Selasa, 26 Desember 2017

URGENSI ADANYA PEMAIN PUTRA DAERAH DALAM TIM SEPAKBOLA PROFESIONAL INDONESIA


Seberapa penting dan wajib adanya pemain putra daerah dalam sebuah tim sepakbola profesional di Indonesia ?

Jika tolak ukurnya tentang seberapa penting maka jawabannya adalah cukup penting bagi sebuah tim sepakbola profesional untuk memiliki pemain putra daerah di dalam skuadnya. Semakin banyak pemain putra daerah yang mengisi skuad maka akan semakin baik.

Namun jika tolak ukurnya tentang seberapa wajib tim Sepakbola professional memiliki pemain putra daerah ? Maka jawabannya adalah tidak wajib, karena dalam sepakbola professional memang tidak ada ketentuan yang mewajibkan bahwa tim sepakbola profesional harus ada atau harus diisi oleh pemain lokal (putra daerah), Beda halnya dengan ajang amatir seperti PON atau Porprov yang memang mewajibkan sebuah tim harus diisi pemain dari daerah yang bersangkutan (memiliki KTP daerah tersebut).

Meskipun adanya pemain putra daerah dalam sebuah tim sepakbola professional tidak wajib namun tetap merupakan aspek penting yang dapat memberikan berbagai dampak positif bagi tim, seperti menyulut fanatisme kedaerahan, menanamkan ciri khas tim serta mengundang antusiasme yang lebih dari para suporter dan penonton. Selain itu, adanya pemain putra daerah dalam sebuah tim juga bisa menjadi parameter tentang keberhasilan pembinaan sepakbola di daerah tersebut. Maka dari itu semakin sebuah tim diperkuat oleh banyak putra daerahnya tentunya akan semakin baik, karena hal itu dapat memberikan dampak dan kesan yang positif bagi tim tersebut.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa tim sepakbola professional di Indonesia pada umumnya merupakan representasi atau identitas dari sebuah daerah baik itu daerah kota maupun daerah provinsi yang menjadi domisili dari tim tersebut misalnya Persebaya adalah identitas kota Surabaya, Persipura adalah identitas masyarakat Jayapura dan Papua, Arema adalah identitas kota Malang ataupun PSM Makassar yang menjadi identitas kota Makassar dan juga provinsi Sulawesi Selatan.

Oleh sebab itu, apa jadinya jika Persebaya tanpa pemain asal Surabaya ?, Apa jadinya jika PSM tanpa pemain asli Makassar ? Apa jadinya Persipura jika tanpa pemain asli Papua ? Secara teknis memang bisa jadi tidak masalah tetapi secara non teknis tentu akan bisa menjadi masalah, minimnya pemain putra daerah atau bahkan tidak ada sama sekali dalam sebuah tim berpotensi besar bisa mengurangi antusiasme suporter dan penonton. suporter dan penonton akan merasa bahwa tim tersebut sudah tidak lagi mencerminkan identitas dan kebanggaan dari daerah dimana klub tersebut berdomisili karena tidak ada atau minimnya pemain lokal yang mengisi skuad tim.

Oleh karena itu, adanya pemain putra daerah dalam sebuah tim sepakbola professional tentu menjadi penting karena pemain tersebut bisa menjadi representasi dari daerah tersebut, sekaligus bisa memberikan dampak terhadap meningkatnya antusiasme yang lebih dari para suporter dan penonton. Walaupun pada dasarnya faktor paling kuat yang dapat mempengaruhi antusiasme suporter dan penonton untuk datang memenuhi stadion adalah prestasi tim.

lebih dari itu, pemain putra daerah juga dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi sebuah tim, lantaran mereka cenderung akan bermain dengan cinta, kebanggaan dan dedikasi yang tinggi terhadap tanah kelahiran, sehingga membuat mereka mampu bermain secara spartan dan habis-habisan demi menjaga kehormatan tim dan tanah kelahirannya.

Namun hal tersebut tidak serta merta menegasikan bahwa pemain luar daerah tidak bermain dengan cinta kebanggaan dan dedikasi yang tinggi. Karena ada juga pemain luar daerah yang bermain dengan penuh cinta dan kebanggaan diluar konteks profesionalisme dalam membela sebuah tim, ambil contoh seperti Ismed Sofyan yang setia dengan Persija Jakarta yang notabene bukanlah tim tanah kelahirannya, trus Hariono yang setia dengan tim Persib Bandung meskipun dia asli kelahiran Sidoarjo.

Namun terkadang juga terjadi dilema manakala kualitas atau kuantitas pemain putra daerah tidak sesuai dengan kebutuhan sebuah tim, disini terjadi pertentangan antara kepentingan prestasi atau kepentingan akomodasi pemain lokal, namun kondisi seperti ini memang jarang terjadi di Indonesia, kita lihat saja tim-tim profesional di Indonesia baik di liga satu maupun liga dua pasti dihuni oleh pemain-pemain putra daerahnya masing-masing, tentunya dengan kuota yang bervariasi, ada tim yang skuadnya mayoritas dihuni oleh pemain putra daerahnya, ada juga tim yang skuadnya sedikit di huni oleh pemain putra daerahnya, semua itu ( banyak sedikitnya pemain putra daerah dalam tim ) biasanya dipengaruhi oleh faktor kuantitas maupun kualitas sumber daya pemain yang ada di daerah tersebut maupun karena murni keputusan teknis pelatih.

Maka dari itu, seyogyanya jika pemain putra daerah secara kualitas maupun kuantitas ( menurut sudut pandang pelatih ) mampu memenuhi kebutuhan tim, maka sudah sepatutnya tim bersama staff pelatih mengakomodasi dan dapat memaksimalkan potensi dari para pemain putra daerah tersebut, sehingga tim tinggal mencari tambahan sedikit pemain luar daerah atau pemain asing untuk melengkapi skuadnya.

Namun kalimat "seyogyanya" tidak berimplikasi pada sebuah kewajiban, karena dalam sepakbola profesional tidak ada kewajiban atau keharusan, baik bagi tim untuk mengontrak pemain putra daerah maupun sebaliknya, bagi pemain putra daerah untuk menerima pinangan dari tim. Karena masing-masing pihak berhak dan bebas untuk menentukan pilihannya sendiri.






Sabtu, 23 Desember 2017

KRIMINALISASI ZINA DAN LGBT


Kriminalisasi adalah upaya memformulasikan perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana melalui proses legislasi secara resmi dengan tujuan untuk diberlakukan terhadap masyarakat.

Perbuatan yang di kriminalisasi idealnya adalah perbuatan-perbuatan yang menurut masyarakat bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum mereka (perbuatan tercela) serta perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat, artinya perbuatan-perbuatan yang mencederai rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat serta perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat idealnya haruslah di formulasikan sebagai tindak pidana.

Misalnya perbuatan korupsi, pembunuhan, penipuan atau pencurian adalah perbuatan yang secara umum dianggap mencederai rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat dan dapat menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat, oleh karena itu perbuatan tersebut pun di formulasikan sebagai tindak pidana.

Memformulasikan perbuatan yang mencederai rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat serta perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi mereka menjadi tindak pidana (di ancam pidana) menjadi penting guna mencegah maupun menanggulangi perbuatan tersebut agar perbuatan itu tidak terjadi berulang-ulang ( di minimalisir ), karena tujuan khusus dari hukum pidana sendiri adalah untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang hendak merugikan kepentingan hukumnya, jika kepentingan hukum masyarakat terlindungi maka ketertiban umum, ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup masyarakat dapat tercapai.

Seperti yang di utarakan oleh prof Soetjipto Rahardjo bahwa hukum adalah untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum, hukum haruslah mampu menjadi sarana yang dapat memberikan rasa ketentraman, kedamaian, keserasian hidup dan kesejahteraan dalam hidup masyarakat, oleh sebab itu hukum harus mampu mengikuti perkembangan masyarakat maupun dinamika yang terjadi di dalamnya.

Di titik ini lalu apakah kriminalisasi terhadap perbuatan zina dan LGBT menjadi penting ?

Indonesia adalah sebuah negara yang berdasar atas ketuhanan yang maha esa, dimana masyarakatnya hidup berdasarkan spirit nilai-nilai ketuhanan yang bersumber dari ajaran agama yang dianut oleh masing-masing individu.

Eksistensi nilai-nilai agama ini bahkan di akui dan diperkuat dengan dijadikan sebagai salah satu bahan atau sumber hukum (materiil) bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di negara ini, yang kemudian melahirkan norma hukum untuk ditaati oleh masyarakat (kesadaran hukum).

Negara Indonesia memang bukan negara agama, tetapi nilai-nilai agama telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan keberadaan nya dijunjung tinggi oleh masyarakat, bahkan nilai-nilai agama mendapatkan tempat dan diakui sebagai bahan pembentuk atau sumber hukum bagi pembentukan hukum di negara ini, namun nilai-nilai agama tersebut memang hanya baru memiliki kekuatan yang memaksa apabila sudah diformulasikan sebagai sebuah hukum oleh negara (hukum positif).

Mengingat hal tersebut, bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas ketuhanan yang maha esa yang begitu menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan keberadaan nilai-nilai agama tersebut diakui sebagai sumber hukum materiil, maka perbuatan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama ( agama secara menyeluruh) di negara ini memang patut untuk di formulasikan sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Perbuatan zina dan LGBT adalah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama, tidak hanya Islam tetapi seluruh agama yang ada di Indonesia, yaitu Kristen, Katholik, Budha, Hindu dan Khonghucu, oleh karena itu, sudah seharusnya perbuatan zina dan LGBT di formulasikan sebagai tindak pidana, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan spirit nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat.

Lebih dari itu, perbuatan zina dan LGBT juga memiliki beragam dampak buruk yang dapat menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat secara luas, seperti merusak peradaban, merugikan hak asasi anak, mencegah regenerasi manusia, penularan penyakit seksual dan lainnya.

Namun yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa kriminalisasi terhadap aktivitas LGBT adalah pada perbuatan seks nya atau aktivitas pelecehan seksual bukan perasaan nya, meskipun dia LGBT namun apabila dia tidak melakukan aktivitas seksual ataupun pelecehan seksual sesama jenis maka dia pun tidak bisa dipidana.

Sedangkan perbuatan zina pada dasarnya telah di formulasikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUHP namun perbuatan zina yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut dirasa masih belum memenuhi atau sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat, karena yang dapat dipidana oleh pasal tersebut hanyalah perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang sudah menikah baik salah satu maupun keduanya, sedangkan apabila perbuatan zina dilakukan oleh kedua orang yang belum menikah maka perbuatan zina tersebut tidak akan bisa dipidana.

Hal ini tentu mencederai rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat, mengingat perbuatan zina baik yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dan orang yang belum menikah sama-sama di benci dan mencederai rasa kesadaran hukum masyarakat, salah satu bukti sahih bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang dibenci oleh masyarakat adalah maraknya pelaku zina yang tertangkap tangan yang kemudian justru di adili oleh masyarakat sendiri seperti di arak keliling kampung, ditelanjangi maupun digunduli, hal ini menandakan bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang begitu dicela oleh masyarakat dan sudah sepatutnya perbuatan yang dicela oleh masyarakat tersebut diformulasikan sebagai tindak pidana.

Oleh karena itu, perbuatan zina yang ada saat ini haruslah formulasikan secara lebih komprehensif agar sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat, sehingga mencegah masyarakat untuk main hakim sendiri, kan salah satu tujuan adanya hukum yaitu untuk menghindari main hakim sendiri oleh masyarakat.

Maka dari itu, pemerintah bersama legislatif harus cepat tanggap dengan segera mengkriminalisasi perbuatan zina (lebih komprehensif) dan LGBT dalam undang-undang (KUHP), mengingat perbuatan tersebut memiliki beragam dampak buruk bagi kehidupan (merugikan masyarakat), bertentangan dengan nilai-nilai agama serta mencederai rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat. Sehingga pada akhirnya tidak ada alasan untuk tidak mengkriminalisasi perbuatan zina dan LGBT.

Akan tetapi, ada hal yang tak kalah penting yang harus di perhatikan sebelum mengkriminalisasikan suatu perbuatan yaitu dengan mengukur dan memastikan kesiapan maupun kemampuan aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana penunjang lainnya seperti jumlah lembaga pemasyarakatan, jumlah rutan dll, oleh karena itu sebagaimana diutarakan oleh prof Soedarto bahwa salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan adalah dengan memperhatikan kemampuan dan daya dukung aparat penegak hukum baik secara kualitas maupun kuantitas, jangan sampai aparat penegak hukum melampaui beban atau batas kemampuannya, jika itu terjadi maka pengkriminalisasian perbuatan tersebut tidak akan memiliki dampak yang efektif dalam kehidupan masyarakat.

kriminalisasi zina dan LGBT bukan pelanggaran HAM

Pihak yang pro terhadap zina dan LGBT sering menggunakan dalih pelanggaran HAM atas kriminalisasi kedua perbuatan tersebut, padahal sesuai konstitusi kita pasal 28 j ayat 2, pada dasarnya semua hak asasi manusia dapat dibatasi dengan undang-undang dengan tujuan untuk menjamin penghormatan terhadap hak asasi dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan nilai-nilai agama, moral, keamanan, ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

Itu berarti, kriminalisasi terhadap perbuatan zina dan LGBT bukanlah sebuah pelanggaran terhadap HAM, karena memang semua perbuatan sebagai manifestasi dari pelaksanaan hak asasi manusia pada dasarnya bisa dibatasi oleh undang-undang sesuai dengan pertimbangan nilai-nilai agama, moralitas, keamanan dan ketertiban umum.

Zina dan LGBT adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, moralitas dan ketertiban umum, maka sudah seharusnya perbuatan tersebut dibatasi dengan undang-undang, dengan menjadikan nya sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana.

Hak asasi manusia janganlah dipandang dan dipahami dalam arti liberal yaitu kebebasan yang sebebas-bebasnya, karena paham seperti itu adalah tradisi masyarakat barat yang tentu bertentangan dengan tradisi masyarakat Indonesia yang berkiblat pada masyarakat timur yang begitu menjunjung tinggi adab, moral dan nilai-nilai agama sebagai batasannya.

Akhir sekali sebenarnya yang tak kalah penting dari upaya kriminalisasi terhadap perbuatan zina dan LGBT adalah bagaimana kita dapat merangkul dan memberikan perhatian kepada mereka ( kaum LGBT) sehingga mereka merasa tidak terkucilkan dan bisa hidup bersama secara normal di tengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, diharapkan mereka dapat berkontribusi atau memberikan sumbangsih yang positif bagi kehidupan bangsa dan negara.

Karena pada dasarnya kaum LGBT membutuhkan bimbingan, binaan dan perhatian dari kita semua agar sembuh dan tak salah arah bukan justru malah dijauhi, dimusuhi dan dikucilkan.





                                    Selesai








Jumat, 22 Desember 2017

PENTINGNYA PEMBANGUNAN BUDAYA HUKUM




Negara indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, sesuai dengan ketentuan tersebut, maka tujuan pembangunan hukum nasional pada khitahnya adalah bermuara pada terwujudnya cita negara indonesia sebagai sebuah negara hukum yang berlandaskan pada pancasila dan UUD NRI 1945.

Hal ini dipertegas melalui ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945 demi terselenggaranya negara hukum indonesia”.

Oleh karena itu, politik hukum yang hendak dicapai oleh pembangunan hukum di indonesia adalah terwujudnya negara hukum indonesia yang berlandaskan pada nilai-nilai sosio kultural masyarakat indonesia sebagaimana terkandung dalam pancasila dan UUD NRI 1945, sehingga diharapkan negara hukum indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD NRI 1945 tersebut mampu menghadirkan 3 cita dasar hukum dalam kehidupan masyarakat yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum menuju tercapainya negara kesejahteraan (welfare state).

Berbicara mengenai pembangunan hukum, pada dasarnya mengajak kita berbicara dan membahas mengenai pembangunan sistem hukum, karena bicara mengenai hukum tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sebuah kerangka bernama sistem hukum yakni bekerjanya hukum sebagai sebuah sistem, menurut Lawrence Friedman sistem hukum terbagi atas tiga komponen (sub-sistem) yakni struktur hukum, substansi hukum dan kultur atau budaya hukum.

Struktur hukum menurut friedman berkaitan dengan susunan, kapasitas dan kuantitas institusi peradilan atau personel penegak hukum dalam sistem peradilan, yang berhubungan dengan bagaimana peran dan kinerja mereka dalam menyelesaikan permasalahan hukum (penegakan hukum), dalam hal ini menyangkut aspek integritas maupun profesionalitas kinerja mereka.

Substansi hukum berkaitan dengan isi, aturan maupun keseluruhan ketentuan yang menjadi landasan untuk mengatur kehidupan masyarakat, substansi hukum secara sederhana bisa dipahami sebagai produk hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat.

Berikutnya budaya hukum, dalam pandangan friedman budaya hukum adalah social force yang secara konstan, tetapi tidak secara langsung bekerja dalam sistem hukum. Budaya hukum boleh disebut sebagai sikap, perilaku, kebiasaan, watak, cara pandang, kesadaran, tradisi dan pemahaman masyarakat baik untuk mematuhi maupun melanggar kaidah hukum yang berlaku. Kualitas budaya hukum suatu masyarakat biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tingkat pendidikan, moralitas masyarakat, tingkat kesejahteraan, kepadatan penduduk, dinamika politik, kesenjangan sosial, faktor konflik dan lainnya.

Ketiga komponen sistem hukum tersebut akan bersangkut paut, saling melengkapi dan memiliki pengaruh besar dalam menentukan dinamika kehidupan hukum maupun kualitas penegakan hukum sebuah negara, itu artinya, dalam sebuah negara idealnya ketiga komponen sistem hukum tersebut haruslah berada dalam kondisi yang optimal dan saling bersinergi, artinya sebuah negara idealnya haruslah memiliki struktur hukum yang baik, substansi hukum yang baik dan didukung pula oleh budaya hukum yang baik oleh masyarakatnya.

Karena, jika salah satu atau salah dua bahkan ketiganya dari tiga komponen sistem hukum tersebut tidak bekerja dalam kondisi yang optimal maka hampir dipastikan dinamika kehidupan hukum dan kualitas penegakan hukum di negara tersebut pasti buruk, sehingga 3 cita dasar hukum yakni asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum pun tidak akan terpenuhi, hal itu membuat kesejahteran rakyat pun jauh panggang dari api.

Di indonesia, jika kita cermati sejujurnya kondisi sistem hukum di indonesia boleh dikatakan tidak berada dalam kondisi yang optimal, struktur hukum masih jauh dari kata baik, budaya hukum masyarakat masih kotor, mungkin hanya substansi hukum saja yang boleh dibilang lumayan baik. Adanya mekanisme judicial review mampu meminimalisir kekurangan-kekurangan yang melekat pada substansi hukum.

Struktur hukum yang masih jauh dari kata baik bisa dilihat dari maraknya aparat penegak hukum yang justru terlilit masalah hukum seperti korupsi, suap ,melanggar kode etik profesi dan lainnya. Budaya hukum masyarakat yang masih kotor misalnya bisa kita temukan dalam perkara seperti praktek money politic yang sudah menjadi tradisi mendarah daging dalam kehidupan masyarakat ketika ada kontestasi politik. Sedangkan substansi hukum boleh dibilang agak lumayan meskipun masih belum memuaskan, misalnya masih ada beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan ataupun saling tumpang tindih, namun secara umum boleh dikatakan kondisi substansi hukum di indonesia adalah lebih baik dari pada 2 komponen sistem hukum lainnya.

Melihat kondisi tersebut, pembangunan struktur hukum dan budaya hukum nampaknya harus mendapatkan perhatian lebih dari para stakeholders, namun jika harus lebih di utamakan, saya lebih condong terhadap pembangunan budaya hukum, meskipun perbaikan atau pembangunan struktur hukum dan substansi hukum juga harus tetap di upayakan secara masif.

Mengapa pembangunan budaya hukum harus lebih diutama kan ?

Seperti yang saya jelaskan diatas budaya hukum pada dasarnya adalah pemahaman, kesadaran dan kebiasaan masyarakat dalam memandang hukum, baik untuk melanggar maupun mentaati hukum yang berlaku.

Budaya hukum adalah pintu masuk bekerjanya struktur hukum dan substansi hukum , jika budaya hukum masyarakat buruk (banyak pelanggaran hukum) maka struktur hukum dan substansi hukum akan bekerja secara konstan sebaliknya jika budaya hukum masyarakat sudah baik (minim pelanggaran hukum) maka substansi dan struktur hukum hanya akan bekerja secara insidentil. Pada prinsipnya bekerjanya struktur hukum dan penerapan substansi hukum kan kalau ada pelanggaran hukum.

Disinilah pentingnya memperbaiki atau membangun budaya hukum yang baik, karena budaya hukum adalah tempat hidup dan bekerjanya hukum di dalam masyarakat, banyak tidaknya kejahatan atau pelanggaran hukum (tindak pidana) sangat ditentukan oleh bagaimana kondisi budaya hukum masyarakat setempat.
Artinya jika kondisi budaya hukum masyarakat relatif sudah baik yaitu tingkat kesadaran, partisipasi, pemahaman dan ketaatan hukum masyarakat sudah baik maka dengan sendirinya tindak pidana akan menurun drastis, sehingga kententraman, keadilan dan kesejahteraan pada akhirnya akan hidup di tengah-tengah masyarakat begitupun sebaliknya jika kondisi budaya hukum masyarakat relatif belum baik maka cenderung akan banyak terjadi pelanggaran hukum sehingga kententraman, keadilan dan kesejahteraan masyarakat pun tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu pembangunan budaya hukum menjadi penting disini.

Pembangunan dan perbaikan budaya hukum dapat dilakukan dengan memperbaiki faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi budaya hukum masyarakat seperti tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan, kepadatan penduduk, moralitas masyarakat, dinamika politik, kesenjangan sosial, dan lainnya.

Oleh sebab itu, meningkatkan kualitas sistem pendidikan, memperbaiki moralitas masyarakat, mengurangi kepadatan penduduk, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kesenjangan sosial, memperbaiki kondisi dinamika politik, melakukan penyuluhan dan sosialisasi hukum secara rutin dan terpadu kepada masyarakat adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi budaya hukum masyarakat. 

Di sisi lain upaya pemerintah tersebut juga harus di dukung penuh oleh seluruh elemen negara terkait demi tercapai hasil yang maksimal, misalnya pembangunan moralitas yang juga membutuhkan peran dari keluarga, sekolah, tokoh masyarakat dan pemuka agama, pembangunan dinamika politik yang juga membutuhkan peran dari partai politik dan infrakstuktur politik lain, dan juga halnya masyarakat yang dituntut untuk mampu bersinergi dengan pemerintah dalam konteks memperbaiki dan meningkatkan kesadaran hukum mereka.

Jika budaya hukum masyarakat relatif sudah baik maka dapat dipastikan kejahatan dan pelanggaran hukum akan menurun drastis, budaya hukum masyarakat yang relatif sudah baik membuat masyarakat cenderung akan tertib mematuhi aturan, ambil contoh sederhana ketika mayoritas masyarakat sudah mematuhi aturan hukum lalu lintas maka dengan sendirinya pelanggaran lalu lintas pun akan menurun, contoh lainnya jika budaya hukum masyarakat relatif sudah baik maka masyarakat cenderung akan tertib membayar pajak sehingga pelanggaran mengenai perpajakan pun juga akan menurun.

Pada prinsipnya untuk dapat membangun sistem hukum yang baik maka pembangunan ketiga komponen sistem hukum (sub-sistem) harus terus diupayakan secara masif, memperbaiki kinerja dan kuantitas struktur hukum, meningkatkan kualitas substansi hukum yang berbasis nilai-nilai keadilan dan memperbaiki kondisi budaya hukum masyarakat harus terus diupayakan secara maksimal dan hal itu menjadi tenggungjawab setiap elemen negara seusai dengan tugas, peran dan porsinya masing-masing.

Namun jika harus memilih, manakah komponen sistem hukum yang seharusnya mendapatkan perhatian “lebih”, saya lebih condong kepada pembangunan budaya hukum dengan berbagai alasan yang telah saya kemukakan seperti diatas. Dan mengingat pembangunan budaya hukum meliputi berbagai bidang kehidupan seperti politik, moral, ekonomi, sosial tidak hanya bidang hukum maka upaya ini sangat membutuhkan sinergitas peran antar beberapa elemen terkait demi tercapainya hasil yang maksimal yaitu tercapainya budaya hukum yang baik dalam masyarakat.

Membangun budaya hukum pada dasarnya merupakan pembangunan sistem sosial atau pembangunan masyarakat yang harus diupayakan secara kontinuitas, terpadu dan di landasi dengan semangat kolektivisme antar pihak-pihak terkait, upaya membangun budaya hukum memang tidak bisa dilakukan secara spesifik karena budaya hukum adalah fenomena sistem sosial yang harus dibangun secara holistik dan integral, oleh karena itu tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, namun asa, semangat dan idealisme pembangunan sistem hukum kita haruslah senantiasa diarahkan kesana. Pembangunan budaya hukum idealnya harus dijadikan tagline sebagai semangat gerakan perbaikan sistem hukum kita menuju kehidupan hukum yang lebih baik, adil, tertib, damai dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Dan satu ciri pokok bahwa budaya hukum di suatu masyarakat atau sebuah negara relatif sudah baik adalah dapat terciptanya perdamaian, kententraman, keadilan dan kesejahteraan dalam hidup masyarakat, dan bukankah ini sejalan dengan tujuan politik hukum indonesia untuk membentuk sebuah negara hukum yang berlandaskan pada pancasila dan UUD NRI 1945 ? Mari bersinergi untuk meperbaiki budaya hukum kita.


"Budaya hukum yang baik akan melahirkan partisipasi, kesadaran, ketaatan dan kepatuhan hukum sebaliknya budaya hukum yang buruk akan menimbulkan berbagai pelanggaran hukum dan kekacauan dalam negara, lebih dari itu budaya hukum adalah refleksi kualitas kehidupan hukum sebuah negara"

Membangun budaya hukum pada dasarnya adalah membangun masyarakat dan segala kompleksitas sosial yang berkaitan erat satu sama lain.





Selesai…..











Kamis, 14 Desember 2017

TNI DAN PERTAHANAN NEGARA


Keutuhan dan kedaulatan negara adalah aspek vital yang harus mendapat perhatian serius oleh seluruh komponen negara, baik pemerintah, TNI, lembaga negara, maupun rakyat, mengingat hal tersebut berkaitan erat dengan marwah, harkat, martabat, kedaulatan dan kemerdekaan negara, yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung tinggi oleh seluruh komponen negara.

Keutuhan dan kedaulatan negara ini kemudian dijaga dan dilindungi dengan pertahanan negara, yaitu segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI  dan melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, disusun dengan memperhatikan kondisi geografis indonesia sebagai negara kepulauan ( pasal 1 angka 5 UU nomor 34 tahun 2004 ).

Harus dipahami bahwa, menjaga, memelihara dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan negara adalah kewajiban bagi setiap warga negara tanpa terkecuali meskipun secara kelembagaan hal ini menjadi tugas pokok TNI.

Dan mengingat negara kita menganut doktrin sistem pertahanan semesta, maka setiap warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya wajib ikut serta dan dikerahkan dalam pelaksanaan sistem pertahanan negara.

Menurut pasal 1 angka 6 undang-undang nomor 34 tahun 2004, sistem pertahanan semesta adalah sistem pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumberdaya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah berkesinambungan dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahanakan keutuhan wilayah negara republik indonesia dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman.

TNI sebagai alat negara yang mempunyai tugas pokok untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan republik indonesia berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah bangsa indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap ketuhan bangsa dan negara jelas membutuhkan dukungan serta dituntut untuk mampu bersinergi dengan pemerintah, rakyat maupun sumberdaya nasional lainnya, mengingat pertahanan negara dilaksanakan sebagai sebuah sistem ( sistem semesta ) dimana antar unsur akan saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Bertolak dari itu semua, maka TNI memiliki 4 jati diri sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang-undang nomor 34 tahun 2004 yaitu : 1.Tentara rakyat yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara indonesia, 2. Tentara pejuang yaitu tentara yang menegakkan negara kesatuan republik indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya, 3.Tentara nasional yaitu tentara kebangsaan indonesia yang bertugas demi kepentingan negara dan di atas kepentingan daerah, suku, ras dan golongan agama, 4. Tentara professional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Keempat jati diri TNI tersebut idealnya haruslah selalu dijiwai, dipahami dan di implementasikan oleh setiap prajurit TNI, baik dari pangkat terendah hingga oleh seorang panglima TNI dalam setiap tugas dan hidupnya sebagai seorang prajurit, dengan memiliki, menjiwai dan memahami 4 jati diri tersebut, diharapkan kinerja TNI akan semakin efektif dan maksimal dalam melakanakan tugas dan fungsinya untuk menjaga, memelihara dan menegakkan keutuhan dan kedaulatan negara baik dalam konteks operasi militer perang maupun operasi militer selain perang.

Selain itu, dengan memiliki, memahami dan menjiwai 4 jati diri TNI yakni tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional,  diharapkan setiap prajurit TNI akan jauh dari kesan arogan sehingga TNI dapat melebur dan manunggal bersama rakyat, karena pada dasarnya prajurit TNI juga bagian dan berasal dari rakyat itu sendiri. Bersama rakyat TNI kuat.

Lebih dari itu, menurut pasal tiga puluh ayat dua UUD NRI 1945, usaha pertahanan dan keamanan negara adalah dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, dimana TNI dan POLRI sebagai kekuatan utama sedangkan rakyat adalah sebagai kekuatan pendukung. Oleh karena itu, kekuatan utama dan kekuatan pendukung ini seyogyanya haruslah saling bersinergi dan mendukung satu sama lain demi terciptanya sistem pertahanan dan keamanan yang kondusif. 

FAKTOR PENENTU KEKUATAN PERTAHANAN NEGARA

Berbicara mengenai faktor penentu kekuatan pertahanan negara maka akan berafiliasi kuat dengan bagaimana perhatian dari pemerintah dan DPR dalam memberikan besaran anggaran (dalam APBN) terhadap penyelenggaran pertahanan negara, karena anggaran tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas penyelenggaraan pertahanan negara seperti dalam pembelian alutsista, peningkatan kesejahteraan prajurit, peningkatan skill atau kualitas prajurit melalui latihan perang, penambahan prajurit dan kegiatan lainnya. Semakin banyak dana yang dianggarkan tentunya akan semakin baik bagi penyelenggaraan dan kekuatan pertahanan negara

Secara umum faktor penentu kekuatan pertahanan negara dipengaruhi oleh 3 aspek yaitu kuantitas personel angkatan perang, kualitas atau skill personel angkatan perang dan kuantitas serta kecanggihan alutsista.

1.Kuantitas/jumlah tentara

Jumlah tentara yang banyak atau ideal namun tanpa dibarengi kualitas personel dan alutsista yang canggih tentunya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kekuatan pertahanan suatu negara, idealnya memang ketiga aspek tersebut harus berada dalam kondisi yang maksimal (saling melengkapi) yakni personel yang banyak, mempunyai kualitas mumpuni serta di lengkapi dengan kecangggihan dan kuantitas alutsista yang mumpuni.

Namun mempunyai kuantitas tentara yang banyak atau ideal tetaplah penting bagi suatu negara, tentara yang banyak akan memudahkan negara dalam pengerahan dan pengalokasian tentara bagi upaya pertahanan negara, lebih-lebih bagi negara dengan wilayah yang luas dan berbentuk kepulauan yang berbatasan dengan banyak negara seperti indonesia, memiliki banyak tentara sangatlah penting untuk dikerahkan dalam upaya menjaga batas-batas negara tersebut dari berbagai ancaman.

Selain itu, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar dan memiliki gangguan baik fisik maupun alam yang tidak sedikit, jumlah tentara yang banyak juga menjadi penting untuk dikerahkan dalam berbagai operasi militer non perang seperti mengatasi aksi terorisme, mengatasi gerakan separatis, membantu korban bencana alam, membantu tugas pemerintah di daerah, mengamankan obyek vital nasional dan kegiatan lainnya.

Menurut pemerhati dunia militer Prof Dr Yahya A Muhaimin, jumlah ideal tentara bagi suatu negara adalah 1 % dari jumlah penduduk, artinya jumlah penduduk indonesia yang berjumlah lebih dari 260 juta idealnya haruslah memiliki kurang lebih 3 juta tentara.

Mengacu pada hal diatas, jumlah tentara yang dimiliki Indonesia saat ini jelas jauh dari kata ideal, menurut data yang dilansir Global Fire index, saat ini Indonesia memiliki 876.000 personel. Artinya, untuk mencapai kuantitas yang ideal, Indonesia masih membutuhkan kurang lebih 2.2 juta personel tentara lagi.

2.kualitas personel tentara

Kualitas atau kemampuan personel tentara barkaitan erat dengan aspek profesionalitas seorang prajurit TNI, tentara yang profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 undang-undang nomor 34 tahun 2004.

Maka dari itu, prajurit TNI dituntut untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan sikap profesionalitasnya sebagai tentara, di sisi lain pemerintah juga di tuntut dan berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan prajurit.

3.kecanggihan dan kuantitas alutsista

Menurut doktrin militer modern, kekuatan pertahanan suatu negara sangat ditentukan oleh bagaimana kekuatan alutsistanya, kekuatan disini adalah dalam konteks kecanggihan dan kuantitas alutsista yang dimiliki angkatan perang suatu negara. Semakin banyak dan canggih perlengkapan alutsista yang dimiliki angkatan perang suatu negara maka kekuatan pertahanan negara tersebut otomatis akan semakin kuat dan disegani oleh negara lain.

Dalam hal inilah perlunya pemerintah (bersama DPR) memberikan perhatian lebih kepada aspek pertahanan negara dengan menganggarkan dana yang cukup bagi TNI ( dalam APBN) untuk membeli alutsista yang modern dan canggih serta dalam kuantitas yang memadahi, mengingat dalam konteks militer modern kekuatan pertahanan suatu negara sangat bergantung dengan bagaimana kekuatan (kecanggihan dan jumlah) alutsista yang dimiliki angkatan perangnya.





Rabu, 06 Desember 2017

BELAJAR DARI MASA LALU


"Tidak ada gading yang tak retak", begitulah bunyi peribahasa yang fasih diucapkan oleh masyarakat umum untuk mengkiaskan bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna.

Setiap manusia pasti dianugerahi oleh Tuhan yang maha esa berupa sisi kelebihan maupun sisi kekurangan tanpa terkecuali. Tidak ada manusia yang hanya memiliki sisi kelebihan saja tanpa memiliki sisi kekurangan, sebaliknya juga tidak ada manusia yang hanya memiliki sisi kekurangan saja tanpa memiliki sisi kelebihan.

Oleh sebab itu, setiap manusia pasti memiliki sisi baik maupun sisi buruk dalam diri atau kepribadiannya, dan setiap manusia akan selalu terikat dengan dua hal tersebut dalam hidupnya.

Disinilah kemudian pentingnya untuk membuka diri, bergaul dan bersosialisasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan membuka diri, bergaul dan bersosialisasi dalam masyarakat tentunya akan membuat pemikiran dan watak kita menjadi lebih luwes dan terbuka, lebih memahami bahwa kelebihan, kekurangan dan perbedaan pada hakikatnya adalah sebuah keniscayaan, yang tidak akan pernah bisa dihindari dalam kehidupan.

Dengan membuka diri, bergaul dan bersosialisasi juga memungkinkan kita untuk bisa menyerap sisi-sisi positif dari watak atau kepribadian seseorang yang mana sisi positif tersebut belum bersemayam dalam diri kita, dengan menyerap sisi-sisi positif tersebut, otomatis sisi-sisi kekurangan yang ada dalam diri kita akan tereduksi dengan sendirinya, sehingga hal itu membuat kita bisa tumbuh menjadi sebuah pribadi yang lebih baik.

Berbicara mengenai kelebihan maupun kekurangan dalam diri manusia tentunya juga berafiliasi kuat dengan kemampuan manusia untuk mencerna ataupun mengais hikmah atas kisah, peristiwa atau pengalaman masa lalu dalam hidupnya.

Seberapa besar seseorang mampu mengambil hikmah atas peristiwa masa lalu nya akan berpengaruh besar terhadap bagaimana karakter dia di masa depan.

Semakin besar hikmah yang dapat diambil akan cenderung membuat karakter seseorang menjadi lebih baik, sebaliknya, jika seseorang tidak pernah mampu mengambil hikmah atas peristiwa masa lalunya ia akan cenderung menjadi sebuah pribadi dengan karakter yang kurang baik.

Lebih dari itu, masa lalu pada dasarnya adalah sebuah sarana yang bisa kita jadikan sebagai pedoman untuk melakukan introspeksi diri, mawas diri, serta bahan pembelajaran untuk pijakan masa depan yang lebih baik. Masa lalu memberikan pengalaman berharga kepada kita agar kita lebih berhati-hati dan lebih bijaksana dalam menghadapi suatu keadaan atau masalah.

Masa lalu sendiri selalu menyediakan 2 nuansa, yaitu masa lalu dengan nuansa positif yang berafiliasi dengan kebahagiaan dan masa lalu dengan nuansa negatif yang berafiliasi dengan nestapa, dan pastinya setiap manusia tentunya pernah mengalami 2 nuansa tersebut di dalam perjalanan hidupnya.

Masa lalu dengan nuansa positif tentunya meninggalkan kesan yang menyenangkan, dan akan membuat hati kita bahagia ketika mengingatnya kembali, sebaliknya masa lalu dengan nuansa negatif selalu meninggalkan kesan yang kurang mengenakkan di hati dan membuat kita muak atau sakit hati ketika mengingatnya lagi.

Itulah sebabnya masa lalu dengan nuansa negatif selalu dibenci oleh sebagian besar orang, mereka (sebagian besar orang) akan selalu berusaha menutup rapat dan mengubur masa lalu tersebut secara dalam-dalam. Sikap demikian itu, justru akan merugikan diri sendiri, karena akan membuat mereka tak pernah mampu untuk menggali dan mengambil hikmah atau bahan pembelajaran dari setiap peristiwa masa lalu nya. Karena sudah terlanjur antipati.

Padahal baik masa lalu yang bernuansa positif maupun masa lalu yang bernuansa negatif sejatinya mengandung value atau nilai kehidupan yang berarti bagi kehidupan kita, asalkan kita dapat mencerna nya dengan baik sehingga membuat kita mampu mengambil hikmah atau intisari dari setiap peristiwa masa lalu tersebut.

Masa lalu dengan nuansa positif seyogyanya mampu kita jadikan sebagai acuan tentang bagaimana bersikap, berperilaku dan bereaksi dalam menghadapi suatu keadaan atau masalah yang kita alami, sehingga nuansa positif masa lalu tersebut mampu kembali menular dalam kehidupan kita.

Sedangkan masa lalu dengan nuansa negatif idealnya haruslah kita jadikan sebagai bahan pembelajaran dan kontemplasi untuk merevitalisasi diri dan memperbaiki hal-hal ( sikap, perilaku dan reaksi ) yang pernah kita lakukan dahulu, sehingga masa lalu dengan nuansa negatif tersebut tidak terulang dalam kehidupan kita.

Maka dari itu, janganlah kita anti atau berniat untuk mengubur dalam-dalam masa lalu kita, terutama yang bernuansa negatif, mengingat masa lalu tersebut pada dasarnya bisa memberikan manfaat bagi kehidupan kita, asalkan kita dapat mencerna dan memposisikannya secara tepat, yakni sebagai bahan introspeksi diri, sarana pembelajaran hidup dan untuk kontemplasi atau pijakan masa depan yang lebih baik.

Akhir sekali, masa lalu sejatinya tidak akan pernah bisa kita hapus, namun masa lalu seyogyanya dapat kita gali dan kita pelajari sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan kita, jadi, janganlah anti dan benci terhadap masa lalu, karena masa lalu pada hakikatnya mempunyai value atau nilai kehidupan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita.

Belajar lah dari masa lalu !!!


                   
 










Jumat, 01 Desember 2017

MENJAGA BAHASA DAERAH


Bahasa adalah salah satu aspek penting dalam menunjang pergaulan hidup, bahasa membuat manusia bisa berkomunikasi, bergaul, berbaur dan melebur menjadi sebuah kesatuan dalam kehidupan sosial. Artinya, persamaan bahasa menjadi penting disini untuk membuat sekelompok manusia itu bisa berhubungan antara satu dengan yang lain. Selain itu, bahasa juga dapat menjadi ciri khas yang menjadi aspek pembeda antara negara, bangsa atau suku yang satu dengan negara, bangsa atau suku yang lain.

Bahasa pada hakikatnya adalah identitas atau jatidiri dari suatu bangsa, bahasa merupakan warisan leluhur yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi baik melalui sarana lisan ataupun tulisan. Bahasa adalah manifestasi dari kebudayaan daerah setempat, oleh karenanya sangat dimungkinkan tiap tempat atau daerah memiliki bahasa yang berbeda meskipun masih dalam lingkup negara yang sama.

Di era globalisasi dan modernisasi zaman seperti sekarang ini, salah satu yang hal yang perlu mendapat perhatian serius baik oleh negara dalam hal ini pemerintah dan masyarakat adalah mengenai kelestarian bahasa daerah. Tak bisa dipungkiri, efek globalisasi dan modernisasi zaman berpotensi besar bisa mengancam kelestarian bahasa daerah, peleburan antara beragam budaya ( akulturasi ) dan dinamika pergaulan sebagai konsekuensi era globalisasi dan modernisasi zaman berpotensi dapat mengikis dan memusnahkan bahasa daerah.

Indonesia sebagai sebuah negara majemuk yang terdiri atas banyak suku tentunya juga memiliki beragam bahasa daerah yang menjadi ciri khas dari masing-masing daerah tersebut. Bahasa daerah atau sering disebut juga bahasa ibu, adalah bahasa intra etnis, bahasa penjalin keakraban, bahasa kebanggaan dan bahasa kebudayaan yang menjadi identitas atau jatidiri dari suatu daerah.

Menurut badan pengembangan dan pembinaan bahasa kementerian pendidikan dan kebudayaan yang telah melakukan validasi dan verifikasi bahasa daerah dari tahun 1991 hingga tahun ini mengatakan bahwa terdapat 652 bahasa daerah di Indonesia, hasil itu diambil dari 2452 daerah pengamatan, dan jumlah tersebut masih sangat mungkin bertambah mengingat pengamatan di wilayah Indonesia timur belum dilakukan.

Sementara menurut summer linguistik Indonesia memiliki kurang lebih 746 bahasa daerah yang sebagian kecil sudah mengalami kepunahan, menurut Prof. Dr. Mutamima Lauder seorang pakar linguistik dari Universitas Indonesia, di Indonesia ada 25 bahasa daerah yang hampir punah yang kebanyakan adalah bahasa daerah Maluku dan Papua seperti Ratahan, Salas, Woria, Kembra, Kwerisa, Emplawas, Kaibobo dan lainnya, Mutamima juga menambahkan bahwa telah ada 13 bahasa daerah yang telah punah seperti Hoti, Saponi, Hulung, Moksela, Hukumina, Loun, Serua, Ternatino dan lain-lain.

Selain itu, bahasa betawi yang notabene adalah bahasa daerah DKI Jakarta juga terancam punah lantaran penuturnya semakin sedikit, hal ini disebabkan karena fenomena heterogenitas dan akulturasi budaya yang tinggi di ibukota negara Indonesia tersebut sehingga menyebabkan terkikisnya budaya lokal khususnya bahasa daerah (bahasa betawi). Meski belum ada penelitian secara ilmiah tentang berapa jumlah pasti penutur bahasa betawi, namun dalam entitas kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta penutur bahasa betawi dipastikan jumlahnya kian menyusut.

Fenomena ini harusnya dapat menjadi bahan pembelajaran kedepan, agar bahasa daerah yang sekarang masih ada tidak menjadi punah dan terancam seperti halnya bahasa-bahasa daerah tersebut

Bahasa daerah pada dasarnya merupakan sumber kekayaan budaya nasional yang harus dihormati, dijaga,dipelihara dan dilestarikan. Karena jika musnah akan berakibat pada hilangnya identitas, jatidiri atau ciri khas dari daerah tersebut sekaligus juga mengurangi sumber kekayaan budaya nasional dan dunia.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi pemerintah maupun masyarakat ( khususnya masyarakat daerah tersebut ) untuk menjaga, memelihara dan melestarikan bahasa daerah agar tidak musnah ditelan arus globalisasi dan perkembangan zaman.

Bahkan pentingnya bahasa daerah atau bahasa ibu juga mendapat pengakuan dari UNESCO, dengan ditetapkannya tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa daerah atau bahasa ibu internasional. UNESCO mengerti bahwa bahasa daerah adalah warisan peradaban dan budaya dunia yang harus di jaga dan dipelihara.

Untuk menjaga kelestarian bahasa daerah dapat dilakukan dengan beragam upaya, yang dapat dilakukan oleh negara dalam hal ini adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengingat kewajiban menjaga dan memelihara bahasa daerah sendiri pada dasarnya merupakan tanggungjawab negara. Meskipun begitu, masyarakat setempat juga memiliki peranan yang tidak kecil bahkan lebih efektif, mengingat dalam kerangka praktis bahasa daerah itu hidup dan di gunakan oleh mereka sendiri ( penutur ).

Kewajiban negara untuk menjaga bahasa daerah ( kebudayaan ) dapat dilihat sebagaimana disebutkan dalam pasal 32 ayat 1 UUD NRI 1945 "negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya" selanjutnya pasal 32 ayat 2 menyebutkan "negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional".

Upaya negara (pemerintah) dalam menjaga dan memelihara kelestarian bahasa daerah dapat dilakukan dengan melakukan gerakan-gerakan yang memberi ruang bernafas bagi hidupnya penuturan bahasa daerah, seperti menyelenggarakan festival bahasa daerah secara rutin, melakukan penyerapan kalimat bahasa daerah ke dalam kamus besar bahasa Indonesia, memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal di sekolah, dan upaya-upaya lainnya.

Sedangkan upaya paling efektif untuk menjaga dan memelihara bahasa daerah sebenarnya tergantung dari peranan masyarakat atau suku setempat dimana bahasa daerah tersebut hidup, karena merekalah yang pada dasarnya menjadi subyek penggunaan bahasa tersebut, merekalah yang memiliki, memahami dan menuturkan bahasa daerahnya itu, Prof. Cece Sobarna guru besar fakultas ilmu budaya Unpad menuturkan bahwa masyarakat hingga entitas paling kecil dari masyarakat yakni keluarga merupakan benteng terakhir bagi penguatan eksistensi bahasa daerah maupun kebudayaan lokal.

Oleh karena itu, masyarakat setempat dituntut untuk selalu aktif menggunakan bahasa daerahnya setidaknya dalam lingkup hubungan komunikasi dalam keluarga maupun di dalam pergaulan dengan masyarakat di daerah itu. Bahasa-bahasa daerah yang punah sebagian besar disebabkan karena generasi selanjutnya di daerah itu sudah tidak lagi mau menuturkan bahasa daerahnya, sedangkan para generasi lama telah meninggal dunia. fenomena ini dapat terjadi mengingat arus globalisasi dan akulturasi budaya yang begitu masif.

Punahnya bahasa daerah bisa juga disebabkan karena punahnya suku atau masyarakat setempat, oleh karena nya bahasa daerah yang telah punah biasanya merupakan bahasa daerah suku-suku pedalaman yang juga telah lenyap keberadaan nya. Lenyap nya kehidupan otomatis melenyapkan pula bahasa dan kebudayaan di situ.

Artinya, punah nya suatu bahasa daerah dalam kondisi normal dapat disebabkan karena dua hal, yaitu pertama karena tidak ada generasi penerus yang menuturkan bahasa daerah itu lagi dan kedua karena musnahnya suku atau masyarakat setempat itu sendiri.

Sedangkan sub-faktor dari sebab punahnya bahasa daerah yang pertama bisa disebabkan karena beberapa hal seperti perkawinan antar suku, kondisi sosial ekonomi yang membuat masyarakat merantau dan berhenti menuturkan bahasa daerah serta kurangnya kepedulian pemerintah setempat dan orang tua untuk mewariskan bahasa daerah kepada generasi selanjutnya sehingga generasi selanjutnya atau generasi penerus tidak mengerti akan bahasa daerahnya sendiri.

Oleh karena itu untuk menjaga bahasa daerah agar tetap hidup dan lestari diperlukan tanggungjawab dan peran yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat, tanggungjawab dan peran pemerintah adalah bagaimana memberikan ruang bernafas bagi hidupnya bahasa daerah sedangkan tanggungjawab dan peran masyarakat adalah bagaimana untuk aktif dalam menggunakan dan menuturkan bahasa daerahnya setidaknya dalam lingkup komunikasi keluarga maupun dalam lingkup pergaulan masyarakat setempat.

Di era globalisasi dan perkembangan zaman seperti sekarang ini menguasai banyak bahasa memang penting mengingat pepatah "Batas dunia mu adalah bahasa mu" namun memelihara kearifan lokal berupa bahasa daerah juga tak kalah penting, mengingat disitulah jatidiri, identitas dan warisan leluhur suatu daerah. Kehilangan bahasa daerah berarti membuat masyarakat di daerah itu kehilangan jatidiri, identitas dan warisan leluhurnya.

Pada prinsipnya, hal terpenting dari aktivitas berbahasa adalah mengetahui kapan dan dimana menggunakan bahasa yang kita kuasai secara tepat, menguasai banyak bahasa memang tidak pernah salah, tetapi meninggalkan bahasa daerah yang berarti pula meninggalkan warisan leluhur, identitas dan jatidiri kita. Itulah yang salah.

Lebih dari itu, semua keanekaragaman bahasa daerah yang ada di Indonesia akhirnya akan bermuara kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa yang mempersatukan seluruh suku, agama dan etnis yang ada di Indonesia, Bahasa Indonesia ialah titik temu dan penghubung bagi semua bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Pada akhirnya, memelihara kelestarian bahasa daerah dan menjunjung tinggi bahasa persatuan adalah hal penting yang harus sama-sama kita jaga sebagai bentuk atau wujud kecintaan kita kepada kebudayaan dan persatuan nasional ( dalam arti sempit ) serta kepada negeri ini secara utuh ( dalam arti luas ), Serta tak lupa menguasai bahasa asing juga penting dalam konteks tataran dinamika pergaulan internasional yang harus diarahkan kepada terciptanya kemajuan dan kehormatan bangsa dimata global.

Maka dari itu :

Cintailah bahasa daerah mu, cintailah kebudayaan mu dan cintailah negeri mu



                               - selesai -