Kamis, 31 Januari 2019

PROSTITUSI DAN ASPEK HUKUM



Beberapa waktu lalu publik dibuat geger atas peristiwa penggrebekan dan penangkapan artis yang diduga terlibat jaringan prostitusi online oleh unit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim, pada saat penggrebekan polisi berhasil mengamankan 4 orang, yang terdiri dari dua artis berinisial VA dan AS serta dua pihak yang diduga bertindak sebagai mucikari berinisial ES dan TN, pada awalnya keempat orang tersebut ditetapkan sebagai saksi, namun dari informasi terakhir, keempatnya kini sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Jika kita telaah seksama, sejujurnya “Kegegeran” beberapa waktu lalu yang denyutnya masih terasa hingga detik ini pada dasarnya tidak terletak pada substansi masalah yakni prostitusi, melainkan terletak pada subyek yang terlibat prostitusi yang menyeret pesohor negeri ini yakni artis.

Prostitusi yang menyeret nama artis sendiri sejatinya juga bukan sebuah fenomena baru, namun tetap saja, peristiwa ini booming lantaran efek komodifikasi informasi yang masif dari media baik media cetak maupun media online.

Praktek prostitusi sendiri secara empirik telah ada sejak dahulu sebelum negara ini merdeka, dan bertahan hingga saat ini, baik secara laten maupun terbuka yang tentunya sudah lazim kita ketahui. Di kota-kota di Indonesia lazim kita temukan tempat-tempat prostitusi misalnya Sunan Kuning di Semarang, Saritem di Bandung, Doly di Surabaya (tutup), dan lain sebagainya.

Itu artinya, secara umum pada dasarnya kita telah mahfum bahwa praktek prostitusi telah menjadi semacam sub-kultur dalam kehidupan negeri ini.

Dalam pengertian umum prostitusi diartikan sebagai komersialisasi tubuh, yakni memperdagangkan tubuh untuk mendapakan keuntungan ekonomis, bahkan dalam konteks yang lebih kompleks, prostitusi dapat diartikan sebagai aktivitas menjual tubuh sebagai mata pencaharian.

Dalam prakteknya, modus operandi postitusi kini telah berkembang pesat sejalan dengan dinamika perkembangan zaman (iptek), yang kemudian berimplikasi terhadap perubahan model prostitusi yang kini tidak hanya mencakup prostitusi konvensional atau transaksi ditempat, namun mawujud juga menjadi prostitusi online yang melibatkan media daring baik untuk promosi maupun transaksi.

Sheila Jeffreys dalam bukunya yang berjudul The Industrial Vagina: The Political Economy of The Global Sex Trade (2009) mengatakan bahwa internet telah berperan besar dalam memudahkan terjadinya pariwisata seks, bisnis “Pengantin pesanan” serta bentuk-bentuk aktivitas pelacuran lainnya. Secara garis besar Sheila Jeffreys ingin mengatakan bahwa kemajuan teknologi (internet) telah memberikan sumbangsih besar bagi suburnya praktek prostitusi.

Jika ditinjau dalam perspektif sosiologi, maka terdapat 4 faktor penyebab yang menyebabkan maraknya praktik prostitusi  Pertama, faktor kemiskinan. Kedua, faktor demoralisasi atau hilangnya moralitas dan budaya malu. Ketiga, faktor kebutuhan dan gaya hidup. Keempat, faktor lemahnya pengawasan dari pranata sosial (termasuk hukum).

Sejalan dengan hal tersebut, maka strategi pemberantasan prostitusi hendaknya harus memperhatikan dan mencakup pendekatan terhadap 4 motif tersebut secara integral, faktor kemiskinan harus direduksi dengan tindakan ekonomi dan kesejahteraan sosial seperti pembukaan lapangan kerja, faktor demoralisasi harus ditekan dengan Pendekatan pendidikan dan spiritual, faktor kebutuhan gaya hidup harus ditekan pendekatan sosial dan ekonomi, sedangkan faktor lemahnya pengawasan pranata sosial dalam hal ini harus disikapi dengan peningkatan pengawasan.

Pada prinsipnya prostitusi harus diberantas dengan pendekatan multidisipliner dan semangat integralistik oleh semua stakeholders (termasuk platform media daring dan masyarakat), yang mengandung arti bahwa semua sub-sub sistem dalam kehidupan masyarakat seperti budaya, ekonomi, hukum, dan sosial harus didaya-gunakan secara optimal dan kolektif guna menekan praktek prostitusi.

Aspek Hukum

Diatas telah kita ketahui bersama bahwa salah satu strategi untuk memberantas praktek prostitusi adalah dengan meningkatkan pengawasan pranata sosial dalam hal ini adalah hukum pidana, membahas mengenai hukum dan prostitusi di Indonesia, maka akan terlihat betapa longgarnya peran hukum disitu. Dapat dikatakan peran hukum belum hadir secara nyata guna menekan praktek prostitusi lantaran konstruksi hukum yang ada hanya dapat menjerat pihak-pihak tertentu saja yakni mucikari dan penyedia tempat prostitusi yang biasanya dikenakan Pasal 296 KUHP dan UU Perdagangan Orang.

Sedangkan bagi pelaku materiil prostitusi yakni lelaki hidung belang dan sang perempuan penyedia jasa, secara umum tidak dapat dijerat secara hukum dengan alasan melakukan praktek prostitusi, memang ada faktor-faktor lain yang menyebabkan kedua pihak dapat dijerat oleh hukum, misalnya tentang perzinahan, namun hal ini juga baru bisa terpenuhi dengan terpenuhinya syarat-syarat khusus yakni salah satu pihak atau kedua-duanya terikat perkawinan serta ada pengaduan dari istri/suami mereka (mengingat perzinahan adalah delik aduan). Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan bisa dijerat secara hukum.

Kemudian ada lagi kondisi-kondisi dimana pihak materil yang melakukan praktek prostitusi dapat dijerat oleh hukum, misalnya jika pihak perempuan masih dibawah umur, maka si lelaki hidung belang dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak, selanjutnya apabila pihak perempuan mempromosikan dirinya (untuk prostitusi) melalui media daring dengan menampilkan konten pornografi maka bisa dijerat dengan UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (1).

Namun jika ditinjau secara umum, maka pelaku materiil praktek prostitusi tidak akan bisa dijerat secara hukum mengingat konstruksi hukum untuk menjeratnya belum ada.

Dalam hukum pidana terdapat postulat dasar yang menjadi landasan pokok dalam aktivitas penegakan hukum, postulat tersebut bernama asas legalitas yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana kecuali diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang sebagai sebuah tindak pidana” (nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali). asas ini sendiri tercantum secara letterlijk dalam pasal 1 ayat ( 1 ) KUHP.

Berangkat dari asas diatas, maka suatu perbuatan yang tidak diatur dalam Undang-Undang sebagai tindak pidana, otomatis tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana dan sekaligus tidak bisa diancam dengan pidana, sejalan dengan hal ini, maka agar pelaku prostitusi dapat dijerat secara hukum (pidana), maka perbuatan prostitusi tersebut harus diatur terlebih dahulu dalam UU sebagai sebuah tindak pidana dengan konstruksi hukum yang memadai guna menjerat pelaku materil.

Dengan melihat fakta ini, maka ada dua hal yang dapat dilakukan, pertama, berharap pada RUU KUHP yang baru agar segera disahkan, dimana terdapat perluasan konstruksi tindak pidana zina yang sekaligus dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi, kedua, mendorong pihak legislatif untuk membuat UU khusus terkait prostitusi agar dapat menjerat pelaku materil prostitusi.

Pada prinsipnya, selama pendekatan hukum terhadap praktek prostitusi lemah, otomatis akan selalu tercipta ruang-ruang subur bagi tumbuhnya praktek prostitusi, sejatinya lemahnya aspek hukum ini bisa dicover atau diminimalisir jika pendekatan sub-sub sistem sosial lainnya kuat (ekonomi, sosial, budaya dll) namun apabila pendekatan pada sub-sub sistem sosial lainnya juga cenderung lemah. Ya suburlah praktek prostitusi dinegara ini. Hmmmm ....









Senin, 28 Januari 2019

DEBAT HAMBAR MISKIN SUBSTANSI



Sebelum berlangsung debat calon presiden dan calon wakil presiden edisi pertama 17 Januari lalu, saya membayangkan akan tersaji sebuah debat yang substansial dan mencerdaskan, dimana tersaji adu gagasan, visi, misi, dan solusi secara lebih tajam dan konkret khususnya terkait bidang hukum, HAM, korupsi, dan terorisme yang menjadi tema debat edisi pertama tersebut.

Sebelum debat berlangsung, saya membayangkan berjalannya debat ibarat pertandingan sepak bola antara Barcelona vs Real Madrid, Persija vs Persib, atau Persebaya vs Arema yang pasti menyajikan pertandingan nan menghibur dan bercita rasa tinggi, namun ternyata ekspektasi saya jauh panggang dari api, berlangsungnya debat justru “Maaf” ibarat pertandingan liga 3 atau bahkan tarkam yang hambar dan tidak menarik untuk ditonton.

Debat malam itu antara Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak menghasilkan apa-apa, miskin substansi, dan hanya menghasilkan saling klaim menang debat antara kedua pendukung pasangan calon.

Cukup menggelikan memang melihat respon para pendukung kedua pasangan calon yang saling klaim menang debat, memangnya ini kompetisi debat yang tujuannya mencari menang ? memangnya ini lomba debat mahasiswa ?, bukan bapak-ibuk sekalian, debat ini bukan kompetisi untuk mencari menang namun sarana bagi publik untuk menghetahui bagaimana kapasitas dan kapabilitas calon presiden dan calon wakil presiden rakyat Indonesia pada pemilu 2019 ini, yang dapat dilihat melalui gagasan, visi, misi, dan solusi-solusi yang ditawarkan.

Menurut saya, debat edisi pertama tersebut kurang tepat rasanya kalau digunakan terminologi “Debat”, saya rasa akan lebih tepat jika digunakan terminologi “Tanya jawab”, mengingat berlangsungnya debat datar-datar saja, hambar, dan tidak menghasilkan suatu wacana dan narasi yang konstruktif dimana tersaji saling serang dan saling tangkis terkait permasalahan yang menjadi substansi tema debat.

Sejujurnya, kehambaran debat edisi pertama ini tidak semata-mata salah kedua pasangan calon, tetapi juga turut andil dari kualitas dan bobot pertanyaan yang menurut saya terlalu umum dan kurang konkret, misalnya pertanyaan tentang tumpang tindih aturan hukum dan tentang pembenahan birokrasi, pertanyaan tersebut saya kira masih terlalu generik.

Bagaimana jika pertanyaan tersebut diganti dengan pertanyaan “Apa langkah konkret anda jika terpilih nanti, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum terselesaikan” Pertanyaan tersebut saya kira lebih konkret dan mengena terhadap substansi tema debat, namun sayangnya pertanyaan semacam itu tidak ada dalam debat malam itu.

Disatu sisi, Jokowi dan Prabowo pun terkesan main aman untuk menutupi kelemahan mereka dengan tidak menyinggung kelemahan pihak lawan, Jokowi tidak menyinggung tentang pelanggaran HAM tahun 1998, sebaliknya Prabowo juga tidak menyinggung mengenai kasus Novel Baswedan yang terkesan dibiarkan oleh negara. Faktor ini turut berkontribusi membuat nuansa hambar pada debat malam itu.

Oleh karenanya, debat edisi pertama ini harus menjadi bahan evaluasi dan concern KPU guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan debat pada empat edisi debat selanjutnya, KPU harus mampu mengkonstruksi debat ini menjadi sarana yang dapat menunjukkan sejauh mana kapasitas dan kapabilitas kedua pasangan calon untuk menjadi pemimpin negara ini 5 tahun kedepan.

Melihat debat edisi pertama ini, saya yakin para swing voters yang menurut survey Indikator Politik Indonesia berada diangka 25 % masih belum akan menentukan pilihan, mengingat debat edisi pertama lalu tidak menunjukkan genuie kualitas dan kapasitas kedua pasangan calon.

Di satu sisi, menyikapi debat edisi pertama ini, saya pun berharap kepada kedua pasangan calon agar mampu menggunakan wahana debat pada edisi-edisi selanjutnya untuk mengkonstruksi tigal hal fundamental kepemimpinan bangsa, yang menurut Soekarno disebut sebagai trilogi daya cinta kepemimpinan, yakni: 1. Pemimpin harus mampu membuat rakyat mengenal dan menghetahui arah perjuangan dan tujuan yang hendak dituju, 2. Pemimpin harus mampu membangkitkan keyakinan kepada rakyat jika mereka mampu untuk mencapai tujuan itu, 3. Pemimpin harus mampu mendorong rakyat untuk bertindak konstruktif guna mencapai tujuan yang ditetapkan.

Trilogi daya cinta kepemimpinan tersebut harus mampu diejawantahkan oleh kedua pasangan calon pada debat-debat selanjutnya, karena pada intinya, debat harus menjadi wahana yang membuat rakyat mengetahui arah perjuangan dan tujuan yang ingin dicapai oleh seorang pemimpin, debat harus menjadi sarana yang membangkitkan keyakinan rakyat akan tercapainya sebuah tujuan, dan debat harus menjadi ajang yang dapat menggugah partisipasi rakyat dalam pembangunan negara (termasuk partisipasi pemilu)

Jika kedua pasangan calon dapat mengkonstruksi tiga hal fundamental kepemimpinan bangsa tersebut ke dalam narasi debat, maka saya yakin rakyat Indonesia akan antusias, bergelora dan responsif dalam menyambut penyelenggaraan pemilu 2019 ini. Hal ini tentu akan berimplikasi kepada menurunnya angka golput secara signifikan.

Pada akhirnya, saya berharap bahwa debat-debat edisi selanjutnya tidak boleh hambar dan miskin substansi seperti halnya pada debat edisi pertama lalu, empat sesi debat kedepan harus tajam dan substantif serta mampu mengejawantahkan trilogi daya cinta kepemimpinan.

Debat kedepan juga jangan lagi dipenuhi saling klaim menang debat, karena debat ini bukan tentang dan untuk menang-kalah, bukan, debat ini adalah untuk rakyat, untuk rakyat guna menilai dan menyakinkan pilihannya.


Sabtu, 26 Januari 2019

JIWA BANGSA DAN NILAI KEADILAN SUBSTANTIF



Hukum adalah cerminan jiwa bangsa “Volksgeist” yang bersumber dari adat istiadat serta nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu kelompok bangsa, oleh karena itu, tiap-tiap bangsa akan memiliki jiwanya sendiri-sendiri yang tentu saja berbeda dengan bangsa yang lain, perbedaan “Volksgeist” inilah yang idealnya berimplikasi pada perbedaan cara berhukum suatu bangsa dengan cara berhukum bangsa yang lain, sebuah bangsa A yang memiliki jiwa bangsa B tidak mungkin cocok manakala harus mengikuti cara berhukum bangsa lain yang memiliki jiwa bangsa D, begitulah kata Friedrich Karl Von Savigny seorang ahli sejarah hukum asal Jerman.

Karl Von Savigny menambahkan bahwa hukum itu pada hakikatnya tidak diciptakan, namun ia lahir dan tumbuh bersama masyarakat, berkembang bersama masyarakat, dan binasa manakala masyarakat telah kehilangan kepribadiaannya. Menurut Savigny hukum bukanlah formalitas peraturan perundang-undangan melainkan nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat dalam sebuah bangsa, itulah yang dinamakan jiwa bangsa “Volksgeist” yang memiliki ciri khasnya tersendiri dan menjadi serat pembeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.

Robert B. Seidman dalam penelitiannya pada tahun 1972 berhasil mengajukan sebuah dalil yang berbunyi the law of non-transferabillity of law yang pada prinsipnya mengatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa serta merta diambil begitu saja oleh bangsa lain, mengingat terdapat nilai-nilai sosio-kultural, struktur sosial dan historis-politis yang berbeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.

Menurut Bryan Z. Tamanaha, hukum dan masyarakat memiliki ikatan keterkaitan yang sangat erat, menurutnya, hukum dan masyarakat memiliki bingkai hubungan yang dinamakan the law-society framework dimana bingkai hubungan tersebut menghasilkan dua hubungan konkret. Pertama, the mirror theory, yang berarti hukum adalah cerminan masyarakat, disini hukum dipandang sebagai pengejawantahan ekspresi dari nilai-nilai, tradisi, dan keyakinan yang hidup dalam masyarakat, kemudian yang kedua, instrumentalis function, bahwa hukum itu berfungsi untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai, kebudayaan, ketertiban, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sehingga dapat dipahami bahwa idealnya hukum itu tidak bisa dipisahkan dari basis sosial secara kontekstual yakni masyarakat, memisahkan hukum dengan basis sosialnya, akan menjadikan hukum tidak memiliki daya keberlakuan soziologische geltung (sosiologis) dan filosofische geltung (filosofis). Akibatnya, hukum yang demikian hanya akan memiliki daya keberlakuan yuridis atau jurisdische geltung saja, yang kemudian membuat keberlakuan hukum terasa kaku, represif dan cenderung tidak dapat memberikan keadilan substantif kepada masyarakat.

Mengapa Keadilan Susbtantif di Indonesia Sulit Mawujud

Hukum hadir sebenarnya untuk siapa sih ? apakah untuk manusia ? atau hukum hadir untuk dirinya sendiri ?, hukum itu untuk menciptakan keadilan atau kepastian hukum ?, ontologis berpikir mengenai hukum tersebut akan memiliki derivasi paradigma berpikir yang kompleks dalam memahami dan memaknai hukum.

Bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk dirinya sendiri (otonom) dan menjamin kepastian hukum, maka hukum hanya dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic. Sebaliknya bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk manusia dan menciptakan keadilan, maka hukum tidak sekadar dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic, namun juga behaviour yang kuyup dengan ide, rasa, nilai-nilai, dan kearifan lokal basis sosialnya.

Daniel S. Lev seorang professor ilmu politik dan seorang indonesianis pernah berujar bahwa proses hukum di Indonesia hanya ditujukan untuk mengejar nilai hukum procedural yakni terpenuhinya ketentuan-ketentuan prosedural yang termaktub dalam peraturan formal, bukan untuk mengejar nilai hukum substantif yang berkaitan dengan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber didalam masyarakat khususnya terkait apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat.

Padahal substansi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam setiap eranya, baik dari UU No 14 Tahun 1970, UU No 4 Tahun 2004 hingga yang terbaru UU No 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan bahwa penegak hukum dalam hal ini hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hal ini mengindikasikan bahwa goals dari pada aktivitas berhukum kita adalah untuk mendapatkan nilai keadilan substantif bukan sekadar nilai keadilan formal-prosedural, namun dalam prakteknya, khususnya dalam hukum publik (pidana) hal demikian itu hanya nampak sekedar macan kertas.

Menurut Prof. Suteki, bangsa Indonesia adalah bangsa oriental yang memiliki adat budaya ketimuran dan kepribadian neo-mistisme, yang berimplikasi pada cara berpikir, berperilaku dan memahami sesuatu dengan mengutamakan rasa, kolektivitas, dan makna yang kesemuanya itu tercakup dalam Pancasila sebagai jiwa bangsa.

Modal sosial inilah yang seharusnya ditransplantasi ke dalam cara berhukum di Indonesia, cara berhukum di Indonesia harus diletakkan guna mencari keadilan substantif bukan keadilan formal-prosedural, keadilan substantif adalah keadilan yang tidak dihasilkan dari sekadar penerapan ketentuan formal-prosedural namun keadilan yang digali dari rasa dan hati nurani guna mewujudkan makna.

Namun dalam kenyataannya sebagaimana saya singgung diatas, cara berhukum di Indonesia justru lebih mengutamakan nilai keadilan formal-prosedural dengan paradigma positivisme yang rules dan logic yang merupakan ciri khas bangsa barat, dalam perspektif positivisme, hukum hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan dirinya sendiri yang terpisah dengan basis sosialnya yakni masyarakat, dalam perspektif positivisme hukum, cara untuk memperoleh keadilan adalah dengan cara menegakkan hukum formal secara rigid.

Di satu sisi, produk-produk hukum peninggalan Belanda sendiri masih digunakan hingga saat ini dan hal itu berimplikasi kuat dalam mempengaruhi cara berhukum kita yang kaku dan formalistik.

Cara berhukum yang kaku dan mendewakan rules dan logic demikian akan membuat hukum tampil sebagai mesin otomat yang kering dengan basis socio-legalnya. Cara berhukum yang demikian itu cenderung hanya akan melahirkan keadilan formal-prosedural bukan keadilan substantif, karena keadilan substantif sendiri tidak bisa dipasung dalam pasal-pasal formal yang statis, melainkan berkembang dinamis dalam kompleksitas kasuistis.

Masyarakat Indonesia sebagai bangsa oriental yang memiliki adat budaya ketimuran dan kepribadian neo-mistisme yang mengutamakan rasa, kolektivitas, dan makna sebagai pengejawantahan dari Pancasila sebagai jiwa bangsa tidak akan cocok jika menggunakan cara berhukum ala bangsa barat (positivisme hukum) yang begitu menonjolkan rules dan logic. Oleh karenanya, positivisme hukum yang menjadi paradigma berhukum kita selama ini dalam prakteknya seringkali mencederai rasa keadilan masyarakat dan membuat masyarakat Indonesia menggerutu seraya berkata “lho kok ngono gak adil iki”.

Beberapa kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat misalnya perkara Lanjar Sriyanto, seorang petani miskin asal Karanganyar yang diputus bersalah oleh Mahkamah Agung karena kelalaian berkendara yang menyebabkan istrinya meninggal dunia, ia dihukum percobaan 2 bulan 14 hari karena melanggar pasal 359 KUHP.

Lanjar Sriyanto yang sudah kehilangan istri tercintanya, masih “terpaksa” mengikuti sejumlah prosedur hukum dari penyidikan, penuntutan, persidangan di Pengadilan Negeri, persidangan banding di Pengadilan Tinggi, hingga persidangan kasasi di Mahkamah Agung. Apakah itu adil ? seorang suami yang telah kehilangan istrinya yang tentunya mengalami kesedihan mendalam, masih harus menjalani prosedur hukum yang panjang nan menguras energi, apalagi jika dikaitkan lebih jauh dengan kondisi anak Lanjar Sriyanto yang telah kehilangan ibunya, lalu siapa yang mendidik dan memberi nafkah anak Lanjar Sriyanto, jika Lanjar Sriyanto tengah menjalani prosedur hukum nan panjang dan berbelit, hal ini tentunya menjadi peristiwa yang mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat.

Perkara Lanjar Sriyanto diatas hanya sebagaian kecil dari banyak contoh kasus ketidakadilan hukum di negeri ini yang disebabkan karena hukum difungsikan secara kaku, rules, dan logic, tanpa memperhatikan rasa dan makna, seharusnya menegakkan hukum tidak sekadar menegakkan prosedur dan menerapkan pasal-pasal formal melainkan juga memperhatikan tujuan filosofis dari aktivitas penegakan hukum itu sendiri. Menegakkan hukum harusnya dipahami sebagai aktivitas bringing to justice bukan sekadar aktivitas formal-prosedural, sehingga ketika dalam penegakan hukum, hukum yang ada terasa tidak adil, maka penegak hukum harus berani melakukan apa yang dinamakan “rule breaking”  atau penerobosan hukum untuk menghadirkan keadilan hakiki (substantive justice).

Menurut Satjipto Rahardjo rule breaking digunakan dengan 3 cara. Pertama, mempergunakan kecerdasan spiritual atau dalam bahasa Satjipto disebut mesu budi. Kedua, pencarian makna lebih dalam, dalam konteks disiplin hermeneutika disebut sebagai verstahen method. Ketiga, hukum hendaknya ditegakkan tidak berdasarkan prinsip logika saja, melainkan dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan (comppasion) pada kaum yang lemah dan marjinal.

Rule breaking dalam pandangan saya sendiri memiliki dua segi. Pertama, segi positif, makna rule breaking adalah mencari keadilan dengan jalan menemukan asumsi-asumsi fundamental didalam masyarakat dan hati nurani mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil untuk diterapkan dalam suatu kasus, sedangkan dari segi kedua yakni segi negatif, makna rule breaking adalah dengan jalan tidak menegakkan hukum yang berlaku demi tegaknya keadilan substantif (the non enforcement of law for a substantive justice).

Maka dari itu, kedepan paradigma dan cara berhukum di Indonesia harus disesuaikan dengan basis sosial kontekstualnya yakni masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa bangsa Pancasila, masyarakat Indonesia sebagai bangsa oriental dengan adat budaya ketimuran (neo-mistical) yang mengedepankan rasa, kolektivitas, dan makna tidak akan cocok jika diterapkan dengan cara berhukum ala bangsa barat yang mengedepankan rules, ratio dan logic. Jika itu yang diterapkan (seperti saat ini), maka keadilan substantif yang menjadi tujuan mulia dari hukum akan sulit mawujud dalam iklim dan dinamika berhukum kita.

Werner Mensky dalam bukunya “The Comparative Law in a Global Context” sebenarnya sudah mensinyalir bahwa cara berhukum bangsa Asia-Afrika itu berbeda dengan cara berhukum bangsa barat, bangsa barat dengan tingkat kohesi sosial yang rendah dan minim nilai-nilai kearifan lokal memang cocok dengan pendekatan positivisme hukum, namun untuk negara-negara di Asia dan Afrika (termasuk Indonesia) yang masih kuyup dengan nilai-nilai religi, kearifan lokal dan tingkat kohesi sosial yang relatif tinggi tidak akan cocok jika hanya didekati dengan pendekatan positivisme hukum semata melainkan harus dilakukan multifact approach yang disebut dengan legal pluralism, yang mempertautkan antara hukum positif (state law), aspek kemasyarakatan (socio-legal), dan natural law (morality, etic, dan religion) dalam melihat dan mengelaboratif sebuah peristiwa hukum guna mendapatkan perpect justice atau keadilan paripurna/substantif.

Sebagaimana dijelaskan diawal tulisan ini bahwa hukum sejatinya adalah cerminan jiwa bangsa “volksgeist”, maka Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia sekaligus leitzern (bintang pemandu) idealnya harus selalu menjadi ruh, landasan dan tercermin dalam segala aktivitas pembentukan maupun penegakkan hukum kita. Namun sayangnya, hal demikian itu kurang mendapatkan porsi prioritas, akibatnya cara-cara berhukum dengan nafas Pancasila misalnya seperti restorative justice yang memiliki cita perdamaian, keseimbangan, partisipatif, dan musyawarah mufakat tidak banyak mawujud dalam substansi hukum kita, kita cenderung mendewakan pendekatan hukum secara positivis yang kaku dan formalistik, yang pada hakikatnya semakin menjauhkan nilai keadilan substantif dalam kehidupan berhukum kita yang memiliki kontur masyarakat pluralistik.

Jalan Keluar: Paradigma Berpikir

Diatas kita telah menghetahui bahwa penyebab sulitnya keadilan substantif mawujud dalam kehidupan berhukum kita adalah karena cara berhukum kita yang cenderung berparadigma positivis, yang lebih mengutamakan kepastian hukum dari pada keadilan, dan itu adalah cara berhukum bangsa-bangsa barat yang sejatinya tidak kompatibel dengan jiwa bangsa masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan rasa, kolektivitas, dan makna dari pada sekedar rules, ratio, dan logic.

Bangsa Indonesia adalah bagian dari bangsa Asia (oriental) yang masih sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, budaya serta kontur masyarakat yang pluralistik, dengan melihat realitas sosial yang ada, maka cara berhukum negara ini yang tidak bisa bertumpu pada paradigma positivis semata, namun harus bertumpu pada multifact approach: legal pluralism dimana mempertautkan antara hukum positif, aspek kemasyarakatan, dan natural law yang berisikan etika, moral, dan religi. 

Dalam menyikapi sebuah peristiwa hukum, penegak hukum harus memperhatikan ketiga aspek tersebut sebagai kompleksitas legal reasoning serta tolok ukur untuk menyelesaikan perkara dan memberikan keadilan. Jika itu bisa dilakukan, maka penegak hukum tidak hanya berperan sekedar sebagai corong Undang-Undang (la bouche de la loi) namun bermetamorfosa sebagai social engineer, yang berperan bukan sekadar sebagai pemutus masalah (yang terkadang menambah masalah ) namun berperan sebagai penyelesai masalah yang berdampak positif bagi struktur sosial.

Maka dari itu, yang harus diperbaiki kedepan adalah dengan jalan merubah paradigma berpikir para pihak yang berkecimpung dalam hukum baik penegak hukum, pembuat hukum, akademisi hukum hingga mahasiswa fakultas hukum agar memiliki paradigma berpikir progresif dengan landasan Pancasila guna memfungsikan hukum untuk menggali dam mendapatkan nilai hukum substantif bukan sekadar nilai hukum formal-prosedural. Dengan memiliki paradigma berpikir demikian, maka logika dan kompleksitas berpikir dalam menyikapi sebuah peristiwa hukum tentu tidak akan bersifat parsial sekadar hukum positif tetapi juga memperhatikan aspek sosiologis dan juga aspek filosofis.

Dan hal inilah yang saya kira menjadi sulit, bagaimana menyatukan visi kolektif mengenai hukum progresif yang lebih menitikberatkan pada nilai keadilan substantif dari pada nilai keadilan formal-prosedural tersebut menjadi sebuah satu kesatuan paradigma yang utuh dalam pembentukan maupun penegakkan hukum kita. 

Paradigma berpikir senafas dari penegak hukum, pembuat hukum, akademisi hukum hingga mahasiswa hukum menjadi aspek penting guna membuat pembentukan substansi hukum, aktivitas penegakan hukum hingga logika dan behaviour dalam memaknai hukum sarat dengan semangat progresifitas yang bertujuan untuk menggali dan mendapatkan nilai keadilan substantif.

Namun Jika kita mau berkontemplasi, menundukkan ego sembari melihat dan merefleksi wajah dunia hukum kita yang tak kunjung cerah tentu semangat kolektif itu tidak akan sulit untuk disatukan.



Selesai ......







Senin, 21 Januari 2019

KORUPSI SEBAGAI PROBLEMATIKA SOSIAL INTERDISIPLINER



Pendekatan Sistem

Di awal artikel ini saya ingin menjelaskan terlebih dahulu bahwa saya adalah seseorang yang memiliki pandangan dan paradigma berpikir interdisipliner, holistik dan integralistik dalam menyikapi dan menelaah suatu permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. 

Pandangan dan paradigma berpikir tersebut membuat saya tak pernah menyikapi dan menelaah suatu permasalahan sosial secara monodisipliner dan parsial (satu pendekatan), sebaliknya saya selalu menyikapi dan menelaah suatu permasalahan sosial dengan pendekatan sistem (multifact),  baik secara makro sistem maupun secara mikro sistem, baik secara represif maupun preventif, baik upaya jangka pendek maupun jangka panjang, yang semuanya itu harus dilakukan secara integral dengan nafas sinergitas kolektif.

Saya meyakini bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial sebagaimana diungkapkan oleh Tallcot Parson dalam teori struktural fungsional, yang melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa sub-sub sistem yang memiliki fungsi-fungsi tertentu untuk mendukung bekerjanya sistem guna terciptanya stabilitas. Sub-sub sistem tersebut meliputi sub-sistem ekonomi, sub-sistem budaya, sub-sistem sosial, dan sub -sistem politik. Sub-sub sistem ini adalah sebuah kesatuan sistem yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing, dimana peran dan fungsi masing-masing sub-sistem akan mempengaruhi bekerjanya sistem maupun bekerjanya sub-sistem yang lain.

Misalnya saat sub-sistem budaya tidak mampu bekerja secara optimal, dalam arti nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang negatif, tentu hal ini juga akan berimbas buruk bagi bekerjanya sub-sistem sosial, sub-sistem politik, sub-sistem ekonomi maupun bekerjanya sistem secara keseluruhan. Dan Fenomena ini akan selalu memiliki efek respirokal dan interdependen.

Sehingga dalam pandangan dan paradigma berpikir saya, suatu permasalahan sosial baik itu permasalahan ekonomi, permasalahan hukum, permasalahan politik, permasalahan budaya dan lain sebagainya itu pada hakikatnya adalah efek ekskresi dari tidak optimalnya peran dan fungsi sub-sub sistem sosial dalam mendukung kinerja sistem sosial. Sehingga dalam menelaah dan menyelesaikannya harus dilakukan melalui pendekatan sistem yakni secara interdisipliner, holistik dan integralistik guna mendapatkan hasil yang maksimal.

Korupsi

Korupsi secara etimologis berasal dari kata Coruptio yang memiliki arti kotor, busuk, dan merugikan. Sehingga dalam pengertian harfiah, perilaku-perilaku yang bersifat kotor, busuk, dan merugikan termasuk kategori perilaku korupsi. 

Namun dalam pengertian formal yakni hukum pidana, pengertian korupsi telah diatur secara letterlijk dan limitatif dalam UU Tipikor yakni UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 21 Tahun 2000, dimana secara umum membagi tindak pidana korupsi menjadi 7 jenis pengertian, 1. Korupsi merugikan keuangan negara, 2.  Korupsi penggelapan dalam jabatan, 3. Korupsi suap, 4. Korupsi pemerasan, 5. Korupsi benturan kepentingan dalam pengadaan, 6. Korupsi perbuatan curang, dan 7. Korupsi gratifikasi.

Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang membagi jenis korupsi menjadi dua, yakni korupsi konvensional dan korupsi non konvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi dalam arti formal, yaitu perilaku-perilaku yang dirumuskan dalam UU sebagai tindak pidana korupsi, sedangkan korupsi non konvensional adalah perilaku-perilaku yang tidak dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi dalam UU namun memiliki ekses terhadap sifat koruptif misalnya plagiarisme, ketidakjujuran, kesombongan sebagai pejabat, hedonisme dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa korupsi non konvensional adalah bibit bagi tumbuhnya korupsi konvensional dikemudian hari.

Sejurus dengan hal itu, maka segala jenis korupsi baik korupsi konvensional maupun korupsi non konvensional merupakan penyakit bangsa yang harus dicegah dan dibasmi agar tidak semakin menggerogoti kehidupan bangsa dan negara yang masih dalam tahap membangun ini. Korupsi jangan diberikan ruang sedikitpun untuk berkembang mengingat korupsi adalah virus kotor yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembangunan bangsa ini dalam segala aspek dan bidang kehidupan.

Korupsi sebagaimana diungkapkan oleh Syed Husein Alatas dalam bukunya “The Sociology of Corruption”  tahun 1968, pada awalnya masih dalam pola sporadis (relatively testricted), kemudian korupsi mulai merebak dan meluas (rampant and all-pervading), dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri (self-destructed).

Dalam bahasa Satjipto Rahardjo pada bukunya “Penegakan Hukum Progresif” korupsi dalam personifikasi koruptor ibarat sebuah parasit yang menghisap pohon hingga menyebabkan pohon itu mati, dan ketika pohon itu mati maka parasit (koruptor) itupun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang dihisap.

Kedua pengertian tersebut dapat diejawantahkan bahwa korupsi adalah sebuah penyakit yang menggerogoti kehidupan suatu bangsa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merupakan bagian dari bangsa tersebut (koruptor), yang pada awalnya bersifat sporadis, kemudian meluas hingga akhirnya membunuh bangsa beserta para koruptor itu sendiri.

Di Indonesia, perkembangan korupsi  juga memiliki alur yang mirip dengan apa yang disampaikan Syed Husein Alatas diatas, dahaulu sebelum era reformasi, korupsi masih bersifat sporadis dan sentralistik, namun setelah reformasi yang kemudian melahirkan sistem otonomi daerah, maka korupsi pun menjadi meluas dan sistematis. Korupsi kini terjadi disegala lini kehidupan bernegara baik di pusat maupun didaerah, baik dilakukan oleh eksekutif, legislatif hingga yudikatif.

Saat ini tidak ada lembaga negara trias politica (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang benar-benar bersih dari korupsi. Dari kepala daerah, menteri, anggota DPR, anggota DPRD, hingga hakim tidak ada yang benar-benar bersih dari korupsi, jabatan-jabatan tersebut masing-masing menyumbangkan kadernya kedalam hotel prodeo.

Jika mengacu kepada alur korupsi yang diungkapkan oleh Syed Husein Alatas diatas, maka negara kita kini tengah dibayangi ancaman kehancuran karena korupsi. Lahirnya KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi pada 2003 silam cukup memberikan angin segar bagi penegakan hukum korupsi di negeri ini, namun itu saja tidak cukup, untuk membasmi korupsi hingga ke akar-akarnya, kita membutuhkan suatu pendekatan yang bersifat interdisipliner, holistik, dan dilakukan secara integralistik kolektif. Karena korupsi bukan sekadar permasalahan hukum namun problematika sosial yang kompleks dan interdisipliner.

Mikro Sistem

Secara mikro sistem, permasalahan korupsi saya pandang sebagai sebuah permasalahan sistem hukum, maka dari itu, untuk mengatasinya juga dengan pendekatan sistem hukum, menurut Lawrence Friedman sistem hukum sendiri terdiri atas 3 komponen sub-sistem yaitu substansi hukum (aturan), struktur hukum (kelembagaan dan penegakan), dan budaya hukum (cultur)

Menurut Lawrence Friedman, suatu penegakan hukum akan dapat berjalan efektif untuk menekan kejahatan apabila sistem hukum dapat berjalan optimal, sistem hukum sendiri menurut Lawrence Friedman terdiri atas 3 komponen sub-sistem yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

Lawrence Friedman ingin mengatakan bahwa suatu penegakan hukum akan efektif apabila substansi hukumnya baik, penegakan hukumnya baik, dan budaya hukumnya juga baik, jika adalah salah satu, salah dua, atau bahkan ketiganya tidak baik, maka penegakan hukum disebuah negara niscaya tidak akan berjalan optimal sebagaimana mestinya.

Maka dari itu, untuk membasmi korupsi dalam pendekatan mikro sistem yakni sistem hukum, ketiga komponen diatas yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum harus berada dalam kondisi yang baik. Lalu bagaimana realitas ketiga komponen sistem hukum tersebut dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi di negeri ini ?

Pertama, dari sudut substansi hukum, sebenarnya tidak ada masalah yang cukup fundamental disini, mengingat produk peraturan perundang-undangan yang ada saat ini saya kira sudah cukup baik guna menunjang pemberantasan korupsi, meskipun masih ada beberapa kekurangan terkait dengan semangat pemberantasan korupsi, contohnya masih diberikannya hak remisi terhadap para koruptor, kemudian masih diberikannya hak kepada para mantan napi koruptor untuk ikut berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan legislatif adalah beberapa contoh masih belum optimalnya substansi hukum guna menunjang pemberantasan korupsi.

(Catatan: putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 memutuskan mantan narapidana kasus korupsi boleh ikut pilkada dengan beberapa syarat)

Sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, pemberantasan korupsi seharusnya juga dilakukan secara luar biasa, pencabutan hak remisi dan hak partisipasi politik sebagai kontestan pileg bukanlah pelanggaran HAM (meskipun nanti diuji konstitusionalitasnya oleh MK), namun sebagai bagian dari upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi, dan hal itu mendapat legitimasi yuridis-konstitusionalnya dalam pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 

Namun secara umum, substansi hukum guna mendukung pemberantasan korupsi saya kira sudah cukup baik, masukan saya, kedepan politik hukum pemberantasan korupsi kiranya perlu mengakomodir kedua hal yang saya sampaikan diatas yakni pencabutan hak remisi bagi terpidana korupsi dan pencabutan hak politik mantan napi korupsi guna berpartisipasi dalam kontestasi pileg yang semata-mata bertujuan untuk lebih mendukung ghiroh pemberantasan korupsi.

Bagi saya, problematika pemberantasan korupsi terbesar dalam perspektif sistem hukum adalah pada struktur hukum dan budaya hukum, baik budaya hukum masyarakat maupun budaya hukum para penegak hukum.

Dalam lingkup struktur hukum yakni proses penegakan hukum saya melihat tidak memperlihatkan suatu semangat nyata dalam pemberantasan korupsi, satu indikator sahihnya adalah dari penjatuhan putusan hakim atau vonis pengadilan yang rata-rata terbilang rendah bagi para koruptor. 

Misalnya dalam konteks korupsi kepala daerah, ICW pada 2018 lalu memberikan data bahwa penjatuhan hukuman terhadap para kepala daerah yang korupi rata-rata masih cukup rendah, yakni 6 tahun 4 bulan penjara, menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, angka hukuman tersebut dinilai masih ringan dan tidak memberian efek jera.

Bahkan data penelitian ICW pada tahun 2017 lalu, menunjukkan bahwa vonis hukuman bagi para koruptor ditingkat pengadilan rata-rata hanya 2 tahun 2 bulan penjara saja. Hal ini sungguh membuat kita miris, terlepas bahwa putusan hakim adalah hak prerogratif hakim yang tidak boleh diintervensi, namun kalau vonisnya rata-rata rendah, tentu hal ini berimplikasi buruk bagi semangat dan upaya pemberantasan korupsi. 

Hal ini tentunya harus menjadi concern kita bersama, kedepan pengawasan baik secara internal maupun eksternal kepada penegak hukum harus diperkuat, baik lembaga pengawas internal, eksternal, akademisi, NGO hingga masyarakat harus bersatu padu guna mendukung akuntabilitas penegakan hukum, independensi harus dilandasi akuntabilitas sehingga kualitas penegakan hukum khususnya terkait pemberantasan korupsi dapat berjalan optimal. 

Dan yang tak kalah penting posisi KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi kedepan harus diperkuat baik dari segi sarana-prasarana, anggaran, dan legalitas, ketiga komponen ini menurut saja menjadi kunci tegaknya KPK sebagai lembaga independen, sehingga dapat maksimal dalam melakukan tugas pemberantasan korupsi.

Kemudian dari sudut budaya hukum, saya kira masyarakat kita secara umum belum memiliki budaya hukum yang baik, contohnya ketika ada kontestasi politik baik ditingkat pilkades, pilkada hingga pileg, maka praktik politik uang menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat, bahkan masyarakat memiliki pandangan “Sing ngekei duit akeh iku sing tak pilih” hal ini tentunya menjadi budaya buruk ditengah hiruk pikuk pemberantasan korupsi, karena dengan memilih pemimpin yang tidak jujur (melakukan politik uang), maka dapat dipastikan pemimpin itu akan melakukan korupsi ketika berkuasa nanti tidak mungkin tidak.

Solusi untuk mengatasi budaya hukum masyarakat kita diatas tentu tidak bisa dilakukan dengan cara sederhana dan instan, namun dibutuhkan suatu pendekatan secara holistik dan berkesinambungan dalam berbagai bidang, baik pendidikan, ekonomi, hukum, sosial, politik dll, yang semua itu membutuhkan peran kolektif dan sinergitas antara beberapa pihak, baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh sosial, partai politik, elit politik, institusi pendidikan dan lain sebagainya.

Dan jika tarik secara lebih konkret dan sederhana, maka upaya efektif untuk meningkatkan kualitas budaya hukum masyarakat adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat misalnya dengan membuat gerakan anti korupsi, gerakan anti politik uang dll, yang bisa di inisiasi oleh tokoh sosial, lembaga swadaya masyarakat, karang taruna hingga mahasiswa.

Selanjutnya dalam konteks budaya hukum aparat penegak hukum juga belum menunjukkan kondisi yang memuaskan, aparat penegak hukum kita justru seringkali terlibat korupsi, misalnya sekitar bulan agustus tahun lalu, OTT KPK berhasil menjaring sejumlah hakim dan panitera di Pengadilan Negeri Medan karena kasus suap, dengan kondisi demikian, bagaimana bisa kita harapkan suatu proses hukum dapat memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, jika penegak hukumnya saja kotor. 

Kotornya dunia penegakan hukum kita memang ibarat fenomena gunung es, yang sejujurnya banyak namun yang nampak ke permukaan publik hanya sebagian kecil saja, cobalah anda tanya kepada seorang advokat mengenai kondisi praktik peradilan di negeri ini, saya yakin advokat tersebut akan menjawab hmmm “reget” alias kotor. 

Maka dari itu, kedepan budaya hukum para aparat penegak hukum baik dari hulu hingga hilir, baik kepolisian, KPK, kejaksaan, pengadilan hingga lembaga pemasyarakatan harus diperbaiki secara holistik baik dari pola rekrutmen anggota, birokratisasi tugas, pengawasan baik internal dan eksternal, sarana-prasarana, hingga kesejahteraannya harus diperhatikan secara simultan agar budaya-budaya hukum yang kotor itu bisa tereduksi secara optimal. 

Sehingga dalam perspektif mikro sistem, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan upaya pembangunan dan penguatan sistem hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum yang harus dilakukan secara interdisipliner, holistik, berkesinambungan, integral dan dilandasi semangat sinergitas kolektif antar beberapa stakeholders.

Makro Sistem

Secara makro sistem, saya memandang korupsi sebagai suatu permasalahan sistem sosial, bukan sekedar permasalahan hukum semata, karena merupakan permasalahan sistem sosial,  maka pendekatan untuk menyelesaikannya harus dengan pendekatan interdisipliner yang mencakup penguatan sub-sub sistem sosial, baik sub-sistem budaya, sub-sistem politik, sub-sistem sosial (meliputi hukum, moral, pendidikan dll), dan sub-sistem ekonomi.

Secara makro, korupsi tidak akan bisa diberantas secara optimal hanya dengan pendekatan hukum saja, mengingat hukum juga memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Begawan hukum Satjipto Rahardjo pernah berujar “janganlah kamu bergantung pada hukum untuk menyelesaikan segala permasalahan mengingat hukum saja tidak bisa memenuhi otoritasnya sendiri, dibutuhkan pembangunan dibidang-bidang lain seperti ekonomi, budaya, sosial dan politik guna mengatasi permasalahan secara lebih komprehensif".

Dari sini dapat kita pahami bahwa untuk memberantas korupsi secara optimal, maka dibutuhkan pembangunan dan penguatan pada bidang-bidang lainnya baik itu bidang ekonomi, bidang sosial, bidang budaya dan bidang politik. Tanpa pembangunan dan penguatan pada bidang-bidang tersebut, niscaya korupsi akan selalu tumbuh dengan subur.

Misalnya selama bidang politik kita masih kotor dan penuh intrik negatif seperti politik uang dan mahar politik dll, maka bibit-bibit korupsi akan selalu tumbuh subur dalam negara ini, misalnya lagi, selama budaya dalam masyarakat masih dikanalisasi oleh nilai-nilai yang negatif seperti budaya suap, budaya nyogok dll, maka tentu korupsi juga akan selalu tumbuh dengan subur.

Dalam bidang politik tentu partai politik yang dipersonifikasi oleh ketua partai beserta elite politik memiliki peranan penting guna menekan praktik korupsi, mengingat dinamika dan keputusan politik ditentukan oleh mereka. Hemat saya, seorang ketua partai politik dan para elite haruslah sosok negarawan, sosok yang mampu mengejawantahkan politik sebagai sarana pengabdian untuk berkontribusi bagi bangsa. Jika partai poltik memiliki sosok ketua atau elite partai seperti demikian, maka sistem internal dan kebijakan yang dikeluarkan oleh partai politik tersebut pasti akan selalu menganut prinsip nihilisme terhadap praktik korupsi seperti tidak melakukan politik uang, tidak melakukan mahar politik, tidak mencalonkan bekas koruptor, dan memperkuat sistem pemberantasan korupsi melalui sarana legislasi.

Dalam bidang sosial dan budaya tentu pemerintah bersama DPR memiliki peran penting guna meningkatkan kualitas kehidupan baik secara moral maupun materil melalui peningkatan mutu pendidikan bagi generasi muda dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat secara merata yang tujuannya agar kesadaran untuk melawan benih-benih korupsi meningkat. Di bidang ekonomi juga demikian, pemerintah dan pemerintah daerah beserta para pelaku ekonomi hendaknya memiliki idealisme untuk memberikan sumbangsih bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi, birokratisasi dan perizinan harus dipermudah dan dijauhkan dari praktik-praktik kotor korupsi.

Sejalan dengan hal diatas, maka, dibutuhkan pembangunan dan penguatan sistem sosial secara menyeluruh dan berkesinambungan guna menunjang efektivitas pemberantasan korupsi. Pembangunan dan penguatan bidang politik, ekonomi, budaya dan sosial memang tidak bisa dilakukan dengan mudah dan instan, dibutuhkan waktu nan panjang dan upaya holistik serta semangat kolektivitas sinergis antara para stakeholders terkait, inilah yang tidak mudah, bagaimana menyatukan visi dan ghiroh pemberantasan korupsi dalam semua bidang kehidupan bernegara, dan hal ini salah satunya dapat terwujud jika ada pemimpin negara yang visioner, progresif, berintegritas, independen dan zero tolerance terhadap korupsi dan segala manifestasinya.

Pada akhirnya, harus kita sadari bahwa korupsi adalah musuh kita bersama, korupsi adalah parasit yang menggerogoti bangsa ini menuju kehancuran. Korupsi adalah problematika sosial interdisipliner yang lahir dan meliputi segala bidang-bidang kehidupan negara, maka dari itu, untuk memberantasnya hingga titik maksimal dibutuhkan pendekatan interdisipliner pula baik secara makro (sistem sosial secara luas) maupun secara mikro (sistem hukum), baik secara represif (penegakan hukum) maupun secara preventif (pencegahan), baik upaya jangka pendek (supremasi hukum) maupun upaya jangka panjang (pendidikan, kesejahteraan, moral) yang kesemuanya itu harus dilakukan secara integral, berkesinambungan dan dilandasi dengan nafas dan semangat sinergitas kolektif oleh semua komponen bangsa.

Hanya dengan upaya seperti itulah, kita memiliki optimisme untuk melihat Indonesia tumbuh menjadi negara maju dan berdaulat penuh kedepan.

Musuh terbesar kita bukanlah bangsa lain, bukan. Musuh terbesar kita adalah korupsi, iya musuh terbesar kita adalah korupsi. Mengapa korupsi ? karena korupsi bisa membunuh dan melumpuhkan semua bidang kehidupan negara. Mari bersinergi !!

SELESAI .....