Rabu, 31 Juli 2019

BUDAYA MELA SAREKA MASYARAKAT LAMAHOLOT SEBAGAI SARANA INTGRASI SOSIAL BERNAFASKAN CITA KEINDONESIAAN DAN SEMANGAT PANCASILA




Menurut jurnalis senior Amerika Serikat, Elizabeth Pisani, Indonesia adalah sebuah bangsa yang tidak masuk akal (imporable). Sebuah keajaiban besar dalam sejarah dunia. Elizabeth Pisani mengatakan demikian lantaran kagum dengan eksistensi bangsa Indonesia yang mampu berdiri kokoh diatas kemajemukan sosial maupun primordial yang melekat masif dalam diri bangsa Indonesia.

Menurut data BPS, Indonesia terdiri atas 1331 suku, 714 bahasa daerah, 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kotamadya. Dengan kemajemukan sosial dan primordial yang demikian itu Indonesia tetap mampu menjaga eksistensi, soliditas dan harmonisitas diatas dimensi perbedaan yang melekat. Menurut mantan ketua BPIP, Yudi Latif, kunci dari pada kokohnya persatuan dan kesatuan dalam bingkai kemajemukan bangsa Indonesia adalah karena Indonesia memiliki Pancasila. Pancasila mampu menjadi titik temu, titik tuju, dan titik tumpu guna mengkanalisasi perbedaan-perbedaan tersebut menjadi suatu kesatuan bernafaskan semangat bhinneka tunggal ika.

Mahfud Md dalam buku Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan (2017) mengatakan bahwa kunci soliditas dan kebersatuan bangsa Indonesia diatas dimensi kemajemukan yang begitu besar terdiri atas 4 hal: pertama, kebersatuan bangsa Indonesia dalam keberagaman terbangun dari bawah selama ratusan tahun dan bukan pemaksaan dari atas sehingga kebersatuan itu tumbuh dan hidup secara alamiah. Kedua, adanya dasar ideologi yang dapat menjadi pemersatu yakni Pancasila dan semboyan bhinneka tunggal ika (unity in diversity). Ketiga, negara Indonesia berlandaskan kepada cita kedaulatan hukum (nomokrasi) dan cita kedaulatan rakyat (demokrasi) dimana keduanya saling bertautan guna menjaga stabilisasi dan integrasi kebangsaan. Keempat, Adanya hukum dasar yakni UUD NRI Tahun 1945 yang mampu menjadi tumpu bagi pembentukan hukum yang mengakomodasi entitas kemajemukan.

Sebagai bangsa yang multikultural, Indonesia juga memiliki nilai-nilai atau falsafah kebudayaan lokal yang dapat menjadi sarana kebersatuan dan integrasi sosial dengan semangat keindonesiaan dan nafas Pancasila. Salah satu diantaranya adalah budaya mela sareka (ritus perdamaian yang utuh) yang hidup dalam masyarakat Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Mela sareka adalah proses penyelesaian sengketa atau konflik yang melibatkan masyarakat Lamaholot. Ritus mela sareka diawali dengan proses identifikasi adanya pihak-pihak yang berselisih yang disebut getun liko pepin peka (pemisahan para pihak). Selanjutnya adalah tahap soba sewalet (ajakan berdamai). Dilanjutkan dengan tahap uku loyak gatu gatan yakni proses merekonstruksi kebenaran. Dilanjutkan den tahap haput ele kirin (pengampunan dan penghapusan kesalahan) hingga sampai pada tahap akhir mela sareka atau terwujudnya perdamaian yang utuh. Esensi dari pada mela sareka sendiri adalah terajutnya kembali ikatan persaudaraan dan kerukunan dengan jalan mufakat guna menghapus segala dendam, sakit hati, dan rasa kebencian agar pihak yang berkonflik/bersengketa mampu kembali hidup harmonis sebagai sebuah kesatuan. Harmoni sosial yang hendak dibangun oleh mela sareka meliputi konteks yang lebih luas dan komprehensif yakni secara individual atau antara para pihak yang bersengketa/berkonflik, secara kolektif, maupun secara vertikal dengan sang ilahi.

Secara lebih rinci, proses mela sareka dapat dilihat dalam jurnal Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot yang ditulis oleh Karolus Kopong Medan sebagaimana berikut: ritus mela sareka dimulai dengan adanya laporan dari masyarakat atau pengaduan dari pihak korban kepada kebelen suku onen (kepala suku), jika korbannya berasal dari satu suku dan dampak dari kasus tersebut tidak terlalu luas maka perkara demikian ini hanya akan ditangani oleh kepala suku. Jika pelaku dan korban berasal dari suku yang berbeda dan perkara itu diperkirakan akan memiliki dampak yang mengganggu stabilitas kehidupan kampung, maka perkara tersebut akan dibawa kepada kebelen lewotana (pembesar kampung). Pihak kebelen suku onen dan kebelen lewotana dalam menangani perkara tidak bertindak sendiri dalam proses pengambilan keputusan melainkan mengakomodasi pula semua tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam kampung guna bersama-sama mencari jalan penyelesaian yang terbaik.

Selain kebelen suku onen dan kebelen lewotana juga ada lei raran (mediator adat) yakni pihak yang diberikan tugas sebagai mediator antara pihak yang bersengketa agar dampak dari proses dan penyelesaian sengketa tidak meluas dan menimbulkan persoalan baru yang semakin rumit. Untuk mengadili perkara konflik baik dihadapan kebelen suku onen maupun kebelen lewotana pertama-tama akan diadakan ritual adat bau lolon yakni ritual untuk memohon tuntutan dari arwah leluhur agar dalam penyelesaian perkara berlajan lancar guna membangun kembali harmonitas baik secara individual maupun sosial-kolektif. Selanjutnya dilakukan proses getun liko pepin peka yakni pemisahan antara kedua belah pihak yang bersengketa agar kedua belah pihak dapat merenung sekaligus menjernihkan emosi dan akal sehat. Selama masa getun liko pepin peka pihak lei raran telah mulai bekerja guna mendamaikan kedua belah pihak (pra-perdamaian). Jika mediasi lei raran  berhasil kedua belah pihak akan memasuki tahap uku loyak gatu gatan yakni proses rekonstruksi fakta dan kebenaran yang dinafasi semangat harmonisasi, persaudaraan, dan keseimbangan. Meskipun orientasinya bertitik berat pada harmonisasi, persaudaraan, dan keseimbangan namun ada konsekuensi sanksi adat yang bisa dijatuhkan yang dikenal dengan istilah nedhan dei (denda adat) dan pate helo ele kirin (ganti rugi). Tahap selanjutnya adalah haput ele kirin yakni menghapus kesalahan-kesalahan yang telah terindentifikasi dalam proses rekonstruksi kebenaran.

Ketika kesalahan telah terhapuskan secara adat maka dengan sendirinya telah hilang beban adat yang menghalangi mereka untuk berdamai. Terakhir, dalam kondisi bathin yang sudah bersih (tanpa dendam) para pihak akan memasuki tahap akhir yakni mela sareka sebagai simbol terajutnya kembalinya hubungan persaudaraan dan harmonisasi hidup yang utuh.

Mela sareka telah turun-temurun menjelma menjadi falsafah bagi entitas kehidupan sosio-kultural masyarakat Lamaholot. Budaya mela sareka sendiri merupakan pengejawantahan dari mentalitas kosmologis masyarakat Lamaholot. Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterkaitan yang erat sebagai sebuah etnisitas suku. Dalam budaya Lamaholot individu dan keluarga merupakan unsur guna membentuk sebuah rasa keterikatan akan etnisitasa yang lebih kuat. Bagi masyarakat Lamaholot keberadaan suku adalah yang utama karena keberadaan suku akan menentukan keberlangsungan hidup individu. Hidup setiap individu sebagian besar dicurahkan untuk suku. Realitas ini sangat berpengaruh dalam membentuk pandangan dan pola pikir masyarakat Lamaholot yang selalu berlandaskan pada prinsip kosmologis-kolektif. Dimana mereka akan betindak, berperilaku, dan bersikap sebagai sebuah kesatuan tidak sekadar cerminan otoritas individu. Mereka memiliki kesadaran kuat bahwa kehidupan yang hakiki adalah jika terwujudnya kebersamaan dalam ikatan simbiosis mutualistik (saling membutuhkan satu sama lain). Dalam hal ini kebersamaan menjadi titik tekan utama dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Lamaholot. Cara pandang dan cara berpikir demikian membuat masyarakat Lamaholot meletakkan kerukunan, kebersamaan, dan keharmonisan sebagai sebuah kebutuhan pokok yang harus terpenuhi.

Nah, struktur dan ekosistem sosial demikian itu membuat falsafah mela sareka (perdamaian utuh) dapat tumbuh menjadi sarana integrasi sosial yang efektif dalam rangka mengembalikan kembali rasa kebersamaan, kerukunan, persatuan, dan harmonisitas sosial masyarakat Lamaholot. Esensi dari pada penyelesaian sengketa bukanlah pembalasan namun rekonstruksi kebenaran dan menyatunya kembali (rekonsiliatif) rasa kebersamaan sebagai sebuah kesatuan. Falsafah ini tentunya selaras dengan cita keindonesiaan dan semangat Pancasila yang meletakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, hikmat kebijaksanaan, dan keadilan sosial sebagai kesatuan organis yang memiliki keterkaitan respirokal.

Budaya mela sareka sendiri masih bertahan hingga saat ini. Mengejawantah secara sadar dan nyata dalam relung kehidupan sosio-kultural masyarakat Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur. Budaya mela sareka mengendap dalam entitas dan kultur sosial masyarakat Lamaholot sebagai sarana integrasi sosial bercita keindonesiaan dan bernafaskan semangat Pancasila yang meletakkan spiritualitas, rasa kemanusiaan, kebersatuan, kebijaksanaan, dan keadilan sosial sebagai asas landasan maupun tujuan dari pada penyelesaian sengketa/konflik yang terjadi dalam masyarakat Lamaholot. Semangat yang digaungkan oleh mela sareka tidak hanya sekadar mencari benar-salah dan ekses penghukuman namun lebih bertitik berat kepada proses rekonsiliatif baik secara individu, sosial-kolektif, dan vertikal-spiritual yang bermuara pada terwujudnya integrasi dan harmonisasi hidup sebagai sebuah kesatuan. Inilah nilai-nilai yang menjadi ciri khas leluhur bangsa Indonesia dan ideologi Pancasila yang seharusnya senantiasa dirawat dan dipelihara guna menjadi simbol kebanggaan bangsa Indonesia. Simbol kebanggaan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban nan luhur. Dengan demikian bangsa-bangsa di seluruh dunia akan memandang bangsa Indonesia dengan citra positif, penuh hormat dan rasa kekaguman yang tinggi.

Akhir sekali, mari kita memperkenalkan Indonesia melalui budaya dan kekhasannya. Mari angkat derajat bangsa Indonesia dimata bangsa-bangsa lain dengan merawat, menjaga, dan memelihara budaya dan kekhasan bangsa Indonesia. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mempertahankan budaya dan kekhasannya ditengah derasnya roda globalisasi dan guncangan kosmopolitanisme dunia.

           

Sabtu, 27 Juli 2019

EDUKASI DAN ADVOKASI SUPPORTER


Tadi malam saya mencoba "iseng" turut mengomentari postingan instagram manajer Persija Jakarta Ardhi Tjahjoko yang captionnya berisi keinginan untuk mengajukan re-schedule pertandingan melawan PSM Makassar hari ini (28/07) lantaran faktor keamanan dan keselamatan pemain. Komentar dari manajer Persija tersebut merupakan imbas dari pada ulah kurang sportif beberapa oknum supporter PSM yang melempari bus yang ditumpangi oleh skuad Persija saat hendak pulang menuju hotel sehabis melakukan latihan di stadion mattoanging. Akibat pelemparan tersebut beberapa bagian kaca bus pun pecah. Selain itu, ada official Persija yang harus menderita luka di matanya. Sungguh tindakan yang menciderai nilai sportifitas.

Nah, kembali pada pembahasan awal tadi,  postingan dari manajer Persija tersebut pun saya komentari dengan komentar yang agak provokatif hehehee. Komentar saya tadi malam (sudah saya hapus) sebagai berikut "kalau tidak mau maen mending pulang ke rumah saja minum susu di rumah". Komentar "nakal" saya tersebut sejujurnya hanya untuk memancing respons dari para supporter Persija saja hehe. Dan benar saja (perkiraan saya) respons yang saya terima adalah sumpah serapah baik melalui komentar balasan maupun melalui pesan (DM). Dari beberapa komentar tersebut bahkan ada yang sangat membuat saya trenyuh yakni adanya komentar yang mengancam akan membunuh saya. Akhirnya, demi kebaikan bersama saya pun menghapus komentar saya tersebut. Terlebih saya sudah mendapatkan "apa" yang saya dapat hehe.

Dari ulah oknum supporter PSM yang melempari bus yang ditumpangi skuad Persija dan dari ulah oknum supporter Persija yang membalas komentar saya di instagram manajer Persija secara "berlebihan" akhirnya saya berhasil menarik sebuah hipotesa bahwa supporter-supporter di Indonesia secara umum relatif mudah terprovokasi lalu melakukan tindakan anarkis baik fisik maupun verbal adalah karena minimnya kualitas sumber daya manusia.

Supporter di Indonesia mayoritas berusia muda. Gairah dan emosi menyala. Namun tanpa dibarengi intelektualitas memadai dalam mengejawantahkan makna, arti, esensi, dan tujuan dari sepak bola itu sendiri. Fanatisme buta terhadap klub kesayangan membunuh nalar dan akal sehat yang mereka miliki.

Oleh karenanya, solusi untuk mengatasi problematika laten supporter Indonesia tersebut (menurut saya) adalah dengan edukasi dan advokasi supporter. Edukasi supporter merupakan proses pendidikan dan internalisasi nilai-nilai fundamental dalam sepak bola baik secara umum misalnya nilai-nilai kemanusiaan, sportifitas, kejujuran, dan persahabatan serta secara khusus meliputi konstruksi peran supporter, kreatifitas dukungan, hingga lingkup fanatisme. Sedangkan advokasi adalah pendampingan dalam wujud komunikasi persuasif kepada para supporter agar mereka tidak keluar jalur dalam bingkai sportifitas maupun hukum positif.

Melalui pendekatan edukasi dan advokasi kepada supporter diharapkan para supporter akan memiliki pemahaman dan intelektualitas memadai dalam mengejawantahkan arti, makna, esensi, tujuan, dan peran strategis supporter dalam sepak bola. Hal ini tentunya dapat berimbas positif bagi kultur dan dinamika supporter dalam skala jangka panjang.

Tindakan edukasi dan advokasi supporter sendiri dapat dilakukan oleh intra-komunitas supporter itu sendiri, klub, gabungan supporter, polisi hingga PSSI. Sejauh yang saya amati, tindakan edukasi dan advokasi supporter di Indonesia masih belum lazim. Padahal guna membenahi kualitas sumber daya manusia para supporter, maka sangat urgen dilakukan edukasi dan advokasi supporter. Edukasi dan advokasi tersebut seharusnya dilakukan secara masif, repetitif, dan integratif dalam hal ini melibatkan peran aktif dari semua stakeholders sepak bola Indonesia.

Kita tahu bersama bahwa potensi fanatisme para supporter di Indonesia sangatlah besar. Maka, potensi yang sangat besar tersebut hendaknya bisa diarahkan dan didayagunakan untuk hal-hal yang bersifat positif, progresif, dan konstruktif guna turut mendukung dan membangun ekosistem sepak bola yang lebih profesional dan kondusif bagi pembumian prestasi.

Sayangnya, sejauh ini potensi dari para supporter Indonesia yang begitu besar tersebut belum terlalu optimal dibimbing/digali oleh klub dan disadari oleh para supporter itu sendiri. Klub di Indonesia secara umum relatif kurang memiliki rasa keterkaitan dengan para kelompok supporternya padahal aktifitas dan tindakan yang dilakukan supporter tentu memiliki imbas baik secara langsung maupun tidak langsung kepada klub baik negatif maupun positif. Sedangkan supporter sendiri secara umum relatif hanya terkungkung pada rasa fanatisme sempit pada klub yang mereka dukung dan belum mengejawantah dalam wujud fanatisme konstruktif bagi kemajuan sepak bola Indonesia dalam konteks nasional.

Lebih parahnya, fanatisme sempit tersebut sering diejawantahkan dengan hal-hal bersifat negatif bahkan menjurus kepada tindakan kriminal seperti membunuh, menganiaya, mengancam (persekusi), dan merusak fasilitas umum yang tentu akan memberikan efek kerugian baik bagi dirinya sendiri, bagi klub yang mereka dukung, maupun bagi kultur sepak bola secara umum.

Akhir sekali, saya percaya bahwa kualitas supporter sepak bola sejatinya merupakan cerminan dari pada kualitas masyarakat (manusia) dalam suatu negara. Adab supporter adalah manifestasi dari pada kondisi sosial, moral, dan budaya suatu negara. Oleh karenanya, apa yang ditunjukkan oleh para supporter sepak bola di Indonesia pada dasarnya adalah cerminan dari pada kualitas manusia Indonesia itu sendiri sekaligus cerminan dari kondisi sosial, moral, dan budaya bangsa ini. Suka tidak suka demikianlah adanya. Setidaknya menurut pendapat pribadi saya lho hehe.







Jumat, 26 Juli 2019

JANGAN MENJADI SPESIALIS RUNNER-UP #28JULIHARUSJUARA


28 juli besok akan menjadi sebuah hari yang ditunggu-tunggu oleh segenap supporter dan para pecinta klub PSM Makassar dimanapun berada. 28 Juli besok akan menjadi hari penentuan akankah Juku Eja mampu berpesta di Mattoanging sekaligus menuntaskan rindu dan dahaga juara yang telah tersemat 19 tahun lamanya di benak dan hati para supporter dan pecinta PSM.

Atau sebaliknya, 28 Juli besok akan menjadi hari dimana PSM Makassar kembali “terpaksa” merelakan piala yang sudah berada di depan mata kepada klub lain, dalam hal ini Persija Jakarta sekaligus memperpanjang getir rindu akan sebuah kehormatan menjadi sang juara.

Jika peristiwa kedua yang terjadi, maka dapat dipastikan tangisan sendu akan kembali mengalir dimata para pemain, manajemen, staff pelatih, dan khususnya supporter dan pecinta PSM. Bagaimana tidak, dua musim berturut-turut kita nyaris melihat PSM juara namun pada akhirnya gagal. Pada liga 1 musim 2017 PSM finis di posisi ketiga dan pada musim 2018 lalu PSM finis di posisi “langganan” yakni juara kedua alias runner-up. Mengapa juara kedua alias runner-up saya sebut sebagai posisi langganan PSM, karena faktanya PSM adalah klub peraih runner-up terbanyak di liga Indonesia yakni sebanyak 5 kali (1995-1996, 2001, 2003, 2004, 2018). Semoga saja 28 Juli nanti PSM bisa benar-benar juara bukan hanya sekadar kata“nyaris”.

Ya, 28 Juli besok menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh segenap supporter dan pecinta PSM dimanapun berada (termasuk saya) karena pada tanggal tersebut akan di helat partai final leg kedua Piala Indonesia antara tuan rumah PSM Makassar melawan tamunya Persija Jakarta di Stadion Mattoanging Makassar. Juku Eja akan gantian menjamu sang lawan tim ibukota Macan Kemayoran.

Pada leg pertama lalu Macan Kemayoran  yang bertindak sebagai tuan rumah berhasil mempecundangi Juku Eja dengan skor tipis 1-0. Laga ketat yang tersaji di Stadion Gelora Bung Karno 21 Juli lalu menjadi saksi keperkasaan Persija atas PSM. Dengan tertinggal agregat 1-0 tentu PSM setidaknya harus mampu menggulung Persija dengan skor 2-0 pada leg kedua 28 Juli nanti guna mengamankan gelar juara. Kekalahan 1-0 di Jakarta 21 Juli lalu mengharuskan PSM untuk bermain hati-hati sekaligus agresif pada leg kedua nanti. Hati-hati tentunya agar tidak kebobolan, karena jika sampai kebobolan akan menjadi sebuah kondisi yang lebih menyulitkan bagi PSM, kebobolan 1 gol saja, maka PSM harus mencetak minimal 3 gol ke gawang Persija jika ingin juara. Di sisi lain, PSM mau tidak mau juga harus bermain agresif guna mengejar dan membalikkan defisit gol atas Persija.

Minimal, PSM harus mampu menjaringkan dua gol ke gawang Persija tanpa kebobolan jika ingin langsung juara tanpa babak perpanjangan atau adu penalti. Dengan kondisi demikian (unggul agregat 1-0), Persija banyak diprediksi akan bermain lebih bertahan dengan mengandalkan serangan balik. Tentunya hal ini harus di waspadai oleh lini pertahanan PSM mengingat lini depan Persija di huni oleh pemain-pemain berkualitas, seperti Simic, Riko Simanjuntak, dan Bruno Matos.

Pada final leg kedua 28 Juli besok kekuatan PSM juga sedikit pincang dengan bakal absennya 2 pemain kunci PSM. Sang metronom Wiljan Pluim diprediksi absen karena masih dibekap cedera kalaupun dipaksa main tentu performanya tidak akan maksimal sedangkan gelandang pengangkut air Marc “gladiator” Klok dipastikan absen lantaran akumulasi kartu. Absennya dua pemain kunci PSM tersebut tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi kekuatan Juku Eja, apalagi pelapis lini tengah hanya ada Rasyid Bakri dan M. Arfan. Akan tetapi, sebagaimana hakikat dan marwah partai final, Partai final adalah pertandingan mental bukan sekadar partai teknik dan skill.

Oleh karenanya, partai 28 Juli besok akan menjadi saksi siapakah diantara PSM dan Persija yang lebih memiliki mental juara. Mental akan menjadi aspek penentu dan krusial dalam jalannya pertandingan nanti.

Bermain di Mattoanging, stadion yang terkenal angker bagi tim tamu dengan dukungan puluhan ribu supporter fanatik PSM yang lapar akan gelar juara semoga saja bisa membakar mental dan semangat bertanding para pemain PSM. Pemain PSM harus bermain dengan semangat sirri na’ pacce yakni bertanding bukan sekadar untuk menang dan meraih juara namun juga demi kehormatan dan harga diri masyarakat Sulawesi Selatan.

Dalam falfasah Bugis ada sebuah petuah sakral yang berbunyi: Resopa temmangingi na malomo naletei pammase dewatae yang artinya: hanya perjuangan dan kerja keras yang terus menerus yang akan mendapatkan ridho dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya, pesan saya kepada para pemain PSM, bermainlah dengan hasrat juara, ambisi membara, gairah menyala, hati nan penuh keyakinan, bertarunglah demi kerhormatan dan harga diri baik harga diri pribadi (sebagai pemain), harga diri klub, dan harga diri masyarakat Sulawesi Selatan sebagai tanah leluhur klub PSM Makassar. Berjuanglah dengan perjuangan dan kerja keras yang habis-habisan bahkan berdarah-darah sekalipun agar ridho Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki PSM menjadi juara.

19 tahun adalah waktu yang sangat teramat lama bagi klub sebesar PSM menahan puasa juara. Kini gelar juara itu telah ada di depan mata. Jangan sia-siakan kesempatan itu atau menyesal selamanya.

Jangan menjadi spesialis runner-up. #28JuliHarusJuara.

Sabtu, 20 Juli 2019

BEGAL SAJA BERHATI NURANI




Kipo, seorang pemuda yang telah 2 tahun menganggur mulai jengah dengan kondisi dan rutinitas hidupnya. Bagaimana tidak, sejak pulang dari Hongkong sebagai tenaga kerja Indonesia 2 tahun lalu, Kipo tidak kunjung mendapat pekerjaan. Hari-harinya pun diisi dengan ngopi, ngudud dan nongkrong ngalor-ngidul berbekal uang tabungan hasil bekerja selama dua tahun di Hongkong yang semakin hari kian terkuras dan menipis. 

Selain itu, berbekal ijasah SMA Kipo juga sibuk melamar ke beberapa pabrik di berbagai kota di Indonesia. Namun malangnya tak ada satu pun yang mau menerima lamaran Kipo. Di usianya yang kini menginjak 28 tahun Kipo juga masih jomblo, terlebih dalam strata kelas perjombloan, bisa dibilang Kipo masuk kategori jomblo ngenes alias selalu ditolak perempuan yang disukainya. 

Bahkan dalam konteks perjombloan nasib Kipo jauh lebih naas dari pada perihal soal pekerjaan, jika dalam pekerjaan ia baru menganggur 2 tahun, nah dalam konteks percintaan ia telah menganggur (menjomblo) selama 15 tahun. Pertama dan terakhir kali Kipo merasakan pacaran adalah pada saat ia duduk di kelas 1 SMP atau saat dia berusia 13 tahun. Beban psikis karena telah menganggur selama 2 tahun dan juga kondisi hati yang kering akan cinta karena 15 tahun menjomblo membuat Kipo frustasi. Kipo merasa dunia ini sangat kejam padanya.

Di saat Kipo mulai frustasi datanglah Keceng, teman sekampung Kipo yang juga telah satu tahun menganggur selepas bekerja menjadi awak kapal. Keceng yang juga seorang jomblo ngenes ini secara khusus mendatangi Kipo di rumahnya. Keceng yang sejak kecil memiliki bibit kriminalitas seperti mencuri hingga mencopet mencoba mengajak Kipo untuk melakukan pekerjaan haram yakni begal. “Po kamu mau pekerjaan santai, pendapatannya besar, dan jam kerjanya sebentar” ucap Keceng mencoba merayu Kipo. Kipo lantas menjawab “Ah mana ada itu ceng pekerjaan yang seperti itu enak bener kalau pun ada itu pasti jabatan bos-bos”. “Ah siapa bilang, ada kok sini tak bisikkin” Keceng pun membisikki Kipo hingga membuat Kipo terkejut dan berkata “Apa ! begal hmm (berpikir agak lama)....... boleh sih tapi jangan sampai membunuh ya” balas Kipo. Singkat cerita, Kipo akhirnya bersepakat dengan Keceng untuk menjadi begal. Rencananya, Kipo dan Keceng akan melakukan aksi pembegalan di sekitar jalan perlintasan kampungnya ke arah kota seberang dimana kondisinya tergolong sepi.

Malam itu, Keceng dan Kipo pun melancarkan aksi perdana mereka sebagai begal berbekal senjata tajam parang serta penutup wajah. Sekitar pukul 11 malam mereka sudah stand by di lokasi tempat pembegalan. Tak lama, korban begal pertama Keceng dan Kipo pun datang. Kipo dan Keceng langsung mencegat korban tersebut yang ternyata seorang perempuan paruh baya. Keceng dan Kipo dengan wajah bengis mencoba merampas motor korban. Namun si korban justru dengan lirih berkata: “Mas saya ini seorang perempuan tulang punggung keluarga, saya sudah tidak memiliki suami, suami saya kabur meninggalkan saya dan anak-anak saya karena tergila-gila dengan perempuan lain, saat ini saya bekerja siang malam sebagai tukang pijit untuk menghidupi dua anak saya yang masih kelas 8 SMP dan kelas 2 SD. Jika motor saya ini kalian rampas, saya tidak bisa bekerja. Lalu siapa yang akan menghidupi dua anak saya dan membiayai sekolah mereka”. Melihat jawaban perempuan itu Kipo dan Keceng pun tiba-tiba menjadi melankolis, hati nurani mereka terhenyak akan perjuangan dan kemalangan nasib perempuan paruh baya yang hendak mereka begal ini. Bahkan Kipo sempat menitihkan air mata prembik-prembik seperti halnya saat anak kecil dimarahi ibunya karena buang air besar sembarangan.

Akhirnya, Keceng dan Kipo mengurungkan niatnya untuk membegal perempuan itu justru sebaliknya, Keceng dan Kipo malah memberikan uang yang ada di dompet mereka masing-masing 100 ribu untuk perempuan itu. Keceng dan Kipo berkata “Ini uang untuk anak-anak ibu di rumah ya, walaupun sedikit semoga bermanfaat”. “Iya mas terimaksih banyak, alhamdulillah dapat rezeki tambahan dari mas-mas begal yang baik hati ini” Jawab perempuan itu dengan wajah sumringah karena tidak jadi dibegal dan malah dikasih uang.

Ditengah himpitan ekonomis dan beban psikologis karena menganggur plus hidup yang kering akan cinta karena belasan tahun menjomblo, toh Kipo dan Keceng nyatanya tetap memiliki hati nurani. Nah, jika seorang begal saja dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial yang pas-pasan saja pada titik tertentu masih memiliki hati nurani apa tidak malu itu para pejabat dan wakil rakyat yang hidupnya penuh dengan kehomatan, aksesbilitas pendidikan tinggi, gelimang harta, dan fasilitas mewah justru tidak memiliki nurani dan belas kasihan menilap uang rakyat (korupsi) untuk memuaskan syahwat duniawinya. Melacurkan amanat dan menyengsarakan rakyat pada kondisi kemelaratan.

Miris ya lurrrrrrr.