Minggu, 18 November 2018

URGENSI MINAT MEMBACA GENERASI MILENIALS BAGI MASA DEPAN BANGSA




Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, membaca adalah suatu proses pengolahan bacaan secara kritis, kreatif yang dilakukan dengan menyeluruh tentang bacaan itu, dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak dari bacaan itu. Secara sederhana membaca merupakan sarana untuk menggali informasi, mendapatkan informasi, dan mengolah informasi untuk mendapatkan tingkat pemahaman tertentu akan suatu obyek bacaan.

Dalam konteks sosial membaca merupakan sebuah upaya penting untuk meningkatkan penghetahuan, wawasan, kepekaan dan sensitifitas sosial terhadap kompleksitas serta dinamika kehidupan dan lingkungan sosial kita, dengan membaca kita akan memiliki bekal ilmu, wawasan, penghetahuan dan cara pandang yang lebih luas sehingga memungkinkan kita untuk memiliki pola pemikian yang terstruktur (cerdas) serta memungkinkan kita untuk bertindak secara lebih arif dan bijaksana.

Oleh karena itu, tingkat minat membaca adalah variabel yang sangat penting dalam menentukan bagaimana tingkat kecerdasan, kearifan berpikir, dan kepekaan sosial seseorang, orang yang gemar membaca tentu berkecenderungan memiliki tingkat kecerdasan, kearifan, dan kepekaan sosial yang lebih baik dari pada orang yang tidak gemar membaca. 

Orang yang gemar membaca melegitimasi setiap ucapan dan tindakannya berdasarkan penghetahuan yang dia miliki, sedangkan orang yang tidak gemar membaca alias miskin wawasan relatif hanya menggunakan emosi dan asumsi dalam menyikapi sesuatu hal.

Dapat di simplifikasikan bahwa, minat membaca adalah variabel yang sangat menentukan bagaimana kualitas seseorang maupun kualitas sebuah bangsa secara umum, seseorang atau sebuah bangsa yang memiliki minat membaca tinggi akan memiliki nilai yang lebih dibanding seseorang atau sebuah bangsa yang memiliki minat membaca rendah.

Terlebih dihadapkan pada era post-truth seperti sekarang ini, tanpa memiliki minat membaca yang baik seseorang atau sebuah bangsa dipastikan akan kalah bersaing dengan orang atau bangsa lainnya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menanamkan dan mendorong para generasi penerus bangsa atau dewasa ini sering disebut sebagai generasi milenials agar memiliki minat membaca yang baik sebagai modal untuk memenangkan persaingan global.

Generasi milenials atau generasi yang lahir mulai tahun 1980 dihadapkan dengan tantangan berupa perkembangan teknologi yang semakin pesat dan masif, yang apabila tidak disikapi secara bijak tentunya akan dapat membawa dampak negatif seperti tergerusnya sisi kepekaan sosial dan yang lebih parah dapat menyebabkan terjadinya dekadensi moral dikalangan para milenials. 

Generasi milenials dituntut mampu memanfaatkan perkembangan teknologi secara positif dengan meningkatkan kualitas diri melalui meningkatkan minat membaca, dengan kemajuan teknologi sekarang ini sejatinya kita dipermudah, karena dapat membaca apapun dan dimanapun secara cepat dan mudah. 

Mengingat dipundak para generasi milenials inilah masa depan bangsa dipertaruhkan, tentu menjadi hal yang sangat penting bagi generasi milenials untuk memiliki kesadaran akan pentingnya memiliki minat dan frekuensi membaca yang tinggi sebagai bekal untuk menghadapi era revolusi 4.0.

Lalu bagaimana kondisi minat membaca masyarakat Indonesia secara umum ?

Menurut data dari Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca rata-rata orang Indonesia rata-rata hanya 3-4 kali seminggu dengan durasi waktu sekitar 30-59 menit per hari. Selanjutnya data statistik dari UNESCO pada tahun 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru sekitar 0,001 artinya dari 1000 penduduk hanya ada satu yang memiliki minat membaca.

Kemudian menurut survey “Most Literred Nation In The Worl” oleh Central Connenticut State University pada maret 2016 menempatkan minat membaca masyarakat Indonesia pada peringkat ke 60 dari 61 negara (Kompas, 29/8/2017). Masyarakat Indonesia hanya memiliki minat baca 0,01 % buku pertahun sangat jauh jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang yang memiliki minat baca antara 15-20 % buku pertahun dan Amerika yang memiliki minat baca antara 20-25 % buku pertahun.

Data diatas telah menunjukkan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia relatif masih sangat rendah, data diatas juga menunjukkan hubungan korelasi bahwa tingkat minat membaca sebuah negara akan sangat menentukan bagaimana kualitas dan posisi mereka dalam percaturan global, apakah sebagai sebuah negara maju atau negara berkembang, data diatas juga menunjukkan sebuah analogis empirik bahwa tidak ada negara maju yang tidak memiliki tingkat dan minat membaca yang baik, oleh karenanya untuk membangun negara Indonesia menjadi sebuah negara yang maju, maka wajib hukumnya untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas khususnya melalui peningkatan minat membaca atau budaya literasi.

Oleh karenanya, para generasi milenials sebagai generasi penerus bangsa harus dituntut, didorong dan difasilitasi untuk meningkatkan minat membaca sehingga mereka dapat menjadi generasi unggul yang dapat diandalkan untuk meningkatkan taraf Indonesia dalam percaturan global kedepan.

Ada dua faktor yang sejatinya dapat diupayakan untuk mendorong dan meningkatkan minat membaca para generasi milenials. Pertama faktor internal, yakni dalam diri dan lingkungan keluarga generasi milenials itu sendiri, para generasi milenials harus didoktrin untuk memiliki kesadaran akan pentingnya membaca sedini mungkin, karena merekalah generasi penerus bangsa, jika generasi penerus bangsa lemah dalam membaca atau minim wawasan tentunya generasi ini tidak akan memiliki kepekaan sosial dan kecerdasan mumpuni, sehingga tidak dapat berperan sebagai agen perubahan bagi negara dalam mencapai kemajuan dan kesejahteraan

Rasa kesadaran tersebut hendaknya sudah dipupuk sedini mungkin dalam keluarga, orang tua harus mampu mendorong, memberi contoh dan membudayakan sejak dini kepada para anak-anaknya untuk memiliki budaya membaca, karena jika budaya membaca sudah menjadi sebuah kebiasaan sejak dini, maka kebiasaan itu cenderung akan mereka bawa hingga dewasa.

Selanjutnya faktor yang kedua, faktor ekternal, hal ini berkaitan dengan faktor lingkungan, ekonomi maupun budaya, dalam hal ini para pihak-pihak disekitar kaum milenials hendaknya mampu menciptakan ekologi atau lingkungan yang kondusif untuk memacu minat membaca, seperti pemerintah dapat menurunkan pajak buku, rajin menggelar bazar buku murah atau meningkatkan kualitas dan kuantitas perpustakaan baik di kota maupun di desa, selanjutnya pegiat literasi hendaknya memilki agenda kontinu untuk mendorong minat membaca para generasi milenials seperti mengadakan pameran, diskusi, sosialisasi dll, kemudian sekolah atau kampus juga harus membudayakan budaya literasi secara masif kepada para siswa dan mahasiswa untuk meningkatkan minat membaca dengan kebijakan dan program-program tertentu.

Karena pada akhirnya kita semua membutuhkan generasi milenials yang tak hanya cerdas tetapi juga memiliki rasa kepekaan sosial dalam mendorong kemajuan bangsa di era globalisasi dan disruptif ini, dan hal itu hanya dapat terwujud jika kita memiliki generasi milenials yang memiliki minat dan tingkat frekuensi membaca yang tinggi.

Oleh karena itu, mendorong dan memfasilitasi para generasi milenials agar memiliki minat membaca yang tinggi adalah tanggungjawab kita bersama. Karena jika generasi milenials yang merupakan generasi penerus bangsa ini tidak memiliki minat membaca yang tinggi, maka dapat dipastikan bangsa ini tidak akan memiliki masa depan yang cerah dimasa depan.


Selesai .... 



               

Rabu, 14 November 2018

DISKURSUS AGAMA DAN BUDAYA




Diskursus antara agama dan budaya selalu menjadi wacana yang menarik untuk diperbincangkan dalam setiap perkembangan peradaban, pertanyaan tentang bagaimana relasi, bagaimana idealnya, bagaimana batasnya, dan bagaimana pola hubungan yang serasi antara keduanya (agama dan budaya) merupakan wacana yang tidak pernah usang.

Agama dan budaya adalah dua hal “Sakral” dalam kehidupan manusia, mengapa sakral ? karena agama dan budaya menjustifikasi nilai yang dapat memberikan rasa fanatisme dan keyakinan mengenai apa yang benar, apa yang salah, apa yang patut dilakukan dan apa yang tidak patut dilakukan. Bahkan world view (cara pandang/paradigma berpikir) seseorang itu sangat besar dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. 

Diskursus antara agama dan budaya selalu menjadi isu kontemporer yang menarik untuk dibahas dan diperbincangkan di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara yang sarat akan nilai-nilai agama dan tradisi budaya yang mengakar kuat sebagai basis kekuatan dan kohesi sosial masyarakat.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang dibangun berdasarkan spirit nilai-nilai religiusitas, di sisi lain Indonesia adalah sebuah negara multikultural dengan kekayaan budaya yang melimpah ruah dalam berbagai bentuk dan dimensi. Fakta ini membuat diskursus antara agama dan budaya selalu menjadi wacana yang menarik untuk di bahas dan di perbincangkan dalam berbagai forum baik formal maupun non formal.

Pertanyaannya, bagaimanakah pola hubungan, dan relasi antara agama dan budaya ? terkait dengan hal ini saya sepakat dengan pendapat dari Menteri Agama Lukman H. Saifuddin yang mengatakan dalam tweetnya “Agama memerlukan wadah pengamalan nilainya, budaya memerlukan spiritualitas yang menjadi dasar sekaligus arah orientasinya.”

Penjelasan secara elaboratif terkait relasi dan hubungan ideal antara agama dan budaya disini akan coba saya jelaskan melalui pendekatan teori struktural fungsional dari Tallcot Parson. Agama dalam kehidupan masyarakat menurut teori stuktural fungsional adalah berfungsi sebagai proses integrasi sama seperti halnya hukum yang memberikan norma tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan demi terjaganya stabilitas dan integrasi dalam masyarakat.

Sedangkan budaya dalam kehidupan masyarakat menurut teori struktural fungsional adalah berfungsi untuk mempertahankan pola, budaya adalah sesuatu yang diyakini dan dilakukan sebagai sebuah tradisi berulang-ulang, oleh karenanya, budaya harus berisikan falsafah dan nilai-nilai yang sesuai dengan prinsip religiusitas ( positif ) sebagai dasar dan arah orientasinya. Nilai-nilai religiusitas yang saya maksud disini adalah nilai-nilai yang bersifat universal yang melekat dalam setiap agama di Indonesia seperti kemanusiaan, keadilan, kehormatan, perdamaian, kerukunan, dan lainnya.

Secara sederhana, hubungan dan relasi antara agama dan budaya dapat diejawantahkan seperti ini: agama membutuhkan budaya sebagai wadah untuk mempertahankan pola agar prinsip-prinsip religiusitas dapat membudaya dalam kehidupan masyarakat, sedangkan budaya membutuhkan agama sebagai bahan dasar dan arah orientasi yang berisikan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal sebagai pengejawantahan dari prinsip religiusitas, sehingga budaya yang tertanam dalam relung kehidupan sosial masyarakat berisikan dengan hal-hal yang positif.

Lalu bagaimana jika ada sebuah budaya bertentangan dengan nilai-nilai religiusitas yang bersifat universal seperti kemanusiaan, kehormatan, keadilan, perdamaian, kerukunan dan lainnya ?, jawabannya absolut yakni budaya tersebut wajib untuk kita lawan dan kita tinggalkan, misalnya budaya penindasan terhadap perempuan, budaya intoleransi SARA, budaya hoax, budaya korupsi, budaya suap, hingga budaya kekerasan. Kata lawan disini dalam artian melalui koridor-koridor aturan sebagaimana telah ditetapkan oleh negara bukan lawan dalam arti secara bar-bar, pemaksaan, intimidasi dan kekerasan.

Sebaliknya jika ada sebuah budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai religiusitas yang bersifat relatif atau tidak universal, bagaimana sikap kita ? sederhana saja, kita tidak berhak untuk melawannya, secara pribadi, jika kita rasa budaya tersebut bertentangan dengan prinsip religiusitas yang kita yakini, maka kita tidak usah mengikutinya selesai masalah.

Misalnya ada budaya sedekah laut, kita merasa bahwa sedekah laut itu bertentangan dengan prinsip religiusitas yang kita yakini, akan tetapi secara umum sedekah laut adalah budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip religiusitas agama secara universal, karena tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, kerukunan, keadilan, kehormatan dan perdamaian. Maka sikap kita ya sederhana saja, tidak usah mengikutinya dan tidak perlu melawan, apalagi melawan dalam artian secara intimidasi, pemaksaan dan kekerasan.

Prinsip religiusitas yang bersifat universal disini adalah nilai-nilai universal yang melekat pada semua agama seperti nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, kerukunan dan penghormatan. Sedangkan prinsip religiusitas yang bersifat relatif adalah nilai-nilai religiusitas yang kebenarannya bersifat relatif dan subyektif dari sudut pandang agama tertentu.

Perlu kita ketahui bersama bahwa negara Indonesia bukanlah negara agama yang dibangun atas dasar satu ajaran agama tertentu, tetapi Indonesia adalah negara kebangsaan yang berketuhanan yaitu negara yang dibangun dengan spirit nilai-nilai religiusitas dari agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan fakta ini tentu ada hal-hal yang tidak bisa secara kaffah kita terapkan berdasarkan ajaran agama yang kita anut. Sehingga budaya yang memiliki nilai-nilai religiusitas yang sifatnya relatif dan subyektif tidak bisa kita lawan atau kita gugat (dengan alasan bertentangan ajaran agama yang kita yakini) selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum atau nilai-nilai religiusitas yang bersifat universal.

Pada prinsipnya, aktivitas beragama dan berbudaya dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan, saling mengisi dan tidak perlu dipertentangkan, jika kita dapat menempatkan dan menyikapi secara tepat bagaimana posisi agama dan budaya. Serta dapat memahami adanya prinsip-prinsip religiusitas yang bersifat universal dan prinsip-prinsip religiusitas yang bersifat relatif.

Agama dan budaya sejatinya bukanlah hubungan yang bersifat antitesis namun merupakan hubungan yang bersifat integratif dimana saling melengkapi dan saling membutuhkan.


SELESAI




Selasa, 13 November 2018

MENGURAI AKAR PERMASALAHAN KEPUTUSAN WASIT YANG KONTROVERISAL




Salah satu “Keunggulan” Sepak bola Indonesia selain dari sisi fanatisme adalah pada sisi kontroversi, jika sisi fanatisme memiliki tendensi akan hadirnya dua potensi yakni potensi negatif serta potensi positif, namun berbicara sisi kontroversi maka yang tersaji kemudian hanyalah potensi negatif yang menderivasi efek kerugian. Dan sayangnya sepak bola Indonesia begitu kental, lekat dan tak pernah lepas dari sisi kontroversi tersebut dari waktu ke waktu.

Berbicara sisi kontroversi yang saya maknai sebagai sebuah tindakan atau peristiwa yang keluar atau tidak sejalan dengan koridor aturan, kebenaran, kepatutan, nurani dan akal sehat. Sepak bola Indonesia telah menjelma sebagai tempat subur bagi timbul dan tumbuhnya berbagai isu kontroversi. Salah satunya adalah kontroversi terkait wasit yang memimpin jalannya sebuah pertandingan.

Sebagaimana kita ketahui bersama, dari tahun ke tahun sepak bola Indonesia tidak pernah bisa lepas dari isu kontroversi wasit khususnya mengenai keputusan wasit yang kontroversial seperti berat sebelah, “Mengerjai”, hingga isu pengaturan pertandingan untuk memenangkan salah satu klub yang pada akhirnya membuat jalannya maupun kondisi setelah pertandingan menjadi tidak kondusif bahkan hingga menimbulkan friksi dalam berbagai skala seperti kekerasan terhadap wasit, perkelahian sesama pemain hingga kerusuhan pertandingan yang menyebaban korban jiwa.

Wasit adalah elemen penting dalam jalannya sebuah pertandingan dan boleh dibilang kualitas seorang wasit adalah elemen yang akan menentukan kualitas jalannya sebuah pertandingan itu sendiri, wasit adalah pengadil dimana setiap keputusan yang diambil akan mempengaruhi jalannya sebuah pertandingan tidak hanya secara teknis tetapi juga secara psikologis, oleh karenanya, integritas dan profesionalitas seorang wasit adalah hal yang utama.

Secara umum sebenarnya ada dua hal penting terkait wasit yang merupakan akar permasalahan mengenai masifnya keputusan wasit yang kontroversial, pertama profesionalitas, dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan teknis seorang wasit dalam memimpin jalannya sebuah pertandingan, kemampuan teknis disini berkaitan dengan pemahaman dan penguasaan aturan-aturan pertandingan sebagai pedoman untuk memimpin jalannya sebuah pertandingan.

Seorang wasit yang memiliki pemahaman dan penguasaan akan aturan-aturan atau rule of the game dalam sepak bola secara komprehensif tentunya akan memperkecil potensi bagi wasit tersebut untuk membuat sebuah keputusan yang salah atau kontroversial.

Sebaliknya jika seorang wasit kurang memiliki pemahaman dan penguasaan aturan-atauran atau rule of the game dalam sepak bola secara komprehensif tentunya akan semakin besar potensi bagi wasit tersebut untuk membuat sebuah keputusan yang salah atau kontroversial dalam memimpin jalannya sebuah pertandingan. Jika hal ini yang menjadi akar permasalahan mengapa masif keputusan wasit yang kontroversial dalam sepak bola Indonesia, maka jalan untuk menyelesaikannya adalah dengan meningkatkan kapasitas teknis yakni meningkatkan pemahaman dan penguasaan para wasit akan aturan-aturan pertandingan sepak bola secara up to date dengan berbagai upaya misalnya seminar, sosialisasi rule of the game secara berkala, meningkatkan kualitas pelatihan lisensi wasit dan lainnya.

Akar permasalahan kedua yang menyebabkan masifnya keputusan wasit yang kontroversial dalam jalannya sebuah pertandingan liga sepak bola di Indonesia adalah karena integritas wasit, yakni karena adanya wasit yang tidak memiliki integritas seperti menerima suap berupa uang, barang atau fasilitas untuk “Membantu” sebuah klub dalam jalannya pertandingan yang dia pimpin. Jika demikian, maka sudah barang tentu jalannya laga yang dipimpin oleh wasit yang tak berintegritas tersebut akan berat sebelah dan penuh keputusan-keputusan kontroversial yang tujuannya untuk menguntungkan salah satu klub yakni klub yang menyuap wasit tersebut.

Jika akar permasalahannya adalah integritas wasit (suap), penegakan hukum dalam hal ini adalah pemberian sanksi bagi para wasit yang terbukti menerima suap bisa jadi hal yang baik, namun untuk menggali secara lebih seksama mengapa sih ada wasit yang tak berintegritas dalam artian memihak dan membuat keputusan-keputusan kontroversial, maka perlu kita telaah dan jawab bersama pertanyaan tersebut berdasarkan logika dan akal sehat yakni karena adanya permintaan, pertanyaan selanjutnya permintaan dari siapa ? ya tentunya dari salah satu klub yang ingin mendapatkan keuntungan dari kepemimpinan wasit yang mereka suap, permintaan tersebut bisa secara langsung kepada pribadi wasit maupun secara tidak langsung yakni melalui pihak-pihak yang memiliki otoritas terhadap wasit.

Kita ambil contoh misalnya dua klub yang bertanding sama-sama bermain fair play dan menjunjung tinggi sportivitas (tidak menyuap wasit), pertanyaannya apakah akan masih ada keberpihakan dan keputusan-keputusan kontroversial dalam sebuah pertandingan oleh wasit, jawabannya, keberpihakan mungkin tidak, namun keputusan-keputusan kontroversial masih ada potensi tetapi tentunya bukan dilakukan secara terencana, sistematis dan hanya sekedar spontanitas karena blunder decision saja.

Jadi dapat dikatakan bahwa akar permasalahan dari pada disintegritas wasit yang menimbulkan keberpihakan dan keputusan-keputusan kontroversial dalam memimpin jalannya sebuah pertandingan adalah karena adanya klub-klub yang tidak menunjung tinggi fair play dan sportivitas dengan jalan menyuap seorang wasit untuk membela dan menguntungkannya dalam sebuah pertandingan.

Klub di Indonesia terkesan mau “Mengerjai” tetapi tidak mau ketika “Dikerjai”, saat sebuah klub merasa dikerjai ketika bermain away, maka kemudian akan mereka balas dengan mengerjai ketika bermain home, semua akan berulang bagai sebuah siklus yang sulit untuk diakhiri. Budaya seperti ini harusnya ditinggalkan dalam rangka membangun iklim sepak bola yang berorientasi kepada prestasi dan kemajuan, klub-klub di liga Indonesia harus membangun komitmen bersama agar dalam berjalannya kompetisi tidak ada “Main belakang” sehingga jalannya pertandingan demi pertandingan dalam kompetisi dapat berjalan kondusif, fair play, dan penuh nilai-nilai sportivitas.

Akar permasalahan integritas wasit ini juga tak dapat dipungkiri berasal dari pada intern diri pribadi wasit itu sendiri, jika seorang wasit memiliki integritas yang kuat, maka sebesar apapun godaan yang diberikan kepadanya untuk berlaku tidak adil, maka ia akan menolak. Sehingga dalam hal ini menjadi penting bagaimana peran PSSI dalam menentukan pola rekrutmen wasit, edukasi , evaluasi kinerja, hingga persoalan kesejahteraan untuk dapat menghasilkan wasit-wasit yang berintegritas.

Akan tetapi dibalik semua itu, yang terpenting adalah selama klub-klub tidak ada yang melakukan “Main belakang” dengan wasit dalam artian bertanding dan berkompetisi secara fair play dengan percaya pada kemampuan diri sendiri, maka saya yakin keputusan-keputusan kontroversial dari wasit yang terkesan menguntungkan salah satu pihak dalam sebuah pertandingan akan tereduksi optimal.

Perlu diketahui bahwa selama pertandingan-pertandingan sepak bola di liga Indonesia masih dipenuhi oleh keputusan-keputusan kontroversial dari wasit entah karena minimnya profesionalitas atau miskinnya integritas, maka semua itu akan terakumulasi menjadi sebuah stigma yang mengakibatkan adanya dis-trust dari para pemain, pelatih maupun supporter kepada wasit, sehingga ketika ada sedikit saja keputusan hakim yang keliru (entah sengaja atau tidak) maka wasit akan dihakimi seakan memihak, tidak adil atau terkena suap, yang terkadang kemudian disikapi secara berlebihan seperti menghina wasit dan melakukan kekerasan terhadap wasit.

Maka dari itu, setiap ada kekerasan terhadap wasit baik yang dilakukan oleh pemain, supporter atau official klub, sikap saya selalu sama, hukum yang melakukan kekerasan, karena apapun alasannya, melakukan kekerasan terhadap wasit adalah hal yang tidak dapat dibenarkan, namun di satu sisi kinerja wasit tersebut juga perlu untuk ditinjau dan dievaluasi, untuk menghetahui apakah anda indikasi-indikasi yang dilakukan wasit tersebut yang bertentangan dengan rule of the game secara disengaja atau hanya kelalaian semata atau juga karena sikap yang berlebihan dari para pihak yang melakukan kekerasan karena stigma dan dis-trust terhadap wasit.

Untuk menilai seorang wasit memihak atau tidak sebenarnya mudah saja yakni apabila dalam jalannya pertandingan terdapat banyak keputusan-keputusan wasit yang cenderung senantiasa memihak dan memberikan keuntungan kepada salah satu klub, maka hampir dapat dipastikan wasit tersebut memihak, jika tidak, maka kesalahan keputusan yang cenderung menguntungkan salah satu pihak yang dibuat oleh wasit, kemungkinan hanya karena faktor blunder decision saja yang tidak terencana.

Maka dapat dikonstruksi bahwa akar pokok permasalahan dari pada adanya keputusan-keputusan wasit yang kontroversial dalam liga sepak bola di Indonesia (selain faktor human error) adalah karena dua hal yakni faktor profesionalitas yakni pemahaman dan penguasaan akan aturan-aturan atau rule of the game pertandingan yang kurang memadai, dan karena faktor integritas yakni karena faktor wasit yang tidak memiliki moral dan pemahaman akan profesi sebagai pengadil yang terbentuk selain karena faktor pribadi juga karena adanya faktor ekstern yakni permintaan dari klub (suap) untuk memihak kepada klub itu.

Oleh karena itu, kedepan menjadi penting bagi para klub-klub di liga sepak bola Indonesia baik dari kontestan klub liga 3, liga 2, hingga liga 1 untuk memiliki komitmen bersama dalam rangka menjaga sikap fair play dan sportivitas dalam bertanding dan berkompetisi, terutama tidak “Main belakang” dengan wasit. Di satu sisi PSSI sebagai pemegang otoritas juga harus senantiasa melakukan upaya-upaya dan kebijakan yang strategis guna mendukung terciptanya wasit-wasit profesional dan berintegritas.

Karena selama sepak bola di liga Indonesia baik dari liga 1 hingga liga 3 masih dipenuhi oleh keputusan-keputusan kontroversial dari wasit, maka selama itu pula iklim persepakbolaan kita tidak akan pernah kondusif dan konstruktif untuk mendukung kemajuan dan prestasi persepakbolaan nasional.


Selesai ....



Selasa, 06 November 2018

ETIKA, MORAL DAN NORMA KEPATUTAN HARUS DILETAKKAN DI ATAS HUKUM




Dalam berbagai peristiwa orang Indonesia cenderung meletakkan hukum sebagai acuan utama dalam bersikap, bertindak, maupun berkelit dari peristiwa sosial yang menghampirinya, apapun perbuatan dan tindakan yang dilakukan, selama itu tidak melanggar hukum dalam artian hukum positif, maka mereka cenderung tidak akan merasa bersalah meskipun secara etika, moral dan norma kepatutan terasa kurang pantas bahkan mencoreng martabat dan rasa keadilan kolektif sekalipun, mereka akan berkelit dengan alasan karena memang yang mereka lakukan tidak melanggar hukum atau aturan yang berlaku, selesai masalah.

Misalnya seorang anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi, menjalani pemeriksaan dan bahkan telah menjadi “Public enemy” namun yang bersangkutan tidak memiliki kesadaran diri untuk mundur sebagai anggota DPR dengan alasan aturan hukum tidak mengharuskan ia mundur. Jika berpijak pada aturan hukum memang seorang anggota DPR tidak harus mundur dari jabatannya jika menjadi tersangka, akan tetapi jika pijakannya adalah etika, moral dan norma kepatutan tentu seyogyanya ia harus mundur dengan dasar menjaga marwah lembaga legislatif, menjaga kepercayaan publik dan efektifitas kinerja.

Kemudian misalnya seorang Gubernur yang merangkap jabatan sebagai ketua organisasi sepak bola Indonesia (PSSI), memang secara hukum atau aturan yang berlaku tidak ada larangan akan hal tersebut (rangkap jabatan), namun jika ditinjau dari sudut etika, moral dan norma kepatutan tentu akan terjadi ketidakpatutan atau ketidakpantasan, apa iya dua jabatan yang memiliki konsekuensi tanggung jawab dan beban kerja yang tinggi diemban oleh seorang yang sama dalam waktu yang bersamaan ? tentu hal ini sangat potensial bahkan pasti menyebabkan ketidakefektifan kinerja yang dapat merugikan rakyat dan organisasi, sehingga seyogyanya beliau harus mundur dari salah satu jabatan yang diembannya.

Selanjutnya dalam hingar bingar dunia politk, sebagian politikus cenderung berpolitik secara "negatif" misalnya dengan mencaci kinerja lawan politiknya tanpa data yang akurat, memang secara hukum hal tersebut bukanlah tindak pidana sehingga absah untuk dilakukan, tetapi jika ditinjau dari perspektif etika, moral dan norma kepatutan dalam rangka membangun iklim politik yang konstruktif dan substantif tentu hal tersebut menjadi kurang pantas dan hendaknya harus dihindari sejauh-jauhnya.

Sikap-sikap diatas memang tidak salah secara hukum “Lha wong negara kita negara hukum ya acuannya hukum tho, selama yang kita lakukan tidak melanggar hukum ya tidak masalah” (pola pikir normatif), namun perlu digaris bawahi bahwa etika, moral dan kepatutan itu sejatinya atau idealnya harus diletakkan diatas hukum dalam artian bahwa etika, moral dan kepatutan menjadi acuan utama dan lebih penting dari pada hukum. Mengapa demikian ? karena etika, moral dan kepatutan pada dasarnya adalah nyawa atau ruh dari pada hukum itu sendiri, dapat dikatakan bahwa hukum yang ideal adalah pemformulasian nilai-nilai etika, moral dan kepatutan dalam sebuah masyarakat menjadi hukum formal.

Namun dalam faktanya tidak semua nilai-nilai etika, moral dan kepatutan di formalisasi menjadi hukum positif, sehingga ketika ada sebuah peristiwa dimana hukum positif tidak mengaturnya (tidak melarang) namun peristiwa tersebut dirasa bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral dan kepatutan, maka sudah seharusnya paradigma yang kita ambil dalam menyikapi peristiwa tersebut adalah etika, moral dan kepatutan bukan hukum.

Ambil contoh lagi misalnya mencontek dan berbohong itu bukanlah perbuatan yang dilarang oleh hukum positif tetapi perbuatan tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai etika dan moral yang sudah seharusnya tidak kita lakukan. Paradigma berpikir seperti itulah yang harusnya kita bangun sebagai sebuah peradaban.

Paradigma bersikap, berpikir dan bertindak dalam menghadapi sebuah kasus atau peristiwa sendiri menurut hemat saya terbagi dalam 3 peradaban. Pertama, peradaban anarkisme, dimana orang-orang cenderung bertindak sesuai keinginan untuk memenuhi hasrat kepuasan pribadi tanpa memperdulikan hukum, etika, moral dan kepatutan. Peradaban anarkisme ditandai dengan friksi dan chaos yang masif dalam kehidupan suatu masyarakat, karena tidak ada atau minimnya rasa kepatuhan terhadap hukum, namun peradaban anarkisme saya kira sudah jauh ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia.

Kedua, peradaban normatif, peradaban normatif ditandai dengan adanya sikap rigid pada hukum yang membangun paradigma bahwa acuan dan sikap tindak yang utama hanyalah mengacu pada hukum positif, apapun boleh dilakukan asalkan tidak melanggar hukum yang berlaku, meskipun secara etika, moral dan kepatutan terasa kurang pas. Paradigma normatif membuat masyarakat berpikir praktis dan pragmatis dan cenderung mengesampingkan hal-hal esensial diluar hukum yang seharusnya lebih penting dan menjadi ruh dari pada hukum itu sendiri yakni nilai-nilai etika, moral dan kepatutan. Paradigma normatif inilah yang saya rasa terbangun dalam iklim sosial masyarakat Indonesia sebagaimana saya contohkan diatas.

Ketiga, peradaban ideal, inilah peradaban yang harusnya kita bangun bersama kedepan, peradaban ideal dapat mewujud jika acuan utama dalam berpikir, bersikap dan bertindak tidak sekedar hukum positif tetapi lebih mengedepankan nilai-nilai etika, moral dan kepatutan sebagai manifestasi dari pengimplementasian nilai-nilai praksis Pancasila sebagai sebuah sistem perilaku. 

Lalu bagaimana membangun peradaban ideal tersebut ? kuncinya terletak pada keteladanan pemimpin dan pembudayaan. Para pemimpin dan para pejabat publik hendaknya dapat memberikan contoh atau suri tauladan bagaimana bersikap dan bertindak yang taat pada rule dalam bingkai etika, moral dan kepatutan tidak hanya sekedar hukum positif yang normatif.

Kemudian yang tak kalah penting adalah bagaimana melakukan pembudayaan peradaban ideal sejak dini dimulai dari sekup sosial terkecil yakni keluarga kemudian sekolah dan selanjutnya lingkungan masyarakat. Jika hal ini dapat terbangun, maka peradaban ideal niscaya akan dapat mewujud dan berimplikasi kontruktif dalam membangun kohesi sosial, keteraturan, ketertiban dan kemaslahatan bersama.

Maka sudah seharusnya kita beralih dari peradaban normatif menuju peradaban ideal. Dimana meletakkan nilai-nilai etika, moral dan kepatutan diatas dan lebih penting dari pada sekadar hukum positif yang normatif.



SELESAI .....