Rabu, 30 Mei 2018

PUISI : DERAI JIWA


Tertatih-tatih ku tatap sekilas wajah ayu mu dengan nanar.

Menatapnya bak menyeringai lautan asmara nan mendebarkan raga.

Di dalam kelopak mata mu terlihat jua gelora cinta yang mendekam riuh penuh asa.

Terpahat kasih tulus nan suci, menggelayut jiwa.

Dalam sayup, derai-derai jiwa ku berbisik lirih, penuh harap.

Berharap derai-derai jiwa kita menyatu, berbaur, dan manunggal dalam satu bahtera suci yang kita perjuangkan selama ini.

Ragaku terasa lapuk saat kau jauh, siksa rindu begitu menyakitkan.

Dan ku tak sanggup menahannya lebih lama lagi.













Selasa, 29 Mei 2018

PUISI : OPOSISI


Di luar lingkaran kekuasaan, mereka menjadi serdadu yang siap merobohkan congak penguasa.

Menghimpun empati rakyat, menyatukan tekad merebut kekuasaan.

Apa yang mereka perjuangkan ? rakyat atau kekuasaan ?

Siklus akan senantiasa menghiasi dimensi kehidupan, ada saatnya bersuara lantang layaknya pahlawan, ada kalanya duduk nyaman tutup telinga, tutup mata.

Oposisi maupun penguasa hanyalah siklus semata, keberpihakan adalah oase semu, karena falsafah mereka sama, kekuasaan.

Penguasa mencoba mempertahankan kekuasaan, oposisi berusaha meraih kekuasaan.

Penguasa berusaha menancapkan rezim, oposisi mencoba merobohkan rezim, begitulah roda kehidupan.

Sedang rakyat hanyalah sekedar alat untuk mewujudkan ambisi itu. Tidak kurang dan tidak lebih.

Meraih suara rakyat sebelum berkuasa akan jauh lebih penting dari sekedar membela kepentingan rakyat setelah berkuasa.

Karena meraih tidak berbanding lurus dengan membela.






Selasa, 15 Mei 2018

INDONESIA NEGARA DEMOKRASI, NOMOKRASI DAN TEOKRASI


Demokrasi secara etimologi berasal dari kata demos dan kratos/kratein, demos berarti rakyat dan kratos/kratein berarti kekuasaan, demokrasi secara sederhana sebagaimana diutarakan oleh Abraham Lincoln diartikan sebagai sebuah sistem penyelenggaraan negara atau sistem politik yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi negara.

Rakyat lah yang menentukan arah kebijakan negara melalui wakil-wakilnya, baik di eksekutif maupun legislatif, dalam negara demokrasi, eksekutif dan legislatif pada dasarnya merupakan penjelmaan dari rakyat atau wakil rakyat, yang bertugas mewakili serta membela kepentingan rakyat.

Namun sayangnya, secara das sein (kenyataan) di negara manapun penguasa dan legislatif jutru seringkali tidak mengutamakan kepentingan rakyat, mereka lebih terbuai untuk mengutamakan kepentingan pribadi, kepentingan segelintir orang yang memiliki kemampuan materil maupun kepentingan kelompoknya.

Membahas demokrasi, secara hakikat demokrasi pada dasarnya merupakan sistematisasi dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, demokrasi adalah sebuah sistem yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dengan berbagai saluran seperti Pilkada, Pilpres, Pileg dll, dan menurut hemat saya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, demokrasi merupakan sistem penyelenggaraan negara atau sistem politik terbaik dari semua sistem yang ada, mengingat demokrasi menghendaki adanya persamaan hak, perlindungan HAM, dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat, yang mana hal tersebut sulit dipenuhi oleh sistem lainnya misalnya oligarki.

Indonesia adalah negara demokrasi, meskipun tidak ada pasal di UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan secara gamblang bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, kata demokrasi sendiri tidak tersebut secara masif di dalam konstitusi, praktis hanya pasal 18 ayat 4, pasal 28 I ayat 5 (tentang hukum), pasal 28 J ayat 2 dan pasal 33 ayat 4 (tentang penyelenggaraan ekonomi nasional) yang secara implisit menyebut kata demokratis dan demokrasi.

Adapun dasar yang dapat kita jadikan legitimasi untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi tercantum dalam beberapa pasal di dalam konstitusi kita, UUD NRI Tahun 1945, terutama pasal 1 ayat 2 yang berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"

Pasal ini menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat ( demokrasi ), rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi negara, yang pemenuhan dan pelaksanaan kedaulatan tersebut diatur sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.

Di dalam konstitusi kita juga mengatur beberapa hal yang merupakan ciri atau prinsip dasar dari demokrasi, yang sekaligus menjadi penegas legitimasi untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, seperti perlindungan HAM, adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil dan berkala, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dll, hal tersebut diatur dalam bab XA tentang Hak Asasi Manusia serta diatur dalam pasal-pasal lainnya, seperti pasal 27 ayat 1 (persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan) dan pasal 22 E (pemilu).

Selain sebagai negara berkedaulatan rakyat atau demokrasi, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang berkedaulatan hukum atau nomokrasi, secara etimologi nomokrasi berasal dari kata nomos yang berarti norma dan cratos/cratein yang berarti kekuasan, nomokrasi diartikan sebuah sistem dimana norma atau hukum berdaulat dalam suatu negara.

Penegasan Indonesia sebagai negara hukum sendiri tercantum dalam pasal 1 ayat 3 yang berbunyi "Negara Indonesia adalah negara hukum".

Konsekuensi sebagai negara hukum, hukum haruslah diletakkan sebagai asas yang fundamental dalam penyelenggaraan kehidupan negara, segala penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum, hukum disini selain berfungsi untuk membatasi kekuasaan penguasa, melindungi hak asasi manusia, juga berperan untuk mengatur penyelenggaraan negara agar sesuai dengan tujuan dan cita-cita negara.

Hukum harus supreme untuk mengatur kegiatan penyelenggaraan negara dalam segala bidang, hukum tidak boleh dikesampingkan atau kalah dengan kekuasaan, jika ada friksi atau sengketa maka harus diserahkan kepada hukum untuk menyelesaikannya, negara hukum adalah negara yang meletakkan hukum sebagai landasan untuk mengatur segala aktivitas negara, hukum menjadi alas legitimasi bagi pembentukan kebijakan maupun tindakan pemerintah.

Sebagai negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila, Indonesia tidak hanya mengakui hukum yang tertulis saja, tetapi juga mengakui hukum yang tidak tertulis yakni hukum yang berdasarkan pada nilai-nilai dan kearifan yang berlaku di suatu daerah yang ditaati oleh masyarakat setempat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia.

Selain sebagai negara demokrasi dan nomokrasi, Indonesia juga merupakan negara yang menganut kedaulatan Tuhan atau teokrasi meskipun dalam penerapan yang berbeda dengan paham teokrasi di Eropa sebelum masa renaisance dahulu. Negara Indonesia menganut paham kedaulatan tuhan sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 "Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa" kedaulatan Tuhan mengandung arti bahwa dalam penyelenggaraan negara spirit nilai-nilai ketuhanan harus selalu dijadikan landasan dan prinsip yang fundamental.

Bahkan "grundnorm" kita Pancasila meletakkan asas ketuhanan yang maha esa sebagai sila yang tertinggi, sila yang harus menjiwai ke dalam sila-sila berikutnya, dan sila yang paling fundamental sebagai acuan dalam menyelenggarakan kehidupan negara.

Kedaulatan Tuhan berarti juga menyadari bahwa kehidupan ini berasal dari Tuhan, karna Tuhan dan untuk Tuhan, Tuhan adalah penguasa seluruh alam semesta, dan semua yang kita lakukan akan kita pertanggungjawaban nanti kepadaNYA.

Itu artinya, penyelenggaraan negara ini tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan hukum tetapi juga dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang maha esa.

Contohnya dalam putusan pengadilan, maka akan tercantum kepala putusan yang berbunyi "Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa" hal ini menandakan bahwa putusan tersebut dipertanggungjawabkan oleh hakim terutama dan pertama kepada Tuhan, kemudian putusan tersebut juga dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan juga kepada hukum, yakni apakah putusan tersebut telah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan hukum yang berlaku atau tidak.

Hubungan Demokrasi, Nomokrasi dan Teokrasi.

Ada adagium yang mengatakan "Tanpa hukum demokrasi akan liar dan menimbulkan anarki, sedangkan tanpa demokrasi hukum akan menjadi zalim serta sewenang-wenang"

Hal ini menandakan bahwa penyelenggaraan demokrasi harus dikawal oleh hukum agar tertib, teratur dan tidak anarki, sedangkan hukum pun harus dibuat secara demokratis agar bisa memenuhi aspirasi dan rasa keadilan masyarakat serta sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa adanya demokrasi, hukum akan bisa menjadi zalim dan sewenang-wenang, karena di buat sesuai dengan keinginan penguasa, hukum hanya akan menjadi alat untuk menindas rakyat demi kepentingan penguasa dan segelintir orang.

Maka dari itu pemenuhan demokrasi dan hukum (nomokrasi) harus dipenuhi secara seimbang dan tegak bersama, karena keduanya sama-sama penting dan saling melengkapi demi terciptanya kehidupan negara sebagaimana dicita-citakan.

Disisi lain, pelaksanaan demokrasi dan nomokrasi juga harus selalu dilandasi dengan spirit dan nilai-nilai ketuhanan, mengingat Indonesia juga merupakan negara berkedaulatan Tuhan, dengan dilandasi spirit dan nilai-nilai ketuhanan, pelaksanaan demokrasi dan nomokrasi akan semakin kokoh dan semakin potensial untuk mampu menghantarkan negara ini pada tujuan dan cita-cita yang diharapkan.

Secara das sollen, Indonesia adalah negara yang dibekali dengan pondasi yang kuat untuk bisa maju dan sejahtera mengingat Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi), kedaulatan hukum (nomokrasi) dan kedaulatan Tuhan (teokrasi), namun sayangnya secara das sein (kenyataan) prinsip-prinsip seperti diatas sulit dipenuhi secara optimal karena beberapa hal.

Kondisi negara hukum kita belum ideal, hukum belum mampu menjadi alat yang mensejahterakan rakyat, penegakan hukum kita masih dibelenggu oleh korupsi dan ketidakadilan sehingga mandul, ditinjau dari segi sistem hukum, struktur hukum dan budaya hukum kita masih belum dapat dikatakan baik, aparatur penegak hukum kita masih banyak yang belum pro terhadap keadilan dan terjerumus korupsi, hanya substansi hukum yang sudah lumayan baik meski masih ada yang belum optimal seperti UU terorisme, di sisi lain masyarakat juga relatif belum memiliki pemahaman dan kesadaran hukum yang baik misalnya menerima politik uang.

Kemudian kehidupan demokrasi kita juga belum dapat dikatakan ideal mengingat pelaksanaan demokrasi seringkali justru melahirkan para pemimpin atau wakil rakyat yang korup, masih begitu membudayanya politik uang, mahar politik dan kurang tegasnya penegakan hukum dalam demokrasi membuat pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang memiliki kekuatan material bukan yang memiliki kapasitas.

Kehidupan ketuhanan kita sudah lumayan baik, rasa toleransi dan kerukunan antar umat beragama kita sudah dapat dikatakan baik, harmonisasi antar umat beragama dapat terjalin sejuk dan kondusif, hampir tidak ada permasalahan atau ketegangan serius selama ini yang berafiliasi dengan perbedaan keyakinan atau agama, hanya saja prinsip kedaulatan Tuhan atau religiusitas kita belum mampu untuk mengontrol dan melandasi kehidupan demokrasi dan nomokrasi kita, kedaulatan Tuhan belum meresap dan dihayati oleh segenap warga negara maupun aktivitas penyelenggaraan negara ini, rasa takut akan Tuhan masih belum meresap, padahal segala hal yang kita lakukan didunia akan kita pertangungjawabkan kepada Tuhan nantinya.

Oleh karena itu, jika ada pertanyaan mengapa Indonesia belum bisa menjadi negara maju dan sejahtera meskipun memiliki pondasi kuat berupa demokrasi, nomokrasi dan teokrasi ? jawabannya mudah, karena esensi dan pemenuhan dari demokrasi, nomokrasi dan teokrasi belum dapat terwujud secara optimal, ketiganya belum mampu bersinergi secara kausal organis untuk mengawal dan mensejahterakan negara ini.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan negara ini adalah pada pelaksanaannya, implementasinya atau das seinnya, sedangkan secara das sollen atau modal yang ideal, Indonesia sudah lebih dari cukup, karena Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat, negara berkedaulatan hukum dan negara berkedaulatan tuhan.



Selesai
















Senin, 14 Mei 2018

PUISI : TERORIS


Hati yang di pupuk dengan benci dan amarah semakin hari kan semakin parah.

Kebencian membuncah akan merampas naluri kemanusiaan, nyawa pun tak lagi jadi barang berharga.

Kebencian membuncah akan memusnahkan nurani dan akal sehat, hingga tega bertindak biadab.

Berhasrat untuk berbuat keji dan bengis, hingga membuat hati miris penuh tangis.

Berjuang atas nama jihad demi surga yang penuh nikmat, lalu tega menghabisi nyawa bak malaikat hmmm.

Surga hanyalah milik mereka yang bertaqwa, mereka yang mentaati perintah dan larangan Tuhan yang maha esa.

Membunuh sesama manusia bukanlah perintahNYA, lalu bagaimana kalian bisa menghuni surgaNYA.

Membunuh sesama manusia adalah laranganNYA, lalu bagaimana kalian bisa menghuni surgaNYA.

Wahai teroris perbuatan kalian bukanlah cerminan ajaran Tuhan, karena Tuhan cinta akan perdamaian.

Wahai teroris sesungguhnya perbuatan kalian adalah perbuatan iblis, karena iblis suka akan kerusakan dan permusuhan sama seperti halnya kalian.

Wahai teroris sesungguhnya kalian tersesat, bertobatlah selagi ajal belum menyapa.

Sungguh tiada tempat yang layak bagi manusia sadis seperti kalian selain neraka jahanam.

Tempat dimana kalian abadi dalam jerat siksa dan jerit tangis bersama sahabat mu, iblis.


Jumat, 11 Mei 2018

PUISI : SENJA DI DERMAGA TUA


Hembusan angin menerpa lirih
Mendekap asa, menjauhkan resah.

Langit berwajah temaram, bermakna senja telah tiba.

Surya meredup dengan gemulai, pelan-pelan penuh pesona, sungguh keanggunan nan tiada dua.

Langit senja yang orens merona pun terlihat cantik, berhias burung-burung berbaris riang menuju peraduan.

Aku sendiri terdiam membisu di dermaga tua, membunuh waktu senja sore itu.

Menyaksikan deburan ombak bergulung lembut, dengan alunan yang menggetarkan jiwa.

Dermaga itu penuh debu, beberapa besi penyangga telah usang dimakan waktu.

Dermaga arkais tanpa perahu yang bersandar, tak ada lalu-lalang perekonomian, sungguh memilukan.

Lambat laun senja pun kian kelam, langit semakin gelap, dermaga tua pun semakin mencekam barpagut seram.

Dan aku masih terdiam.

Bergumul penuh khidmat bersama doa dan harapan.









Rabu, 09 Mei 2018

PUISI : AKU HIDUP


Hidup ini bagai sebilah belati yang menyayat jiwa, semakin hari penuh luka berpadu perih, tak apa.

Aku terlahir untuk merasakan luka, aku besar untuk merasakan perih, tak apa.

Tercabik sudah biasa, terhempas ku tak rasa.

Jiwa ku sekuat bima, keyakinan ku seteguh arjuna, begitulah.

Langit senja nan redup terhalang mega kelabu, selepas gelap kan ada cahaya, begitulah.

Keyakinan menuntun jiwa menembus batas mustahil, mencengkeram pelangi kegelapan hingga sirna.

Hakikat hidup adalah merasakan.

Kunci hidup adalah perjuangan.

Bekal hidup adalah keyakinan.

Begitulah aku hidup.


Selasa, 08 Mei 2018

PUISI : POLITIK PANGGUNG SANDIWARA


Politik panggung sandiwara, panggungnya para pembual obral janji tanpa bukti.

Politik panggung sandiwara, berkedok kepentingan rakyat, namun ternyata sekedar pemuas hasrat pribadi.

Politik panggung sandiwara, terkadang bikin geleng-geleng kepala, tak jarang pula memancing gelak tawa.

Politik panggung sandiwara, tempatnya para aktor pura-pura, pura-pura baik, pura-pura jujur hingga pura-pura berjuang.

Politik panggung sandiwara, panggungnya penjilat tahta, penggila harta hingga pemuja wanita.

Namun sandiwara ini bukan salah politik, tapi salah pemerannya.

Senin, 07 Mei 2018

PUISI : IRONI NEGERIKU


Hatiku pilu menahan sendu, melihat moral negeriku tercemar teruk.

Jiwaku lapuk menyiratkan nestapa, mendengar keadilan kian hampa.

Ragaku terasa kaku berbalut kelu, mendapati kemiskinan masih membelenggu.

Nurani ku terhenyak lesu berbaur sedu, merasakan korupsi kian menghimpit nafas negeriku.

Kejujuran semakin langka, kepentingan menjadi tujuan, dan kebenaran adalah musuh.

Hanya karena politik, keramahan berganti kekejaman, kerukunan pun berubah permusuhan.

Pemimpin saling sikut berebut kekuasaan, rakyat saling hujat demi sesuap makanan.

Sungguh ironi negeriku.






PUISI : DEMOKRASI


Demokrasi tempat menyalurkan aspirasi, bukan tempat membungkam empati.

Demokrasi sarana mewujudkan kemaslahatan, bukan sarana membuat penderitaan.

Demokrasi ramah akan perbedaan, bukan justru berbuat keji karena tak sama.

Demokrasi harus dilandasi rasa kemanusiaan, bukan justru beringas saling hantam.

Demokrasi seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan justru untuk kenikmatan penjahat eh pejabat.

Demokrasi hanya terngiang indah di angan, namun kontradiksi dalam kenyataan.

Demokrasi ibarat diksi tak bermakna, manis di ucap, namun getir di rasa.

Esensi demokrasi telah hilang, tak ubahnya otokrasi berbalut tirani.

Oh negeri ku.

PUISI : DOA UNTUK TATIANA


Bait-bait doa penuh harap ku panjatkan kepadaNYA.

Tempat ternyaman untuk berkeluh kesah dan menumpahkan segala rasa yang terpendam.

Diantara bait-bait doa yang mengalun khidmat selalu tersebut sebuah nama.

Sebuah nama yang mampu menumbuhkan benih-benih cinta di hati setelah sekian lama mati.

Sebuah nama yang selalu ku harap akan jadi pendamping ragaku selamanya.

Sebuah nama yang selalu ku harap akan jadi teman hidup tuk mengarungi hari-hari penuh cinta.

Sebuah nama yang selalu ku harap akan jadi ibu bagi-bagi anak-anak ku serta nenek bagi cucu-cucu ku.

Sebuah nama yang ku yakin dapat membuat ku lebih cinta kepadaMU.

Doaku selalu terucap tulus dan suci untuk sebuah nama itu.

Doaku untuk sebuah nama, Tatiana.




PUISI : DUNIA, SURGA, NERAKA


Dunia adalah surganya ahli neraka, tempat mereguk beragam kenikmatan semu nan berujung siksa.

Dunia itu fana, menyajikan segala kenikmatan sesat yang berakhir lara.

Dunia adalah tempat berjuang para ahli surga, tempat menahan hawa nafsu untuk bertaqwa padaNYA.

Dunia adalah tempat beramal para ahli surga, tempat untuk mengumpulkan pahala sebagai bekal sebelum ajal.

Dunia hanya sementara, akhirat selamanya, surga tempat kebahagiaan yang kekal, neraka tempat penderitaan tiada tara.

Sungguh tiada pilihan lain.







Sabtu, 05 Mei 2018

RASA KEMANUSIAAN JANGAN TERKIKIS PILIHAN POLITIK


" Perbedaan pilihan politik adalah sebuah kewajaran yang seharusnya tidak perlu hingga mematikan empati dan rasa kemanusiaan kita "


Rasa kemanusiaan adalah rasa yang bersumber dari nurani dan empati kita kepada sesama manusia, rasa kemanusiaan akan mendorong kita untuk memperlakukan dan menghormati sesama manusia sebagai mahluk ciptaanNYA, yang harus diperlakukan dan dihormati secara layak dan beradab.


Memiliki rasa kemanusiaan adalah bukti bahwa kita manusia normal, manusia yang memiliki akal dan nurani, manusia yang memiliki belas kasih dan kepedulian kepada sesama manusia.


Mengingat begitu pentingnya rasa kemanusiaan, para founding fathers kita pun memasukkan frasa "kemanusiaan yang adil dan beradab" dalam sila kedua dasar negara kita, Pancasila, para founding fathers kita ingin menanamkan akan pentingnya rasa kemanusiaan sebagai pandangan hidup dan pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara.


Sebagai sila kedua dari Pancasila, artinya sila kemanusiaan yang adil dan beradab berkonsekuensi harus menjiwai ke dalam sila-sila berikutnya yakni persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia haruslah dilandasi dengan spirit kemanusiaan yang adil dan beradab selain tentunya ketuhanan yang maha esa, hal tersebut merupakan konsekuensi logis Pancasila sebagai sebuah kesatuan organis yang tersusun secara hierarkis, dimana antar sila saling terkait satu sama lain sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan sila yang lebih tinggi menjadi dasar bagi berlakunya sila berikutnya, sila-sila berikutnya merupakan penjelmaan atau pengejawantahan dari sila yang mendahuluinya.


Kemanusiaan yang adil dan beradab tidak akan terwujud jika ketuhanan yang maha esa tidak diamalkan, Persatuan Indonesia tidak akan dapat terwujud jika ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab tidak diamalkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak akan terwujud jika ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia tidak diamalkan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud jika ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak diamalkan.


Hal ini menandakan bahwa pemenuhan sila yang lebih tinggi akan berakibat dan memberi dampak bagi pemenuhan sila berikutnya.


Kembali ke permasalahan rasa kemanusiaan, masyarakat Indonesia sejak dahulu telah dikenal secara luas sebagai masyarakat yang ramah, memiliki rasa solidaritas dan tentunya memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.


Cobalah bertanya kepada para turis atau orang asing yang tinggal di Indonesia tentang apa yang paling berkesan di Indonesia, maka sebagian besar akan menjawab keramahan warga atau masyarakat nya, dan keramahan itu sendiri adalah salah satu ciri pengejawantahan dari rasa kemanusiaan.


Namun sayangnya, akhir-akhir ini dinamika aktivitas menjelang kontestasi politik khususnya Pilpres yang akan diadakan tahun depan justru menyajikan hal-hal yang tidak berkemanusiaan atau dapat dikatakan telah terjadi dekadensi rasa kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang disebabkan karena perbedaan pilihan politik berdasar fanatisme politik.


Baru-baru ini, tepatnya tanggal 29 April 2018 saat acara Car Free Day di depan Hotel Kempinski Jakarta pusat terjadi peristiwa kemanusiaan yang memilukan, persekusi, penghinaan bahkan intimidasi dilakukan oleh segerombolan orang yang memakai kaos dengan tagar #2019GantiPresiden kepada seorang ibu bernama Susi Verawati dan anaknya yang masih kecil, kebetulan saat itu susi memakai kaos yang bertuliskan #DiaSibukKerja.


Menurut penuturan Susi, saat itu dia yang berjalan bersama anaknya melintas di dekat bundaran Hotel Indonesia mulai dihadang dan di olok-olok oleh massa yang mengenakan kaos #2019GantiPresiden, sumpah serapah pun keluar dari mulut para massa kepada Suami dan anaknya seperti cebong lu, nasi bungkus, dasar enggak punya duit, bego lu, sibuk kerja melulu kayak babu dll.


Saat sumpah serapah itu keluar dari mulut para massa Susi masih tenang bahkan ia mengajak anaknya terus berjalan, namun kegeramannya muncul seketika saat teriakan keras dari seorang laki-laki anggota massa tersebut berdengung di telinganya, bahkan anaknya sempat ditarik-tarik dan nyaris terlepas dari pegangannya, seraya menangis si anak berkata pada Susi "takut mama dipukul".


Saat anaknya menangis, Susi mencoba tenang, namun intimidasi dari para massa berkaos #2019GantiPresiden seakan tak mau berhenti saat anaknya menangis, Susi yang memeluk anaknya yang sedang menangis justru kembali mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan, wajahnya di pukul dengan uang oleh para massa tersebut.


Sungguh peristiwa yang memilukan, seorang perempuan apalagi ibu dan anak kecil harus mendapatkan perlakuan demikian buruknya, padahal perempuan dan anak adalah pihak yang seharusnya kita lindungi dan kita jaga dari segala tindakan yang merugikan.


Apakah hati nurani para massa tersebut telah mati hingga tega melakukan hal tersebut kepada seorang ibu dan anak kecil, apakah mereka tidak berpikir bagaimana seandainya peristiwa tersebut menimpa anak dan istrinya sendiri ?.


Peristiwa yang dialami oleh Susi dan anaknya tersebut hendaknya dapat memberikan bahan pembelajaran kepada kita semua, bahwasanya jangan kita korbankan rasa kemanusiaan dan lebih jauh rasa persatuan kita hanya karena perbedaan pilihan politik yang berdasar pada fanatisme politik.


Perbedaan pilihan politik adalah hal wajar yang seharusnya tidak perlu disikapi secara berlebihan, menurut Prof Mahfud MD sangat rugi kita korbankan persatuan dan kerukunan hanya karena perbedaan pilihan politik, dalam tweetnya beliau mengatakan " bersaudara sebangsa adalah selama hidup dikandung badan. Memilih Presiden hanya untuk 5 tahun. Alangkah ruginya jika hanya untuk memilih pejabat 5 tahun lalu bermusuhan selamanya.


Hal yang disampaikan oleh Prof Mahfud MD tersebut seharusnya dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua, apakah iya hanya karena perbedaan pilihan politik saja kita rela mengorbankan persaudaraan, kerukunan dan persatuan bangsa yang tentu memiliki nilai dan falsafah yang lebih tinggi dan lebih besar.


Apakah iya hanya karena perbedaan pilihan politik saja, kita rela mematikan rasa kemanusiaan kita dan bertindak tidak manusiawi kepada orang yang memiliki pilihan politik berbeda dengan kita. Apakah iya hanya karena perbedaan pilihan politik saja, kita rela menjadi manusia tidak normal yaitu manusia yang tidak memiliki hati nurani dan rasa kemanusiaan.


Politik dan kehidupan demokrasi yang bersumber dari sila ke 4 yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan hendaknya selalu dilandasi dengan spirit kemanusiaan yang adil dan beradab.


Jika kita tidak bisa menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab tentu akan mustahil bagi terciptanya kehidupan demokrasi yang sehat, jika kita tidak bisa menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sudah barang tentu akan mustahil juga dapat tercipta persatuan Indonesia dan juga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Mengingat begitu pentingnya penerapan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka janganlah sampai rasa kemanusiaan kita, kita korbankan dan terkikis hanya karena perbedaan pilihan politik yang mana hal tersebut sejatinya adalah konsekuensi dari kehidupan demokrasi.


Janganlah kita terjebak pada fanatisme politik membabi buta hingga mematikan nalar, nurani dan rasa kemanusiaan kita.

Kontestasi politik adalah bagian dari kehidupan demokrasi, yang pastinya akan menghadirkan pilihan-pilihan politik yang berbeda dalam masyarakat, ada masyarakat yang memilih si b, ada yang suka si a, ada yang fanatik dengan si c itu adalah konsekuensi logis dari kehidupan demokrasi dimana setiap orang berhak untuk bersikap dan menentukan pilihannya sendiri dalam berpolitik.


Kontestasi politik (Pilpres) hanyalah sekedar sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya selama 5 tahun, sarana untuk memilih pemimpin yang bisa membawa masyarakat mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara.


Dan oleh karenanya, setiap perbedaan politik seharusnya janganlah disikapi secara berlebihan, apalagi sampai mengikis rasa kemanusiaan kita, anggaplah perbedaan pilihan politik sebagai sebuah hal yang lumrah dalam kehidupan demokrasi.


Jangan sampai empati dan rasa kemanusiaan kita mati dan terkikis hanya karena perbedaan pilihan politik, janganlah kita korbankan rasa persaudaraan, kerukunan dan persatuan bangsa hanya karena perbedaan pilihan politik, marilah bersikap lebih bijak dan lebih dewasa dalam berdemokrasi, perlu kita pahami bahwa demokrasi akan selalu berafiliasi dengan perbedaan tidak mungkin tidak dan perbedaan itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan yang tak kan pernah bisa kita hindari dalam hidup.


Mengingat perbedaan itu ciptaan tuhan sebagai hakikat kehidupan.

Selasa, 01 Mei 2018

HARI PENDIDIKAN NASIONAL DAN KORUPTOR


"Pendidikan adalah jantung sebuah negara, pendidikan adalah pembentuk moralitas dan intelektualitas bangsa, oleh karenanya, memiliki sistem pendidikan nasional yang berkualitas adalah sebuah keniscayaan"


Tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional, sebuah peringatan yang secara esensi harus dipandang sebagai sebuah momen untuk mengkoreksi maupun mengkritisi kondisi dan sistem pendidikan nasional kita agar lebih baik, lebih bermutu, dan tentunya lebih dapat berperan untuk menghasilkan generasi-generasi unggul yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Peringatan hari pendidikan nasional hendaknya jangan hanya dipandang sekadar perayaan simbolik yang pastinya tidak menelaah pada substansi permasalahan, namun jadikanlah peringatan hari pendidikan nasional ini sebagai sebuah titik refleksi untuk menilai tentang bagaimana kondisi dan dinamika kehidupan pendidikan nasional kita saat ini. Apakah sudah berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa ?, apakah mutu atau kualitas pendidikan kita sudah baik ?, apa sarana dan prasarana pendidikan kita sudah memadai ?, atau apa ada yang kurang dari pendidikan kita ?, pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang seharusnya mengemuka disetiap peringatan hari pendidikan nasional.

Pendidikan pada dasarnya adalah modal dasar bagi sebuah negara untuk menjadi negara yang unggul dan maju, kita tentu tahu Jepang, sebuah negara yang luluh lantak akibat perang dunia II nyatanya dapat berkembang pesat dan menjadi salah satu negara paling maju di benua Asia saat ini berkat pendekatan pada bidang pendidikan. Dapat dikatakan, Jepang adalah salah satu contoh negara yang maju berkat keberhasilan sistem pendidikan nasional mereka.

Jepang menanamkan etos kerja dan kedisiplinan sebagai konsep utama dalam pembangunan sistem pendidikan mereka, dan sejauh yang saya tahu tidak pernah ada negara maju yang pendidikannya tidak maju, artinya ada korelasi disini antara kualitas dan keberhasilan pendidikan terhadap kemajuan sebuah negara. Oleh karena itu, menjadi penting atau mutlak bagi sebuah negara untuk memiliki sistem pendidikan yang bermutu dan berkualitas agar dapat menjadi sebuah negara yang maju.

Sistem pendidikan yang bermutu dan berkualitas akan menghasilkan generasi-generasi unggul dan berkompeten yang mampu menjawab dinamika dan perkembangan zaman kedepan, dan hal ini tentunya menjadi modal yang bagus bagi sebuah negara untuk mendukung pembangunan bidang-bidang kehidupan strategis negara.

Sayangnya, tidak seperti Jepang yang mampu mengejawantahkan konsep pembangunan pendidikan mereka yakni pembangunan etos kerja dan kedisiplinan, sistem pendidikan nasional kita justru seperti tidak memiliki konsep atau blue print mengenai arah pembangunan sistem pendidikan yang ingin di tuju, berganti-ganti kebijakan pendidikan hingga doktrinisasi nilai adalah beberapa contoh sahih betapa pemerintah seperti belum memiliki konsep sistem pendidikan yang sejatinya sudah di amanatkan dalam Pasal 31 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945.

Pemerintah nampak belum mampu menghayati amanat Pasal 31 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa pembangunan sistem pendidikan nasional harus diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan dilandasi keimanan, ketaqwaan serta ahlak mulia.

Secara filosofis Pasal 31 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 menjadi konsep atau blue print tentang arah dan tujuan pembangunan sistem pendidikan nasional kita, dan hal tersebut idealnya harus senantiasa dihayati dan diimplementasikan oleh pemerintah dalam membuat setiap kebijakan dalam dunia pendidikan.

Sejauh ini, sistem pendidikan nasional kita masih bertendensi meletakkan dan mengutamakan sisi intelektualitas dari pada moral, hal yang sejatinya bertentangan dengan makna atau definisi dari pendidikan itu sendiri sebagaimana di atur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yakni pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya.

Sistem pendidikan nasional kita masih berafiliasi erat dengan doktrinisasi nilai, nilai atau rangking yang baik masih menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan seseorang yang terkadang tanpa memperdulikan proses. Paradigma para siswa saat ini adalah bagaimana mendapatkan nilai bagus, nilai menjadi tujuan utama dalam menimba ilmu yang kadang tanpa dilandasi keinginan untuk menguasai ilmunya. Mereka belajar hanya untuk satu tujuan yakni mendapatkan nilai yang bagus, namun tanpa mau menghayati nilai-nilai atau intisari dari apa yang mereka pelajari, parahnya beberapa elemen pendidikan juga mendukung hal ini, baik guru atau sekolah.

Misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar guru atau sekolah rela melakukan manipulasi atau pengatrolan nilai rapor muridnya hanya sekadar untuk kepentingan kelulusan dan juga nama baik sekolahnya, hal ini menandakan bahwa moral dan ahlak (kejujuran) dalam dunia pendidikan kita seringkali dikesampingkan hanya sekadar untuk kepentingan nilai, nilai seperti jauh lebih penting dari pada kualitas, proses, moral, dan ahlak yang sejatinya merupakan intisari dari pendidikan itu sendiri.

Di sisi lain, masih minimnya alokasi jam bagi mata pelajaran yang berafiliasi dengan pembangunan moral dan ahlak seperti pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan atau bimbingan konseling di sekolah-sekolah umum seakan mempertegas bahwa pendidikan kita belum menjadi habitat yang ideal bagi pembangunan moral dan ahlak.

Hal tersebut membuat sistem pendidikan kita pun banyak melahirkan generasi-generasi yang kurang mendukung bagi kemajuan dan pembangunan bangsa yakni golongan intelek tanpa moral (paling bahaya) serta golongan bebal tanpa moral, disisi lain ada juga golongan kecil yaitu golongan intelek nan bermoral, golongan inilah yang menjadi harapan bagi masa depan bangsa ini, namun sayangnya golongan seperti ini tidak banyak di jumpai atau sedikit jumlahnya. Fenomena seperti inilah yang pada akhirnya menurut hemat saya menjadi salah satu causa proxima mengapa bangsa ini sulit menjadi bangsa yang maju dengan segala potensi besar yang dimilikinya.

Perlu diketahui bahwa manusia dengan Intelektualitas mumpuni tapi tanpa dibarengi dengan moral dan ahlak yang baik adalah musuh yang sangat berbahaya bagi kemajuan bangsa ini, contoh sahihnya adalah para koruptor, para koruptor tersebut sudah pasti adalah orang-orang yang intelek bukan ? gelar akademik saja berderet di belakang dan di depan namanya, namun karena tidak memiliki moral dan ahlak yang baik akhirnya mereka pun menjadi manusia jahat (koruptor) yang merugikan bagi negara ini.

Tak bisa dipungkiri korupsi yang dilakukan oleh para koruptor "intelek" memang masih menjadi momok dan musuh besar bangsa ini untuk dapat maju. Korupsi membuat sendi-sendi pokok kehidupan negara seperti ekonomi, sosial, pendidikan, politik tidak bisa tumbuh optimal untuk bekerja mensejahterakan rakyat, lalu bagaimanakah upaya untuk menekan korupsi ?

Menurut hemat saya ada 2 upaya mangkus untuk menekan korupsi yang telah merajalela terjadi di negara ini, dimana 2 upaya tersebut harus dilakukan secara kontinu dan paralel. Pertama, upaya jangka pendek, yang tak lain dan tak bukan adalah penegakan supremasi hukum. Penegakan hukum terhadap para koruptor harus dilaksanakan secara masif, bersih dan proporsional tanpa pandang bulu, hukuman bagi para koruptor harus efektif menekan angka korupsi artinya hukuman tersebut harus memiliki dampak positif baik secara prevensi khusus (bagi diri sendiri) maupun secara prevensi general (bagi orang lain atau masyarakat).

Sejauh ini penegakan hukum bagi para koruptor masih relatif lemah, dalam artian banyak putusan hakim kepada para koruptor yang jauh dari rasa keadilan alias diputus terlalu ringan dari tuntutan jaksa, hal tersebut tentunya sangat menghambat upaya dan semangat dalam pemberantasan korupsi.

Kedua, upaya jangka panjang adalah perbaikan sistem pendidikan nasional kita, sistem pendidikan kita harus lebih concern pada pembangunan karakter dan moral bukan hanya sekadar intelektualitas. Pendidikan kita harus lebih menitikberatkan pada kualitas dan proses bukan hanya sekadar kuantitas serta nilai karena sistem pendidikan demikianlah yang pada akhirnya akan mampu melahirkan generasi-generasi yang unggul dimasa depan, tidak hanya unggul secara intelektualitas namun juga unggul dari segi moral dan ahlak. Dengan begitu, kecerdasan dan intelektualitas yang dimilikinya akan dapat dimanfaatkan sebagai problem solving untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Karena tidak menutup kemungkinan bahkan hampir pasti para koruptor-koruptor yang ada di negeri ini adalah produk atau hasil dari sistem pendidikan kita yang belum ideal berdasarkan konstitusi, itu artinya para koruptor-koruptor tersebut pada dasarnya adalah ciptaan dari sistem pendidikan kita sendiri.

Oleh karena itu, pemerintah mempunyai tanggungjawab yang besar dalam hal ini untuk dapat mengusahakan dan mewujudkan sebuah sistem pendidikan yang ideal sesuai konstitusi. Disamping itu, peran-peran yang positif dan konstruktif dari pihak-pihak terkait yakni institusi pendidikan, guru, siswa, hingga orang tua juga sangat penting untuk mendukung keberhasilan sistem pendidikan yang di rumuskan oleh pemerintah.

Akhir sekali, semoga kedepannya sistem pendidikan nasional kita dapat lebih concern terhadap pembangunan karakter dan moral dalam bingkai keimanan, ketaqwaan serta ahlak mulia sesuai amanat Pasal 31 ayat 3 UUD NRI 1945, pasal tersebut mengamanatkan terwujudnya kecerdasan (intelektualitas) yang dilandasi dengan keimanan, ketaqwaan serta ahlak mulia, dan itulah landasan filosofis, cita-cita maupun tujuan dari sistem pendidikan nasional kita.

Sejatinya Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang pandai sarat intelektualitas, hanya saja Indonesia selalu kekurangan orang-orang yang bermoral serta berahlakul karimah, dan hal tersebut dikarenakan gagalnya sistem pendidikan kita untuk menciptakannya.


Selamat Hari Pendidikan Nasional



PUISI : BURUH

Buruh seringkali dipandang sebelah mata, tidak dihargai sebagaimana kerja kerasnya.

Buruh bermandikan keringat, ada juga yang bertaruh nyawa, namun upah jauh panggang dari api.

Buruh ditindas seperti budak, diperas tenaganya, dikuras waktu istirahatnya, namun hak-haknya tidak dipenuhi secara layak.

Buruh bersimbah peluh, bergelut letih, berangkat gelap pulang gelap, memikul beban hidup yang kian menghimpit.

Buruh kaum lemah, membutuhkan pundak berkeluh kesah demi keadilan yang mereka perjuangkan.

Parahnya, perjuangan kaum buruh dalam menuntut keadilan seringkali diidentikkan dengan ideologi kaum kiri.

Tak perlu picik menghubungkan buruh dengan ideologi, percayalah di kepala mereka hanya berpikir tentang bagaimana bertahan hidup esok hari.

Perjuangan buruh bukan tentang ideologi, namun tentang isu kemanusiaan.

Wahai penguasa, wahai pengusaha, berikanlah kaum buruh keadilan sebagaimana mestinya.

Karena mereka pun berhak bahagia sebagaimana manusia pada umumnya.