Jumat, 22 Februari 2019

PESAN DAMAI ABU DHABI DAN REFLEKSI POLITIK INDONESIA


“ Saya seorang nasionalis tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “


Sebagai prolog tulisan ini, saya mengutip kata-kata mutiara dari tokoh pergerakan nasionalisme India, Mahatma Gandhi. Kata-kata sederhana yang menyiratkan sebuah pesan mendalam bahwasanya humanisme atau perikemanusiaan harus diletakkan sebagai hal yang fundamental dalam kehidupan, terlepas dengan segala entitas dan dimensi perbedaan yang ada.

Perbedaan adalah khitah kehidupan, konsekuensi hidup yang seharusnya didayagunakan untuk memperkuat rasa solidaritas kemanusiaan demi terwujudnya perdamaian dan kemaslahatan bersama, bukan sebaliknya, justru disikapi guna memupuk rasa permusuhan dan kebencian satu sama lain.

Tiga pekan lalu ( 4/2), terdapat sebuah peristiwa menyejukkan nan bersejarah bagi iklim perdamaian dunia yang memiliki efek positif tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga dimasa depan, sebuah peristiwa yang menjadi suluh perdamaian ditengah kegersangan rasa perikemanusiaan dan sentimen primordialistik yang mengalir masif dewasa ini.

Suluh perdamaian nan meneduhkan itu memancar dari sebuah kota bernama Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dari negeri jazirah Arab tersebut, pesan perdamaian dilantunkan oleh Imam Besar Al-Azhar Kaior Mesir, Syekh Ahmed Al-Tayeb dan Paus Fransiskus, dua tokoh penting bagi dua umat agama besar dunia yakni Islam dan Katholik.

Dalam Pidatonya, Syekh Ahmed Al-Tayeb menghimbau kepada seluruh umat Islam agar merangkul dan menjaga persaudaraan dengan umat lain bernafaskan Islam moderat, sedangkan Paus Fransiskus dalam pidatonya menekankan pentingnya cinta kasih antar umat manusia, serta menyerukan diakhirinya perang di Timur Tengah yang telah merenggut ribuan nyawa dan memberikan penderitaan baik fisik maupun psikologis.

Tidak hanya sekedar lisan, keduanya pun mendeklarasikan deklarasi persaudaraan kemanusiaan sekaligus meneken Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan ( Human Fraternity Document ) guna mempertegas komitmen akan pentingnya menjaga persaudaraan dan perdamaian dunia. Turut hadir disana Perdana Menteri Uni Emirat Arab, perwakilan umat Kristen, Judaisme, dan agama-agama lainnya.

Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan tersebut berisikan poin-poin penting guna mendukung terwujudnya perdamaian antar negara, bangsa, suku, etnis, dan agama terlepas dari identitas dan dimensi perbedaan yang ada. Hal ini seakan menjadi oase yang menyejukkan sekaligus menjadi penyeru pesan kepada seluruh umat manusia untuk memungkasi segala permusuhan, peperangan, dan kebencian guna mewujudkan iklim dunia yang tentram dan damai dalam bingkai persaudaraan dan perikemanusiaan.

Seruan dan pesan perdamaian sejatinya memang sudah umum disampaikan oleh tokoh-tokoh dunia, namun pesan perdamaian dari Abu Dhabi ini memiliki nilai tersendiri, pertama, karena pesan perdamaian ini disampaikan oleh dua tokoh penting dan berpengaruh bagi agama Islam dan agama Katholik yang tentu akan memiliki nilai legitimasi yang lebih kuat dalam mempengaruhi jutaan manusia penganut kedua agama tersebut secara khusus dan kepada seluruh umat manusia pada umumnya. Kedua, deklarasi perdamaian di Abu Dhabi tersebut menjadi momen bersejarah yakni momen pertama kalinya Paus Fransiskus mengunjungi Semenanjung Arab yang sekaligus memberikan pesan dan makna perdamaian secara lebih utuh dan mendalam.

Pesan dan seruan damai dari Abu Dhabi tersebut, hendaknya digunakan sebagai momentum dan rujukan bagi seluruh pihak guna memperkuat tali rajut kemanusiaan dan persaudaraan terlepas dari segala entitas perbedaan yang melekat. Syekh Tayeb dan Paus Fransiskus telah memberikan contoh nyata bahwa perbedaan keyakinan sekalipun bukanlah sekat penghalang untuk merajut tenun persatuan dan persaudaraan antar umat manusia.

Oleh karena itu, sudah saatnya setiap manusia lebih mengedepankan sisi kemanusiaannya, tiada lagi tempat bagi fanatisme sempit berlatar ikatan primordial, politik dan chauvinisme yang sesungguhnya merupakan sumber penyebab bagi terenggutnya nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.

Refleksi Politik Indonesia

Burhanuddin Muhtadi dalam papernya berjudul “Menguatnya Intoleransi dan Politik Identitas” secara implisit menjelaskan bahwa kontestasi pemilu 2019 telah berimplikasi terhadap menguatnya sikap intoleransi dan politik identitas masyarakat Indonesia. Menurutnya, sikap intoleransi dan politik identitas mulai menguat sejak pilgub DKI Jakarta 2017 silam dan bertahan hingga saat ini.

Amartya Sen  ( Kekerasan dan Indentitas, 2016 ) mengatakan bahwa politik identitas berperan besar dalam menghidupkan sikap soliteris yakni sikap yang memandang manusia hanya memiliki identitas tunggal, sikap soliteris ini akan bermuara pada menguatnya sikap intoleransi, permusuhan, dan kebencian terhadap orang lain yang berbeda identitas khususnya identitas pilihan politik.

Sejalan dengan pendapat Amartya Sen, pemilu yang pada hakikatnya adalah sarana bagi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan baik secara individu maupun kolektif telah mengalami bifurkasi makna menjadi ladang tumbuhnya intoleransi, permusuhan dan kebencian satu sama lain. Hal ini terjadi lantaran perbedaan pilihan politik disikapi terlalu fundamental ( soliteris ) sehingga memantik sikap intoleransi, permusuhan dan kebencian antar masyarakat, yang jika dibiarkan terus-menerus akan berbahaya bagi keharmonisan dan keutuhan kita sebagai sebuah bangsa.

Secara empirik banyak peristiwa di masyarakat yang cukup membuat kita menghela nafas lirih, lantaran perbedaan pilihan politik disikapi terlalu fundamental dan berlebihan, misalnya pembongkaran jenazah lantaran berbeda pilihan politik, saling membenci sesama tetangga karena berbeda pilihan politik, bahkan hingga terjadi pembunuhan hanya karena perbedaan pilihan politik sebagaimana yang terjadi di Sampang Madura beberapa waktu lalu yang membuat seorang warga bernama Subaidi meregang nyawa.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang masih erat dengan tradisi paternalistik, dimana sikap, tindakan, pandangan, dan perbuatannya dipengaruhi kuat oleh seseorang yang mereka anggap sebagai pemimpin atau patron. Sejalan dengan hal ini, maka para elite politik yang menjadi patron politik masyarakat dalam hal ini akar rumput dan simpatisan hendaknya dapat memberikan contoh dan suri tauladan bagaimana berpolitik secara bijak dan bermartabat serta kuyup dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Elite politik jangan justru menjadi pemantik sikap intoleransi, permusuhan, dan kebencian sesama masyarakat dengan sikap dan pernyataan yang bersifat demagogis, provokatif, hoax dan ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah masyarakat. Elite politik harus mampu menjadi suluh bagi terwujudnya kehidupan politik dan demokrasi yang tentram, damai, dan penuh nilai-nilai kearifan.

Selain elite politik, pihak-pihak yang memiliki peran sebagai stabilitator sosial seperti tokoh agama, tokoh sosial hingga akademisi hendaknya juga mampu menjadi penyemai kesejukan dan menjadi peredam bagi sikap-sikap negatif masyarakat yang berkaitan dengan perbedaan pilihan politik. Pihak-pihak tersebut harus mampu menyakinkan masyarakat bahwa perbedaan pilihan politik adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan demokrasi, perbedaan pilihan politik adalah sebuah hal lumrah yang seharusnya disikapi secara normal tanpa harus menggerus sisi kerukunan, persaudaraan, persatuan, dan kemanusiaan.

Pesan damai dari Abu Dhabi hendaknya kita dijadikan bahan refleksi dan perenungan bersama, bahwasanya terlepas dari entitas dan dimensi perbedaan yang melekat pada diri kita masing-masing ( termasuk pilihan politik ), semangat persaudaraan dan sikap perikemanusiaan harus kita diletakkan sebagai sebuah hal yang fundamental dan prinsipil dalam kehidupan baik secara individu maupun sosial-kolektif.

Pemilu 2019 yang hanya sekedar siklus 5 tahunan dan memiliki tujuan etis guna mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama hendaknya jangan kita digunakan sebagai ladang untuk menanam bibit permusuhan dan kebencian, lebih baik ajang pemilu ini kita jadikan sebagai katalis untuk menyemai perubahan substansial yang mengarah kepada terwujudnya cita-cita bangsa dengan landasan persaudaraan dan perikemanusiaan bernafaskan Bhinneka Tunggal Ika.




Rabu, 20 Februari 2019

KONSTELASI SEPAK BOLA INDONESIA



Mungkin hanya ada di Indonesia, gelaran turnamen resmi sepak bola terpaksa harus ditunda dan “Mengalah” hanya untuk memberikan tempat bagi digelarnya turnamen pra-musim, mungkin hanya ada di Indonesia regulasi sebuah turnamen resmi dilanggar begitu saja, regulasi yang mengharuskan format pertandingan dilaksanakan dalam dua leg kemudian dikangkangi hanya menjadi satu leg saja, sebagaimana yang terjadi di Piala Indonesia pada pertandingan antara Persebaya vs Persinga dibabak 32 besar lalu, dan mungkin hanya ada di Indonesia pihak-pihak yang memiliki jabatan struktural dalam klub dalam waktu yang bersamaan juga memiliki jabatan dalam induk organisasi.

3 fakta tersebut saya kira sudah cukup untuk mengatakan bahwa sepak bola Indonesia memang lekat dengan kontroversi, bahkan jika kita mau inventarisasi lebih lanjut, tentu akan semakin banyak mengemuka beragam kontroversi dan segala manifestasinya yang menyelimuti wajah persepakbolaan kita.

Terlepas dari fakta bahwa sepak bola kita lekat dengan berbagai kontroversi, sepak bola kita sejatinya juga memiliki dua potensi besar yang jika dikelola secara tepat akan dapat menghasilkan efek yang konstruktif bagi kemajuan sepak bola kita. Namun sayangnya, hingga saat ini dua potensi besar tersebut saya lihat belum dikelola secara tepat dan maksimal.

Dua potensi besar tersebut adalah sumber daya pemain dan fanatisme masyarakat. Berbicara mengenai sumber daya pemain, tentu kita bersama sudah mahfum bahwa sejatinya bakat alam pesepakbola kita tidak kalah dengan negara manapun, dari Aceh hingga Papua bertebaran pemain-pemain potensial sarat kualitas, namun sangat disayangkan, mutiara-mutiara berkilau tersebut belum diasah secara maksimal, selama ini, kita terkesan seperti menyianyiakan begitu saja potensi sumber daya pemain kita yang sebenarnya luar biasa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. 

Potensi besar berikutnya adalah fanatisme masyarakat Indonesia akan sepak bola yang luar biasa, seorang pria asal inggris bernama Antony Sutton dalam bukunya yang berjudul “ Sepakbola The Indonesian Way of Life”  mengatakan bahwa fanatisme masyarakat Indonesia akan sepak bola begitu luar biasa bahkan menjadi salah satu yang terbaik di Asia, namun sangat disayangkan potensi tersebut belum digarap secara optimal guna memberikan dampak konstruktif yang signifikan bagi dunia persepakbolaan kita khususnya dari aspek bisnis.

Jika dikonkretisasi, potensi sumber daya pemain kita sejatinya dapat dimanfaatkan guna memberikan efek secara teknis yakni prestasi, sedangkan pada sisi lain, potensi fanatisme masyarakat kita sejatinya dapat dimanfaatkan guna menunjang efek non teknis yakni geliat bisnis dan ekonomi yang pada akhirnya juga berafiliasi dengan pemenuhan prestasi.

Di titik ini, kita bersama menghetahui bahwa kelebihan sepak bola Indonesia terletak pada potensi sumber daya pemain dan fanatisme masyarakat, dimana kedua potensi tersebut belum digarap dan dikelola secara optimal guna memberikan dampak signifikan bagi kemajuan sepak bola kita.

Jika sumber daya pemain dan fanatisme masyarakat menjadi titik kelebihan sepak bola kita, maka titik lemah dari sepak bola Indonesia sendiri saya kira terletak pada 3 aspek, pertama profesionalisme, kedua kultur/budaya, dan ketiga sport science. 

Suka tidak suka kapasitas profesionalisme sepak bola kita (secara umum) dalam hal ini mencakup profesionalisme induk organisasi, klub, pelatih, pemain, hingga wasit belum pada tataran yang ideal, seorang Bambang Pamungkas pernah mengatakan bahwa profesionalisme disepak bola Indonesia masih sekedar slogan, banyak pelaku sepak bola mengaku atau berlabel profesional namun tidak memiliki sikap dan cara pandang yang mencerminkan apa itu profesional, di Indonesia kata profesional hanya sekadar manis dikata namun jauh dari realita.

Kemudian soal kultur/budaya, sepak bola kita saya kira juga belum ideal meskipun sudah lebih baik dari dekade sebelumnya, banyak kebiasaan-kebiasaan dalam sepak bola kita yang dapat menjadi serat penghambat bagi terciptanya iklim prestasi, seperti tawuran antar suporter, budaya menghalalkan segala cara untuk menang, dan ada satu budaya dalam sepak bola Indonesia yang tidak banyak orang menghetahui, yakni budaya seorang pemain memberikan sebagian uang kontraknya dari klub kepada pelatih (10-20 %) sebagai tanda terimakasih, soal budaya ini, saya mendengar sendiri secara langsung dari bapak saya yang notabene adalah mantan pemain sekaligus pelatih sepak bola dan juga dari seorang pemain asing yang bermain di liga Indonesia.

Selanjutnya, kelemahan sepak bola Indonesia juga terletak pada minimnya daya dukung sport science, secara umum, sport science diartikan sebagai penerapan prinsip-prinsip science secara multidisipliner meliputi psikologi, fisiologi, biomekanika, teknologi, statistik dll yang bertujuan guna meningkatkan prestasi olahraga atlet. Pada sport science inilah kita masih tertinggal sangat jauh dari negara-negara lain yang persepakbolaannya maju khususnya dari negara-negara eropa. Di Indonesia sendiri pendekatan sport science masih kurang populer digunakan sebagai metode guna meningkatkan prestasi, praktis, selama ini cara-cara konvensional masih menjadi metode andalan guna meraih prestasi yang sayangnya tak kunjung jua teraih hehe.

Oleh karenanya, secara garis besar (saya tidak membahas secara teknis) langkah untuk meningkatkan dan memajukan prestasi sepak bola indonesia yakni dengan jalan memaksimalkan potensi yang dimilikinya yaitu sumber daya manusia (pemain) dan fanatisme masyarakat, disisi lain juga harus dilakukan langkah-langkah konkret dan sinergitas guna meminimalisir kelemahan-kelemahan yang ada, meliputi pembangunan profesionalisme, restorasi kultur/budaya, dan penggunaan sport science.

Artinya, kemajuan sepak bola Indonesia membutuhkan peran, sumbangsih, sinergi, dan tanggungjawab kita bersama, baik pemerintah pusat maupun daerah, induk organisasi, klub, pemain, pelatih, wasit, suporter, pers, dan masyarakat. Semua stakeholders sepak bola Indonesia tersebut harus mampu membangun hubungan secara sinergis dengan prinsip check and balance serta dilandasi basis semangat progresifitas demi mawujudnya kemajuan dan prestasi sepak bola nasionaal

Hanya dengan begitulah kita memiliki harapan akan masa depan yang cerah bagi dunia sepak bola kita tercinta.


Senin, 18 Februari 2019

HOAX KANKER DEMOKRASI MUSUH BAGI PEMILU BERMARTABAT DAN KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN NASIONAL




Berdasarkan laporan dari International Agency of Research on Cancer pada tahun 2018 lalu, organisasi kesehatan dunia ( WHO ) mengungkapkan bahwa penyakit kanker telah berkembang semakin masif hingga membuat 9,6 juta orang meninggal dunia pada tahun 2018. Dengan fakta ini, WHO memprediksi bahwa kanker akan menjadi penyakit pembunuh nomor satu sekaligus menjadi musuh besar bagi keberlangsungan hidup manusia.

Jika didalam dunia kesehatan, kanker menjadi musuh besar bagi keberlangsungan hidup manusia, maka dalam konteks kehidupan demokrasi, hoax telah berentitas sebagai kanker yang berbahaya bagi keberlansungan kehidupan demokrasi itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax memiliki arti berita bohong, sedangkan menurut Oxford English Dictionary, hoax didefinisikan sebagai malicious deception yang berarti kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat, lebih jauh, kata hoax sendiri pertama kali dicetuskan seorang ahli filologi asal Inggris, Robert Nares (1822) dalam bukunya “A Glossary : Or, Collection of Words, Phrases, Names, and Allusions to Customs” dalam buku tersebut, Robert Nares mendefinisikan hoax sebagi sinonim dari hocus yang memiliki arti menipu dan nir fakta.

Secara umum dapat kita konkretisasi bahwa hoax memiliki arti berita bohong, menipu, dan nir fakta yang digunakan untuk tujuan jahat. Dalam konteks kehidupan demokrasi modern, dimana daya dukung internet (media sosial) berkembang begitu masif, disatu sisi memang memberikan efek positif guna efisiensi dan efektifitas sosialisasi demokrasi, namun disisi lain juga memiliki efek negatif yakni turut menyuburkan tumbuhnya hoax sehingga menjelma sebagai kanker yang berbahaya bagi kehidupan demokrasi nan sehat dan bermartabat.

Hoax membuat dinamika dan narasi demokrasi menjadi kotor dan lekat dengan berbagai kebohongan, manipulasi, kabar dusta, penyesatan informasi hingga propaganda yang pada akhirnya menyelewengkan makna demokrasi dari sarana guna membawa kemaslahatan bersama menjadi sarana yang membunuh keharmonisan kolektif.

Hoax sendiri telah digunakan sebagai strategi politik diberbagai negara guna memenangkan kontestasi demokrasi (pemilu), sejalan dengan hal tersebut, kemudian lahirlah sebuah teknik bernama “Firehose of The Falsehood” yakni semburan kebohongan yang dilakukan secara repetitif dan terus menerus guna membunuh kepercayaan publik terhadap lawan politik. Strategi ini pun menuai hasil di pemilu Amerika Serikat dan Brazil dengan kemenangan Donal Trump dan Bolsonaro yang bermazhab konservatif.

Di tahun politik khususnya dimasa kampanye menjelang kontestasi pemilu 2019, hoax-hoax bermotifkan politik berkelindan begitu nyaring dalam ruang publik, menurut data yang dirilis oleh Kementrian Kominfo, dari bulan Agustus 2018 hingga Desember 2018 terdapat total 62 konten hoax, fakta ini tentu harus menjadi koreksi kita bersama, untuk lebih intens dan perduli dalam melawan hoax demi mewujudkan pemilu 2019 yang bermartabat.

Pemilu 2019 harus diminimalisir dari konten hoax, sehingga dasar preferensi rakyat dalam memilih dipandu berdasarkan informasi yang valid bukan kebohongan. Proses pemilu yang didasari dan diselimuti pada sebuah kebohongan tidak akan memiliki martabat (dignity), Oleh karenanya, proses pemilu 2019 harus kita lindungi dari konten-konten hoax, sehingga dapat mawujud pemilu yang bermartabat, yakni pemilu yang jujur, sportif, dan penuh nilai kearifan. Dari pemilu yang bermartabat inilah dapat kita harapkan lahirnya sosok pemimpin yang bermartabat dan memiliki kapasitas guna mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat.

Di sisi lain, hoax juga memiliki efek negatif bagi keberlanjutan pembangunan nasional, hoax dapat menggerus kepercayaan publik yang pada titik tertentu dapat menghambat proses pembangunan nasional, misalnya dengan adanya hoax, rakyat menjadi enggan membayar pajak, daya beli menurun, dan tercipta chaos dalam masyarakat sehingga stabilitas nasional terganggu yang pada akhirnya menghambat keberlanjutan pembangunan nasional.

Dengan memahami keseluruhan penjelasan diatas, maka kita harus menyadari bahwa hoax adalah musuh kita bersama, hoax harus kita lawan bersama, karena ia adalah kanker demokrasi sekaligus musuh bagi terwujudnya pemilu bermartabat dan keberlanjutan pembangunan nasional. Hoax adalah penyakit yang dapat menghambat terciptanya kemaslahatan rakyat dan keharmonisan kolektif sebagai sebuah bangsa.

Melawan Hoax

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mastel (2017) menyebutkan bahwa saluran yang banyak digunakan untuk menyebarkan hoax adalah situs web sebesar 34,90 %, kemudian aplikasi chatting sebesar 62,80 %, dan yang tertinggi ada pada media sosial sebesar 92,40 %. Realitas ini tentunya dapat memberikan kita blue print bagaimana cara melawan dan memberantas hoax.

Dalam melawan hoax, saya membagi dalam dua segmen, pertama individu, dan kedua kolektif, bagi individu cara untuk melawan hoax adalah dengan literasi informasi, literasi informasi akan melahirkan sikap kritis dan skeptis pada diri seseorang terhadap informasi, sehingga membuat seseorang tersebut tidak mudah menjadi korban maupun pelaku hoax. Selain itu, individu juga dapat membanjiri media sosialnya dengan konten-konten positif guna melawan dan menenggelamkan konten hoax sebagaimana diungkapkan oleh pegiat media sosial yang telah berpulang Januari lalu, Alm Nukman Luthfie.

Bagi kolektif, cara melawan hoax harus dilakukan secara holistik, sinergis, dan integral (bersamaan) antara beberapa pihak terkait, baik pemerintah, penegak hukum, kontestan pemilu, platform media sosial hingga masyarakat secara umum. Semua pihak tersebut harus berperan dan memiliki nafas juang yang sama guna melawan hoax.

Pemerintah melalui kominfo dapat berperan melakukan pemblokiran situs penyebar hoax, sedangkan bagi akun media sosial penyebar konten hoax tentunya pemerintah perlu menjalin kerjasama dengan platform media sosial terkait guna melakukan pemblokiran. Kemudian pemerintah juga dapat membuat suatu sistem algoritma yang dapat menyaring informasi maupun situs penyebar konten hoax sebagaimana telah dilakukan oleh Rusia. Selanjutnya, penegak hukum harus tegas dalam menindak para pembuat maupun penyebar hoax tanpa pandang bulu, hal ini penting guna memberikan efek jera sekaligus meminimalisir perkembangan hoax.

Tak kalah penting para kontestan pemilu baik parpol, caleg, capres-cawapres, beserta tim pemenangannya harus memiliki komitmen kuat guna menjauhi strategi politik dengan menggunakan hoax, komitmen ini dapat dipertegas dengan meneken pakta integritas. Selain itu, platform media sosial bersama masyarakat juga harus dirangkul oleh negara dan didayagunakan untuk memiliki kesadaran dan berperan optimal dalam melawan hoax. Misalnya dengan melakukan sosialisasi, kampanye, dan pemberdayaan platform media sosial maupun masyarakat seperti menciptakan gerakan nasional anti hoax secara masif guna menakan pertumbuhan hoax.

Pada akhirnya, hanya dengan cara-cara holistik, sinergis, dan integral seperti itulah kanker demokrasi bernama hoax yang merupakan musuh bagi terciptanya pemilu bermartabat dan keberlangsungan pembangunan nasional dapat kita lawan dan kita berantas.

Akhir sekali, mari bersinergi melawan hoax demi suksesnya pemilu 2019 yang damai, berkualitas, dan bermartabat guna mendorong terwujudnya keberlanjutan pembangunan nasional demi tercipta kemaslahatan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia.
                                                                                        

Sabtu, 16 Februari 2019

DEBAT EDISI KEDUA DAN CERITA TENTANG GOLPUT



Setelah debat capres-cawapres edisi pertama lalu hanya menyajikan panggung debat yang jauh dari narasi-narasi substantif, publik kini menaruh ekspektasi tinggi pada debat edisi kedua besok, publik sangat mengharapkan debat edisi kedua bisa menjadi panggung paripurna yang dapat mencerminkan kapasitas capres sebagai calon pemimpin negara. Debat edisi kedua sendiri akan menyajikan debat antara kedua capres.

Disatu sisi, rendahnya kualitas debat edisi pertama lalu turut menggugah pihak penyelenggara dalam hal ini KPU guna melakukan berbagai evaluasi, satu poin penting sebagai hasil evaluasi dari debat edisi pertama lalu adalah ditiadakannya kisi-kisi debat, diharapkan dengan ditiadakannya kisi-kisi debat, kedua capres bisa tampil secara lebih genuine, sehingga membuat rakyat Indonesia dapat mengukur secara lebih obyektif kira-kira pasangan mana yang layak mereka pilih berdasarkan visi, misi, program, dan solusi yang ditawarkan.

Debat adalah sarana yang penting untuk mendongkrak efek elektoral, khususnya untuk menggaet para swing voters dan pemilih yang “Iman” politiknya masih lemah. Pemilu 2014 silam telah memberikan contoh nyata bahwa debat memiliki efek elektoral yang tidak kecil, Burhanuddin Muhtadi dalam artikelnya berjudul Efek Elektoral Debat Capres mengatakan bahwa performa debat pada debat capres-cawapres 2014 silam justru menjadi titik balik menguatnya elektabilitas Jokowi sekaligus menjadi salah satu kunci kemenangan Jokowi pada pilpres 2014, elektabilitas Jokowi yang turun hingga hampir disalip oleh Prabowo sebelum diadakannya debat, kemudian naik dan menjauh dari Prabowo setelah debat berlangsung ( berkat performa debat ), hal ini tentu mengirimkan sinyal bahwa debat memiliki efek elektoral yang tidak bisa dikatakan kecil. Apalagi debat edisi kedua ini akan mempertemukan "duel" secara langsung antara kedua capres.

Sejalan dengan itu, debat sejatinya dapat menjadi sarana yang efektif bagi kedua paslon untuk mendongkrak elektabilitas bahkan dapat menjadi kunci kemenangan, sejalan dengan itu, debat juga dapat menjadi sarana yang efektif guna mereduksi jumlah golput pada pemilu 2019 nanti, khususnya terhadap kelompok golput relatif.

Berbicara mengenai golput tentu membuat kita mahfum bahwa golput adalah sebuah fenomena empirik yang selalu menghiasi wajah demokrasi kita, tidak pernah ada pesta demokrasi ( pemilu ) dinegeri ini yang bisa menekan golput hingga 0 %, golput sendiri secara umum memiliki arti pilihan sikap untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu. 

Dalam konteks masyarakat, golput sering dipahami dan cenderung dikonotasikan dengan arti negatif, padahal golput sendiri ( tidak menggunakan hak pilih ) sebenarnya adalah wujud dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang merupakan hak yang bersifat non derogable right ( tidak dapat dibatasi ) sehingga wajib kita hormati. Namun terlepas dari itu, dalam konteks demokrasi memang seyogyanya hak pilih itu digunakan, karena hak pilih ( dalam demokrasi ) adalah senjata yang dapat digunakan untuk membawa perubahan.

Dalam pengamatan saya, golput sendiri terbagi dalam 4 jenis, pertama, golput absolut, golput absolut adalah pilihan sikap seseorang atau masyarakat yang memang apatis terhadap politik, mereka tidak perduli terhadap dinamika politik dalam hal ini pemilu yang mereka anggap tidak dapat menghasilkan dan membawa perubahan konkret bagi kehidupan mereka, mereka menganggap politik sebagai panggung kotor, penuh sandiwara, dan tempat berkumpulnya orang-orang haus kekuasaan. Pandangan dan persepsi tersebut membuat mereka enggan menggunakan hak pilihnya dalam setiap pemilu.

Kedua, golput relatif, golput relatif adalah pilihan sikap seseorang atau masyarakat yang memilih golput lantaran pihak yang maju dalam kontestasi pemilu ( paslon ) tidak memiliki kapasitas sebagaimana yang mereka harapkan, kelompok golput relatif ini memiliki ciri khas yakni rasional, kritis, dan non fanatis, sejalan dengan ciri tersebut, maka kelompok golput relatif ini memiliki paradigma bahwa pemilu adalah sarana untuk memilih pemimpin terbaik dan berkualitas yang mampu membawa perubahan, sehingga, ketika kontestasi pemilu tidak dapat menghadirkan calon atau kontestan sebagaimana yang mereka idamkan, maka dengan “Terpaksa” mereka tidak menggunakan hak pilihnya.

Ketiga, golput material, golput material adalah pilihan sikap seseorang atau masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu karena kontestan pemilu ( paslon ) tidak ada yang memberikan materi dalam hal ini adalah uang maupun barang yang dapat dinilai dengan uang kepadanya. Golput material ini menganggap pemilu hanya sekedar lahan untuk mendapatkan materi dan uang ( politik uang ) dari kontestasn pemilu.

Keempat, golput administratif, ini adalah kelompok golput yang terpaksa tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu lantaran terganjal syarat administratif yang biasanya terkait permasalahan DPT. Sehingga, mereka golput bukan atas dasar kehendak tidak menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang terjadi dalam golput absolut, golput relatif, dan golput material, namun lantaran terganjal syarat formal prosedural ( administratif ).

Melihat keempat jenis golput ini, debat tentu dapat menjadi sarana yang efektif guna mereduksi presentase golput relatif, yakni para golput yang mengidamkan sosok calon pemimpin yang memiliki kualitas dan kapasitas sebagaimana yang mereka harapkan. Golput relatif sendiri saat ini tergabung dalam kelompok swing votters yakni kelompok masyarakat yang belum menentukan pilihan entah ke paslon 01, paslon 02, maupun golput, dimana menurut survey Indikator Politik Indonesia Desember lalu berjumlah sekitar 25 %.

Oleh karena itu, debat edisi kedua besok harus dimaksimalkan oleh kedua capres untuk menampilkan suguhan konstruktif dan substantif baik dari segi visi, misi, program, dan narasi khususnya terkait tema debat edisi kedua yakni energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Jika hal tersebut mampu mereka suguhkan pada debat edisi kedua besok maupun pada edisi debat-debat selanjutnya, saya yakin presentase swing votters yang memilih golput pada pilpres 17 April nanti akan menurun yang sekaligus berpengaruh terhadap menurunnya presentase golput secara umum.

Menarik kita tunggu bersama.