Jumat, 25 Desember 2020

PUISI: SEMARANG

Tugu muda melekat dalam aorta

Simpang lima dan jalan pahlawan membentang ziarah rindu

Lumpia dan tahu gimbal berjejal menggoda birahi lidah 

Kerasnya Tanjung Emas dan hijaunya gombel tergiang dalam maji

Di kota ini, aku pernah tumbang oleh kerasnya congyang. Stadion Diponegoro yang lusuh itu menjadi saksi bisu.

Di kota ini, aku merajut mimpi besar. Bergelut dengan tekad. 

Semarang, aku mencintaimu. Aroma harum tanahmu adalah separuh jiwaku.

Rabu, 09 Desember 2020

PERAN PEMUDA DALAM MELAWAN KORUPSI

 

Setiap tanggal 9 Desember masyarakat di seluruh dunia memperingati Hari Anti Korupsi Internasional berdasarkan Resolusi PBB Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003. Momentum peringatan Hari Anti Korupsi Internasional hendaknya menjadi sebuah telaah refleksi untuk memperkuat sinergitas dalam melawan korupsi baik secara internal (dalam negeri) maupun kolektif-eksternal (internasional), bukan sekadar perayaan simbolis-repetitif yang kehilangan makna substantifnya. Dalam tataran internal, korupsi hendaknya perlu mendapat atensi serius oleh seluruh elemen bangsa, mengingat hingga detik ini korupsi masih menjadi virus akut bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Korupsi telah merayap dalam segala lini baik, eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga auxiliary organ. Begitupun dalam bingkai vertikal, baik di pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, hingga pemerintahan desa pun tidak luput dari korupsi. Fenomena korupsi di Indonesia seakan menjadi penegas pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968) bahwa perkembangan korupsi pada awalnya dimulai secara sporadis kemudian merebak dan meluas dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri. Faktanya, di Indonesia awalnya korupsi juga bersifat sporadis dan sentralistik kemudian merebak dan meluas ke daerah-daerah hingga desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia belum sampai membunuh masyarakatnya dan itulah yang harus kita cegah bersama.

Fenomena korupsi sendiri masih tumbuh secara masif. Berdasarkan data ICW, sepanjang semester I tahun 2020 (1 Januari hingga 30 Juni 2020) terdapat 169 kasus korupsi di Indonesia yang disidik oleh penegak hukum, tersangka yang ditetapkan sejumlah 372 orang, dengan total kerugian negara mencapai Rp 18,1 triliun rupiah.

Yang mencengangkan, 44 dari 169 kasus korupsi tersebut terjadi pada sektor anggaran dana desa. Hal ini menjadi sebuah realitas bahwa korupsi kini telah menjamah hingga sekup negara terkecil, desa. Selain itu, sejak Januari hingga Juni 2020 terdapat 1008 perkara korupsi yang telah disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung dengan jumlah terdakwa sebanyak 1043 orang. Jumlah perkara dan terdakwa korupsi  yang disidangkan pada semester I tahun 2020 meningkat dibanding semester 1 tahun 2019 lalu, yang hanya ada 497 perkara yang disidangkan dengan total terdakwa sebanyak 504 orang.

Semakin masifnya praktik korupsi dewasa ini hendaknya menjadi alarm bagi seluruh elemen bangsa untuk lebih peduli dan aware terhadap semangat anti korupsi dan pemberantasan korupsi. Ekses dari pada korupsi sendiri sangat luas dan merusak sendi-sendi fundamental kehidupan negara. Korupsi di bidang pendidikan misalnya, membuat anak-anak dan pemuda Indonesia tidak dapat menikmati fasilitas dan daya dukung pendidikan yang optimal. Korupsi di bidang kesehatan, membuat masyarakat tidak dapat menikmati fasilitas kesehatan yang layak. Korupsi di sektor infrastruktur, membuat infrastruktur menjadi rapuh dan secara tidak langsung bisa mengancam nyawa. Korupsi di bidang sosial ekonomi, membuat kemiskinan dan ketimpangan sosial semakin tinggi. Konkretnya, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus kita lawan dan perangi bersama.

Akar Penyebab Korupsi Secara Teoritik

Akar penyebab korupsi pada prinsipnya dapat ditelaah berdasarkan teori-teori ilmiah yang telah diakui dalam wacana akademis. Secara teoritik, banyak teori-teori yang dapat menelaah dan menjelaskan perihal sebab musabab terjadinya praktik korupsi. Berikut saya beberapa teori-teori yang menjelaskan perihal sebab-musabab terjadinya korupsi.

Pertama, teori GONE yang dipopulerkan oleh Jack Bologne. Menurut teori GONE, akar penyebab dari korupsi terbagi atas 4 elemen, yakni keserakahan (greed), kesempatan (oportuniy), kebutuhan (needs), dan minim pengungkapan (exposure). Kedua, teori cost-benefit. Menurut teori ini korupsi akan terjadi manakala mafaat dari melakukan korupsi (benefit) lebih besar dari pada biaya/resikonya (cost). Konkretnya, apabila hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan jumlah korupsi yang telah dilakukan. Ketiga, teori CDMA yang dipopulerkan oleh Robert Klitgaard. Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (Corruption - Directionary + MonopolyAccountability).

Keempat, teori fraud triangle yang dipopulerkan oleh Donald R Cressey. Menurut teori ini, korupsi terjadi akibat adanya kesempatan, motivasi, dan rasionaliasi. Ketiga faktor tersebut memiliki hubungan respirokal yang sama derajatnya. Kelima, teori willingness and oportunity to corrupt. Menurut teori ini, korupsi terjadi ketika terdapat kesempatan (kelemahan sistem pencegahan, lemahnya pengawasan, rendahnya awareness masyarakat) dan niat (didorong oleh kebutuhan atau keserakahan).

Mengingat dampak dan penyebab korupsi begitu luas, maka diperlukan sebuah semangat sinergitas dari seluruh elemen bangsa sesuai dengan peran dan porsinya masing-masing untuk melawan praktik korupsi dan segala manifestasinya. Salah satu elemen penting yang harus mengambil peran dalam rangka perang melawan korupsi adalah para kaum pemuda. Menurut saya, pemuda memiliki segala sumber daya (semangat, idealisme, determinasi, kooperatif) yang dapat dimobilisasi untuk memperkuat perang melawan korupsi.

Peran Pemuda dalam Melawan Korupsi

Secara retrospektif, pemuda Indonesia selalu mengambil peran penting dan krusial dalam perjalanan bangsa ini. Dimulai dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Peristiwa Rengasdengklok yang menentukan proklamasi kemerdekaan, Peristiwa Malari 1974, hingga peristiwa reformasi 1998, pemuda Indonesia selalu menjadi penentu dinamika sejarah bangsa.

Oleh sebab itu, values yang telah ditorehkan generasi pemuda pendahulu tersebut hendaknya bisa direfleksikan oleh para pemuda Indonesia saat ini untuk memperkuat soliditas dan relasi sosio-nasionalisme guna melawan musuh aktual bangsa. Jika generasi pemuda dahulu memiliki lawan penjajahan dan otoritatianisme, maka musuh aktual bagi generasi muda saat ini adalah korupsi. Pemuda memiliki beberapa peran penting yang bisa dijalankan dalam rangka perang melawan korupsi.

Pertama, agen anti korupsi. Pemuda identik dengan idealisme, semangat, keterbukaan, dan determinasi. Modal alamiah yang dimiliki oleh kaum pemuda ini hendaknya mampu diejawantahkan dalam sikap dan prinsip anti korupsi. Konkretnya, para pemuda harus bisa menjadi agen anti korupsi yang mampu menginternalisasi nilai dan menginfluence semangat anti korupsi dalam setiap tataran lingkungan di mana dia berada. Baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan, hingga lingkungan masyarakat.

Para kaum muda harus mampu menjadi suri tauladan bagi lingkungan dan relasinya dengan perbuatan maupun tindakan yang mencerminkan semangat anti korupsi. Di sekolah misalnya, para pemuda (siswa) hendaknya mampu berlaku jujur dan adil, contohnya dengan tidak mencontek ketika ujian. Selain itu, para pemuda hendaknya juga mampu memanfaatkan platform media sosial yang dimilikinya untuk mempromosikan atau menyebarluaskan nilai-nilai positif anti korupsi. Sikap-sikap anti korupsi yang sederhana namun dilakukan secara repetitif dan masif tentunya akan memiliki ekses signifikan dalam rangka menekan praktik korupsi di kemudian hari.

Kedua, stabilitator anti korupsi. Pemuda harus mampu mengambil peran sebagai stabilitator anti korupsi, dalam arti pemuda harus mampu menjadi entitas yang konsisten dan responsif untuk melakukan perang melawan korupsi. Misalnya dengan melakukan demonstrasi secara masif terhadap kebijakan negara yang bernuansa koruptif. Demonstrasi melawan kebijakan negara yang koruptif sendiri merupakan wujud sustanaible values to fight corruption (semangat keberlanjutan melawan korupsi) sekaligus bentuk shock therapy bagi negara agar tidak melakukan praktik-praktik koruptif kembali di kemudian hari. Dengan adanya konsistensi dan responsibilitas dari pemuda dalam melawan korupsi, maka ruang sosial akan terkondisikan dan terinfluence untuk merawat semangat itu tetap menyala.

Ketiga, panglima perang anti korupsi. Dalam arti, pemuda harus mampu menjadi pihak yang berada di garda terdepan untuk melawan praktik-praktik korupsi yang terjadi. Contoh konkretnya adalah dengan responsibilitas dan keberanian untuk melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang apabila terdapat praktik-praktik korupsi dilingkungannya. Keberanian untuk melaporkan praktik korupsi merupakan salah satu sarana untuk menekan praktik korupsi, hal ini sejalan dengan teori GONE bahwa salah satu aspek penyebab korupsi adalah karena minimnya pengungkapan (exposure).

Keempat, advokasi anti korupsi. Para pemuda hendaknya membangun sebuah relasi dan jejaring yang luas baik dengan sesama kelompok pemuda maupun dengan akademisi hukum dan civil society, misalnya Lembaga Bantuan Hukum guna menunjang optimalisasi dan fungsionalisasi kerja-kerja advokasi anti korupsi. Advokasi anti korupsi adalah kegiatan untuk memberikan pendidikan, pemahaman, penghetahuan, wawasan, strategi, sekaligus membangun soliditas untuk mencegah dan melawan korupsi. Masyarakat perlu mendapatkan advokasi anti korupsi mengingat masih banyaknya masyarakat yang belum memahami arti, sebab, bahaya, dan implikasi dari korupsi bagi dirinya, masyarakat, maupun secara luas bagi eksistensi kehidupan bangsa. Jika advokasi anti korupsi dapat tumbuh secara masif, maka kesadaran masyarakat terhadap sikap anti korupsi akan tumbuh secara luas, dan hal ini akan berimbas positif dan bermuara pada minimalisasi secara signifikan praktik-praktik korupsi.

 

 

 

 

KORUPSI, MALA IN SE, DAN MARWAH KPK

Dua menteri kabinet pemerintahan Jokowi 2019-2024 kini berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus korupsi. Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan non-aktif) dan terbaru, Juliari Batubara (Menteri Sosial) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Edhy Prabowo sendiri diduga menerima suap sebesar 3,4 miliar rupiah dan 100.000 dollar AS terkait izin ekspor benih lobster. “Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer rekening dari rekening ABT ke rekening salah satu bank atas nama AF sebesar 3,4 miliar rupiah yang diperuntukkan bagi keperluan EP, IRW (istri EP), SAF dan APM”, demikian rilis KPK yang disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango pada konferensi pers tanggal 25 November 2020.

Disamping itu, pada Mei 2020, Edhy juga diduga menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Direktur PT DPP Suharjito melalui Safri dan seorang pihak swasta bernama Amiril Mukminin. Edhy Prabowo pun ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Setelah Edhy Prabowo, kini giliran Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial Covid-19. Juliari Batubara diduga menerima uang suap sekitar 8,2 miliar rupiah dalam pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama dan 8,8 miliar rupiah pada periode kedua. Dengan demikian total Juliari Batubara diduga menerima uang suap sebesar 17 miliar rupiah (rilis bbc.com, 6/12/2020). Juliari Batubara sendiri dikenakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor.

Kini, total telah ada 4 menteri di era pemerintahan Jokowi yang tersandung kasus korupsi. Idrus Marham, Imam Nachrowi, Edhy Prabowo, dan Juliari Batubara, keempatnya adalah menteri dari golongan parpol. Angka ini menyamai era pemerintahan rezim Megawati dan SBY yang juga sama-sama mengirim 4 menterinya tersandung kasus korupsi.

Menurut analisis saya ada dua 3 faktor yang menyebabkan para menteri khususnya dari golongan partai politik banyak tersandung kasus korupsi. Pertama, hasrat dan keserakahan. Iklim dan kultur dunia politik yang sangat oportunis dan materialistik telah menanamkan karakter demikian kepada setiap orang yang berkecimpung dalam dunia politik.

Kedua, ongkos politik. “Tidak ada makan siang gratis dalam politik” demikian pepatah yang lazim dikenal dalam percaturan politik. Ketika seseorang ditunjuk oleh parpol menjadi menteri untuk mengisi slot jatah dari presiden, maka si menteri tersebut tidak hanya berperan sebagai pembantu presiden namun juga berperan sebagai kepanjangan tangan parpol. Di sinilah beragam sengkarut kepentingan praktis dan kongkalikong kerap terjadi sebagai sarana mendapatkan feedback.

Ketiga, teori cost-benefit. Hukuman pidana yang dijatuhkan relatif tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan (korupsi). Artinya, resiko yang ditanggung tatkala melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diterimanya. Hal ini membuat tujuan prevensi general (preventif) maupun prevensi khusus (represif) dari suatu pemidanaan tidak mampu tercapai.

Korupsi adalah Mala In Se

Dalam doktrin ilmu hukum pidana, tindak pidana dapat dibagi dalam dua golongan, mala in se dan mala prohibitia. Mala in se adalah suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang jahat bukan karena sekadar diatur dalam UU sebagai tindak pidana melainkan juga karena secara lahiriah perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral, dan prinsip umum masyarakat yang beradab.

Sedangkan mala prohibitia adalah suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana karena secara formal diatur dalam UU sebagai tindak pidana. Menurut Jeremy Banthem, suatu perbuatan yang tergolong sebagai mala prohibitia bersifat not immutable (dapat berubah), artinya dalam ruang dan waktu yang berbeda perbuatan tersebut bisa saja dilakukan dekriminalisasi. Sedangkan mala in prohibitia bersifat immutable (tetap), artinya dalam ruang dan waktu kapanpun suatu perbuatan tidak bisa dirubah sebagai bukan tindak pidana.

Tindak pidana korupsi sendiri tergolong sebagai mala in se. Perbuatan yang secara lahiriah diametrikal dengan prinsip norma, nilai, keadaban, dan moral. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang tergolong mala in se sangat pantang untuk dilakukan oleh para pejabat publik, terlebih sekelas menteri. Pejabat publik adalah pemimpin rakyat yang bekerja atas sumpah. Maka, sangat teramat tidak elok apabila perbuatan mala in se dilakukan oleh para pejabat publik. Hukuman yang berat pantas dijatuhkan kepada para pejabat publik yang melakukan perbuatan-perbuatan mala in se khususnya tindak pidana korupsi.

Marwah KPK

Sebelum penangkapan Edhy Prabowo dan penetapan tersangkan Juliari Batubara yang notabene adalah dua “petinggi” pemerintahan pusat. Kredibilitas KPK baik sebagai institusi kelembagaan maupun secara personal individu relatif mendapatkan presepsi yang kurang positif di mata masyarakat. Revisi UU KPK dan kasus pelanggaran etik yang menimpa Ketua KPK, Firli Bahuri semakin menipiskan harapan dan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kapabilitas dan indepedensi KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di negeri ini.

Namun atensi dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja KPK periode ini mulai tumbuh ketika KPK mampu dan “berani” mengungkap kasus dugaan korupsi yang melibatkan dua menteri yang notabene berasal dari dua parpol penguasa, PDIP dan Gerindra. Hal ini harus menjadi titik momentum untuk mengembalikan kembali marwah KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi yang berani dan tanpa pandang bulu.

Titik momentum itu diawali dengan pengungkapan kasus dugaan korupsi yang menimpa Edhy Prabowo dan Juliari Batubara hingga tuntas. Selanjutnya, bagaimana KPK meningkatkan kinerja fungsinya baik secara preventif maupun represif untuk memberantas korupsi. Jika KPK mampu menjalankan fungsinya secara tegak lurus, maka saya yakin segenap rakyat Indonesia akan selalu mendukung dan menaruhkan harapannya kepada KPK untuk membungkus para tikus-tikus berdasi.

 

 

URGENSI AKSES UNIVERSAL SANITASI INKLUSIF BAGI PENYANDANG DISABILITAS

 

Berdasarkan data Bappenas tahun 2018, ada 8,56% atau 21,84 juta penduduk Indonesia penyandang disabilitas. Jumlah yang relatif besar ini tentunya harus menjadi atensi khususnya oleh negara, agar para penyandang disabilitas dapat mendapatkan kesetaraan hak dan keadilan dalam realitas kehidupan sosial. Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban negara.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dari pengertian di atas dapat ditelaah bahwa penyandang disabilitas secara alamiah pasti memiliki hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam aktivitas maupun interaksi sosial. Maka dari itu, diperlukan suatu tindakan afirmatif, protektif, dan pemenuhan aksesbilitas yang inklusif oleh negara demi terwujudnya kesetaraan hak dan keadilan. Salah satunya perihal sanitasi.

Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Membahas mengenai sanitasi dalam relasinya dengan penyandang disabilitas, maka fokus pembahasan kita adalah menelaah bagaimana peran negara dalam menjamin pemenuhan akses dan infrastruktur universal sanitasi yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

Jangan lupa, menurut Pasal 12 UU Nomor 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas memiliki hak atas kesehatan khususnya hak memperoleh alat bantu kesehatan berdasarkan kebutuhannya. Poin ini dapat dielaborasi bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan infrastruktur terhadap akses universal sanitasi yang inklusif (ramah bagi penyandang disabilitas). Pemenuhan infrastruktur terhadap akses universal sanitasi yang inklusif artinya seluruh warga negara Indonesia berhak mendapatkan akses sanitasi yang layak baik bagi warga negara non-disabilitas maupun penyandang disabilitas.

Secara empirik, para penyandang disabilitas sendiri masih mengalami kendala terkait akses sanitasi dasar, baik di rumah maupun di ruang publik, misalnya terkait toilet yang relatif belum ramah terhadap kaum disabilitas. Di ruang-ruang publik misalnya mall, rumah ibadah, terminal, stasiun, dll masih minim desain toilet yang ramah bagi kaum disabilitas. Faktor kemiskinan (Data Susenas 2019: 72,9% penyandang disabilitas hidup dalam kemiskinan) dan minimnya compasion membuat pemenuhan akses sanitasi yang inklusif bagi kaum disabilitas masih sulit untuk dipenuhi. Realitas ini tentunya harus menjadi etensi bersama khususnya oleh negara dalam hal ini pemerintah dan segala alat kelengkapannya. Selain itu, dukungan dari masyarakat maupun civil society juga memiliki peranan penting guna mendukung pemenuhan akses universal sanitasi yang inklusif.

Salah satu civil society yang ikut andil dalam mendorong terpenuhinya pemenuhan akses universal sanitasi yang inklusif adalah Plan. Plan ikut ambil bagian dalam mewujudkan akses universal sanitasi yang inklusif melalui program inklusi disabilitas STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) khususnya di wilayah Indonesia timur yang telah dilakukan sejak 2013 (Sumber: medcom.id, 03/04/2016, diakses 26/11/2020).

Urgensi Akses Universal Sanitasi Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas

Pertama, perspektif Pancasila. Bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan basis value yang harus dipraksiskan dalam kenyataan empirik. Pemenuhan akses universal sanitasi yang inklusif bagi penyandang disabilitas merupakan wujud implementasi dan tanggung jawab negara dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, perspektif Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Menurut Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea IV, salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Nah, pemenuhan akses universal sanitasi inklusif sendiri merupakan wujud dari perlindungan negara terhadap kaum disabilitas sebagai bagian dari rakyat Indonesia.

Ketiga, perspektif hak asasi manusia. Menurut Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Norma dalam Pasal ini mengandung tanggungjawab konstitusional kepada negara bahwa kaum disabilitas berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuaan khusus, salah satunya dalam wujud pemenuhan akses sanitasi yang inklusif. Selain itu, berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas juga memiliki hak atas pelayanan kesehatan khusus demi terwujudnya kesetaraan, keadilan, dan non-diskriminatif.

Keempat, perspektif sosiologis. Bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan miskin yang disebabkan adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, pengurangan, dan penghilangan hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, pemenuhan akses universal sanitasi yang inklusif dari negara maupun civil society merupakan sebuah keniscayaan demi pemenuhan kesehatan dan perlindungan terhadap penyandang disabilitas.

Solusi

Pertama, negara harus lebih aware terhadap kaum disabilitas khususnya terkait pemenuhan akses universal sanitasi yang inklusif. Negara melalui pemerintah hendaknya memasukkan program pemenuhan akses universal sanitasi yang inklusif dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) demi kepastian perlindungan terhadap kaum disabilitas.

Kedua, harus ada compasion secara sinergis-integral antara pihak-pihak terkait dari keluarga, masyarakat, pemerintah desa, pemerintah daerah, pemerintah pusat, swasta, hingga civil society untuk memastikan pemenuhan akses universal sanitasi yang inklusif bagi kaum disabilitas.

 

 

 

 

 

REFLEKSI 28 TAHUN PELINDO IV

 

Historisitas Pelindo IV

PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) atau Pelindo IV merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepelabuhan. PT Pelindo IV didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991 tentang Pengalihan bentuk Perseroan Umum Pelabuhan IV menjadi Perseroan Terbatas yang anggaran dasarnya disahkan melalui akta nomor 7 tahun 1992 oleh Notaris Imas Fatimah S.H. di Jakarta. Oleh karena itu, secara yuridis, PT Pelindo IV lahir sejak penandatanganan Anggaran Dasar Perusahaan oleh Sekjen Dephub berdasarkan Akta Notaris Imas Fatimah Nomor 7 tanggal 1 Desember tahun 1992.

Dikutip dari inaport4.co.id, PT Pelindo IV memiliki latar belakang sejarah nan panjang yang terbagi dalam beberapa tahapan dan merupakan alur kronologis bagi kelahiran dan keberadaan PT Pelindo IV pada tahun 1992 yang bertahan hingga sekarang. Pertama, tahun 1957-1960. Pada masa awal kemerdekaan, pengelolaan pelabuhan berada dibawah koordinasi Djawatan Pelabuhan. seiring dengan adanya nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda dan dengan dikeluarkannya PP No. 19/1960, maka status pengelolaan pelabuhan dialihkan dari Djawatan Pelabuhan berbentuk badan hukum yang disebut Perusahaan Negara (PN).

Kedua, tahun 1960-1963. Berdasarkan PP No. 19 tahun 1960 tersebut pengelolaan pelabuhan umum diselenggarakan oleh PN pelabuhan I-VIII. Di kawasan Timur Indonesia sendiri terdapat 4 PN Pelabuhan yaitu: PN Pelabuhan Banjarmasin, PN Pelabuhan Makassar, PN Pelabuhan Bitung, dan PN Pelabuhan Ambon. Ketiga, tahun 1964-1969. Pada masa order baru, pemerintah mengeluarkan PP 1/1969 dan PP 19/1969 yang melikuidasi PN Pelabuhan menjadi Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) yang di pimpin oleh Administrator Pelabuhan sebagai penanggung jawab tunggal dan umum di pelabuhan. Dengan kata lain aspek komersial tetap dilakukan oleh PN Pelabuhan, tetapi kegiatan operasional pelabuhan dikoordinasikan oleh Lembaga Pemerintah yang disebut Port Authority.

Keempat, tahun 1969-1983. Pengelolaan Pelabuhan dalam likuiditas dilakukan oleh Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) berdasarkan PP 1/1969 dan PP 18/1969. Dengan adanya penetapan itu, pelabuhan dibubarkan dan Port Authority digantikan oleh BPP. Kelima, tahun 1983-1992. Status pelabuhan dalam likuidasi yang di kenal dengan BPP berakhir dengan keluarnya PP 11/1983 dan PP 17/1983 yang menetapka bahwa pengelolaan pelabuhan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Keenam, tahun 1992 hingga sekarang. Dilandasi oleh pertimbangan peningkatan efisiensi dan efektifitas perusahaan serta dengan melihat perkembangan yang dicapai oleh perum pelabuhan IV, pemerintah menetapkan melalui PP 59/1991 bahwa pengelolaan pelabuhan di wilayah Perum Pelabuhan IV dialihkan bentuknya dari Perum menjadi (Persero). selanjutnya Perum Pelabuhan Indonesia IV beralih menjadi PT (Persero) Pelabuhan Indonesia IV.

Peran Filantropi Pelindo IV Untuk Indonesia Maju

Eksistensi sebuah BUMN sejatinya tidak hanya berorientasi pada aspek materil atau mencari keuntungan semata, tetapi lebih jauh dari itu, sebuah BUMN hendaknya juga mampu memberikan dampak konstruktif kepada masyarakat untuk bangkit dari ketertinggalan dengan melakukan peran-peran filantropi untuk mendorong terwujudnya pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan infrastruktur, mendukung terwujudnya kemandirian, kesejahteraan, dan pemerataan ekonomi.

28 tahun tentunya bukan waktu yang sebentar bagi BUMN PT Pelindo IV untuk mengukir berbagai kontribusi melalui peran-peran filantropi guna mendukung kemajuan Indonesia. Peran filantropi adalah sumbangsih positif berdasarkan sikap responsibility yang tulus terhadap masyarakat, bangsa, dan negara.

Dari segi infrastruktur, PT Pelindo IV telah melakukan pembenahan-pembenahan serius dalam 5 tahun kebelakang. Salah satunya, pembangunan Makassar New Port yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional. Pada 2016 lalu, Pelindo IV juga telah membangun infrastruktur memadai di 8 pelabuhan, meliputi: Pelabuhan Sorong, Bitung, Tarakan, Ternate, Kendari, Manokwari, Jayapura, dan Merauke. Pembangunan infrastruktur tentunya memiliki basis makro (tidak langsung) terkait hubungan respirokal antara PT Pelindo IV dan masyarakat.

Selain dari segi infrastruktrur, PT Pelindo IV juga melaksanakan peran filantropi secara mikro (langsung) melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) khususnya di wilayah kawasan timur Indonesia. CSR DAN PKBL bertujuan untuk mendorong terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Kegiatan CSR PT Pelindo IV selalu fokus pada 6 program, yakni pengentasan kemiskinan, pelestarian alam, pemberdayaan kesehatan masyarakat, pemberdayaan pendidikan masyarakat, sarana peribadatan, serta pemberdayaan infrastruktur. Pada tahun 2019 sendiri, PT Pelindo IV menyalurkan total bantuan CSR sebesar 15,78 miliar rupiah.

Ekses dari program CSR dan PKBL meliputi: bantuan usaha kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), bimbingan dan pelatihan melalui capasity building kepada setiap kelompok usaha yang mendapatkan bantuan dana PKBL, kerja sama dengan pemerintah daerah dan badan amal, donor darah sebagai ekspresi kemanusiaan secara rutin, bantuan sosial terhadap bencana alam, hingga mitigasi lingkungan sebagai basis sustanaible development.

Kemudian, di masa pandemi Covid-19, PT Pelindo IV juga responsif dengan memberikan CSR berupa bantuan APD, Masker, wastafel portable, hingga sembako guna mendukung kinerja pemerintah dalam rangka penanggulangan Covid-19. Khusus untuk kota Makassar tercatat hingga Juni 2020, PT Pelindo IV telah menyalurkan dana CSR sebesar 1,054 miliar rupiah. Bantuan tersebut disalurkan kepada pemerintah kota Makassar sebagai wujud sumbangsih PT Pelindo IV dalam mendukung upaya restorasi ekonomi dan pemutusan rantai penularan Covid-19.

Kepedulian dan konsistensi PT Pelindo IV di bidang CSR pun diganjar dengan 2 penghargaan TOP CSR Awards 2020 pada kategori Top CSR Awards #Star 4 untuk Perseroan dan Top Leader On CSR Comitment kepada Direktur Utama Pelindo IV, Prasetyadi. Ketua Penyelenggara TOP CSR Awards 2020 sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Top Business, Moh. Luthfi Handayani, menjelaskan bahwa kegiatan ini diikuti oleh 120 perusahaan finalis dari 200 perusahaan peserta (Sumber: Terkini.id, 07/08/2020, diakses 21/11/2020).

Arah CSR ke Depan

Meskipun kepedulian dan konsistensi PT Pelindo IV di bidang CSR tidak perlu diragukan lagi, namun tentu ada hal-hal yang perlu diperbaiki guna menunjang kontribusi yang sustanaible demi mendukung kemajuan Indonesia. Khususnya terkait pembangunan di bidang sumber daya manusia melalui pendidikan. Pendidikan adalah infrastruktur fundamental sekaligus investasi jangka panjang bagi kemajuan suatu bangsa. Konkritnya, proporsionalitas dan urgensi pendidikan bagi masyarakat khususnya di kawasan Indonesia timur perlu mendapat atensi lebih.

Menurut rilis terbaru BPS pada tahun 2019, Indeks Pembangunan Manusia tingkat provinsi terendah di Indonesia mayoritas didominasi oleh provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia, terendah ditempati oleh provinsi Papua dengan nilai IPM 60,84. Tercatat provinsi dengan nilai IPM terendah dari peringkat 34-31 ditempati oleh provinsi di kawasan timur Indonesia, berurutan: Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Barat  (Sumber: tirto.id, 17/02/2020, diakses 21/11/2020).

Indeks Pembangunan Manusia sendiri adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara (Sumber: indopolitika.com, 27/08/2019, diakses 21/11/2020).

Di sisi lain, Menteri BUMN, Erick Thohir turut mengritisi bahwa CSR BUMN belum fokus pada sektor pendidikan di Indonesia. Menurut Erick, dana CSR BUMN yang mengalir ke sektor pendidikan hanya 22 persen setiap tahun (Sumber: cnbcindonesia.com, 14/12/2019, diakses 21/11/2020). Erick Thohir akan menaikkan CSR pendidikan kalau bisa 30 persen. Menurut Erick Thohir, CSR BUMN lebih banyak dialokasikan untuk bidang sosial dan ekonomi, sedangkan di bidang pendidikan masih minim.

Maka dari itu, ke depan CSR PT Pelindo IV harus dioptimalisasi secara proporsional untuk bidang pendidikan. Ada dua alasan urgen terkait hal ini. Pertama, pendidikan adalah basis infrastruktur dan pembangunan kualitas manusia yang sangat vital dalam mendorong kemajuan bangsa. Tidak ada bangsa yang maju tanpa memiliki pendidikan yang berkualitas. Kedua, terkait realitas IPM di provinsi-provinsi kawasan Indonesia timur yang masih berada di papan bawah untuk ukuran IPM per provinsi di Indonesia. Di sisi lain, peran-peran filantropi yang dikerjakan oleh PT Pelindo IV maupun oleh BUMN-BUMN lain hendaknya juga didukung.