Jumat, 31 Agustus 2018

JOKOWI DAN PRABOWO DALAM PERSPEKTIF PATRIMONIAL POLITIK




Terjadi sebuah peristiwa unik nan hangat pada pertandingan final perebutan medali emas cabang olahraga pencak silat nomor tarung kelas C 55-60 kg putra, antara pesilat Indonesia Hanifan Yudani Kusuma melawan pesilat asal Vietnam Nguyen Thai Linh di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, pertandingan sore itu kebetulan disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Ikatan Pengurus Besar Pencak Silat Indonesia sekaligus lawan Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang Prabowo Subianto, Presiden kelima Indonesia Megawati Soekarno Putri dan juga Ketua Kontingen Indonesia di Asian Games 2018, Komjen M Syafruddin.

Peristiwa unik itu terjadi selepas pertandingan yang dimenangkan oleh Hanifan Yudani Kusuma tersebut, dimana setelah memenangkan pertandingan sekaligus menyumbangkan medali emas bagi Indonesia, Hanifan Yudani Kusuma yang berselimut bendera merah putih dipunggung berlari menuju tribun VVIP untuk menyalami Jokowi, Jusuf Kalla, Prabowo, Megawati dan M Syafruddin.

Setelah selesai bersalaman, Hanif Yudani Kusuma secara spontan memeluk Jokowi dan Prabowo, dalam balutan bendera merah putih yang tadi dilekatkan di punggungnya, sontak momen tersebut langsung mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari para penonton yang berada di venue pertandingan, sejenak suasana menjadi gemuruh.

Momen dimana Hanif, Jokowi dan Prabowo berpelukan hangat dengan berbalut bendera merah putih seketika diabadikan oleh para awak media dan penonton, ditengah panasnya suhu dan intrik politik yang mengitari kubu Jokowi dan kubu Prabowo, momen tersebut pun bagaikan oase ditengah kegersangan dinamika politik negeri ini yang sebelumnya dipenuhi oleh narasi-narasi negatif seperti provokasi di medsos, hoaks, politik identitas, sentimen SARA, hingga tindakan persekusi yang dilatarbelakangi oleh pilihan politik yang mengerucut antara pendukung strutural Jokowi dan pendukung struktural Prabowo maupun antara kelompok masyarakat pendukung Jokowi dengan kelompok masyarakat pendukung Prabowo.

Oleh karenanya, momen berpelukannya Jokowi dan Prabowo bersama Hanif dalam balutan bendera merah putih tersebut menyiratkan pesan narasi yang positif kepada masyarakat dan pendukung kedua kubu bahwasanya persatuan dan persaudaraan harus kita letakkan sebagai hal yang pokok dan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terlepas dengan segala perbedaan yang kita miliki termasuk dalam hal pilihan politik.

Lebih jauh, budaya politik kita yang masih kental dengan variabel politik patrimonial yang berakar kuat dari tradisi dan budaya zaman kerajaan dahulu, dimana sikap dan pandangan para elite politik memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi sikap dan pandangan para akar rumput.

Dalam politik patrimonial para akar rumput atau klien akan meletakkan dirinya dalam posisi inferior yang tunduk dan patuh oleh kewibawaan serta tindak-tanduk dari sang elite politik atau biasa disebut patron.

Dengan demikian, momen hangat berpelukannya Jokowi dan Prabowo yang menjadi tokoh variabel utama dari pada panasnya suhu politik negeri ini, setidaknya dapat mengirimkan sinyal positif kepada para akar rumput untuk menurunkan tensi politik yang beberapa waktu kebelakang begitu panas.

Dalam realitas politik, suhu dan tensi panas selalu berada pada lingkup akar rumput, karena akar rumput hanya berlandaskan pada fanatisme politik semata, fanatisme akan menyulut keberpihakan dan militansi absolut yang dapat mematikan rasionalitas dan akal sehat, oleh karenanya jika dua buah kubu yang hanya bermodalkan fanatisme belaka (nir rasionalitas dan nir akal sehat) kemudian bertemu baik secara nyata maupun dalam dunia maya, bisa anda tebak apa yang akan terjadi ?.

Sedangkan bagi elite politik, disamping mereka memiliki fanatisme politik, pada umumnya mereka juga dibekali dengan intelektualitas dan rasionalitas yang cukup, mereka akan pandai dan cermat dalam memainkan peran untuk menarik atensi publik berbalut dramaturgi politik, maka lazim kita temui, dua elite politik yang sejatinya “berseteru” dapat dengan mudahnya bersenda gurau dan tertawa lebar saat bertemu, hal yang sepertinya sulit terjadi dikalangan akar rumput.

Kembali dalam konteks budaya politik patrimonial yang mengakar di Indonesia, dalam politik patrimonial sikap dan pandangan elite politik akan memiliki pengaruh kuat dalam membentuk sikap dan pandangan akar rumput, oleh karena itu kedepan Jokowi dan Prabowo sebagai tokoh variabel utama dari panasnya tensi politik maupun juga elite-elite politik pendukung Jokowi dan Prabowo hendaknya dapat berperilaku santun dan menyejukkan dalam proses dinamika kontestasi politik kedepan serta mampu memberi contoh yang baik kepada para akar rumput tentang bagaimana menyikapi sebuah kontestasi politik dan bagaimana meletakkan persatuan dan kesatuan sebagai sebuah hal yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terlepas dengan segala perbedaan yang ada.

Elite politik jangan malah menaikkan tensi politik dengan cara memainkan emosi psikologis para akar rumput melalui bentuk-bentuk agitasi politik, yang justru dapat semakin meruncingkan suasana yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik horizontal, karena politik pada dasarnya adalah sarana moderasi konflik bukan justru sarana melahirkan konflik.

Di satu sisi, selain menimbulkan narasi positif bagi publik maupun para akar rumput, momen berpelukan nan hangat antara Jokowi dan Prabowo yang merupakan rival pada Pilpres 2019 mendatang kebetulan terjadi dalam ranah olahraga, sehingga saya berharap Jokowi dan Prabowo kedepannya mampu meniru dan merefleksikan spirit atau nilai-nilai esensial dari olahraga seperti sportivitas, fairplay dan kejujuran ke dalam percaturan kontestasi politik yang tengah mereka ikuti.

Sebagai patron politik, Jokowi dan Prabowo harus mampu memberikan pembelajaran politik yang konstruktif bagi terciptanya kondusifitas baik kepada publik maupun kepada akar rumput (klien). Bahwasanya berkompetisi itu tidak harus saling bermusuhan, berkompetisi itu tidak harus saling mencaci, berkompetisi itu adalah adu gagasan untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat, jika itu mampu dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo maupun oleh para elite-elite politik pendukung Jokowi dan Prabowo, saya optimis Pilpres 2019 mendatang akan dapat berjalan aman, kondusif, dan menyejukkan.


 SELESAI





PUISI : HAKIKAT IDUL ADHA



10 Dzulhijjah menyapa insan beriman untuk bertaqwa.

Mengingat hakikat nan tersirat tentang arti keikhlasan dan pengorbanan bernafas keteguhan iman.

Memberi pesan akan ketaqwaan seorang ayah pada sang ilahi.

Untuk berpagut dalam deru kegetiran menyembelih anak tunggal kesayangan.

Sang anak pun menyambut dengan penuh keridhoan bagai semilir angin malam nan menghanyutkan.

Namun semua itu hanyalah sebatas penguji iman seorang insan.

Ketaqwaan seorang ayah bernama Ibrahim dan keikhlasan seorang anak bernama Ismail akan menjadi kisah abadi sepanjang zaman.

Kisah menyentuh batin dan jiwa tentang besarnya taqwa seorang hamba pada Tuhannya.









Rabu, 29 Agustus 2018

ARTI PENTING OLAHRAGA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA




Ada 5 aspek yang menurut pendapat saya dapat menjadi sarana untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dimata internasional, pertama, kekuatan ekonomi, negara yang memiliki kekuatan ekonomi kuat alias kaya pastinya akan dihormati oleh negara-negara lain, negara-negara lain akan segan kepada negara yang memiliki kekuatan ekonomi kuat, mengingat negara-negara tersebut memiliki modal ekonomi untuk dapat memberikan sumbangsih ekonomi, sosial dan politik kepada negara-negara lainnya, dan otomatis negara-negara lain akan memiliki ketergantungan kepada negara kaya tersebut, sehingga negara yang memiliki kekuatan ekonomi kuat pasti memiliki pengaruh kuat dalam percaturan politik dan hubungan internasional.

Kedua, kekuatan militer, kekuatan militer adalah lambang supremasi bagi aspek pertahanan negara, kekuatan militer mengasosiakan kuatnya pertahanan sebuah negara yang bisa dinilai dari kuantitas dan kualitas sistem pertahanan negara dalam hal ini terkait personel dan alutsista, oleh karena itu, jika sebuah negara memiliki kekuatan militer yang kuat, negara-negara lain pastinya akan segan dan menaruh hormat dan akan berpikir puluhan kali jika hendak melakukan invasi militer, ketiga, kekayaan budaya, kekayaan budaya sebuah negara mencerminkan tingkat peradaban yang secara umum mencerminkan pula bagaimana kualitas dari masyarakat di negara tersebut, negara yang memiliki kekayaan budaya akan tercitrakan sebagai bangsa yang mudun dan beradab, sehingga negara-negara lain pun akan menaruh rasa hormat.

Keempat, penguasaan ilmu penghetahuan dan teknologi (iptek), di era modern, negara yang memiliki tingkat penguasaan iptek tinggi akan dibutuhkan oleh negara lainnya, karena inovasi dan penemuan-penemuan penting yang dihasilkan dari negara yang memiliki tingkat penguasaan iptek tinggi akan sangat dibutuhkan oleh negara-negara lain guna menunjang tata kelola pengelolaan negaranya, penguasaan iptek sendiri mencerminkan kemajuan peradaban serta kualitas pendidikan sebuah negara.

Kelima, prestasi olahraga, prestasi olahraga dapat menjadi sarana untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dimata internasional, prestasi olahraga dapat membuat sebuah negara itu dikenal dan disegani oleh negara lainnya, ambil contoh, Brazil yang begitu disegani dalam olahraga sepakbola, Amerika Serikat yang begitu disegani dalam olahraga basket, Kuba yang begitu disegani dalam olahraga volly atau negara kita tercinta Indonesia yang begitu disegani dalam olahraga badminton.

Dari kelima aspek diatas, olahraga telah memberikan bukti nyata, bahwa melalui prestasi olahraga harkat dan martabat dapat terangkat dimata internasional, segala prestasi yang diraih oleh atlet indonesia dari baik individu maupun kolektif mampu menaikkan derajat bangsa dimata internasional, karena negara-negara lain akan menaruh rasa hormat atas prestasi olahraga yang ditorehkan tersebut. Kita lihat prestasi yang diraih oleh atlet-atlet Indonesia dalam Asian Games 2018 ini khususnya yang meraih medali emas, sudang barang tentu mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata negara-negara lain, dan lebih membanggakan lagi adalah karena prestasi itu dicatat di tanah air kita sendiri.

Setiap atlet Indonesia meraih prestasi (juara) di ajang internasional entah Olimpiade, Asian Games, Sea Games dll, dimanapun itu, maka bendera merah putih akan dikibarkan dan lagu Indonesia Raya akan berkumandang yang menyeruakkan rasa kebanggaan, perlu diketahui bahwa pengibaran bendera merah putih di negara lain hanya dapat dilakukan dalam dua peristiwa, yaitu penyambutan acara kenegaraan atau konferensi internasional dan juga saat atlet olahraga kita meraih prestasi di ajang internasional.

Olahraga memiliki banyak makna penting bagi bangsa Indonesia sejauh ini, selain sebagai sarana untuk mengangkat derajat dan martabat bangsa, olahraga juga memiliki makna penting sebagai alat pemersatu bangsa, cobalah kita tengok saat ada pertandingan atau even internasional di bidang olahraga misalnya saja pertandingan timnas sepakbola Indonesia di ajang Asian Games beberapa waktu lalu, maka segala sekat perbedaan ikatan primordial, pilihan politik maupun status sosial akan kita tinggalkan untuk melebur menjadi sebuah kesatuan bernama bangsa Indonesia, tidak ada si kaya dan si miskin, tidak ada si pejabat dan si rakyat, tidak ada si batak dan si jawa, tidak ada di islam dan si kristen yang ada adalah kita bangsa Indonesia, semua melebur dalam satu emosi dan semangat mendukung timnas, sejenak sisi nasionalisme kita akan tersentuh pada satu titik yang mengharukan sekaligus membanggakan.

Apakah anda pernah merasakan rasa nasionalisme bergelora dan meneteskan air mata ketika mendengar lagu kebangsaan kita Indonesia Raya dikumandangkan dalam sebuah pertandingan olahraga ? saya yakin sebagian besar dari anda pasti pernah merasakannya. Menurut Louis Althusser hal tersebut menandakan ideologi sedang bekerja sebagai interpellation (pemanggilan), sehingga mampu menggelorakan rasa nasionalisme kita.

Lebih jauh olahraga juga dapat berkontribusi bagi proses integrasi nasional, sebagaimana diungkapkan Alan Brainer, dalam jurnal olahraga tulisannya “Sportive Nationalism and Nationalist Politics: A Comparative Analysis of Scotland, the Republic of Ireland, and Sweden”, yang menyatakan bahwa olahraga berkontribusi pada integrasi nasional sebab olahraga memberikan kesempatan yang sama kepada mereka-mereka yang berbeda kelas sosial, etnis, ras, dan agama untuk mengharumkan nama bangsa melalui prestasi olahraga berbekal kemampuan diri tanpa embel-embel lain. Olahraga lah media yang paling potensial memberikan kesempatan yang sama bagi setiap rakyat untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara tanpa memandang perbedaan status sosial, etnis, ras dan agama. Sebagaimana dibuktikan oleh Jonathan Cristhie yang beretnis Tionghoa mampu memberikan medali emas bagi Indonesia di cabor badminton pada Asian Games 2018 ini.
 
Selain sebagai alat pemersatu bangsa dan integrasi nasional, di sisi lain olahraga juga dapat menjadi “alat politik” bagi sebuah negara dalam hal ini adalah high politik bukan low politik, high politik berkaitan dengan hal-hal yang universal seperti kesejahteraan, perdamaian, persaudaraan dan kerjasama, sedangkan low politik berkaitan erat dengan kegiatan politik praktis yakni usaha untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan semata. Jika di sederhanakan, high politik berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas sedangkan low politik berkaitan dengan kepentingan individu tertentu.

Dalam perjalanan bangsa ini, sejarah telah mencatat bahwa olahraga seringkali digunakan oleh para pemimpin bangsa sebagai sarana high politik untuk merangkul dan mempererat rasa persaudaraan antar negara-negara yang kemudian dapat memberikan impact positif bagi bangsa ini, kita lihat penyelenggaraan ajang olahraga negara-negara berkembang GANEFO yang digagas oleh Soekarno pada 1963 juga berkaitan erat dengan politik, namun tentunya high politik.

Soekarno mencoba memanfaatkan GANEFO selain sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, juga digunakan oleh Soekarno untuk mendukung dan membantu pembangunan nasional (kepentingan bangsa) sebagaimana juga dilakukan oleh Soekarno ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962, Asian Games 1962 juga dimanfaatkan oleh Soekarno untuk membantu pembangunan nasional, karena faktanya, mayoritas infrastruktur yang dibangun untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games 1962 berasal dari dana pemberian atau pinjaman dari negara lain, hal ini sejalan dengan pengertian politik menurut Aristoteles yang memaknai politik sebagai sarana dan upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan bersama, Soekarno menjadikan olahraga sebagai sarana untuk mencapai tujuan bersama (kepentingan bangsa)  yaitu untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang dapat menunjang kesejahteraan rakyat.

Begitulah adanya olahraga, olahraga memiliki daya tarik tersendiri yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh dan mendapatkan sesuatu manfaat.

Pada akhirnya kita harus sepakat bahwa olahraga adalah media yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh karenanya, kedepan saya berharap para stakeholders seperti Pemerintah baik pusat maupun daerah, kementrian terkait, induk organisasi, swasta, pers dan juga masyarakat dapat bersinergi dan lebih concern terhadap pembangunan dunia olahraga kita, mengingat begitu luar biasanya impact dan arti olahraga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Asian Games 2018 telah menjadi contoh sahih dan membuktikan bahwa olahraga mampu menjadi sarana yang konstuktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata internasional, menjadi alat pemersatu bangsa, mampu menjadi pemicu integrasi nasional dan dapat menjadi sarana high politik untuk memberikan sumbangsih positif bagi bidang-bidang sosial dan ekonomi negara.

Selesai




Kamis, 23 Agustus 2018

MENGINGAT GANEFO SEBAGAI SEBUAH KEBANGGAAN




Masyarakat Indonesia saat ini tengah terhanyut euforia penyelenggaraan hajat olahraga terbesar benua Asia, Asian Games, tahun ini untuk kedua kalinya setelah pada 1962, Indonesia kembali terpilih menjadi tuan rumah hajat olahraga terbesar Asia yang digelar 4 tahun sekali tersebut.

Pesta pembukaan Asian Games yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno 18 Agustus lalu pun berlangsung meriah dan berhasil memukau banyak pihak, tidak hanya para penonton di Stadion, dan rakyat Indonesia secara umum, namun pembukaan Asian Games 18 Agustus lalu juga mendapatkan apresiasi dari media asing seperti surat kabar New York Times yang mengatakan bahwa pembukaan Asian Games di Indonesia berlangsung megah, “Indonesia Welcomes Asia With Explosive Opening Ceremony” demikian judul berita di surat kabar New York Times pada sabtu 18 Agustus 2018 di laman  nytimes.com.

Pesta pembukaan Asian Games 2018 yang megah dan memukau ini pun membuat bangga seluruh masyarakat Indonesia, kesuksesan pembukaan Asian Games 2018 ini pun berhasil mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia, Indonesia yang notabene negara berkembang nyatanya mampu membuat pesta pembukaan yang sangat megah dan memukau, bahkan tidak kalah dengan pesta pembukaan olimpiade London 2012, semoga dalam berjalannya Asian Games ini hingga penutupan mendatang  tetap dapat berjalan aman,  lancar, kondusif dan sukses.

Menjadi tuan rumah di ajang olahraga besar tentunya menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan tersendiri, karena hal tersebut menandakan bahwa Indonesia layak diberikan kepercayaan dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan even berskala Internasional sekaliber Asian Games yang tahun ini diikuti oleh 45 negara.

Selain pernah menjadi tuan rumah ajang olahraga sekelas Asian Games sebanyak dua kali yakni tahun 1962 dan 2018, sejatinya Indonesia juga pernah menjadi tuan rumah sekaligus pemrakarsa ajang olahraga berskala internasional yang diikuti oleh 51 negara dari 4 benua yakni GANEFO (Games of the New Emerging Force) pada tahun 1963.

Penyelenggaraan GANEFO ini sendiri dilatarbelakangi oleh adanya sanksi International Olimpiade Comitte (IOC) kepada Indonesia berupa larangan mengikuti olimpiade 1964, karena pada penyelenggaraan Asian Games 1962 di Jakarta, Indonesia menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dengan latarbelakang alasan politis.

Indonesia menolak keikutsertaan Israel karena Israel telah menindas Palestina yang notabene adalah negara sahabat Indonesia, sikap Indonesia tersebut merupakan bentuk dukungan moril dan cerminan rasa solidaritas Indonesia kepada Palestina, setali tiga uang, Indonesia menolak keikutsertaan Taiwan pada Asian Games 1962 di Jakarta juga dikarenakan alasan politis yaitu karena Taiwan adalah “aktor “ yang menjadi penyebab dikucilkannya China yang notabene negeri sahabat Indonesia dari dunia internasional.

Soekarno pun dengan lantang mengemukakan alasan ditolaknya keikutsertaan Israel dan Taiwan pada ajang Asian Games 1962 di Jakarta yakni sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme atas hegemoni kekuasaan barat dan sekutunya, dimana Israel dan Taiwan merupakan bagian dan berafiliasi dengan hegemoni barat dan sekutunya.

Sikap Indonesia tersebut membuat IOC geram hingga akhirnya menjatuhkan sanksi berupa larangan bagi Indonesia untuk ikut ambil bagian pada ajang olimpiade tahun 1964 di Tokyo, IOC menganggap Indonesia telah mencampuradukkan politik dan olahraga, dengan jalan membawa sentimen politik ke dalam ranah olahraga, hal tersebut dinilai IOC telah melanggar peraturan IOC yang menolak intervensi atau campur tangan politik dalam olahraga, menurut IOC olahraga adalah ajang bagi tumbuhnya persatuan, persahabatan dan persaudaraan sehingga olahraga dan politik harus tegas dipisahkan, namun Soekarno melawan dengan mengatakan bahwa politik dan olahraga adalah satu tarikan nafas yang tidak bisa dipisahkan, menurut Soekarno olahraga dapat menjadi alat perjuangan politik untuk melawan kolonialisme dan imperialisme.

Soekarno juga menuduh IOC bermain politik sama seperti dia, alias mencampuradukkan olahraga dan politik, Soekarno berkata “Saat IOC mengucilkan China (RRC), tak ramah dengan Republik Arab Bersatu dan Korea Utara apa itu tidak dinamakan politik ? hal ini menandakan bahwa IOC sendiri telah mencampuradukkan olahraga dengan politik, dimana IOC terlihat lebih condong kepada negara-negara imperialis".

Setelah Indonesia mendapat sanksi dari IOC berupa skors larangan ikut serta pada olimpiade tahun 1964 di Tokyo, Soekarno pun memutuskan Indonesia keluar dari anggota IOC sekaligus mencetuskan ide untuk membuat ajang olahraga tandingan olimpiade bagi negara-negara NEFO (New Emerging Forces) yang menurut pemahaman Soekarno adalah negara-negara berkembang dan mewakili kekuatan baru ditengah-tengah bipolarisasi perang dingin antara blok barat dan blok timur, ajang olahraga bagi negara-negara NEFO tersebut diberi nama GANEFO (Games of the New Emerging Forces). GANEFO ini sebagai wadah berhimpun bagi negara-negara berkembang untuk membangun persahabatan dan kekompakkan agar lebih kuat dalam menangkal pengaruh kolonialisme dan imperialisme negara-negara barat dan sekutunya.

Berkat kemampuan diplomasi dan jiwa leadershipnya yang tinggi, akhirnya Soekarno mampu memobilisasi 50 negara dari 4 benua yakni Asia, Eropa, Amerika dan Afrika untuk ikut berpartisipasi pada ajang GANEFO I di jakarta yang digelar pada tanggal 10-22 November tahun 1963.

GANEFO secara resmi diikuti oleh 51 negara dan diikuti kurang lebih 2700 atlet dalam 20 cabang olahraga, dimana sang tuan rumah Indonesia pada akhirnya berada pada peringkat 3 perolehan akhir medali dibawah RRC dan Uni Soviet dengan torehan 17 emas, 24 perak dan 30 perunggu.

Peran Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno dalam memprakarsai pembentukan ajang olahraga negara-negara berkembang ini memberikan makna bahwa bangsa Indonesia mampu menunjukkan eksistensi diri dan konsistensi sikap secara berani dalam merespon sanksi IOC, sekaligus muncul sebagai inisiator yang legitimatif bagi para negara-negara berkembang lainnya untuk menyelenggarakan ajang olahraga sekaliber tandingan olimpiade, hal ini menunjukkan bahwa jiwa leadership dari Soekarno secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum begitu mempesona dimata negara-negara berkembang.

Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno mampu menjadi leader untuk memobilisasi negara-negara berkembang agar ikut ambil bagian dalam ajang GANEFO yang merupakan ajang olahraga sekaligus alat politik untuk melawan kolonialisme dan imperealisme negara-negara barat dan sekutunya yang dalam pemahaman Soekarno disebut negara OLDEFO (The Old Esthablished Forces) atau negara-negara imperialis yang mewakili kekuatan lama.

Ajang GANEFO ini sendiri pada akhirnya tidak berumur panjang, karena hanya berlangsung dalam dua kali penyelenggaraan saja yakni GANEFO I tahun 1963 di Indonesia dan GANEFO II tahun 1966 di Kamboja, sejatinya pada 1970 hendak diadakan GANEFO ke III namun batal dan akhirnya tidak terselenggara.

Pada akhirnya generasi Indonesia saat ini harus mengingat peran Indonesia dalam memprakarsai dan menginisiasi terselenggaranya ajang olahraga sekaligus alat perjuangan politik untuk melawan kolonialisme dan imperialisme bernama GANEFO sebagai sebuah kebanggaan, karena hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa pemersatu dan leader yang legitimatif bagi negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang yang dalam pemahaman Soekarno disebut negara NEFO (New Emerging Forces) dalam usaha melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.





Jumat, 17 Agustus 2018

MENJAGA KEMERDEKAAN DALAM REALITAS HETEROGENITAS PRIMORDIAL




Tanggal 17 Agustus merupakan tanggal bersejarah bagi negara kita tercinta Indonesia, sebuah tanggal sakral yang menandai dua momen penting, pertama, terbebasnya bangsa indonesia dari belenggu penjajahan yang telah membuat menderita rakyat selama ratusan tahun, baik secara fisik maupun psikologis, kedua, lahirnya sebuah negara baru bernama Indonesia, secara de facto tanggal 17 Agustus dimaknai sebagai tanggal lahirnya negara Indonesia yakni saat Soekarno bersama Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di jalan pegangsaan timur nomor 56 Jakarta pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.

Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus tahun 1945 memiliki empat makna penting bagi bangsa indonesia, pertama, kemerdekaan merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah, kemerdekaan yang diraih Indonesia saat itu merupakan buah dari perjuangan, pengorbanan, dan persatuan yang dibalut oleh tekad bulat untuk hidup merdeka sebagai sebuah bangsa, rakyat Indonesia menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan di negaranya sendiri, karena kemerdekaan dan kedaulatan adalah hak segala bangsa.

Kemerdekaan merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah, setelah berjuang untuk merdeka dan berdaulat dari zaman penjajahan Belanda hingga era penjajahan Jepang, proklamasi kemerdekaan merupakan kado manis dari buah perjuangan dan pengorbanan rakyat Indonesia yang telah rela mengorbankan harta, jiwa dan nyawanya untuk kemerdekaan bangsa ini, segala tumpah darah para pejuang dan pahlawan pun akhirnya terbayar lunas.

Kedua, kemerdekaan memberikan kebebasan dan kedaulatan kepada negara indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh karena itu, kebebasan dan kedaulatan ini hendaknya mampu dimanfaatkan dan dikelola secara baik demi kelangsungan bangsa Indonesia kedepan.

Ketiga, kemerdekaan merupakan modal atau jembatan emas dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, kemerdekaan adalah modal dasar bagi sebuah negara untuk membangun dan mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, tanpa adanya kemerdekaan maka keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan akan mustahil untuk dapat diwujudkan.

Kempat, kemerdekaan adalah anugerah dari Tuhan sebagai hasil jerih payah perjuangan serta pengorbanan dari para pejuang dan pahlawan pendahulu kita, oleh karenanya anugerah kemerdekaan ini hendaknya harus senantiasa kita jaga dan kita rawat agar kemerdekaan ini bisa kekal dan tidak terenggut oleh penjajah kembali.

Tugas kita sebagai generasi penerus bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana mengisi, mempertahankan dan menjaga kemerdekaan ini agar tetap terjaga diatas bumi pertiwi, pada hakikatnya menjaga kemerdekaan dapat kita lakukan dengan dua upaya pokok yakni menjaga persatuan dan kesatuan serta melakukan usaha bela negara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan, Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi multikultural yang terdiri dari banyak suku, agama, ras dan bahasa sejatinya menyimpan dua potensi besar, yakni potensi kekayaan dan keberagaman kebudayaan sebagai alat pemersatu serta potensi timbulnya perpecahan dan disharmonisasi dalam kehidupan bernegara, semua tergantung dari bagaimana negara dalam mengelolanya.

Clifford Geertz dalam tulisannya yang berjudul “The Integrative Revolution Primordial Sentiments and Civil Politic in The New States” menjelaskan bahwa negara baru yang multikultural dan memilih sistem demokrasi kerapkali terancam dalam menjaga keutuhan dan kesatuan negaranya.

Sebab atas nama demokrasi kelompok-kelompok primordial tertentu seringkali membuat langkah-langkah untuk melakukan disintegrasi dengan alasan sentimen primordial yang dapat disebabkan oleh kesetiaan dan fanatisme pada ikatan primordial, sikap dan kebijakan pemerintah atau juga karena sikap masyarakat lainnya yang memiliki perbedaan dimensi primordial kepada mereka. Pada umumnya ada 5 ikatan primordial yang dapat membentuk fanatisme serta menjadi tenun pengikat yang kuat secara lahir, batin dan ideologis bagi sebuah masyarakat yakni agama, suku, ras, kedaerahan dan bahasa.

Oleh karenanya, negara-negara demokrasi yang multikultural dengan tingkat heterogenitas yang tinggi akan suku, ras, agama, kedaerahan dan bahasa sejatinya selalu menyimpan potensi akan lahirnya sebuah disintegrasi dan perpecahan oleh sebab adanya kesetiaan dan fanatisme akan sebuah ikatan primordial serta adanya ruang dalam kehidupan demokrasi untuk menyalurkan aspirasi secara terbuka.

Lahirnya negara Pakistan yang memisahkan diri dari negara India karena ikatan primordial agama merupakan contoh sahih bahwa kesetiaan dan fanatisme akan sebuah ikatan primordial dapat meruntuhkan keutuhan bangsa dan menciptakan disintegrasi jika tidak dikelola secara tepat, kemudian contoh selanjutnya adalah lahirnya negara Bangladesh yang memisahkan diri dari Pakistan karena sentimen primordial bahasa dan kedaerahan. Contoh tersebut telah menunjukkan bahwa  kesetiaan dan fanatisme akan sebuah ikatan primordial dapat menjadi pemicu lahirnya sebuah disintegrasi, oleh karenanya Indonesia sebagai sebuah negara multikultural yang memiliki beragam ikatan primordial harus senantiasa kita jaga dan kita kelola bersama agar perbedaan-perbedaan ikatan primordial itu dapat menjadi sumber kekayaan dan alat pemersatu bukan justru menjadi alasan timbulnya disintegrasi.

Dalam perspektif saya, ada 3 hal pokok yang dapat berperan dalam mengelola dan menjaga kerukunan dan persatuan ditengah heterogenitas primordial yang ada dalam masyarakat Indonesia, ketiga hal pokok tersebut adalah kebijakan pemerintah, karakter hukum dan penegakan hukum sebagai alat pengatur masyarakat, dan juga sikap masyarakat dalam menyikapi sebuah perbedaan yang harus senantiasa berpegang teguh pada prinsip Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Pertama, kebijakan pemerintah harus mencerminkan keadilan dan pengayoman kepada seluruh masyarakat tanpa memandang dimensi primordial, kedua, karakter hukum dan penegakan hukum sebagai alat pengatur masyarakat harus mampu menjaga integrasi dan kesatuan masyarakat, hukum tidak boleh pandang bulu, ketiga, sikap masyarakat dalam memandang adanya perbedaan dimensi primordial haruslah berdasar pada paham pluralisme dalam bingkai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, pluralisme adalah paham atau sikap yang menghargai sebuah perbedaan dan menganggap perbedaan sebagai entitas kehidupan yang tidak akan pernah bisa ditolak, karena perbedaan pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan.

Kebijakan pemerintah, karakter produk hukum, serta sikap masyarakat haruslah berada pada titik ideal sebagai penjaga keutuhan dan persatuan dalam dimensi heterogenitas ikatan primordial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, itu berarti pemerintah, pembentuk hukum beserta penegak hukum, serta masyarakat harus bersinergi dan menyadari akan perannya masing-masing sebagai penjaga tenun persatuan ditengah segala perbedaan sekat primordial yang ada dalam masyarakat kita.

Kita menyadari rongrongan disintegrasi selalu membayangi perjalanan bangsa ini dari dulu hingga saat ini, sebut saja adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Serikat (RMS) hingga Organisasi Papua Merdeka (OPM), namun nyatanya tenun persatuan dan kesatuan itu masih terjaga hingga saat ini, hal ini menandakan bahwa nilai-nilai filosofis dari Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika masih tercermin dan terakomodir dalam kebijakan pemerintah, produk hukum, penegakan hukum dan juga sikap masyarakat kita yang menerapkan pluralisme dalam menyikapi adanya dimensi heterogenitas primordial dalam masyarakat.

Organisasi-organisasi yang ingin melakukan disintegrasi tersebut tidak dapat berkembang dan tidak dapat memobilisasi secara masif untuk mempengaruhi mayoritas masyarakat setempat guna melakukan gerakan disintegrasi secara lebih besar, lantaran adanya paham persatuan yang kuat dari masyarakat sebagai sebuah bangsa, sekat primordial maupun alasan lain yang dijadikan dasar alasan untuk melakukan integrasi pun tidak mampu menggoyahkan masyarakat, karena negara ini mampu bertransformasi sebagai sebuah rumah yang nyaman bagi realitas heterogenitas primordial yang melekat dalam diri masyarakat Indonesia.

Namun keadaan tersebut bisa saja berubah, jika kebijakan pemerintah, karakter hukum sebagai alat pengatur masyarakat serta sikap masyarakat kita tidak lagi mencermikan dan mengakomodir keberagaman dan heterogenitas primordial yang ada dalam masyarakat Indonesia, jika hal itu terjadi maka tenun persatuan dan kesatuan yang sudah terjalin dari saat kita berjuang meraih kemerdekaan hingga saat ini bisa saja putus dan berubah menjadi perpecahan.

Maka dari itu, salah satu upaya penting yang dapat kita lakukan dalam menjaga dan merawat kemerdekaan ini agar tetap kekal adalah dengan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam realitas heterogenitas primordial yang kita miliki, persatuan dan kesatuan akan membuat kita kokoh sebaliknya perpecahan akan membuat kita lemah.

Dahulu kita dapat berjuang bersama untuk meraih kemerdekaaan dengan segala perbedaan dimensi primordial yang melekat pada diri kita, maka dari itu, saat ini dan seterusnya sudah seharusnya kita juga harus mampu menjaga dan mempertahankan kemerdekaan ini dengan segala perbedaan dimensi primordial yang kita miliki.

Persatuan adalah hakikat kemerdekaan, tanpa persatuan (dahulu) kita tidak akan pernah bisa meraih sebuah kemerdekaan, tanpa persatuan niscaya sungguh kita akan lemah dan kemerdekaan ini bisa terenggut kembali oleh penindasan dan penjajahan.




Selesai.....