Rabu, 06 Mei 2020

PUISI: BERSEMBUNYI RASA


Aku tak bisa mengelak.
Rasa itu memang mengendap erat.
Terpasung dalam kalbu.

Aku tak bisa berbohong.
Rasa itu memang menetap teduh.
Terpikat dalam fikir.

Aku tak bisa berpaling.
Munafik menyimpan sandiwara.
Bersembunyi rasa.

Engkaulah serpihan raga yang ku nanti.


PUISI: MUNAJAT RINDU


Sewangi pesona anggun mu.
Merbak ke jingga permadani.
Bersemayam bidadari hati.
Mengais kemilau munajat rindu.

Gejolak rasa merayap waktu.
Berkelindan rintihan harap.
Sepucuk doa suci menembus langit adiwarna.
Menyampaikan munajat rindu pada pujaan hati.

Jiwa kita sementara terpisah takdir.
Kerut bisik dalam raungan semilir.
Menanti datangnya separuh nyawa.
Munajat rindu sirna dalam pelampiasan abadi.



Minggu, 03 Mei 2020

REFLEKSI HARI KARTINI: PURIFIKASI PERAN PEREMPUAN DALAM KONSTELASI POLITIK INDONESIA



Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 yang isinya menetapkan RA Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia sekaligus menetapkan hari lahirnya RA Kartini, 21 April sebagai hari besar kenegaraan.
Raden Adjeng Kartini lahir di kota Jepara pada tanggal 21 April 1879. Kartini lahir dari golongan ningrat Jawa. Ayahnya merupakan Bupati Jepara bernama R. M. A. A. Sosroningrat sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah. Karena dari keturunan ningrat, Kartini pun bisa menikmati previlege untuk mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS). Di ELS, Kartini belajar membaca dan menulis dalam bahasa Belanda. Sayangnya, seorang perempuan saat itu hanya dapat menikmati pendidikan sampai usia 12 tahun. Setelah menginjak 12 tahun, seorang perempuan termasuk Kartini akan dipingit.
Di saat masa pingit inilah RA Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan menulis surat. RA kartini melahap habis buku-buku seperti Max Havelar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stile Kraacht karya Louis Coperus, karya-karya roman-feminis karya Goekoop De Jong Van Beek, hingga buku Die Waffen Nieder karya dari Berta Von Suttner. Bacaan-bacaan tersebutlah yang mengisi dan mempengaruhi pola pikir RA Kartini sehingga RA Kartini mampu berpikir progresif dan out of the box melampaui tatanan dan kondisi zaman pada waktu itu. Kartini mendobrak pemikiran kolot yang mendiskreditkan kaum perempuan sebagai kaum “rumahan”. Kartini memperjuangkan kesetaraan hak kaum perempuan agar memiliki peran dan sumbangsih bagi kehidupan keluarga, sosial, hingga politik-pemerintahan sama seperti halnya kaum laki-laki. Bagi Kartini, perempuan sebenarnya memiliki potensi besar untuk turut berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Perlu diketahui, pada waktu itu masih tertanam dogma yang kuat bahwa kaum perempuan adalah kaum “nomor 2”, kaum yang dianggap lemah dan tidak memiliki peran vital dalam kehidupan sosial maupun keluarga. Budaya patriarkis yang masih kental pada waktu itu membuat perempuan mengalami diskriminasi, hak-hak perempuan sebagai manusia yang bermartabat tidak diberikan. Akibatnya, kesenjangan peran antara kaum perempuan dan kaum laki-laki pun sangat besar. Segala lini dimensi kehidupan dikuasai oleh kaum laki-laki. Kartini sendiri pada prinsipnya menginginkan perempuan memiliki kesetaraan hak sebagai manusia yang bermartabat
Kegelisahan-kegelisahan Kartini kemudian dituangkan dalam aktivitas surat menyuratnya dengan kawannya di Belanda, J.H. Abendanon. Surat-surat Kartini berisikan curahan hati dan pemikirannya mengenai kondisi sosial perempuan pribumi Indonesia. Kartini juga mengeluhkan adat budaya Jawa yang ia pandang sangat bersifat patriarkis sehingga menghambat kemajuan perempuan.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan Jawa yang terkungkung oleh adat istiadat hingga membuat kaum perempuan tidak bisa leluasa mengenyam pendidikan, dipingit, dijodohkan dan dinikahkan dengan laki-laki yang kadang tidak dikenal, hingga harus bersedia dimadu (dengan paksaan).
Kartini juga meratapi kondisi buta huruf pada kaum perempuan karena tidak adanya akses pendidikan. Intinya, surat Kartini berisikan tentang hambatan-hambatan yang harus dihadapi oleh kaum perempuan pribumi untuk bisa maju dan memiliki peran strategis. Setelah Kartini meninggal, surat-surat tersebut kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti Habislah Gelap Terbitlah Terang. Buku Habislah Gelap Terbitlah Terang sendiri berhasil menarik perhatian masyarakat Belanda dan pada akhirnya mampu mendorong terbentuknya Yayasan Kartini, Sekolah Van Daventer, dan hingga perubahan mindset dan perubahan peran perempuan dalam konstelasi kehidupan sosial-kenegaraan.
Purifikasi Peran Perempuan dalam Konstelasi Politik Indonesia
Momentum Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua untuk melakukan koreksi dan kontemplasi mengenai sejauh mana cita-cita luhur Kartini bagi kaum perempuan agar memiliki kesetaraan hak dapat terwujud dalam kontekstualisasi zaman sekarang. Dalam aspek pendidikan dan interaksi sosial, secara umum dapat kita nilai bahwa perempuan saat ini relatif memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki. Hanya saja, dalam ranah konstelasi politik, kesetaraan susbtantif dan peran perempuan terbilang masih cukup minim. Padahal politik merupakan titik krusial dalam kehidupan negara, mengingat politik merupakan ranah pembuatan dan pengambilan kebijakan yang eksesnya akan berdampak luas bagi publik. Oleh karena itu, pelibatan peran dan aspirasi perempuan dalam rangka pembuatan dan pengambilan kebijakan publik menjadi sangat penting demi terwujudnya semangat partisipatif, prinsip kesetaraan, dan secara khusus terkait aspek perlindungan terhadap kaum perempuan.
Indonesia sebagai negara demokrasi pada prinsipnya mengamanatkan adanya persamaan akses dan kesetaraan peran baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan atas dasar prinsip persamaan derajat. Dalam tataran internasional sendiri, telah ada konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang hingga tahun 2019 telah diratifikasi oleh 189 dari 195 negara termasuk Indonesia. Konvensi ini merekomendasikan agar semua negara di dunia memberlakukan kebijakan afirmatif sementara untuk meningkatkan proporsi jumlah perempuan dalam jabatan-jabatan appointif (penunjukkan) maupun elektif (pemilihan umum) pada tataran nasional maupun lokal.
Sejalan dengan hal tersebut, maka kebijakan-kebijakan afirmatif untuk memberikan proporsi peran kepada perempuan dalam konstelasi politik Indonesia pun di buat. Aturan tentang kewajiban kuota 30 % bagi caleg perempuan tertuang di berbagai Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juga mewajibkan partai politik untuk menyertakan 30 % keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai baik di tingkat daerah maupun nasional. Kuota 30 % sendiri didasarkan pada penelitian PBB bahwa kuota 30 % merupakan jumlah minimum yang memungkinkan terjadinya perubahan dan membawa dampak terhadap kualitas kebijakan publik yang diambil.
Sayangnya, sejak pemilu 2004 kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak pernah tercapai.

Tahun Pemilu
Jumlah Kursi
Presentase
2004
65
11,82 %
2009
101
18 %
2014
97
17,32 %
2019
118
28,8 %
Data: diolah dari berbagai sumber

Data diatas menunjukkan fakta bahwa keterwakilan perempuan dalam konstelasi politik khsususnya parlemen masih sangat rendah. Meskipun terdapat kebijakan afirmatif bagi para partai politik untuk mengakomodir kuota 30 % caleg pada setiap daerah pemilihan namun kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam DPR tidak pernah terwujud. Minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen membuat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen seringkali kontraproduktif dengan aspirasi dan semangat perlindungan terhadap kaum perempuan, contohnya mandeknya proses pengesahaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Padahal pengesahan Rancangan Undang-Undang ini menjadi sangat urgen ditengah maraknya kekerasan seksual terhadap kaum perempuan.
Ada dua hal yang membuat peran perempuan dalam konstelasi politik di Indonesia belum mendapatkan proporsi yang memadai meskipun secara formal telah ada kebijakan-kebijakan afirmatif untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan.
Pertama, kultur patriarki. Meskipun kultur patriarki mengalami penurunan secara signifikan baik secara formal maupun substantif dibandingkan dengan era zaman RA Kartini atau pra kemerdekaan. Namun kultur patriarki tersebut secara empirik masih mengendap dalam paradigma pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki menempatkan perempuan dalam posisi inferior dibanding laki-laki. Perempuan dikonotasikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik. Dewasa ini budaya patriarki justru kembali menguat akibat menguatnya gerakan Islam sayap kanan atau Islam fundamentalis yang memperjuangkan aspirasi bahwa pemimpin harus seorang laki-laki. Kelindan antara faktor kultural dan faktor fundamentalisme agama inilah yang menyebabkan patriarkisme tumbuh subur, di mana hal tersebut berimbas pada rendahnya keterwakilan perempuan dalam ranah parlemen, karena mayoritas masyarakat lebih percaya terhadap kapasitas caleg laki-laki dari pada caleg perempuan. Asumsi tersebut berangkat dari paradigma dan pandangan bahwa ranah politik lekat dengan relasi kemandirian dan agresivitas yang umumnya kuyup dengan citra maskulin dari pada citra feminim.
Kedua, rendahnya kepercayaan partai politik. Secara umum kuota keterwakilan 30 % perempuan baik dalam kepengurusan maupun calon legislatif hanya sekadar dijadikan sarana formalitas yakni untuk memenuhi persyaratan formal belaka. Selama ini nyaris tidak pernah ada gaung yang menunjukkan komitmen serius partai politik terhadap pemberdayaan politik terhadap kaum perempuan. Partai politik terlihat kurang memiliki kepercayaan bahwa perempuan mampu menjadi vote getter. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam aspek materil dan kemandirian politik.
Solusi
Untuk mengatasi permasalahan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan dan pengambilan kebijakan dalam konstelasi politik khususnya parlemen, maka ada beberapa pendekatan solusi yang dapat dilakukan. Pada prinsipnya, nilai politik formalitas yang sarat dalam proporsi keterwakilan perempuan di dalam konstelasi politik harus dipurifikasi (pemurnian) dengan pendekatan-pendekatan solutif dan integratif dibawah ini guna mendorong terwujudnya nilai substansial dari keterwakilan politik perempuan.
Pertama, tataran high. Harus ada komitmen kuat dan political will dari para partai politik untuk mengubah paradigma mereka dalam meletakkan proporsi dan posisi perempuan, baik dalam ranah kepengurusan maupun ranah kontestasi politik tidak sekadar pada aspek formal (pemenuhan syarat) namun juga pada aspek substantif (pemberdayaan dan trust). Partai politik harus memiliki ghiroh untuk memperjuangkan kesetaraan akses politik secara real terhadap kaum perempuan. Partai politik harus berani keluar dari kotak pandora bernama politik transaksional, maskulinitas, dan materialistis menuju politik partisipatif, egaliter, dan substansial.
Kedua, tataran middle. Menurut Kurniawati Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian Women and Local Politics (2015) mengatakan bahwa agenda mendesak yang harus dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi kaum laki-laki dalam ranah perpolitikan adalah dengan membentuk sebuah gerakan jejaring perempuan secara masif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Kekuatan jejaring perempuan dan pelibatan berbagai elemen dari masyarakat akan memiliki dampak signifikan dalam merubah paradigma masyarakat maupun institusi politik terhadap citra politik dan kultur patriarki.
Ketiga, tataran low. Diperlukan sebuah awareness bagi masyarakat sipil sebagai subyek sekaligus obyek demokrasi untuk meletakkan dimensi politik elektoral dalam basis keadilan gender. Masyarakat harus mengutamakan indikator berbasis teknis dan kapasitas bukan aspek eksklusifitas dan monopoli gender.
           
           

PSIR REMBANG: SEBUAH MEMORABILIA



Publik sepak bola nasional mungkin lebih familiar dengan PSIS Semarang, Persijap Jepara, dan Persis Solo jika merujuk klub sepak bola yang berasal dari Jawa Tengah. Namun, selain ketiga klub tersebut, Jawa Tengah juga memiliki satu klub yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja, jika menilik sejarah dalam belantika sepak bola nasional. Klub tersebut adalah PSIR Rembang. Ya, klub yang bermarkas di Stadion Krida Rembang ini merupakan salah satu dari lima klub asal Jawa Tengah yang pernah merasakan kerasnya kompetisi kasta tertinggi nasional. Tepatnya pada kompetisi Ligina I musim 1994/1995 dan IPL musim 2013.
Selain itu, PSIR Rembang juga beberapa kali berhasil mencatatkan prestasi manis pada gelaran kompetisi resmi PSSI. Pada kompetisi divisi utama perserikatan musim 1993/1994 PSIR Rembang berhasil lolos hingga babak 8 besar, kemudian meraih Juara divisi II nasional pada musim 1989/1990 dan musim 2006/2007, juara divisi III nasional musim 2005/2006, dan promosi ke IPL dengan menempati peringkat 2 grup 2 kompetisi divisi utama LPIS musim 2011/2012.
Prestasi-prestasi tersebut membuat PSIR setidaknya layak menyandang gelar sebagai salah satu klub besar di Jawa Tengah bersanding dengan PSIS Semarang, Persijap Jepara, dan Persis Solo, meskipun secara popularitas nasional, Laskar Dampo Awang masih inferior dibanding ketiga klub tersebut.
Sebuah Memorabilia
Melihat kembali kiprah PSIR Rembang dalam belantika sepak bola nasional isyarat meletupkan goresan memorabilia. Kisah manis dan getir. Gelar juara dan degradasi. Prestasi dan kontroversi. Hingga eksistensi dan undur diri kuyup mewarnai perjalanan 50 tahun PSIR Rembang. Sejak berdiri pada tahun 1970, begitu banyak memorabilia yang melekat dalam ingatan masyarakat Rembang dan pecinta PSIR akan sebuah entitas dan identitas kebanggaan bernama PSIR Rembang.
Kisah manis PSIR Rembang berawal pada musim 1989/1990 ketika berhasil menggondol gelar juara divisi II nasional perserikatan sekaligus menggondol tiket promosi untuk mentas di divisi I perserikatan musim 1990/1991. Setelah 3 Musim PSIR Rembang mentas di divisi I, akhirnya pada musim 1993/1994 PSIR bisa tampil pada kompetisi divisi utama setelah pada kompetisi divisi I musim 1992/1993, PSIR mampu meraih tiket promosi. Divisi utama sendiri merupakan kompetisi kasta tertinggi era perserikatan.
Pada kompetisi divisi utama perserikatan musim 1993/1994 inilah, prestasi terbesar sepanjang berdirinya klub berhasil diukir. Pada divisi utama musim 1993/1994, PSIR berada di grub timur bersama Persebaya Surabaya, PSM Ujung Pandang (Makassar), PSIS Semarang, Persegres Gresik, PSIM Jogja, Persema Malang, dan Persiba Balikpapan. PSIR kala itu bermaterikan gabungan pemain lokal dan pemain luar daerah seperti Hadi Surento, Mulyono “bedeng”, Damani, Ratriadi Sapteko, Hariyanto, Yance Ruma, Fritz Rudolf Padwa, Bambang “max” Handoyo, Kuncoro, Joko Supriyono, Tulastono Suparmin, alm Tri Karsono, Komarudin, dan Joko Darwanto.
PSIR mampu finis diperingkat 4 grub timur setelah di pertandingan terakhir mampu menahan imbang tuan rumah Juku Eja PSM Makassar di stadion Mattoanging dengan skor 1-1. Hasil imbang sudah cukup untuk memantapkan posisi PSIR diperingkat 4 grub timur sekaligus memastikan tiket ke babak 8 besar yang akan digelar di stadion Gelora Bung Karno Senayan. Setelah memastikan tiket babak 8 besar, para pemuda dan pecinta PSIR pun menggelar pawai untuk merayakan keberhasilan PSIR Rembang lolos ke babak 8 besar kompetisi kasta tertinggi nasional.
Pada babak 8 besar sendiri, PSIR bergabung dengan Persib Bandung, PSM Ujung Pandang, dan Persiraja Banda Aceh. Sayangnya, PSIR gagal melaju ke babak semifinal setelah hanya meraih 1 kemenangan (menang 4-1 melawan Persiraja) dan kalah 2 kali (0-1 melawan Persib dan 1-2 melawan PSM). Meskipun gagal melaju ke babak semifinal, prestasi PSIR mampu lolos ke babak 8 besar kompetisi kasta tertinggi merupakan pencapaian yang luar biasa. Apalagi ada beberapa cerita pilu yang mengiringi PSIR saat mentas di senayan, misalnya PSIR dengan terpaksa tidak bisa latihan dan menjajal rumput Gelora Bung Karno lantaran tidak mampu membayar uang sewa.
Setelah prestasi nan mengagumkan pada kompetisi divisi utama perserikatan 1993/1994, pada musim kompetisi 1994/1995 yang merupakan kompetisi liga Indonesia pertama atau musim perdana bergabungnya klub-klub perserikatan dan galatama dalam wadah kompetisi yang sama. Pada musim liga Indonesia I ini PSIR kembali berada di grub timur bersama klub-klub besar seperti Persebaya, PSM, Barito Putera, dan Persipura. Karena faktor keterbatasan dana, pada waktu itu PSIR tidak mampu merekrut pemain-pemain level top, PSIR relatif masih mengandalkan komposisi pemain pada musim 1993/1994. Di sisi lain, para klub eks galatama dan eks perserikatan yang lain banyak menggunakan jasa pemain-pemain top hingga pemain asing. Ketimpangan komposisi dan materi pemain inilah yang menjadi faktor kuat mengapa PSIR pada akhirnya harus terjerembab di posisi kedua terbawah grub timur dan degradasi ke kompetisi divisi 1.
Musim 1995/1996 PSIR absen mengikuti kompetisi divisi I, pada musim selanjutnya PSIR kembali ikut kompetisi dan tetap berada di divisi I. Setelah itu, PSIR Sempat vakum hingga 4 tahun lamanya. Pada musim  2001/2002 PSIR kembali ikut kompetisi PSSI yakni kompetisi divisi II A Jawa Tengah, bertahan 4 tahun. Pada musim 2005 PSIR berhasil menjadi juara divisi III nasional, selanjutnya musim 2006 PSIR berhasil menjadi juara divisi II nasional dan promosi ke divisi I. Musim 2007 PSIR berkompetisi di divisi I dan berhasil promosi ke divisi utama yang saat itu berstatus kompetisi kasta kedua, sayangnya keberhasilan PSIR pada musim 2007 dibayangi isu kontroversi, karena setiap PSIR berlaga di kandang nyaris selalu mendapat hadiah penalti dari wasit bahkan stadion krida sempat dijuluki stadion penalti oleh media saat itu. Musim 2008/2009 hingga musim 2011/2012 dan musim 2014 hingga 2018 PSIR mampu eksis di kompetisi kasta kedua.
Bahkan, pada musim 2011/2012 PSIR mampu promosi ke kasta tertinggi sepak bola nasional Indonesian Premier League (dualisme kompetisi) setelah finis sebagai runner-up grup II dibawah Persepar Palangkaraya dan mengangkangi klub-klub prominen macam PSIS, Persis, PSS, dan Persik. Pada musim 2013, PSIR berkompetisi di IPL bertarung dengan klub legendaris macam PSM Makassar dan Persebaya 1927.
Kisah getir kembali menerpa PSIR, setelah pada musim kompetisi liga 2 musim 2018, PSIR harus terdegradasi ke liga 3 atau kasta terbawah dalam hierarki kompetisi sepak bola Indonesia. Sayangnya, pada musim 2019 lalu PSIR justru absen dari kompetisi liga 3. Hal tersebut membuat segenap pecinta PSIR terhanyut rasa rindu melihat laskar Dampo Awang mentas di Stadion Krida Rembang. Pada musim 2020, geliat PSIR untuk kembali berkompetisi menguat sayangnya pandemi Covid-19 membuat kepastian kompetisi menjadi tidak jelas.  
Pada akhirnya, tulisan ini tidak mungkin bisa merekam secara utuh perjalanan dan kisah PSIR dalam rimba belantika sepak bola nasional. Tetapi secuil cerita di atas, saya harap mampu menjadi entitas memorabilia bagi siapa saja yang mencintai dan merindukan klub kebanggaan wong Rembang, PSIR Rembang.

BUMI HARI INI: CORONA, EKSISTENSI MANUSIA, DAN SISI POSITIF



( Artikel ini ditulis pada 25 Maret 2020)
Covid 19 atau yang lebih familiar disebut virus corona telah mengejawantah sebagai ancaman bagi eksistensi kehidupan manusia. Menurut data per 25 Maret 2020 yang dilansir dari peta penyebaran Covid 19 Global Cases by John Hopkins CSSE , corona telah menyebar di 168 negara dengan menelan 18.612 korban meninggal dunia. Data tersebut diyakini akan sangat cepat berubah, mengingat begitu cepat dan masifnya persebaran Covid 19.
Masifnya persebaran corona sendiri membuat WHO menetapkan Covid 19 sebagai pandemi global. Pandemi global mengandung konsekuensi bahwa negara-negara di dunia harus melaksanakan standar penanganan dan penanggulangan Covid 19 sebagaimana yang ditetapkan oleh WHO.
Di Indonesia sendiri per 25 Maret 2020 total telah ada 790 kasus positif corona dengan korban jiwa 58 orang dan 31 sembuh. Realitas demikian, menunjukkan Corona telah menjelma sebagai ancaman bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Corona adalah "musuh" bagi manusia maupun entitas sebuah negara.
Corona telah membuat 18.612 nyawa manusia melayang, Corona juga melumpuhkan aktivitas perekonomian yang merupakan sektor utama manusia untuk survive. Perusahaan-perusahaan tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya, sekolah-sekolah juga terpaksa diliburkan, aktivitas sosial dan olah raga juga di tunda pelaksanaannya, sektor pariwisata juga lumpuh. Konkretnya, kini corona telah benar-benar menjadi ancaman serius bagi eksistensi kehidupan manusia baik secara fisik maupun meteril. Singkatnya, corona harus segera ditanggulangi dan dibasmi agar kehidupan bumi dan manusia bisa kembali seperti sedia kala.
Solusi Mengatasi Corona
Di atas telah penulis jelaskan bahwa corona telah menjelma sebagai musuh manusia dan negara di seluruh penjuru dunia. Posisi corona sebagai musuh “dunia” hendaknya dapat membangkitkan dan mentransmisi energi solidaritas global untuk bekerja sama menanggulangi corona.
Seluruh negara di dunia harus mengesampingkan segala tendensi politik yang selama ini menjadi tembok besar bagi terciptanya harmonisitas dunia. Sudah saatnya seluruh negara di dunia memiliki awareness dan daya responsifitas untuk bersatu padu guna menanggulangi Corona yang mana merupakam "musuh" bagi eksistensi kehidupan manusia.
Pertama, negara-negara harus membangun komunikasi dan koneksifitas beserta langkah-langkah terintegrasi untuk menanggulangi persebaran virus corona berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh WHO. Kedua, negara-negara harus membangun semangat solidaritas dan altruisme dalam dimensi inklusifitas-humanisme. Misalnya dengan memberikan bantuan vaksin, peralatan medis, pangan, hingga bantuan ekonomi kepada negara-negara yang secara infrastruktur kesehatan dan ekonominya lemah. Ketiga, setiap negara harus membangun sistem penanganan internal yang kuat dalam menanggulangi persebaran virus corona sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang ada. Bisa melalui pendekatan lock down, pendekatan social distancing (phisic distancing), atau drive thru.
Pada prinsipnya, ketiga langkah diatas merupakan treatments komprehensif yang harus dilakukan oleh negara-negara di dunia agar virus corona dapat segera dihentikan dan tidak semakin meluas dan semakin mengancam eksistensi kehidupan manusia.
Sisi Positif Munculnya Virus Corona
Di balik sisi negatif corona yang ‘berhasil’ membuat 18.612 jiwa melayang dan melumpuhkan sektor perekonomian yang menjadi soko guru bagi eksistensi kehidupan manusia. Namun ternyata munculnya virus corona juga memberikan beberapa sisi positif yang secara langsung maupun tidak langsung dapat kita rasakan.
Pertama, munculnya semangat humanisme dan solidaritas global. Virus corona secara tidak langsung mampu membuat rasa kemanusiaan dan solidaritas antar negara di dunia menguat. Kini, semua energi dan fokus negara tercurahkan untuk bagaimana segera menghentikan virus corona. Hal tersebut membuat negara-negara di dunia memiliki tujuan yang sama di mana hal ini membuat terbangunnya rasa humanisme dan solidaritas sebagai sesama mahluk dunia.
Kedua, lahirnya nilai atau tatanan baru. Menurut perspektif sosiologi, setiap bencana atau konflik akan memberikan efek positif berupa lahirnya nilai atau tatanan baru. Dalam konteks munculnya virus corona, tatanan atau nilai baru yang lahir tentunya adalah perihal bagaimana menjaga kesehatan bagi individu maupun bagaimana negara mempersiapkan insfastruktur kesehatan yang memadai sebagai langkah preventif maupun represif ketika muncul pandemi virus yang masif.
Ketiga, keintiman keluarga menjadi terbangun kembali. Terbatasnya aktivitas setiap orang untuk keluar dari rumah membuat interaksi setiap orang hanya akan terjalin di rumah dengan keluarganya masing-masing. Keempat, meningkatnya kualitas udara dan lingkungan hidup. Menurunnya aktivitas warga masyarakat membuat polusi atau pencemaran udara menurun drastis. Realitas ini seakan menyiratkan makna bahwa dalam sebuah kegetiran (musibah) pasti tersimpan nilai manfaat pada sisi yang lain.