Senin, 30 Desember 2019

PUISI: BERMANJA DENGAN WAKTU


Waktu berjalan meninggalkan kenangan
Terpahat gurat rindu dalam bias
Elegi kehidupan menyulut oase harapan
Menyemai asa dalam rona waktu

Waktu terkadang memberi ritme sendu
Tak lama, tawa bahagia juga menyapa
Dunia adalah spektrum rasa
Selagi masih ada nyawa terpintal daur rasa

Waktu selalu melangkah kedepan
Tidak bisa dihentikan
Kadang ia menjelma secara kejam
Seringkali juga penuh kelembutan

Waktu, pada saatnya kau kan menyaksikan ku meregang nyawa
Dan kau pun juga akan mangkat pada waktunya
Hanya saja, saat ini ku ingin bermanja dengan mu
Berjalanlah dengan anggun
Peluklah aku dengan kehangatan
Jangan beranjak dari sisiku



Rabu, 25 Desember 2019

PUISI: MENUALAH BERSAMAKU


Semerbak rindu menghiasi senja nan basah
Tertaut rintihan gelisah
Menyambut sapaan resah

Sore berjubah gerimis
Jiwa rapuh menahan gundah
Menggelayut raga yang terpisah

Terpahat rindu erat pada pujaan jiwa
Paras manis menari anggun dalam maji
Berlesung pipi memikat hati

Keanggunan mu sempurna tanpa cela
Memancar kafah dalam jiwa dan raga
Kini, labirin hati telah terkunci abadi

Menualah bersama ku











Kamis, 19 Desember 2019

PENGUATAN KEMBALI FALSAFAH LOKAL SEBAGAI BUDAYA HUKUM (PENDEKATAN KULTURAL-SOSIOLOGIS MELAWAN KORUPSI)


Tanggal 9 Desember lalu masyarakat di seluruh dunia memperingati hari anti korupsi internasional. Sebuah tanggal yang menjadi momentum simbolik masyarakat dunia akan perlawanan terhadap penyakit sosial bernama korupsi. Tanggal 9 Desember sendiri ditetapkan sebagai hari anti korupsi dunia melalui Resolusi PBB Nomor 58/4 tahun 2003. Adanya peringatan hari anti korupsi sedunia pada prinsipnya menandakan bahwa korupsi adalah problematika serius yang dihadapi oleh masyarakat dunia yang memiliki relasi dan korelasi dengan keberlangsungan masyarakat itu sendiri.

Korupsi dapat merusak sendi-sendi fundamental kehidupan negara yang membuat masyarakat terhalang untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang bermartabat. Misalnya, korupsi di bidang infrastruktur membuat masyarakat tidak dapat menikmati sarana infrastruktur yang layak, korupsi di bidang pendidikan dan kesehatan membuat masyarakat tidak dapat mendapatkan akses layanan pendidikan dan kesehatan secara memadai, korupsi di bidang kebijakan publik dan penegakan hukum membuat entitas keadilan dan kesejahteraan jauh panggang dari api. Maka dari itu, kesadaran dan kontiniutas dalam rangka perang melawan korupsi harus senantiasa kita nyalakan.

Di Indonesia, korupsi juga menjadi penyakit akut yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Menurut data ICW, kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2018 lalu sebesar 9,29 triliun rupiah, dengan pengembalian uang korupsi hanya sebesar 805 miliar atau sekitar 8,7 persen saja dari total kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi. Sebuah angka fantastis yang seyogyanya bisa dialokasikan untuk membangun bidang-bidang kehidupan negara secara optimal guna mewujudkam kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia.

Secara teoritis, banyak teori yang dapat menjelaskan mengenai faktor penyebab terjadinya praktik korupsi. Misalnya, teori GONE dari Jack Bologne yang menjelaskan bahwa faktor penyebab korupsi terdiri atas empat hal yakni greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan), dan exposure (pengungkapan).

Kemudian teori dari Donald R Cressey yang mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya korupsi terdiri atas tiga hal yakni kesempatan, motivasi, dan rasionalisasi. Ada juga teori cost-benefit yang mengatakan bahwa korupsi dapat terjadi jika jika manfaat yang didapat dari korupsi jauh lebih besar dari pada resiko yang harus ditanggung.

Dari beberapa teori tentang faktor terjadinya korupsi diatas, ada dua cara pendekatan yang dapat dilakukan untuk menekan praktik korupsi. Pertama, pendekatan represif melalui penegakan hukum secara adil dan konsekuen. Kedua, melalui pendekatan preventif-persuasif yang dapat dilakukan dengan beragam cara, salah satunya adalah melalui penguatan kembali falsafah lokal yang mengandung nilai-nilai keadaban dan kearifan hidup agar dapat membumi sebagai budaya hukum. Penguatan falsafah lokal sebagai budaya hukum menjadi penting mengingat falsafah lokal merupakan entitas budaya yang berpengaruh besar dalam membentuk karakter baik individu maupun karakter masyarakat secara kolektif.

Melemahnya Falsafah Lokal

Salah satu penyebab tumbuh suburnya praktik korupsi di negeri ini adalah karena lemahnya struktur sosial dalam menangkal perilaku koruptif. Konkretnya, masyarakat kita relatif permisif terhadap praktik-praktif korupsi. Beberapa contoh sikap permisif masyarakat terhadap korupsi diantaranya adalah praktik politik uang dalam kontestasi politik yang masih masif dimana masyarakat menjadi obyeknya. Hal ini tentu menjadi sinyalmen kuat bahwa masyarakat kita masih permisif terhadap korupsi atau perilaku koruptif.

Sikap permisif masyarakat terhadap korupsi sendiri menurut hemat saya disebabkan oleh melemahnya nilai-nilai falsafah lokal setempat yang dahulu begitu dijunjung tinggi. Di Jawa misalnya, banyak nilai-nilai falsafah lokal yang telah luntur dan dilupakan baik secara istilah maupun makna. Padahal falsafah-falsafah lokal tersebut sejujurnya dapat menjadi tameng yang ampuh untuk mencegah praktik korupsi seandainya hidup dan dihayati oleh masyarakat. Misalnya, memayu hayuning buwono ambrasto dur hangkoro (manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, serta menjauhi sifat serakah dan tamak), urip iku urup (hidup harus memberikan manfaat kepada orang lain), sangkan paraning dumadi (tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam menjalani hidup kita harus mendekati nilai-nilai luhur ketuhanan).

Nilai-nilai falsafah lokal diatas mengandung makna kearifan dan keadaban hidup yang misuwur. Akan menjadi sebuah modal sosial yang baik jika masyarakat dan lingkungan sosialnya bisa kuyup dengan nilai-nilai falsafah lokal tersebut secara riil dan empirik, mengingat falsafah lokal sendiri merupakan entitas budaya yang berpengaruh besar dalam membentuk karakter, keyakinan, pemahaman, dan orientasi sikap seorang individu maupun masyarakat secara kolektif.

Oleh karenanya, jika masyarakat dan lingkungan sosial sudah kuyup dengan nilai-nilai falsafah lokal yang mana memiliki nilai-nilai kearifan dan keadaban hidup yang tinggi, maka perilaku, sikap, kebiasaan, dan cara pandang masyarakat tentunya akan mengacu pada nilai-nilai kearifan dan keadaban hidup tersebut, sehingga secara otomatis akan tertanam ghiroh untuk senantiasa hidup dalam koridor-koridor nilai kearifan dan keadaban hidup, termasuk menjauhi praktik-praktik korupsi dalam segala manifestasinya. Mengingat korupsi adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai kearifan dan keadaban hidup.

Secara praksis, penguatan kembali nilai-nilai falsafah lokal diatas hendaknya dibangun dari sekup sosial terkecil yakni keluarga, kemudian sekolah, dan juga lingkungan sosial secara holistik dan berkesinambungan.

Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam rangka penguatan kembali nilai-nilai falsafah lokal. Pertama, adanya keteladanan dari patron dalam segala sekupnya untuk mempraktikkan falsafah-falsafah lokal tersebut secara nyata. Misalnya, keteladanan dari orang tua pada sekup keluarga, keteladanan dari guru pada sekup sekolah, serta keteladanan dari tokoh masyarakat, pejabat publik, atau pemuka agama pada sekup lingkungan sosial. Kedua, adanya edukasi dan internalisasi nilai falsafah lokal secara repetitif sehingga dapat mengejawantah menjadi budaya hukum. Dengan kata lain, harus terbangun sebuah ekosistem sosial yang kompatibel bagi tumbuhnya budaya hukum yang berdasarkan pada nilai kearifan lokal.

Pada prinsipnya, ketika falsafah lokal setempat yang kuyup dengan nilai-nilai keadaban dan kearifan hidup dapat membumi dalam ruang sosial serta mengejawantah menjadi budaya hukum, maka praktik korupsi dalam segala manifestasinya akan dapat ditekan sekecil mungkin.

Penguatan kembali nilai dan falsafah lokal sendiri adalah salah satu cara pendekatan preventif melawan korupsi yang hendaknya perlu dipertimbangkan untuk digunakan sebagai satu strategi dan diterapkan secara masif di berbagai daerah di Indonesia, mengingat di setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki nilai falsafah lokal khasnya tersendiri. Kemudian, pendekatan kultural-sosiologis ini hendaknya juga dikombinasikan dengan pendekatan represif dan pendekatan preventif lainnya secara integral agar dapat menghasilkan hasil yang maksimal, mengingat korupsi sendiri adalah problematika interdisipliner.


Selasa, 17 Desember 2019

BAMBANG PAMUNGKAS: ELEGI PERPISAHAN


Pertandingan Persija Jakarta vs Persebaya Surabaya kemarin (17/12/2019) tidak sekadar pertandingan biasa. Iya, memang pertandingan Persija Jakarta vs Persebaya Surabaya adalah pertandingan sarat gengsi dan rivalitas yang tentu membuatnya menjadi pertandingan yang tidak biasa. Namun, bukan hal tersebut yang membuat pertandingan Persija Jakarta vs Persebaya Surabaya kemarin menjadi pertandingan yang tidak biasa.

Hal yang membuat pertandingan Persija Jakarta vs Persebaya kemarin menjadi pertandingan tidak biasa adalah karena pertandingan tersebut menjadi partai perpisahan legenda Persija Jakarta sekaligus legenda sepak bola nasional, Bambang Pamungkas.

Ya, Bambang Pamungkas telah mengakhiri karir panjang sepak bolanya kemarin. Pengabdian 20 tahun di dunia sepak bola sebagai pemain telah usai. Selepas pertandingan Persija Jakarta vs Persebaya Surabaya, Bambang Pamungkas pun berpidato menyampaikan salam perpisahan. Dengan tatapan wajah nanar tanpa air mata Bambang Pamungkas dengan lugas menyampaikan salam perpisahan kepada publik sepak bola Indonesia dan khususnya kepada para Jakmania, suporter fanatik Persija Jakarta yang selama ini tak pernah lelah men-support Bambang Pamungkas dan tim Persija Jakarta berlaga.

Malam itu puluhan ribu Jakmania memenuhi tribun Stadion Gelora Bung Karno untuk menyaksikan laga pamungkas dari seorang legenda besar mereka, top skor sepanjang masa Persija dan timnas Indonesia, Bambang Pamungkas atau yang lebih akrab disapa Bepe.

Stadion Gelora Bung Karno yang megah itupun sejenak menahan haru ketika Bambang Pamungkas menyampaikan pidato perpisahannya. Berikut petikan pidato perpisahan Bepe.

The Jaaaaak... The Jaaaak..
Assalamualaikum Wr.Wb
Shallom
Namo buddhaya
Salam kebajikan
Dan salam sejahtera bagi kita semua
Orang bijak berkata, laki-laki sejati tidak menangis, tapi hatinya berdarah. Malam ini, izinkan saya untuk menjadi seorang laki-laki sejati, dengan tidak banyak berbicara, agar saya tidak menangis, cukup hati saya yang berdarah.

Dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh komponen dalam tim Persija Jakarta. Untuk perjalanan musim ini yang sangat menguras tenaga, emosi, dan juga kesabaran.

Terima kasih juga untuk seluruh jajaran direksi Persija Jakarta. Untuk kerja sama yang luar biasa, selama saya berada di klub ini. Kenyamanan yang membuat saya merasa, jika Persija Jakarta akan selalu menjadi rumah saya.

Juga kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan seluruh masyarakat Jakarta, untuk dukungannya kepada Persija Jakarta.
Serta tidak lupa kepada kalian semua pendukung Persija Jakarta, baik yang malam hari ini berada di stadion, maupun di mana pun kalian berada.

Saya pernah menjadi top scorer di sini. Menjadi pemain terbaik di sini. Dan saya pernah menjadi juara di sini. Namun demikian saya juga pernah patah kaki di sini, mengalami depresi di sini, dan dianggap sebagai penghianat juga di sini.

Dalam semua keadaan tersebut, kalian semua tetap berada di belakang saya. Dan untuk itu, dari lubuk hati saya yang paling dalam saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Kalian semua akan selalu memiliki tempat spesial dalam hati saya.
Akhir sekali, perjalanan karir saya bukan tentang seberapa jauh saya melangkah, bukan juga tentang seberapa cepat saya sampai. Akan tetapi tentang makna dari perjalanan yang telah saya lalui, dan jejak apa yang saya tinggalkan.

Semoga selama saya menjadi bagian dari Persija Jakarta, saya dapat meninggalkan kesan yang baik di hati kalian semua.
Sekali lagi terima kasih. Selamat malam.

Bambang Pamungkas Pemain Besar

Di mata saya, Bambang Pamungkas adalah pemain besar tidak sekadar pemain hebat. Kata “besar” disini mengandung makna yang lebih tinggi. Pemain besar tidak sekadar mencatat prestasi gemilang dalam karirnya namun juga dapat memberikan suri tauladan dan peninggalan positif selama ia berkarir sebagai pemain sepak bola. Dan Bepe memiliki atribut itu, Bepe tidak hanya memiliki pencapaian karir yang gemilang, tetapi juga mampu memberikan suri tauladan dan kesan yang positif bagi dimensi sepak bola itu sendiri. Bepe mampu mengejawantahkan sepak bola tidak sekadar sebagai sebuah profesi, tetapi lebih dari itu, ia juga mampu menjadikan sepak bola sebagai entitas untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai yang positif baik bagi pemain sepak bola maupun khalayak umum.
Bepe mampu membangun dan menjaga citra positif baik di dalam maupun luar lapangan. Bepe mampu menjadi role model bagaimana hidup sebagai seorang atlet sejati. Bagaimana pinsip, falsafah, perjuangan,dan pengalaman Bepe baik sebagai pribadi maupun sebagai pesepakbola dapat dibaca melalui dua bukunya yang ia tulis sendiri: Ketika Jemariku Menari dan PRIDE.

Dari dua buku tersebut kita akan dapat mengambil banyak hikmah dan pembelajaran hidup yang positif dari segala dinamika kehidupan Bepe baik sebagai atlet, sebagai kepala keluarga maupun sebagai manusia pada umumnya. Bagaimana Bepe menempatkan karir dan keluarga, bagaimana Bepe mengejar mimpi dan menjaga karir sepak bolanya, bagaimana Bepe memaknai rivalitas dalam sepak bola, bagaimana Bepe melihat sepak bola sebagai sebuah profesi yang penuh tekanan dan tanggung jawab, hingga bagaimana Bepe menempatkan diri sebagai seorang pemimpin (kapten).

Berbicara mengenai skill dan teknik, okelah, tentu banyak striker atau pemain sepak bola yang kualitasnya jauh diatas Bambang Pamungkas, namun ketika berbicara soal profesionalisme, attitude, leadership, Intelektualitas, dan pencapaian karir khususnya di timnas (top skor dan top caps) agaknya akan sangat teramat sulit menemukan pemain Indonesia yang akan bisa menyamai pencapaian Bambang Pamungkas.

Bambang Pamungkas nyaris telah meraih segalanya dalam perjalanan karir sepak bolanya. Bambang Pamungkas pernah meraih gelar liga Indonesia 2 kali, pernah meraih pemain terbaik dan top skor liga Indonesia, pernah menjadi pemain terbaik copa Indonesia, pernah menjadi top skor piala AFF (dulu piala Tiger), pernah meraih gelar di liga Malaysia baik gelar individu maupun gelar bersama klub, Bambang Pamungkas juga menasbihkan diri sebagai top skor sepanjang masa timnas Indonesia dengan 37 gol sekaligus top caps timnas Indonesia dengan 88 penampilan, Bambang Pamungkas juga pernah dinobatkan sebagai 10 besar pemain terbaik Asia tahun 2012 versi ESPN. Dibalik kegemilangan pencapaiannya, ada satu raihan yang belum bisa dicapai oleh seorang Bambang Pamungkas yakni mempersembahkan gelar juara bagi timnas Indonesia.

Dan meskipun selama 20 tahun (13 tahun di timnas) karir sepak bolanya belum pernah sekalipun mempersembahkan gelar juara bagi timnas Indonesia. Tetapi saya yakin nama Bambang Pamungkas niscaya akan selalu harum dan abadi dalam ingatan para pecinta sepak bola nasional.

Bepe telah menasbihkan diri sebagai pemain besar, dengan torehan prestasi gemilang dan suri tauladan positif yang ia pahat selama 20 tahun karir sepak bolanya, Bepe adalah legenda sepak bola, tidak hanya untuk Persija Jakarta, namun juga bagi sejarah panjang persepakbolaan Indonesia. Kekalahan yang dirasakannya pada partai penutup karirnya kemarin pun tidak mampu untuk menodai catatan kegemilangan karir sepak bolanya.

Akhir sekali, kehidupan pada akhirnya akan selalu memberi jalan pada sebuah perpisahan. Perpisahan adalah khitah kehidupan.

Enjoy your retirement #Respect





Senin, 16 Desember 2019

GIBRAN DAN DINASTI POLITIK



Rencana Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi untuk maju pada kontestasi politik pemilihan walikota Solo periode 2020-2024 terlihat semakin serius. Komunikasi politik dengan berbagai golongan mulai dibangun, manuver-manuver politik mulai terlihat. Hasrat Gibran untuk menjadi orang nomor satu di kota Solo kelihatannya sudah tak bisa dibendung.

Gibran sejujurnya adalah orang “hijau” dalam kancah politik. Ia lebih dikenal luas sebagai “pengusaha martabak”. Bahkan, baru bulan September lalu Gibran terjun ke dunia politik dengan menjadi kader anggota PDIP. Meskipun sebagai anak presiden, Gibran selama ini terkesan menjaga jarak dengan dunia politik. Bahkan, dalam suatu acara talkshow di sebuah televisi swasta beberapa tahun lalu, Gibran pernah berkelakar bahwa dia tidak tertarik dengan dunia politik dan ingin lebih fokus menggeluti usaha dan bisnisnya.

Namun, kelakar Gibran nampaknya bertolak belakang dengan dinamika yang ada saat ini. Hasrat Gibran untuk terjun ke dunia politik dan maju dalam pemilihan walikota Solo sudah bulat. Publik pun dibuat kaget dengan manuver politik gibran. Sebagian publik menilai bahwa Gibran sedang aji mumpung sebagai anak presiden sekaligus membangun dinasti politik klan Jokowi. Di sisi lain, sebagian publik justru mengapresiasi langkah gibran terjun ke dunia politik, pihak ini menilai wajah politik butuh sosok-sosok muda seperti Gibran untuk dapat membuat gebrakan perubahan.

Menurut analisa saya, ada dua alasan yang melatarbelakangi terjunnya Gibran ke panggung politik khususnya terkait rencananya untuk maju dalam pemilihan walikota Solo, Pertama, alasan untuk meneruskan klan politik keluarga Jokowi. Fenomena ini sama persis dengan fenomena banting setirnya Agus Harimurti Yudhoyono dari dunia militer ke paanggung politik. Alasannya sederhana saja, keluarga SBY dan keluarga Jokowi membutuhkan penerus dalam panggung politik yang sekiranya memiliki kapasitas dan citra positif di mata publik.

Agus Harimurti Yudhoyono dahulu dikenal sebagai prajurit TNI yang berprestasi. Sedangkan Gibran dikenal sebagai pengusaha mandiri dan sukses. Konotasi positif itulah yang kemudian menjadi modal bagi keduanya untuk terjun ke panggung politik guna meneruskan trah politik dari keluarganya masing-masing.

Kedua, saya sebut sebagai alasan “filantropi politik” atau alasan normatif. Yakni alasan untuk turut berkontribusi secara nyata sekaligus membawa perubahan-perubahan positif kepada masyarakat khususnya masyarakat kota Solo melalui kebijakan-kebijakan politik sebagai seorang walikota (apabila terpilih). Dan saya yakin alasan inilah yang akan selalu keluar dari mulut Gibran apabila disodori pertanyaan mengapa memutuskan untuk terjun ke dunia politik dan maju dalam pemilihan walikota Solo periode 2020-2025. Hal ini sejalan dengan teori dramaturgi politik dimana panggung depan politik akan selalu menampilkan sisi-sisi positif-idealistik baik secara alamiah maupun sekadar retorika.

Dinasti Politik

Dinasti politik akhir-akhir menjadi kata yang begitu akrab dan riuh di ruang publik, tepatnya sejak Gibran Rakabuming, putra pertama Presiden Jokowi berencana maju pada pemilihan walikota Solo periode 2020-2025.

Ditinjau dari sisi gramatikal, dinasti politik sendiri berasal dari kata dinasti yang artinya keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari keluarga (sumber: KBBI) dan politik yang artinya kekuasaan. Jika disatukan, maka makna dari dinasti politik adalah kekuasaan yang turun temurun berdasarkan garis keturunan keluarga.

Secara letterlijk makna dari pada dinasti politik pada prinsipnya mengandung nilai ascribed status yakni status sosial yang didapat oleh seseorang secara otomatis berdasarkan faktor keturunan. Oleh karena itu, diksi dinasti politik sebenarnya lebih relevan dan kompatibel dengan bentuk negara monarki bukan republik. Dalam negara republik, peralihan kekuasaan tidak menganut nilai ascribed status (otomatis/keturunan) melainkan nilai acieved status (usaha/demokratis). Nilai achieved status ini dilaksanakan melalui kontestasi politik (pemilihan umum) yang demokratis dan dilakukan secara berkala oleh sebuah lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan imparsial.

Jadi, ditinjau dari sisi gramatikal, sebenarnya makna dinasti politik dalam konteks negara republik Indonesia sejujurnya tidak relevan. Oleh karena itu, mengaitkan narasi rencana majunya Gibran pada kontestasi politik pemilihan walikota Solo dengan diksi dinasti politik saya kira kurang tepat. Karena untuk menjadi walikota sendiri, Gibran harus memperolehnya melalui usaha dan proses demokratis, tidak serta merta secara otomatis. Lagipula, bukan Jokowi yang menentukan apakah Gibran terpilih menjadi walikota atau tidak melainkan suara rakyat.

Kemudian secara sosiologis, makna politik dinasti memang dimaknai sebagai “pewarisan” gen politik kepada keturunan keluarga. Dalam konteks ini, dinasti politik biasanya berkaitan dengan “pewarisan” kekuasaan politik di suatu wilayah teritorial yang khas dalam jangka waktu berdekatan, misalnya dinasti politik Ratu Atut Choisyiah di Banten atau dinasti politik keluarga Limpo di Sulawesi Selatan. Efek negatif dari perputaran kekuasaan “keluarga” di suatu wilayah teritorial ini sendiri adalah munculnya oligarki politik yang menyebabkan proses demokratisasi di wilayah tersebut terhambat. Salah satunya, mereduksi dan menghambat sosok-sosok lain diluar keluarga tersebut untuk memenangkan kontestasi politik di wilayah tersebut.

Kembali kepada makna dinasti politik, di tinjau dari sisi sosiologis, maka rencana majunya Gibran pada pemilihan walikota Solo juga tidak tepat jika dikontekstualisasikan dengan diksi dinasti politik, karena tidak berkaitan dengan “pewarisan” kekuasaan politik di suatu wilayah teritorial yang khas dalam jangka waktu berdekatan.

Legalitas dan Etika

Ada dua tolok ukur untuk menilai sah tidaknya dan pantas tidaknya Gibran maju dalam pemilihan walikota Solo. Ukuran sah tidaknya tentu bicara aspek legalitas, dan bicara soal aspek legalitas, maka sah-sah saja Gibran maju pada pemilihan walikota Solo. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang seorang anak presiden maju dalam pemilihan walikota atau kontestasi politik lainnya. Lebih dari itu, berpartisipasi dalam kontestasi politik adalah bagian dari hak konstitusional seorang warga negara.

Selanjutnya berbicara mengenai aspek etika. Etika adalah moral dan kepantasan yang didasarkan pada norma yang tidak tertulis yakni tradisi, agama, dan nurani. Dalam konteks etika memang akan cenderung subyektif, setiap orang bisa memiliki penilaian yang berbeda. Dalam pemahaman saya, etika itu dilanggar jika menimbulkan suatu ketidakpantasan yang dapat diobyektifkan.

Nah, dalam konteks rencana majunya Gibran sebagai putra presiden menuju pemilihan walikota Solo saya kira tidak ada etika yang dilanggar. Tidak ada suatu ketidakpantasan yang dapat diobyektifkan. Sekali lagi, terpilih tidaknya Gibran dalam pemilihan walikota Solo bukan ditentukan oleh Jokowi melainkan oleh suara rakyat.

Untuk menjadi seorang walikota Gibran harus berkontestasi dalam proses pemilihan umum yang demokratis bukan melalui penunjukan otomatis yang cenderung bermotif nepotisme

Beda halnya, jika Jokowi menunjuk Gibran menjadi seorang menteri atau pejabat BUMN dimana dilakukan dengan penunjukkan yang cenderung mengandung motif nepotisme. Inilah yang saya rasa tidak beretika. Karena ada ketidakpantasan yang bisa diobyektifkan.






Sabtu, 16 November 2019

PILKADA LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG ?


Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengeluarkan sebuah statement yang "berhasil" memancing diskursus dalam ruang publik. Statement mantan orang nomor satu polri tersebut terkait relevansi pelaksanaan pilkada langsung yang menurutnya justru menimbulkan banyak ekses negatif khususnya mengenai politik uang dan korupsi. Pada intinya, pelaksanaan pilkada langsung harus dievaluasi dan pilkada tidak langsung dapat menjadi solusinya. Tito Karnavian menyampaikan statement demikian saat melakukan rapat kerja dengan komisi II DPR, Rabu (6/11/2019).

Pro dan kontra pun seketika menyeruak dalam ruang publik. Dari ruang akademik, media sosial, media massa, hingga di lingkungan sosial masyarakat.

Di satu sisi, ada pihak yang tidak setuju seandainya pilkada langsung di rubah kembali menjadi pilkada tidak langsung. Bagi kelompok ini, merubah pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung adalah sebuah kemunduran peradaban demokrasi. Di sisi lain, ada pihak yang menghendaki peninjauan kembali terhadap pelaksanaan pilkada langsung, karena dalam realitasnya, pilkada langsung justru banyak menghasilkan ekses negatif yakni politik uang (hulu) dan korupsi (hilir). Konkretnya, kelompok ini menghendaki dilaksanakannya pilkada tidak langsung sebagai solusi atas kegagalan pilkada langsung dalam mewujudkan peradaban demokrasi yang lebih baik. Alasannya, dengan pilkada tidak langsung, maka politik uang akan dapat dicegah.

Namun, apakah dengan memilih pilkada tidak langsung politik uang lantas bisa dicegah ? tidak juga. Menurut saya, praktik politik uang hanya akan beralih obyek saja. Dari politik uang kepada rakyat saat pilkada langsung menjadi politik uang kepada anggota DPRD bahkan parpol saat dilaksanakan pilkada tidak langsung. Konkretnya, politik uang akan mengarah kepada siapa yang memiliki hak legitimasi suara dalam pilkada.

Sedangkan dalam pandangan saya, problematika utama demokrasi kita hari ini bukanlah terletak pada platform pilkada, apakah itu pilkada langsung maupun tidak langsung. Bukan. Problematika utama demokrasi kita hari ini yang lekat dengan ekses-ekses negatif khususnya terkait politik uang dan mahar politik yang bermuara pada menguatnya ekskalasi dan budaya korupsi oleh para kepala daerah adalah terletak pada sistem politik atau lebih spesifik berbicara mengenai sistem pilkada yang amburadul. Misalnya, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam pilkada sehingga politik uang bisa berkelindan secara masif. Kemudian rendahnya fungsi dan idealisme partai politik dalam rangka mewujudkan iklim politik yang substantif dan bermartabat.

Jadi, problematika besar demokrasi kita hari ini bukan terletak pada paltform pilkada, apakah langsung maupun tidak langsung, namun terletak pada fungsi dan kinerja dari sistem pilkada. Perlu dipahami bahwa pilkada langsung maupun tidak langsung hanyalah sekadar sarana untuk membangun demokrasi. Sebagai sarana, pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama memiliki peluang untuk membuat maju maupun membuat mundur peradaban demokrasi kita, tergantung dari bagaimana fungsi sistem yang bekerja pada platform pilkada tersebut.

Sistem yang menentukan maju tidaknya demokrasi (pilkada) terletak pada tiga faktor. Pertama, substansi (UU) pilkada apakah mengandung legitimasi yuridis guna mendukung penyelenggaraan pilkada yang bersih dan akuntabel atau tidak. Kedua, ada tidaknya proses pengawasan dan penegakan hukum baik pidana maupun administratif yang tegas dan konsekuen dalam penyelengaraan pilkada. Ketiga, terkait kultur dari suprastruktur dan infrastruktur politik.

Konkretnya, baik pilkada langsung maupun tidak langsung tidak menjadi masalah selama ketiga hal diatas mampu mengejawantah secara ideal dalam ranah empiris penyelengaaraan pilkada. Ketika ketiga hal diatas mampu mengejawantah secara ideal, maka politik uang, mahar politik, dan penyakit-penyakit politik lainnya yang menghambat kemajuan demokrasi tentunya akan dapat diminimalisir sekecil mungkin.

Konstitusionalitas dan Esensi Pilkada 

Berbicara mengenai aspek konstitusionalitas, maka baik pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama konstitusional. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyebut "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah dipilih secara demokratis". Frasa demokratis disini tentu dapat dimaknai baik dalam bentuk pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung.

Jadi, berbicara aspek konstitusionalitas, maka baik pilkada langsung maupun tidak langsung adalah sama-sama konstitusional. Tinggal platform pilkada apa yang dipilih oleh pihak legislatif sesuai dengan prinsip opened legal policy.

Selanjutnya, berbicara mengenai esensi pilkada. Esensi pilkada pada prinsipnya terbagi dalam tiga dimensi. Pertama, dimensi ideal. Menurut dimensi ideal, esensi hadirnya pilkada adalah untuk memilih dan mendapatkan pemimpin terbaik dari suatu kelompok masyarakat (primus interpares). Kedua, dimensi praksis. Dalam dimensi praksis esensi hadirnya pilkada adalah untuk memilih pemimpin terbaik dari yang ada (yang ikut kontestasi). Atau dalam bahasa Franz Magnis Suseno "mencegah pemimpin yang terburuk memimpin". Ketiga, dimensi realitas. Dalam dimensi realitas, esensi hadirnya pemilu justru mengarah pada praktik oligarki, dimana tolok ukur atau faktor kunci yang menentukan menang tidaknya seseorang dalam kontestasi pilkada bukanlah kapasitas, rekam jejak, dan integritas melainkan kemampuan logistik-materil.

Berbicara mengenai konteks esensi pilkada. Maka, baik pilkada langsung maupun tidak langsung sejujurnya tidak bisa serta merta dapat menjamin terwujudnya dimensi ideal atau setidaknya dimensi praksis dalam pelaksanaan pilkada. Karena faktor penentu sebagaimana saya jelaskan diatas adalah tergantung dari bagaimana fungsi sistem yang bekerja pada platform pilkada. Yakni, substansi (UU), penegakan hukum dalam penyelengaaraan pilkada, serta kultur dari suprastruktur dam infrastruktur politik.

Lalu, apa sisi positif dari pilkada langsung dan pilkada tidak langsung ?

Sisi positif yang pasti didapat dari pilkada langsung adalah adanya keleluasaan (restriktif) rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sedangkan sisi positif yang didapat dari pilkada tidak langsung adalah menghemat biaya penyelengaaraan pilkada.

Namun jika ditarik dalam konteks nilai esensial penyelengaaraan pilkada khususnya dalam dimensi ideal dan dimensi praksis. Maka, baik pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama tidak bisa menjamin terwujudnya pilkada yang fungsional (menghasilkan pemimpin berkualitas) dan bermartabat (bebas dari politik uang, mahar politik, dll).

Jadi, esensinya bukan pada platform pilkada apa, melainkan bagaimana kita membangun sistem pilkada agar dapat menghasilkan pilkada yang fungsional dan bermartabat.


Selesai ...






Kamis, 14 November 2019

PERGERAKAN MAHASISWA: HISTORISITAS, RASIONALITAS, DAN AKTUALISITAS




Wakil presiden pertama Indonesia, Bung Hatta, mengatakan bahwa mahasiswa adalah hati dan akalnya masyarakat. Hati dan akalnya masyarakat karena mahasiswa adalah oase yang bisa memperjuangkan apa yang menjadi harapan dan aspirasi masyarakat. “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, apabila angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa” demikian ucap Pramoedya Ananta Toer.

Sebagaimana ucapan Pram, mahasiswa sebagai kaum muda memang harapan (masa depan) sekaligus tumpuan bagi rakyat dan bangsa ini. Secara esensial, mahasiswa menyimpan tiga kekuatan yang dapat menjadi power bagi terwujudnya stabilitas dan progresifitas negara. Pertama, kekuatan intelektual. Kekuatan intelektual ini berguna baik sebagai contra balance dan juga kontra narasi terhadap sikap dan kebijakan pemerintah yang tidak substantif dan nir-aspiratif maupun untuk mengadvokasi masyarakat baik secara ekonomi, sosial, hukum, teknologi, dan politik.

Kedua, kekuatan idealisme. Hal ini terkait independensi sikap dan daya responsif mahasiswa terhadap problematika kebangsaan. Kekuatan idealisme membuat mahasiswa pure berjuang demi nilai kemaslahatan publik bukan untuk tujuan pragmatis-oportunis. Kekuatan idealisme sendiri memiliki makna kekuatan untuk menempatkan nilai-nilai ideal kebangsaan sebagai dasar dan nafas dalam melakukan perjuangan.

Ketiga, kekuatan masifisitas dan militansi. Kekuatan masifisitas dan militansi merupakan kekuatan daya ledak yang membuat mahasiswa memiliki bergaining position kuat dimata pemerintah. Ketika mahasiswa sudah mulai bergerak (demonstrasi) dari segala penjuru karena sebuah kebijakan pemerintah yang kontradiksi dengan aspirasi publik, maka pemerintah tentu akan mengambil sikap dan mempertimbangkan apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi mahasiswa. Dalam konteks ini mahasiswa akan dapat mempengaruhi pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan.

Pada prinsipnya, apa yang diucapkan oleh Bung Hatta dan Pram diatas merupakan wujud apresiasi dimana melekat tanggungjawab dan fakta historis bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam mengubah momentum kebangsaan dan perjalanan demokrasi. Dengan tiga kekuatan diatas, mahasiswa memiliki potensi besar untuk berperan sebagai agent of change guna membawa kemajuan dan kemaslahatan bangsa ini.

Pergerakan Mahasiswa

Secara gramatikal, arti dari kata pergerakan adalah kebangkitan untuk perjuangan dan perbaikan. Pergerakan artinya adalah bertindak. Tidak sekadar bertindak, namun tindakan tersebut harus beresensi membangkitkan. Kebangkitan inilah yang memicu perbaikan. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, maka tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa harus berkorelasi pada sebuah momentum kebangkitan yang bermuara pada perbaikan.

Dari sisi historisitas (pergulatan sejarah), mahasiswa selalu memiliki tindakan-tindakan besar yang memacu perbaikan dalam konstelasi kebangsaan kita. Sebelum kemerdekaan, mahasiswa berperan dalam pembentukan organisasi pergerakan pertama di Indonesia, Budi Utomo pada 1908. Mahasiswa juga membentuk organisasi Perhimpunan Indonesia pada 1925 yang berfokus pada tujuan kemerdekaan RI dan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1928 para mahasiswa dan organisasi pemuda juga menginisiasi terwujudnya sumpah pemuda yang menjadi tonggak momentum persatuan bangsa. 

Setelah kemerdekaan, peran pergerakan mahasiswa tak surut. Dari peristiwa 66 dimana mahasiwa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) mempelopori kesatuan aksi yang melahirkan Tritura, kemudian mahasiswa juga berperan dalam peristiwa malari 1974 dengan melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes atas kedatangan Perdana Menteri Jepang (terkait modal asing dan neo-imperialisme) yang kemudian melahirkan tiga tuntutan yang diberi nama “Tritura Baru 1974”, peran pergerakan mahasiswa mencapai titik kulminasi pada saat “berhasil” melengserkan kekuasaan otoritarianisme Soeharto sekaligus membangun tatanan demokrasi baru (reformasi) pada tahun 1998.

Di tinjau dari sisi historisitas, dapat kita nilai dan simpulkan bahwa pergerakan mahasiswa selalu mampu memicu momentum kebangkitan dan perbaikan dalam perjalanan demokrasi bangsa ini.

Selanjutnya kita berbicara mengenai rasionalitas pergerakan mahasiswa. Dalam konteks rasionalitas, aktivitas pergerakan mahasiswa harus dan selalu diletakkan untuk kepentingan bangsa dan kemaslahatan publik. Rasionalitas dalam hal ini berbicara tentang logika dan akal sehat mengenai dasar argumentasi atau latar belakang apa yang melandasi mahasiswa melakukan tindakan, kesemuanya itu harus bisa dijelaskan secara logis dengan dasar data dan argumentasi yang kuat. Dengan demikian, marwah dari pergerakan dan tindakan mahasiswa akan memiliki nilai dan mendapat kontekstualisasinya (apresiasi) dalam ruang publik. Oleh karenanya, pergerakan mahasiswa jangan sekadar menjadi gerakan masif dan militan namun juga harus menjadi gerakan intelektual dan society common sense.
 
Terakhir, berbicara mengenai aktualisitas. Pergerakan mahasiswa kedepan harus diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Demonstrasi tetap penting sebagai sarana kontrol terhadap pemerintah agar tidak membuat kebijakan yang kontradiksi dengan kebutuhan dan aspirasi publik. Namun advokasi sosial secara struktural dan berkesinambungan kepada masyarakat juga harus menjadi concern mahasiswa. Kedepan mahasiswa harus dapat berperan sebagai inisiator pembentuk civil society 4.0 melalui advokasi sosial dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan wujud kontribusi substantif (jangka panjang) mahasiswa guna membangun peradaban bangsa yang lebih berkemajuan. 

Mahasiswa jangan hanya menjadi menara gading.

Selesai ......


Rabu, 06 November 2019

NEGARA HUKUM TRANSENDENTAL DAN KEPEMIMPINAN PROFETIK DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA


Thomas Aquinas mengatakan bahwa kitab suci sebagai hukum Tuhan yang tertulis (the part of eternal law which revealed in scriptures) berada di atas konstitusi sebagai human law. Aquinas menambahkan bahwa hukum alam sebagai hukum Tuhan yang melekat pada manusia (the part of eternal law which discovered through human reason) juga berada di atas konstitusi. Hukum alam disini mengandung tiga prinsip. Pertama, hidup secara terhormat (honeste vivere). Kedua, tidak merugikan orang lain (alterum non leadere). Ketiga, memberikan kepada setiap manusia apa yang menjadi haknya (suum quique tribuere).

Menempatkan hukum Tuhan yang tertulis dan hukum alam yang melekat pada diri manusia diatas konstitusi menjadikannya norma transendental yang harus menjadi pertimbangan dalam proses penegakan hukum, baik dari tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Terkait norma transendental, bangsa Indonesia sejujurnya telah memiliki nyawa itu dalam Pancasila. Pancasila sebagai precept dengan kekuatan imperatif kategoris pada prinsipnya telah memuat norma transendental khususnya pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Dengan demikian, Indonesia sebagai religous nation state seharusnya kuyup oleh norma-norma transendental dalam segala dimensi kehidupan, khususnya terkait dimensi hukum yang mana menjadi garda utama dalam rangka mewujudkan keadilan hakiki dan tata keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.

Jika ditelaah secara seksama, Indonesia pada prinsipnya tidak sekadar mengejawantah sebagai negara hukum demokratis, tetapi juga negara hukum transendental. Setidaknya ada tiga dasar legitimasi untuk dapat mengatakan Indonesia sebagai negara hukum transendental. Pertama, sila pertama dan sila kedua Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kedua, Pasal 29 ayat (1) konstitusi yang mengatakan “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, irah-irah putusan pengadilan yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Konsekuensi logis sebagai negara hukum transendental, maka segala aktivitas berhukum kita seharusnya melampaui dan tidak terkekang oleh rutinitas-rutinitas prosedural. Penegakan hukum harus dilaksanakan dengan memperhatikan tujuan dan makna filosofis dari aktivitas penegakan hukum itu sendiri yakni pencarian keadilan. Dalam bahasa Satjipto Rahardjo, penegakan hukum harus dilakukan dengan mesu budi, yakni mengerahkan seluruh potensi kejiwaan dalam diri dengan basis spiritualitas untuk mendapat inti cahaya keadilan.

Dalam negara hukum transendental, aktivitas pencarian keadilan (penegakan hukum) tidak sekadar dimaknai sebagai aktivitas formal-prosedural an sich, namun juga aktivitas teologis-spiritual yang mana mengharuskan manusia (penegak hukum) untuk menggali kaidah-kaidah Tuhan sebagai penuntun guna mendapat cahaya keadilan. Karena pada akhirnya, segala aktivitas pencarian keadilan (penegakan hukum) yang dilakukan oleh penegak hukum akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kepemimpinan Profetik

Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam kamus besar bahasa Indonesia profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Dalam dinamikanya, profetik berkaitan erat dengan kepemimpinan, maka lahirlah istilah “kepemimpinan profetik”.

Dalam konteks kepemimpinan, makna kepemimpinan profetik sendiri adalah kepemimpinan yang membawa misi humanisasi, liberasi, dan transendensi. Menurut Kuntowijoyo, makna kepemimpinan profetik dapat ditemukan dalam Surat Ali-Imran ayat 110.

Menurut Kuntowijoyo, kepemimpinan profetik yang pertama adalah “ta’muruna bil ma’ruf” yang diartikan sebagai misi humanisasi. Misi humanisasi pada prinsipnya adalah misi besar untuk memanusiakan manusia. Mengangkat harkat dan martabat manusia. Serta menanamkan nilai tanggungjawab atas apa yang mereka lakukan.

Kepemimpinan profetik yang kedua adalah “tanhauna ‘anil munkar” yang diartikan sebagai misi liberasi. Misi liberasi pada prinsipnya adalah misi untuk membebaskan manusia dari sistem penghetahuan, sosial, ekonomi, dan politik yang membelenggu. Serta membebaskan manusia dari dominasi struktural yang membuat manusia terjerat dalam penindasan.

Kepemimpinan profetik yang ketiga adalah “tu’minuna billah” yang diartikan sebagai misi transendensi. Misi transendensi adalah usaha untuk menuntun hidup manusia agar bermakna. Bermakna disini mengandung arti mengarahkan manusia untuk menjalankan nilai-nilai humanisme ke arah nilai-nilai ketuhanan sebagai sebuah kesadaran ilahiyah.

Jika ditelaah menggunakan kacamata filsafat yakni ontologis, epistimologis, dan aksiologis, maka tiga pilar diatas akan tampil berurutan. Humanisasi sebagai landasan ontologis. Liberasi sebagai landasan epistimologis. Dan transendensi sebagai landasan aksiologis. Mengingat transendensi dipandang sebagai nilai yang dituju (aksiologis), maka hakikat dari kehidupan manusia pada dasarnya adalah untuk mengabdi kepada tujuan-tujuan transendensi atau tujuan ilahiyah.

Urgensi Kepemimpinan Profetik Dalam Penegakan Hukum Pidana

Hukum pidana sering disebut sebagai hukum materil dan hukum substantif. Mengingat hakikat hukum pidana menitikberatkan pada pencarian kebenaran materil dan keadilan substantif.

Hal ini tentunya berbeda dengan hukum perdata yang lebih menitikberatkan pada pencarian kebenaran dan keadilan formal.
Dalam hukum pidana, asas pembuktiannya adalah beyond reasonable of doubt (tanpa keraguan). Hal ini mengandung arti bahwa hakim ketika menjatuhkan hukuman pidana kepada seseorang harus tanpa keraguan sedikitpun, di mana selain minimal terdapat dua alat bukti, seorang hakim juga harus memiliki keyakinan kuat bahwa memang benar-benar terdakwalah yang bersalah dan patut dijatuhi pidana. Sedangkan dalam hukum perdata, asas pembuktiannya adalah prepoderance evident yang mana menitikberatkan pada bukti-bukti formal.

Konkretnya, penegakan hukum pidana pada prinsipnya bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materil dan keadilan substantif. Hal yang tentunya berbeda dengan penegakan hukum perdata yang mana bertujuan untuk mendapatkan kebenaran formil, kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti formil. Maka dari itu, dalam konteks pembuktian, hukum perdata meletakkan alat bukti surat (nilai formal) pada posisi pertama dalam hierarki alat bukti. Sedangkan dalam pembuktian hukum pidana, alat bukti keterangan saksi (nilai materil) diletakkan sebagai alat bukti pertama dalam hierarki alat bukti.

Penegakan hukum pidana sendiri pada prinsipnya merupakan aktivitas sistem dalam bingkai sistem peradilan pidana. Di mana terdapat kinerja secara integral dan sistematik antara kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), kejaksaan (penuntutan), pengadilan (vonis), dan lembaga pemasyarakatan (pelaksanaan pemidanaan) untuk mendapatkan kebenaran materil dan keadilan substantif. Jika di kontekstualisasikan dengan esensi kepemimpinan profetik, maka proses penegakan hukum pidana akan membentuk suatu hubungan respirokal antara misi transendensi dan misi mencari keadilan substantif. Di mana misi transendensi akan mengejawantah sebagai landasan untuk mempermudah mendapatkan keadilan substantif.

Kepemimpinan profetik sendiri mengandung dua pengertian. Kepemimpinan secara struktur dan juga kepemimpinan secara internal. Kepemimpinan profetik secara struktur mengandung arti bahwa pimpinan dalam proses penegakan hukum pidana di setiap tingkat pemeriksaan harus mengejawantahkan nilai-nilai kepemimpinan profetik. Sedangkan kepemimpinan profetik secara internal mengandung arti bahwa dalam proses penegakan hukum pidana tiap-tiap penegak hukum dalam dirinya harus dipimpin oleh ghiroh kepemimpinan profetik.

Kepemimpinan profetik dalam penegakan hukum pidana memiliki dua arti penting. Pertama, meletakkan aktivitas penegakan hukum pidana tidak sekadar aktivitas formal-prosedural tetapi juga aktivitas teologis-spiritual. Hal ini mengandung arti bahwa penegakan hukum pidana tidak sekadar dimaknai sebagai aktivitas menegakkan hukum secara an sich, tetapi juga aktivitas bringing to the justice dengan menggali norma-norma transenden universal yang termaktub dalam kitab suci.

Kedua, meletakkan aktivitas penegakan hukum pidana sebagai bentuk tanggungjawab ilahiyah tidak sekadar tanggungjawab formal. Dalam arti, proses dan hasil dalam penegakan hukum pidana akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Hal ini membuat para penegak hukum akan mengkonstruksikan aktivitas penegakan hukum pidana sebagai misi suci, misi ilahiyah yang kuyup dengan nilai-nilai spiritualitas religius. Konkretnya, para penegak hukum akan membawa misi transendensi (tujuan kepemimpinan profetik) ke dalam aktivitas penegakan hukum pidana yang kemudian akan melahirkan sinkretisme energi (ghiroh) sebagai basis untuk menggali sekaligus mendapatkan kebenaran materil dan keadilan substantif.

Oleh karena itu, urgensi kepemimpinan profetik dalam penegakan hukum pidana adalah sebagai basis filosofis (moral) dan basis tanggungjawab untuk menggali, menemukan, dan mendapatkan kebenaran materil serta keadilan substantif yang mana merupakan nilai esensial dalam penegakan hukum pidana.