Minggu, 22 Maret 2020

PUISI: TENAGA MEDIS


Bersabung nyawa demi sebuah pengabdian

Berada di garda terdepan menghalau bengisnya corona

Mengemban amanah dan dedikasi demi sehatnya bumi pertiwi

Walau lelah mendera. Walau bahaya menerka. Tidak surut pengabdian mu

Dalam hening, doa khidmat seluruh rakyat selalu terpanjat

Untuk mu yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa semoga selalu dalam lindungan Maha Kuasa






Kamis, 19 Maret 2020

MEMBANGUN DEMOKRASI SUBSTANSIAL


Secara yuridis-konstitusional negara Indonesia menasbihkan diri sebagai negara demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Diksi “kedaulatan rakyat” yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) konstitusi kita tersebut menegaskan nilai yuridis-formal negara Indonesia sebagai negara demokrasi.

Tak hanya sampai disitu, unsur-unsur prinsipil dari negara demokrasi juga kita miliki dalam konstitusi. Diantaranya: adanya jaminan dan perlindungan HAM (Bab XA), adanya kebebasan mengemukakan pendapat (Pasal 28 E), adanya pemilu yang langsung, bebas, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh lembaga pemilu yang merdeka, tetap, dan mandiri (Bab VII B), adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka (Bab IX), serta adanya pembatasan kekuasaan eksekutif (Pasal 7).

Demokrasi sendiri secara praktis maupun teoritik mengandung arti sebagai sistem pemerintahan di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Secara lebih sederhana, Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian, dalam sistem demokrasi, rakyat pada dasarnya merupakan subyek sekaligus obyek dalam jalannya roda pemerintahan negara.

Secara historis, Indonesia sendiri pernah mengalami beberapa fase-fase demokrasi. Dimulai dari demokrasi liberal, demokrasi termpimpin, hingga demokrasi “semu” era orde baru. Selepas reformasi, dengan diiringi semangat restorasi kebangsaan, seluruh elemen bangsa pun bersepakat untuk membangun negara Indonesia ini dengan landasan demokrasi substansial, demokrasi yang seutuhnya dengan tujuan untuk membawa negara ini menuju kemaslahatan dan kesejahteraan bersama (welfarestate) sebagaimana cita-cita dan tujuan berdirinya negara ini.

Struktur (kelembagaan) dan substansi (aturan) sebagai penopang guna mewujudkan demokrasi substansial pun dibangun secara lebih baik dari waktu ke waktu. MK dibentuk, KPK dibentuk, KPU dibentuk, Bawaslu dibentuk, DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dibentuk, kebebasan pers dijamin dalam Undang-Undang, Undang-Undang Pemilu juga intens dievaluasi. Melihat realitas demikian, dapat dikatakan sejujurnya kita telah memiliki infrastruktur dan suprastruktur demokrasi yang memadai guna mendukung terwujudnya demokrasi substansial. Sayangnya, iklim dan ghiroh demokrasi substansial yang menjadi blue print kebangsaan kita pasca pemilu justru mengalami anomali.

Demokrasi kita selepas reformasi justru makin kental dengan ekses-ekses negatif seperti praktik korupsi, politik uang, mahar politik, pragmatisme politik, hingga friksi-friksi yang dilatarbelakangi pilihan politik. Demokrasi kita saat ini malah mawujud sebagai sarang penyamun yang berkontribusi besar dalam menghambat kemajuan bangsa.

Demokrasi kita saat ini hanya merepresentasikan nilai demokrasi prosedural, tidak mampu menjangkau nilai fungsional dari esensi demokrasi. Salah satu “virus” kuat yang menghambat terwujudnya demokrasi substansial adalah menguatnya oligarki politik. Kuatnya pengaruh oligarki politik membuat sistem dan proses demokrasi (pemilu) hanya menjadi sarana oportunis para oligarki politik untuk meraih keuntungan pragmatis.

Fenomena oligarki politik secara sederhana dapat kita lihat dari bagaimana para pemilik modal (pengusaha) menguasai kancah perpolitikan kita. Elite-elite politik dan pemilik “saham” politik mayoritas dipegang oleh para kaum pemilik modal. Hal ini secara tidak langsung memberi sinyalemen kuat bahwa modal kapitalah yang memegang peranan penting dalam kancah dinamika politik dan entitas demokrasi kita dengan menginferiorkan modal kompetensi dan integritas.

Di Indonesia, kelompok oligarki memiliki pergulatan sejarah dan selalu berkelindan dalam dinamika zaman. Meski aktornya berubah, namun wataknya selalu sama. Reorganisasi adalah kunci kaum oligarki dalam menancapkan eksistensinya. Menurut Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy (2011), kaum oligarki mengandalkan kekuatan sumber daya materil sebagai basis pertahanan kekayaan yang mereka miliki, hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketimpangan materil. Ketimpangan materil tersebut kemudian menghasilkan sebuah realitas ketidaksetaraan politik.

Meskipun dalam demokrasi, hak dan akses terhadap proses politik secara formal sama, namun secara empirik, kemampuan materil yang tidak seimbang dalam dimensi horizontal masyarakat telah menyebabkan terjadinya ketimpangan hak dan akses dalam proses politik. Panggung politik seolah-olah hanya menjadi hak previlege kaum orang kaya saja. Dalam pengertian lain, semakin tidak seimbang distribusi kekayaan materil (kesenjangan sosial-ekonomi), maka akan semakin besar pula pengaruh dan otoritas kaum orang kaya dalam mengendalikan ranah politik untuk motif dan tujuan politiknya. Hal inilah yang menyebabkan demokrasi bertransformasi menjadi sarana politik-pragmatis kaum oligarki bukan lagi sarana fungsional untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Membangun Demokrasi Berkelanjutan

Menurut hemat saya ada beberapa hal penting yang harus direstorasi guna membangun demokrasi substansial sekaligus demokrasi berkelanjutan yang merupakan basis politik guna mewujudkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan kemaslahatan bersama. Beberapa hal penting yang perlu direstorasi, saya bagi kedalam 3 tahapan yakni jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek, dimana ketiganya harus dibangun secara integral, komunal, dan berkesinambungan.

Pertama, jangka panjang. Pembenahan jangka panjang yang harus dilakukan guna membenahi struktur demokrasi kita adalah bagaimana mengkis kesenjangan sosial-ekonomi, sehingga distribusi kekayaan materil dapat teralokasi merata. Hal ini akan memiliki implikasi penting terhadap terwujudnya kesetaraan hak dan akses dalam proses politik. Eksesnya, modal kapasitas dan integritas dengan semangat kolektif-substantif akan memegang kendali atau setidaknya memiliki pengaruh dalam ranah politik. Sebaliknya, jika kesenjangan sosial masih tinggi, maka ranah politik akan selalu dikuasai dan menjadi sarana pragmatis kaum-kaum oligarki (pemilik modal). Perlu diketahui, indeks gini ratio kita masih berada di angka 0,382 (data BPS bulan Maret 2019). Sebuah angka yang menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia masih berada di tahap yang mengkhawatirkan. Untuk itu, pemerintah harus selalu kita dorong agar memiliki pollitical will melalui kebijakan-kebijakannya guna mereduksi angka kesenjangan sosial-ekonomi.

Kedua, jangka menengah. Penguatan gerakan sosial yang berfungsi sebagai kanalisator agar ruang demokrasi tetap sehat. Gerakan sosial disini berperan guna mengadvokasi sekaligus membangun pastisipasi dan rasa kesadaran akan hak dan kewajiban masyarakat dalam berdemokrasi. Misalnya dengan membuat gerakan sosial anti politik uang. Selain penguatan gerakan sosial, aspek jangka menengah yang harus dibenahi adalah bagaimana membangun idealisme dan peran kontributif parpol melalui restorasi sistem politik yang lebih kondusif. Misalnya dengan membuat kebijakan pembiyaan parpol melalui APBN agar akuntabilitas dan transparansi parpol dapat terjaga.

Ketiga, jangka pendek. Penegakan hukum secara adil dan konsekuen dalam proses demokrasi (pemilu). Proses demokrasi bisa fungsional jika nomokrasi dapat ditegakkan secara nyata. Zero tolerance (penegakan hukum) terhadap kecurangan dalam proses demokrasi adalah kunci membangun demokrasi yang substansial, fungsional, dan produktif.

CORONA DAN MENTALITAS ORANG INDONESIA



Virus covid-19 atau yang lebih familiar disebut virus corona kini telah berstatus pandemi. Pandemi adalah penyakit yang menyerang orang dalam jumlah yang banyak dan terjadi di banyak tempat. Hingga saya menulis artikel ini telah ada 152 negara yang mengonfirmasi terinfeksi covid-19 tak terkecuali Indonesia.

Di Indonesia sendiri, hingga tanggal 19 Maret 2020 ada 309 pasien yang positif terinfeksi corona, 25 pasien meninggal, dan 15 pasien sembuh. Persebaran virus corona yang begitu cepat dan masif tentunya harus segera ditanggulangi oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan publik sekaligus pemegang amanat pembukaan UUD khususnya dalam konteks ini kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ada beberapa sarana untuk menanggulangi persebaran virus corona.

Pertama, lockdown atau pembatasan gerak dan aktivitas warga secara ketat. Menurut hemat saya sarana lockdown akan compatible jika diterapkan di negara yang sistem ekonominya mapan dan kuat yakni di negara-negara maju. Jika lockdown diterapkan di negara berkembang sebagaimana Indonesia tentunya dapat berimbas negatif terhadap stabilitas perekonomian. Pendekatan lockdown sendiri mengharuskan negara untuk memenuhi segala kebutuhan dasar warganya yang mana tentu akan memakan biaya sangat besar. Pendekatan lockdown sejauh ini diterapkan oleh Italia dan China.

Kedua, pendekatan drive thru dengan membuka layanan pemeriksaan dan pengecekan corona di banyak tempat terutama di daerah-daerah yang potensial terjangkit virus corona. Pendekatan drive thru ini juga akan memakan biaya tinggi (high cost). Negara yang melakukan pendekatan drive thru dalam menanggulangi corona adalah Korea Selatan.

Ketiga, pendekatan social distancing. Pendekatan ini menitikberatkan pada pembatasan interaksi sosial antar warga demi mencegah penularan dan penyebaran virus corona. Pendekatan social distancing ini akan berhasil manakala para warga memiliki awareness yang tinggi dalam menjaga dan membatasi diri dari interaksi dengan dunia luar. Sejauh ini pendekatan social distancing lah yang dipilih oleh pemerintah untuk menanggulangi persebaran virus corona. 

Konsekuensi logisnya, pendekatan ini memerlukan sebuah kesadaran baik secara pribadi maupun kolektif dari warga masyarakat untuk menjaga diri sendiri agar tidak tertular maupun menulari orang lain dengan jalan membatasi interaksi sosial. Di sisi lain, pemerintah juga telah menyiapkan beberapa rumah sakit terpadu di seluruh penjuru Indonesia guna siap siaga menampung pasien baik suspect maupun positif terinfeksi corona agar bisa mendapatkan penanganan medis yang memadai.

Mentalitas Orang Indonesia

Dipilihnya pendekatan sosial distancing pemerintah dalam upaya menanggulangi persebaran virus corona membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang stimulatif untuk mendukung berhasilnya pendekatan social distancing seperti kebijakan “meliburkan” siswa untuk belajar dari rumah dan kebijakan (himbauan) bagi ASN untuk bekerja dari rumah. Pemerintah juga telah menghimbau kepada masyarakat luas agar menghindari acara-acara yang bersifat kerumunan. Kebijakan tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk mengurangi interaksi sosial dan kerumunan agar persebaran virus corona tidak semakin meluas.

Pendekatan social distancing ini akan berhasil manakala para warga memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjaga dan membatasi diri dari interaksi dengan dunia luar. Sayangnya, mental untuk sadar dan aware terhadap bahaya virus corona relatif kurang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang dikenal memiliki mentalitas ngeyel.

Himbauan untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan menghindari kerumunan justru kontradiksi dengan apa yang terjadi di lapangan, masih banyak ditemui para warga masyarakat yang malah memanfaatkan himbauan stay at home untuk liburan ke tempat pariwisata, pergi ke mall, hingga mengunjungi sanak keluarga. Inilah realita yang menunjukkan bahwa mentalitas orang Indonesia memang ngeyel dan susah diatur.

Mentalitas seperti itulah yang menurut (hipotesa) saya turut berperan besar membuat bangsa Indonesia sulit melangkah sebagai negara yang memiliki peradaban maju. Perihal mentalitas, kita hendaknya mau dan bisa belajar kepada negara-negara maju, Jepang misalnya. Jepang dikenal sebagai negara yang memiliki penduduk dengan tingkat kedisiplinan dan ketaatan pada aturan yang sangat tinggi hingga dijuluki sebagai straitjacket society. Dengan mentalitas seperti itulah Jepang akhirnya bisa tumbuh dan berkembang sebagai negara yang maju. Maka dari itu, gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh Jokowi untuk merestorasi mental-mental negatif manusia Indonesia sejujurnya adalah sebuah langkah brilian meskipun secara implementasi, gerakan tersebut sejauh ini belum menghasilkan efek yang memuaskan.

Kembali soal social distancing. Sebagaimana saya jelaskan diatas bahwa keberhasilan pendekatan social distancing akan sangat ditentukan dari kesadaran setiap pribadi untuk aware dan peka terhadap bahaya virus corona dengan stay at home, study at home, dan work from home. Selama minim kesadaran dari warga masyarakat terhadap bahaya persebaran virus corona (tidak melakukan social distancing), maka persebaran virus corona niscaya akan sulit dihentikan.

Maka dari itu, di tengah mentalitas susah diatur masyarakat Indonesia, pemerintah hendaknya tidak boleh patah arang untuk tetap dan terus melakukan himbauan secara masif kepada warga masyarakat akan bahaya virus corona. Ekses yang diharapkan oleh pemerintah tentunya adalah masyarakat mentaati himbauan pemerintah untuk melakukan social distancing. Di sisi lain para warga masyarakat hendaknya juga saling mengingatkan satu sama lain secara lebih intens.

Solusi

Pemerintah telah memilih pendekatan social distancing untuk menanggulangi persebaran virus corona. Di sisi lain, pendekatan social distancing ini juga harus dipraksiskan serta dicover dengan langkah-langkah strategis agar persebaran virus corona bisa segera ditanggulangi. Langkah-langkah strategis tersebut memiliki dimensi preventif, represif, komunikatif, dan stimulatif yang harus dilaksanakan secara integral.

Dimensi preventif, pemerintah harus mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menekan persebaran virus corona. Misalnya memastikan ketersediaan masker baik secara kuantitas maupun biaya (murah), memberikan bantuan disinfektan untuk membasmi virus, memberikan bantuan vitamin, memberikan stimulus ekonomis kepada golongan masyarakat miskin, kebijakan pembatasan akses keluar dan masuk, dari dan ke Indonesia hingga himbauan keras bagi warga masyarakat agar tidak membuat acara-acara yang bersifat kerumunan.

Dimensi represif, pemerintah harus memastikan ketersediaan rumah sakit yang memadai secara kualitas dan kuantitas untuk menangani pasien, baik yang berstatus suspect maupun positif terinfeksi virus corona agar bisa segera sembuh kembali.

Dimensi komunikatif, pemerintah harus selalu intens memberikan update informasi secara komprehensif mengenai perkembangan virus corona khususnya di wilayah Indonesia. Komunikasi dan informasi yang akurat dan up to date dari pemerintah akan menjadi preferensi utama bagi publik dan khalayak umum dalam mengambil sikap.

Dimensi stimulatif, pemerintah hendaknya memberikan insentif kepada para petugas medis yang saat ini tengah berjuang untuk menanggulangi virus corona. Para petugas medis inilah pihak yang memiliki resiko tinggi terjangkit virus corona karena tugas dan pengabdian mereka mengharuskan mereka untuk berinteraksi dengan pasien suspect maupun positif corona. Para petugas medis di seluruh Indonesia telah memberikan segala dedikasi baik ilmu, waktu, tenaga, resiko dan psikologisnya untuk menanggulangi virus corona. Maka dari itu, saya kira sangat layak mereka mendapatkan insentif dari pemerintah atas dedikasi yang luar biasa tersebut.

Akhir sekali, marilah kita bersinergi bersama sesuai peran dan porsinya masing-masing untuk memutus rantai persebaran virus corona. Kesampingkan terlebih dahulu tendesi apapun, fokus terhadap apa yang menjadi tugas, peran, dan kewajiban kita. Mari berdoa dan berusaha agar virus corona ini segera berakhir, sehingga aktivitas kita bisa kembali normal seperti sedia kala.
           
           
           

Rabu, 18 Maret 2020

PUISI: GILA POLITIK


Ketika fanatisme mengesampingkan realita, semua menjadi tidak baik-baik saja

Saat peristiwa hanya dijadikan alat menghakimi sesama, semua menjadi tidak baik-baik saja

Ketika hasrat menghujat yang berbeda menguasai pikiran, semua menjadi tidak baik-baik saja

Dalam hening hati kecil ku mengeluh

Di mana Indonesia ku yang dulu ?

Indonesia yang bhinneka, gotong royong, dan harmonis

Indonesia nan riang penuh canda tawa

Namun, semua kini tinggal cerita masa lalu

Gila politik telah merenggut semuanya

Politik laknat !

110 TAHUN PT SEMEN PADANG: TELAH BERBUAT SEBELUM YANG LAIN MEMIKIRKAN


18 Maret 2020, PT Semen Padang merayakan ulang tahunnya yang ke 110. Sebuah usia nan panjang yang patut untuk disyukuri sekaligus menjadi sumber inspirasi kepada kita semua akan sebuah nilai eksistensi. PT Semen Padang terbukti mampu menjaga eksistensi diri dari era kolonial hingga era milenial. PT Semen Padang sendiri berdiri pada tanggal 18 Maret 1910, saat berdiri, PT Semen Padang merupakan perusahaan semen pertama di Indonesia sekaligus perusahaan semen pertama di Asia Tenggara. Bisa dikatakan bahwa PT Semen Padang merupakan inisiator sekaligus inspirator bagi lahirnya perusahaan-perusahaan semen di Indonesia maupun Asia Tenggara.

Secara historis, lahirnya PT Semen Padang tentunya tidak bisa dilepaskan dari pergulatan sejarah Sumatera Barat dan bangsa Indonesia pada masa pra-kemerdekaan. Sejalan dengan hal tersebut, jurnalis senior Khairul Jasmi mengatakan bahwa sejarah keberadaan PT Semen Padang selama satu abad lebih telah berjalin dan berkelindan dengan sejarah masyarakat Minangkabau serta bangsa Indonesia pada umumnya. Menurut Khairul Jasmi, PT Semen Padang merupakan bagian penting dari sejarah modernisasi dan industrialisasi di Indonesia.

Sejarah berdirinya PT Semen Padang berawal pada tahun 1906 ketika seorang perwira Belanda berkewarganegaraan Jerman, Carl Christopus Lau menemukan batu-batu yang menarik perhatiannya di wilayah Bukit Ngalau dan Bukit Karang Putih, Nagari Lubuk Kliangan. Batu-batu tersebut berjenis batu kapur dan batu silika. Selanjutnya, oleh Carl Christopus, batu-batu tersebut dikirim ke Belanda untuk diteliti kandungan dan manfaatnya. Hasilnya, batu kapur dan batu silika tersebut dapat dijadikan bahan baku untuk membuat semen.

Hasil penelitian tersebut kemudian mendorong Christopus Lau mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk dibangun pabrik semen di Indarung, setelah menunggu kurang lebih 7 bulan akhirnya permohonan Christopus Lau disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya, setelah pemerintah Hindia Belanda menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan seperti Firma Gebroeders Veth, Firma Dunlop, dan Firma Yarma and Soon, akhirnya pada tanggal 18 Maret 1910 berdirilah NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij’ (NV NIPCM) dengan akta notaris Johannes Pieder Smidth di Amsterdam. Pada tanggal 5 Juli tahun 1958, perusahaan ini akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, selama periode inilah PT Semen Padang mengalami proses restorasi dan pengembangan kapasitas pabrik yang signifikan.

Telah Berbuat Sebelum Yang Lain Memikirkan

PT Semen Padang telah bekontribusi nyata sebelum yang lain memikirkan, premis ini berangkat dari fakta bahwa PT Semen Padang merupakan perusahaan semen pertama di Indonesia maupun Asia Tenggara. Kalau saja tidak ada PT Semen Padang mungkin masyarakat Indonesia akan lebih lama atau bahkan tidak bisa melihat kemegahan Monumen Nasional (Monas), Gedung MPR/DPR di Senayan, Hotel Indonesia, Jembatan Ampera, serta berdirinya pabrik-pabrik semen lainnya di Indonesia. Jika tidak ada PT Semen Padang, mungkin pemerintah Indonesia akan selalu mengimpor semen dari luar yang mungkin akan kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Hal ini merupakan fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan. Dalam pergulatan sejarah bangsa ini, PT Semen Padang telah berbuat nyata dan berkontribusi besar bagi pembangunan negeri (fisik) ini bahkan sebelum yang lain memikirkannya.

Di sisi lain, sepanjang 110 tahun berdiri, PT Semen Padang sendiri juga telah banyak memberikan sumbangsih dan kontribusi positif bagi masyarakat khususnya kepada masyarakat di Sumatera Barat maupun pada masyarakat Indonesia secara umumnya. PT Semen Padang telah banyak berkontribusi di bidang baik sosial, kesehatan dan lingkungan, ekonomi, pendidikan, hingga olah raga. Dapat dikatakan bahwa PT Semen Padang merupakan perusahaan pertama yang mampu berkarya dan berkontribusi di segala dimensi kehidupan manusia. Fakta ini, lagi-lagi menunjukkan bahwa PT Semen Padang mampu berkontribusi dan memberikan sumbangsih nyata bahkan sebelum yang lain memikirkannya.

Kontribusi PT Semen Padang di bidang sosial telah terukir panjang sejalan dengan berdirinya PT Semen Padang itu sendiri. Pada awal tahun 2020, survey Iconomic telah menempatkan PT Semen Padang sebagai perusahaan terdepan di bidang Corporate Social Responsibility (CSR). Penghargaan ini sekaligus memperpanjang koleksi penghargaan yang pernah diraih PT Semen Padang di Bidang CSR, di antaranya pada tahun 2014 lalu PT Semen Padang memborong 13 penghargaan pada ajang Indonesian CSR Award yang diselenggarakan oleh Corporate Forum for Community Development (CFCD), pada tahun 2017 PT Semen Padang juga memborong 15 penghargaan di ajang Indonesian CSR Award, di tahun yang sama juga meraih penghargaan Indonesian Suistainable Development Goals Award, kemudian di tahun 2018 PT Semen Padang berhasil menggondol 3 penghargaan TOP CSR 2018. Segala prestasi dan penghargaan tersebut telah menjadi bukti nyata sumbangsih PT Semen Padang di bidang sosial kemasyarakatan.

Kemudian di bidang kesehatan PT Semen Padang juga telah berkontribusi nyata dengan adanya Semen Padang Hospital yang berdiri sejak tahun 1970. Tidak hanya membangun rumah sakit, PT Semen Padang juga sangat konsisten dan peduli terhadap kelestarian lingkungan yang memiliki efek respirokal terhadap entitas kesehatan. Hal ini terbukti dengan diraihnya penghargaan TOP CSR 2018 di bidang pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa PT Semen Padang selalu konsisten berkontribusi di bidang kesehatan dan lingkungan hidup.

Kemudian di bidang ekonomi, PT Semen Padang telah menjelma sebagai entitas yang menjadi soko guru penyokong bagi tumbuhnya perekonomian khususnya di wilayah Sumatera Barat. PT Semen Padang memberikan sumbangan besar terhadap Pendapatan Asli Daerah Sumatera Barat melalui pembayaran pajak dan retribusi. Dari sektor mikro, PT Semen Padang sejak tahun 2018 lalu membina sebanyak 1.723 UMKM mitra binaan. Selain itu, sejak tahun 2017 PT Semen Padang juga memiliki Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). PT Semen Padang tercatat UPZ Baznas pertama di antara anak perusahaan BUMN PT Semen Indonesia. Zakat disini memiliki fungsi sosial untuk pemerataan ekonomi. Fakta ini lagi-lagi menunjukkan bahwa PT Semen Padang telah berbuat sebelum yang lain memikirkannya.

Di bidang pendidikan, PT Semen Padang juga memiliki peran kontrsuktif guna mendorong terwujudnya SDM unggul dengan jalan memberi ribuan beasiswa pendidikan kepada siswa SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. PT Semen Padang juga mendirikan Yayasan pendidikan Igasar yang menaungi sekolah TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Di bidang olah raga, kontribusi PT Semen Padang juga sangat besar. PT Semen Padang telah membina 26 cabang olah raga dibawah komando Forum Komunikasi Karyawan Semen Padang (FKKSP), berbagai prestasi pun telah diukir baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Selain itu, eksistensi klub sepak bola profesional kebanggaan masyarakat Minang, PS Semen Padang juga tidak lepas dari peran dan dukungan dari PT Semen Padang. Pada prinsipnya, PT Semen Padang telah memberikan peran dan sumbangsih nyata dalam berbagai bidang dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. PT Semen Padang telah berbuat nyata sebelum yang lain memikirkannya.

Nilai Kehidupan

Ada dua nilai kehidupan (inspirasi) yang dapat kita petik dari perjalanan 110 tahun eksistensi PT Semen Padang. Pertama, nilai eksistensi. Mampu bertahan selama 110 tahun bukanlah sebuah hal yang mudah. Sejarah panjang telah dilewati PT Semen Padang, sungguh pencapaian yang luar biasa. Kunci eksistensi PT Semen Padang bisa bertahan selama 110 tahun adalah pada dedikasi sepenuh hati, pengabdian, kerja keras, kreativitas, dan integritas dari seluruh komponen PT Semen Padang. Nilai-nilai nan luhur tersebut hendaknya dapat kita petik dan menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan kita.

Kedua, nilai kepedulian. Tidak hanya tentang eksistensi, perjalanan panjang 110 tahun PT Semen Padang juga memberikan suri tauladan akan sebuah nilai kepedulian. PT Semen Padang telah memberikan sumbangsih besar baik di bidang sosial, lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan olah raga. Kepedulian dan dedikasi sepenuh hati PT Semen Padang terhadap berbagai dimensi kehidupan tersebut mampu memberikan sebuah pesan kepedulian baik dalam sekup kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Realitas tersebut menunjukkan bahwa PT Semen Padang telah mempraksiskan falsafah Minangkabau “Lamak dek awak, katuju dek urang

Akhir sekali, pada usianya yang ke-110 tahun, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada PT Semen Padang, semoga panjang umur dan tetap konsisten berkontribusi konstruktif bagi kemajuan dan kemaslahatan bumi pertiwi.


Senin, 09 Maret 2020

HAM DALAM NEGARA MAJEMUK


Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sebagai negara hukum, tentunya ada unsur-unsur formal maupun substansial yang harus dipenuhi agar negara Indonesia bisa secara kaffah menyandang gelar sebagai negara hukum.

Unsur formal negara hukum sendiri berhubungan dan berkaitan dengan pemenuhan substansi prinsip-prinsip negara hukum dalam konstitusi. Misalnya adanya jaminan HAM, adanya pembatasan kekuasaan, adanya peradilan yang merdeka dan imparsial, adanya check and balances system dalam relasi ketatanegaraan, adanya jaminan demokrasi, kebebasan pers dan lain-lain.

Sedangkan unsur substansial negara hukum berkenaan dengan bagaimana implementasi dan nilai praksis dari prinsip-prinsip formal negara hukum yang terkandung dalam norma konstitusi.

Jika disimplifikasikan, unsur fomal negara hukum berkaitan dengan das sollen sedangkan unsur substansial negara hukum berkaitan dengan das sein.

Bryan Z. Tamanaha, dalam bukunya On The Rule of Law: History, Politic, Theory (2004) membedakan negara hukum menjadi dua jenis yakni negara hukum formal dan negara hukum substansial. Negara hukum formal adalah negara hukum yang sekadar menjadikan hukum sebagai aspek formalitas dalam tata penyelenggaraan negara. Sedangkan negara hukum substansial adalah negara hukum yang mampu mendorong terwujudnya kemaslahatan bersama (welfarestate) dan terjaminnya pemenuhan hak asasi manusia secara empirik.

Berkenaan dengan aspek formal dan substansial negara hukum. Satu poin penting dan pokok tentunya berkaitan dengan hak asasi manusia. Bisa dikatakan, unsur paling esensial dari pada negara hukum adalah perlindungan (jaminan) hak asasi manusia. Secara formal, negara Indonesia tentu telah mengakomodasi jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi, tepatnya pada bab XA. Namun jika berbicara soal aspek substansialnya (nilai praksis) bisa jadi jaminan hak asasi manusia yang tercantum dalam norma konstitusi hanya sekadar menjadi paper tiger (macan kertas).

Indikasi tersebut menguat. Lembaga riset Indonesian Legal Rountable yang setiap tahun merilis hasil riset mengenai indeks negara hukum Indonesia menyatakan bahwa kendala untuk meningkatkan nilai indeks negara hukum Indonesia terletak pada dimensi hak asasi manusia. Khususnya berkaitan dengan “Keengganan” pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang menjadi luka sejarah bangsa, kemudian juga soal penghormatan terhadap hak asasi manusia yang belum memuaskan.

HAM dalam Konstelasi Negara Majemuk

Menurut Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal ini sejalan dengan ghiroh bernegara, mengingat pemerintah adalah lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan kebijakan serta memiliki tugas konstitusional untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara dan membumikan norma konstitusi salah satunya mengenai hak asasi manusia.

Meski pemerintah memiliki peran penting dan strategis dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia namun terpenuhinya hak asasi manusia tidak semata-mata karena peran pemerintah. Ada juga peran dari warga negara. Perlu diingat hak asasi manusia tidak hanya memiliki dimensi vertikal namun juga dimensi horizontal.

Dimensi vertikal berkaitan dengan hubungan negara dan warga negara sedangkan dimensi horizontal berkaitan dengan hubungan antara sesama warga negara. Dalam konteks dimensi horizontal terkandung makna bahwa hak asasi manusia seorang warga negara dapat terpenuhi jika warga negara lainnya melaksanakan kewajiban asasinya.

Tanpa menafikan dimensi hak asasi manusia vertikal, dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia potensi perampasan hak asasi manusia juga sangat potensial dilakukan oleh sesama warga negara. Negara majemuk sendiri secara sederhana diartikan sebagai negara yang memiliki keanekaragaman entitas primordial. Masyarakatnya bersifat heterogen.

Menurut J. S. Furnival (1967), masyarakat majemuk terbagi dalam komposisi yakni masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, dan masyarakat majemuk dengan fragmentasi.

Dalam konteks negara majemuk Indonesia, secara das sollen (seharusnya) memang konstelasi kesetaraan yang dikedepankan, namun secara das sein (kenyataan) beberapa fakta di lapangan justru menunjukkan sisi paradoks. Egosime mayoritas terkadang membuat suatu kelompok masyarakat melakukan penindasan dan perampasan hak asasi manusia kepada masyarakat lainnya.

Dalam konstelasi negara majemuk, memang terdapat dua faktor potensial yang dapat menyebabkan terjadinya perampasan hak asasi manusia dalam ranah dimensi horizontal, dua faktor tersebut adalah egoisme primordial dan konstelasi mayoritas-minoritas. Sejalan dengan hal tersebut, secara empirik, di Indonesia dapat kita lihat sendiri betapa masih lazim terjadi perampasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh sesama warga negara khususnya yang berafiliasi dengan faktor entitas primordial dan konstelasi mayoritas-minoritas seperti misalnya pelarangan menjalankan hak kebebasan beragama dan peribadatan baik secara fisik maupun verbal.

Perlu diingat bahwa negara ini dibangun berdasarkan prinsip kesetaraan. Kesetaraan dalam penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Tidak boleh ada diskriminasi dan perampasan hak asasi manusia dengan alasan apapun dan oleh siapapun. Kesadaran inilah yang hendaknya dimiliki oleh segenap manusia Indonesia. Bangsa ini tidak dibangun dengan semangat mayoritas-minoritas, namun dibangun berdasarkan kesetaraan dan semangat kebhinekaan dalam bingkai konstitusi. Itulah mengapa para founding fathers kita meletakkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang bercorak komunalisme-kompromistis sebagai dasar negara dan semboyan bangsa Indonesia. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah pondasi sekaligus bintang pemandu guna mengawal dan meramu segala dimensi perbedaan bangsa agar dapat membawa taman sari kemaslahatan dalam hidup bersama.

Akhir sekali, perlu kita pahami bahwa hak asasi manusia tidak hanya menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (negara) tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab sesama warga negara.

Karena terpenuhinya hak asasi manusia sendiri sangat tergantung dengan pemenuhan kewajiban asasi manusia oleh manusia lainnya. Mari ber-Indonesia dengan kesadaran dan nafas konstitusionalisme bukan egoisme-segmentatif.


Minggu, 01 Maret 2020

BUNUH DIRI: SEBUAH TELAAH MULTIDISIPLINER


Sebagai mahluk hidup, manusia pasti akan merasakan apa yang dinamakan kematian. Kematian secara harfiah memiliki makna terpisahnya raga dan nyawa. Hal ini sejalan dengan dalil dalam Al-Qur’an, Surat Al-Ankabut ayat 57 yang berbunyi, kullu nafsin za iqatul-maut, summa ilaina turjaun. Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian, kemudian hanyalah kepada kami (Allah) kamu dikembalikan”.

Ayat diatas telah menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk hidup pada hakikatnya memang akan merasakan kematian. Hanya saja, cara dan dalam keadaan apa manusia itu merasakan kematian, adalah ranah kuasa Allah SWT. Penyebab kematian bisa karena penyakit, kecelakaan, terkena bencana alam, tersengat listrik, hingga bunuh diri. Nah, penyebab kematian terakhir inilah yang dewasa ini menjadi fenomena masyarakat urban. Masifnya fenomena bunuh diri dewasa ini menandakan bahwa ada sebuah problematika.

Problematika inilah yang kemudian akan penulis kaji dari banyak perspektif secara holistik guna menemukan akar permasalahan dan solusi khususnya terhadap fenomena kasus bunuh diri di Indonesia.

Menurut data WHO, setiap tahunnya ada sekitar 800.000 ribu oang meninggal akibat bunuh diri, bila disimplifikasikan, maka terdapat satu orang meninggal akibat bunuh diri setiap 40 detik. Di Indonesia sendiri, fenomena bunuh diri juga menjadi isu kontemporer yang berkelindan dalam ruang kehidupan sosial masyarakat kita. Menurut data Institute For Health Metrics and Evaluation (IHME), angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir walau secara umum belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Menurut data IHME, pada 2010 ada 4,3 dari 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Pada tahun 2015 angka tersebut mengalami penurunan menjadi 4 dari 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Dan angka tersebut lagi-lagi mengalami penurunan pada tahun 2018 lalu, pada 2018 ada 3,7 dari 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Angka tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 159 dari 183 negara di dunia terkait jumlah kematian akibat bunuh diri.

Menempati peringkat ke 159 dari 183 negara dalam hal jumlah kematian akibat bunuh diri tentunya menjadi sebuah fenomena getir dan memilukan yang seharusnya menjadi bahan renungan kita bersama untuk mendapatkan solusi terbaik sehingga dapat mencegah dan mereduksi angka kematian akibat bunuh diri.

Faktor Penyebab Bunuh Diri

Sejauh ini memang belum ada penelitian secara spesifik mengenai faktor-faktor penyebab bunuh diri di Indonesia. Meskipun demikian, setidaknya dapat kita gali secara generik mengenai faktor-faktor yang pada umumnya bisa menyebabkan orang “Rela” mengakhiri hidupnya.

Pertama, faktor ekonomi. Ya, kesulitan hidup, beban ekonomi, dan hutang, merupakan faktor-faktor ekonomi yang seringkali mampu membuat orang rela mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bunuh diri mereka anggap sebagai jalan terbaik untuk lepas dari jerat kesusahan hidupan.

Kedua, faktor psikologis. Orang rela mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri juga bisa dikarenakan adanya gangguan atau penyakit psikologis misalnya, gangguan bipolar, depresi berat, anoreksia nervosa, gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) dan skizofrenia. Selain itu, faktor psikologis lain yang dapat membuat orang rela bunuh diri misalnya, menjadi korban bullying, ketergantungan narkotika, rasa malu karena pelecehan seksual, dan pengucilan dari kelompok keluarga atau masyarakat.

Ketiga, faktor lemahnya mental dan spiritual diri. Berikutnya faktor yang menyebabkan orang melakukan bunuh diri adalah lemahnya mental dan spiritual diri. Orang yang lemah secara mental dan spiritual tentunya jiwanya akan mudah goyah ketika mendapati suatu problematika hidup misalnya, putus asmara, kesulitan mencari pekerjaan (penganguran), kegagalan dalam hidup, dan lainnya. Pada prinsipnya, lemahnya mental dan spiritual diri dapat menjadi stimulan bagi seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Keempat, faktor sosial dan budaya. Hal ini terkait dengan nilai-nilai sosio-kultural yang dapat menstimulasi seseorang untuk melakukan bunuh diri. Misalnya budaya hara kiri di Jepang dimana menganggap bunuh diri sebagai jalan terbaik dari pada menanggung rasa malu. Selain itu, secara sosial faktor yang dapat menjadi stimulan bagi seseorang melakukan bunuh diri adalah rengganggnya kohesi sosial. Dalam masyarakat yang kohesi sosialnya rendah akan membuat potensi bunuh diri meningkat.

Solusi Mencegah Bunuh Diri

Berdasarkan faktor penyebab bunuh diri yang penulis utarakan diatas, menunjukkan bahwa bunuh diri pada dasarnya adalah problematika multidimensional tidak problematika parsial, ada banyak faktor berkelindan yang dapat menjadi penyebab seseorang melakukan bunuh diri, oleh karenanya, solusi untuk mencegah dan menekan angka bunuh diri juga harus dilakukan secara multidimensional, integral, holistik, dan berkesinambungan.

Solusi pertama adalah melalui pendekatan spiritual. Dalam konteks ini, internalisasi ajaran agama dan nilai-nilai spiritual hendaknya dilakukan sejak dini agar nilai-nilai spiritual itu dapat mengakar secara lebih kuat dalam diri sekaligus menjadi upaya preventif yang mangkus untuk mencegah praktik bunuh diri bagi seseorang. Seseorang yang memiliki bekal spiritual diri yang baik tentunya akan dapat membentengi dirinya dari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Dalam Islam, bunuh diri termasuk perbuatan yang dilarang dan sangat dibenci oleh Allah. Hal ini diterangkan dalam Surat An-Nissa ayat 29-30: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian (bunuh diri) maka kami (Allah) kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah”.

Oleh karenanya, pendekatan spiritual melalui internalisasi nilai-nilai spiritual dan ajaran agama dapat menjadi solusi untuk mencegah praktik bunuh diri. Dalam konteks ini tentu kesadaran dan peran dari keluarga, teman, diri sendiri, serta peran dari tokoh agama menjadi penting dalam rangka membangun ekosistem sosial, ekosistem kelurga, dan ekosistem pergaulan yang kuyup dengan nilai-nilai spiritualitas. Jika hal demikian dapat mawujud tentu praktik bunuh diri pastinya akan dapat tereduksi secara efektif.

Solusi kedua, pendekatan psikologis. Ya, salah satu penyebab bunuh diri adalah karena adanya gangguan atau penyakit psikologis. Oleh karenanya, solusi untuk mencegahnya juga harus melalui pendekatan pskilogis, dalam hal ini memerlukan peran aktif dari keluarga atau lingkungan. Kepedulian dan afeksi dari orang-orang terdekat misalnya dengan membawa mereka ke psikolog, memberi support, dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang adalah upaya-upaya pendekatan psikologis yang dapat dilakukan.

Solusi ketiga, pendekatan sosial. Pendekatan sosial adalah bagaimana membangun relasi dan kohesifitas sosial secara lebih erat. Bagaimana membangun sebuah ekosistem sosial yang nyaman dan tentram bagi semua anggotanya (masyarakat). Menurut Emil Durkheim dalam bukunya Suicide (1987) di dalam masyarakat yang kondisi relasi dan integrasi sosialnya rapuh, disanalah praktik bunuh diri umumnya terjadi.

Ketika ikatan kohesi, relasi, dan integrasi sosial kuat, maka akan lahir sebuah rasa keterikatan dan kepedulian dalam semangat komunalisme yang pada akhirnya membuat tiap-tiap individu dalam masyarakat merasakan kenyamanan dan ketentraman. Oleh karenanya menjadi penting untuk membangun kohesi dan integrasi sosial dalam semangat komunalisme untuk mencegah praktik bunuh diri.

Solusi keempat, pendekatan kebijakan. Pendekatan ini harus diejawantahkan oleh pemerintah dan legislatif dengan membuat kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi, sosial, budaya, bisnis, ketenagakerjaan, kesehatan, dan lainnya yang berorientasi pada terwujudnya negara kesejahteraan "Welfare state". Kebijakan-kebijakan inilah yang akan secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi sarana pencegah seseorang untuk melakukan bunuh diri, khususnya kasus bunuh diri yang dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan beban hidup.

Pada prinsipnya, keempat solusi dan pendekatan untuk mencegah praktik bunuh diri sama-sama urgen. Mengingat bunuh diri sendiri adalah sebuah problematika multidisipliner, maka cara untuk mencegah dan mengentaskannya juga harus menggunakan pendekatan-pendekatan yang holistik, integral, berkesinambungan.

Arti Penting Mencegah Bunuh Diri

Pertama, dalam perspektif teologis khususnya ranah agama Islam, bunuh diri adalah salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT dan haram untuk dilakukan, barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka oleh Allah SWT diancam dengan neraka. Oleh karenanya, dalam perspektif teologis (Islam) arti penting mencegah bunuh diri adalah wujud bertaqwa kepada Allah SWT sekaligus menghindari ancaman neraka yang sangat pedih.

Kedua, menurut perpektif filosofi bernegara, bunuh diri harus dicegah karena salah satu tujuan dari berdirinya negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea IV. Pemerintah memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia termasuk melindungi (dalam arti mencegah) warga negara Indonesia dari praktik bunuh diri.

Ketiga, psikologi kelurga, bunuh diri harus dicegah karena bunuh diri pasti menjadi sebuah tragedi keluarga. Keluarga pasti menanggung beban dan traumatik psikologis jika ada anggota keluarganya yang meninggal karena bunuh diri. Oleh karena itu, praktik bunuh diri harus dicegah, karena hal itu merupakan bentuk perlindungan bagi keluarga dari beban dan traumatik psikologis yang dapat menghambat kemajuan dan kontribusi sosial sebuah keluarga.

Akhir sekali, semoga dengan langkah dan pendekatan holistik kedepannya angka bunuh diri di Indonesia dapat turun secara dratis.