Senin, 24 September 2018

MEMIMPIKAN PERDAMAIAN KELOMPOK SUPPORTER DI INDONESIA




Kisah pilu kembali mewarnai dunia persepakbolaan nasional, setelah nyawa harus kembali melayang demi dan hanya karena sebuah olahraga bernama “Sepakbola”. Seorang supporter Persija Jakarta bernama Haringga Sirla meninggal dunia setelah di aniaya secara brutal oleh segerombolan “Oknum” pendukung Persib Bandung sebelum laga antara Persib Bandung vs Persija Jakarta di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada 23 September 2018 kemarin.

Nyawa memang sepertinya menjadi barang murah dalam persepakbolaan negeri ini, hanya berlatar belakang “Rivalitas”, supporter dapat menjadi beringas terhadap para supporter klub lain yang menjadi rival dari klub kebanggaan mereka, fanatisme buta terhadap klub kebanggaan yang dianggap mereka sebagai pengejawantahan dari martabat, harga diri dan identitas mampu membunuh akal sehat dan nurani sebagai manusia hingga tega berbuat keji nir moral menghabisi sesama manusia, seperti halnya Haringga Sirla yang harus menjadi tumbal nyawa dari panasnya rivalitas antara supporter Persija Jakarta dan supporter Persib Bandung.

Dalam tulisan ini saya tidak sedang ingin menghakimi supporter Persib Bandung, tetapi lebih kepada memberikan gambaran secara umum mengenai sikap para kelompok supporter terhadap para kelompok supporter lainnya yang memiliki rekam jejak “Rivalitas” dimana sikap mereka bertendensi tinggi condong ke arah perilaku kekerasan dan nir moral seperti membunuh, menganiaya, merusak, saling hujat dan lainnya.

Kekerasan, dan tindakan nir moral memang seringkali terjadi diantara dua kelompok supporter yang memiliki rekam jejak rivalitas, rasa dendam yang mereka rawat secara turun temurun membuat jiwa beringas muncul ketika melihat kelompok supporter rival yang mereka anggap musuh yang halal untuk di aniaya bahkan di bunuh. Sebelumnya pada bulan Juli lalu seorang supporter PSS Sleman bernama Muhamad Iqbal juga harus meregang nyawa karena di keroyok oleh oknum kelompok supporter PSIM Jogja saat tim PSIM Jogja bertemu dengan PSS Sleman, yang juga dilatarbelakangi karena rivalitas panas antara kedua kelompok supporter.

Apa sudah separah itukah moral kita sebagai manusia ? hanya karena fanatisme akan klub kebanggaan, kita menjadi tega menghabisi sesama manusia. Dalam konteks berbangsa dan bernegara artinya sesama rakyat Indonesia tega saling membunuh hanya karena fanatisme dan rivalitas semu akan sebuah olahraga bernama sepakbola. Sebuah olahraga yang harusnya menjadi alat pemersatu dan penanaman nilai-nilai positif bagi generasi bangsa.

Meski tak pernah lepas dari tradisi kekerasan tak dapat dipungkiri bahwa supporter sepakbola merupakan salah satu daya tarik besar persepakbolaan negeri ini, mengingat disanalah letak salah satu keunggulan sepakbola kita dari pada negara-negara lain yaitu terkait fanatisme dan antusiasme yang luar biasa akan sepakbola, antusiasme suppoter dan masyarakat Indonesia akan sepakbola begitu luar biasa sebagaimana diungkapkan oleh Antony Sutton dalam bukunya “Sepak Bola : The Indonesian Way of Life”, Antony mengatakan bahwa supporter sepakbola di Indonesia memiliki gairah yang besar akan sepakbola, fanatisme sepakbola di Indonesia adalah yang terbaik di Asia Tenggara bahkan Asia.

Namun sangat disayangkan, modal fanatisme dari supporter yang begitu luar biasa tersebut belum bisa di optimalkan secara optimal untuk menjadi sebuah kekuatan, kesatuan dan sumberdaya sosial dalam membangun persepakbolaan yang beradab dan profesional, fanatisme dari para supporter sering mengarah kepada fanatisme negatif khususnya terhadap para kelompok supporter lain yang terlilit tali “Rivalitas”. Oleh karenanya, hal-hal anarkis dan nir moral seperti tawuran, pengrusakan hingga pembunuhan tak henti selalu menghiasi wajah persepakbolaan nasional dari waktu ke waktu.

Saya seringkali membayangkan, atau bermimpi mungkin lebih tepatnya, para supporter di seluruh Indonesia bisa bersatu, rukun dan kompak dalam balutan fanatisme yang positif, jika itu terjadi bisa dibayangkan betapa khidmatnya menonton sepakbola, tidak ada tawuran, tidak pengrusakan, tidak ada nyanyian agitasi, tidak ada tindakan anarkis dan tentunya tidak ada pembunuhan. Perpaduan antara fanatisme dan kedewasaan hmm pasti mampu melahirkan sesuatu yang luar biasa. Lalu saya berpikir apakah bisa seperti itu di tengah suhu rivalitas berbalut dendam yang mengakar kuat ?.

Saya pikir bisa meski tidak mudah dan butuh waktu yang tidak sedikit, dimana diperlukan upaya yang masif dan peran optimal dari para pihak terkait seperti PSSI, media, para pemimpin atau pentolan supporter yang memilki pengaruh, dan tentunya aparat kepolisian baik melalui upaya represif maupun preventif.

PSSI dapat menggunakan otoritas kewenangan memberikan sanksi kepada klub jika para supporternya melakukan tindakan-tindakan terlarang, sehingga hal tersebut kiranya dapat menekan atau meminimalisir para supporter untuk tidak berbuat anarkis atau tindakan-tindakan terlarang dengan tesis bahwa supporter tentu mencintai klub kebanggaanya, kemudian media, media harus memberikan berita yang menyemai perdamaian tanpa mengaburkan fakta, media jangan justru menjadi pemanas atau peniup sumbu api pertikaian para kelompok supporter dengan berita yang provokatif, berikutnya, para pentolan atau pemimpin kelompok supporter yang memiliki pengaruh besar untuk mempengaruhi para Grassroot harus senantiasa memberikan narasi-narasi perdamaian kepada para akar rumput (untuk mengikis dendam ) serta kontinu berkomunikasi dengan para pemimpin kelompok supporter lain, dengan begitu, setidaknya akan dapat memperkecil peluang para supporter akar rumput untuk berbuat anarkis dan melakukan tindakan nir moral, karena dalam kelompok supporter sendiri paham patrimonialistik (patuh pada pemimpin) saya kira masih kuat, terakhir, pihak kepolisian harus memiliki sikap tegas baik secara represif melalui penegakan hukum pidana jika ada unsur pidana yang dilakukan oleh para supporter maupun secara preventif dengan jalan memberikan shock teraphy berupa tidak mengeluarkan izin pertandingan kepada sebuah klub yang para supporternya berbuat tindakan anarkis.

Keempat pihak tersebut hendaknya mampu berperan optimal sesuai peran dan porsinya masing-masing untuk menciptakan iklim persepakbolaan nasional yang damai dan kondusif, sepakbola kita sudah miskin dan kering prestasi, jadi janganlah ditambahi bumbu anarkisme dan tindakan nir moral seperti tawuran, penganiayaan hingga pembunuhan yang membuat wajah persepakbolaan kita makin suram.

Agaknya memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan usaha yang tidak mudah untuk bisa mewujudkan mimpi perdamaian dari para kelompok supporter khususnya yang terlibat rekam jejak “Rivalitas”. Butuh waktu untuk dewasa dalam menyikapi dan memahami esensi sepakbola serta menghapus segala dendam yang tersemat. Akan tetapi mimpi dan harapan itu haruslah terus kita rawat bersama jangan pernah padam.

Olahraga sendiri ( tentunya termasuk sepakbola) pada dasarnya adalah sarana untuk membagun persahabatan dan persatuan, maupun menanamkan nilai moral dan ahlak mulia sebagaimana yang termaktub dalam dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Maka cita-cita filosofis dari olahraga nan mulia itu hendaknya harus kita wujudkan bersama demi kokohnya ketahanan nasional ( secara umum ) dan demi iklim sepakbola yang damai dan kondusif ( secara khusus ).

Semoga Haringga Sirla adalah korban terakhir dari ganasnya iklim sepakbola Indonesia, dan atas peristiwa memilukan tersebut semoga semua pihak dapat melakukan instospeksi dan koreksi diri demi mendukung kemajuan sepakbola Indonesia kedepan.

Sepakbola harusnya membahagiakan dan menyatukan bukan justru membahayakan dan memilukan.



Selesai.........


Rabu, 05 September 2018

PUISI : SIKSA RINDU


Sore yang menentramkan melantunkan langgam syahdu akan sebuah narasi rindu.

Berteman secangkir kopi dan tangisan langit sendu.

Aku berdoa lirih pada DIA yang mengatur takdir. Mengadu tentang rindu yang tersemat di titik nadir.

Rindu ini begitu menyiksa. Menghempaskan jiwa ke lembah penantian nan sunyi.

Lelaki tercipta dengan jiwa yang kuat akan goresan luka namun sedikit goyah untuk melawan sakitnya jerat rindu.

Lepaskanlah aku dari jerat rindu ini Tuhan.

Datangkan lah dia yang selalu ku sebut dalam doa-doa hening ku.

Datangkan lah bidadari manis tak bersayap penghias mimpi dalam tidur malam ku.

Aku ingin segera bersamanya merajut kisah indah hingga akhir hayat ku.