimana Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait haramnya golput dalam pemilu menyeruak dan menimbulkan diskursus bahkan kontroversi di tengah masyarakat yang terpolarisasi.

Secara substansi, Fatwa MUI terkait haramnya golput berisi larangan bagi umat Islam untuk golput atau tidak menggunakan hak pilih pada pemilu jika terdapat calon yang memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan.

Sejujurnya, fatwa tersebut dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Namun, naiknya ekskalasi suhu politik ketika itu, membuat Fatwa MUI terkait haramnya golput memantik reaksi yang menurut saya (ketika itu) tidak dilandasi oleh bekal pemahaman dan penghetahuan yang memadai.

Ketika itu, masyarakat terbelah dalam menyikapi keluarnya Fatwa MUI terkait haramnya golput. Ada yang mengapresiasi, karena hal itu menunjukkan sikap dan kepedulian MUI akan entitas ruang demokrasi, namun tidak sedikit pula yang mencerca serta mengaitkannya dengan tendensi kepentingan politis salah satu paslon capres-cawapres guna mendongkrak suara pada pemilu mendatang.

Golongan yang (akan) golput pada pemilu waktu itu pun meradang, bahkan ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa Fatwa MUI tersebut telah membinasakan dan membatasi hak asasi manusia tentang kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut ketentuan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tergolong sebagai hak non-derogable right atau hak yang tidak bisa dibatasi dan dikurangi dalam keadaan apapun.

Pendapat tersebut terkesan lucu, lha wong Fatwa MUI kan bukan hukum positif (formal) yang keberlakuannya tidak bisa dipaksakan dengan menggunakan sanksi hukum serta alat-alat kekuasaan negara. Lalu apa yang dibinasakan dan dibatasi? Kan setiap orang tetap memiliki kebebasan bersikap tanpa melahirkan implikasi sanksi heteronom (sanksi negara). Kecuali kalau ada undang-undang yang mengatur bahwa golput dapat dipidana nah itu baru bisa disebut sebagai pembinasaan dan pembatasan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.

Perlu dipahami bahwa Fatwa MUI itu pendapat hukum (legal opinion) bukan hukum dalam arti formal, sehingga boleh diikuti boleh juga tidak. Bagi pihak yang merasa terikat dengan Fatwa MUI tersebut, maka akan melahirkan sanksi otonom atau sanksi pribadi misalnya merasa berdosa jika tidak melakukannya. Sebaliknya, bagi pihak yang merasa tidak terikat dengan Fatwa MUI tersebut ya tidak akan melahirkan sanksi apapun.

Tidak hanya Fatwa MUI, Fatwa Mahkamah Agung sekalipun juga bukan merupakan hukum formal. Tetapi, legal opinion yang tidak bersifat imperatif namun bersifat sebagai bahan pertimbangan terkait problematika hukum tertentu, yang boleh diikuti maupun tidak diikuti tanpa konsekuensi hukum apapun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah diatur mengenai hierarkhi dan jenis peraturan perundang-undangan beserta ketentuan implikasi hukum tertentu. Berdasarkan undang-undang tersebut, dapat diketahui bahwa secara letterlijk Fatwa MUI tidak tergolong sebagai peraturan perundang-undangan (hukum formal).

Meskipun tidak termasuk sebagai hukum formal yang keberlakuannya tidak bisa dipaksakan secara imperatif dengan sanksi negara dan alat kelengkapan negara, namun kehadiran Fatwa MUI dalam ruang sosial-kenegaraan tetap penting sebagai rujukan umat muslim terkait bagaimana menyikapi fenomena atau problematika aktual yang belum terang bagaimana hukum syar’inya. Oleh karena itu, Fatwa MUI berfungsi sebagai opinion maker yang berfungsi untuk menuntun umat menuju tata kehidupan dan perilaku yang baik (saleh) yang kemudian akan berimbas positif bagi relasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

 

 

LEGALITAS DAN LEGITIMASI HUKUM

            Konsepsi mengenai hukum setidaknya dapat ditelaah dalam tiga tinjauan perspektif yakni filosofis, sosiologis, dan normatif-yuridis. Ketiga tinjauan perspektif tersebut memiliki basis validitas dan value yang berbeda satu sama lain. Meskipun pada dasarnya tidak saling kontradiktif, namun secara empirik, integrasi antara ketiganya dalam suatu entitas yang sama agaknya cukup sulit atau jarang terwujud.

Secara filosofis, hukum dikonsepsikan sebagai asas dan nilai keadilan yang bersifat kodrati dan universal. Dalam tinjauan filosofis, hukum harus inheren dengan nilai keadilan. Validitas sebuah hukum ditentukan dari unsur materialnya apakah mengandung nilai dan konsepsi mengenai keadilan atau tidak. Basis filosofis, acuannya adalah idealitas atau norma dasar.

            Secara sosiologis, hukum dikonsepsikan sebagai gejala sosial dan realitas-realitas empirik yang mempengaruhi pola perilaku dan hubungan sosial masyarakat. Dalam tinjauan sosiologis, validitas sebuah hukum ditentukan dari unsur fungsionalnya dalam ruang sosial. Basis sosiologis, acuannya adalah realitas empiris.

            Terakhir, secara yuridis-normatif, hukum dikonsepsikan sebagai peraturan formal yang dibentuk oleh lembaga atau pejabat resmi yang berwenang (in abstracto) serta putusan pengadilan (in concreto). Dalam tinjauan yuridis-normatif, validitas sebuah hukum ditentukan oleh unsur formal subyektif (yang berwenang) dan unsur formal obyektif (prosedural). Basis yuridis-normatif, acuannya adalah prosedur formal.

            Jika dilihat dalam kerangka nilai keberlakuan hukum, perspektif filosofis dan perspektif sosiologis memiliki adresat terhadap aspek legitimasi hukum. Sedangkan perspektif yuridis-normatif memiliki adresat terkait aspek legalitas hukum.

            Legalitas berbeda dengan legitimasi. Legalitas berbicara mengenai keabsahan secara formal-prosedural sedangkan legitimasi berbicara mengenai penerimaan secara substansial yang dilatarbelakangi adanya relevansi terhadap aspek fungsional dan akomodasi aspirasi.

            Dalam realitasnya, seringkali kita menjumpai sebuah peraturan perundang-undangan (hukum) yang sah secara legalitas formal namun tidak memiliki aspek legitimasi hukum. Dampaknya, aturan hukum yang seperti itu akan mendapatkan resistensi dan penolakan yang luas dari publik.

Contoh aktual adalah mengenai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 yang salah satu substansinya mengatur mengenai perizininan industri minuman keras secara asimetris. Meskipun peraturan hukum tersebut memenuhi aspek legalitas formal, namun peraturan hukum tersebut tidak memiliki basis legitimasi hukum, karena bertentangan dengan nilai filosofis (moral bangsa) dan aspirasi sosiologis.

Kemudian ada juga fenomena terkait sebuah peraturan hukum yang absah secara yuridis dan tidak bertentangan dengan konstitusi namun bertentangan dengan nilai filosofis dan sosiologis sebagai sebuah konstruksi hukum. Misalnya Undang-Undang Pilkada yang tidak memberikan larangan terhadap praktik dinasti politik atau Undang-Undang MD3 yang tidak membatasi periodesasi masa jabatan anggota DPR. Aturan tersebut memang sah secara hukum dan konstitusi, namun aturan tersebut telah mencederai prinsip demokrasi (kesetaraan) dan regenerasi kepemimpinan yang berafiliasi dengan aspek filosofis dan sosiologis hukum.

Ada juga fenomena sebuah peraturan hukum yang memenuhi aspek filosofis dan sosiologis namun bertentangan dengan aspek yuridis-normatif. Misalnya saat KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang membatasi hak eks narapidana korupsi untuk ikut dalam kontestasi calon legislatif. Aturan hukum tersebut secara filosofis dan sosiologis mungkin baik, akan tetapi tidak memenuhi aspek yuridis-normatif, karena pembatasan hak asasi manusia menurut konstitusi hanya bisa dilakukan dengan basis hukum undang-undang bukan aturan hukum di bahwa undang-undang.

Oleh karena itu, hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi aspek filosofis, aspek sosiologis, dan aspek yuridis. Dengan demikian, hukum tersebut akan memiliki keberlakukan yang kuat baik secara idealitas, realitas-fungsional, dan formalitas. Konkretnya, hukum yang baik adalah hukum yang memiliki basis legitimasi sekaligus legalitas hukum.