Sabtu, 31 Oktober 2020

TITIK TEMU HUKUM DAN DEMOKRASI

 

Indonesia adalah negara yang menganut sistem politik demokrasi. Meskipun kata "demokrasi" sendiri tidak pernah tertulis secara eksplisit dalam konstitusi. Entitas sebagai negara demokrasi tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".

Selain Pasal 1 ayat (2), substansi sebagai negara demokrasi juga terpenuhi dalam konstitusi melalui adanya pemilu berkala yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang independen dan imparsial (Pasal 22 E), kemudian yang paling krusial adalah adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam rangka kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat (Pasal 28 E).

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga dapat kita lihat bahwa sistem demokrasi negara kita dipandu berdasarkan UUD yang merupakan hukum dasar dalam bernegara. Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa "negara Indonesia adalah negara hukum". Berdasarkan konstruksi dua Pasal tersebut dapat kita ejawantahkan bahwa sistem demokrasi negara Indonesia dilaksanakan dan dipandu berdasarkan kedaulatan hukum atau yang sering disebut sebagai nomokrasi.

Konsekuensi logisnya adalah bahwa negara demokrasi kita bukanlah negara demokrasi liberal yang berdasarkan kebebasan absolut rakyat melainkan negara demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan hukum, di mana hukum tampil sebagai landasan fundamental dalam mekanisme pelaksanaan demokrasi. Artinya rakyat dalam melaksanakan aktifitas demokrasi harus mengikuti aturan main dan mekanisme sesuai yang ditetapkan oleh hukum.

Misalnya, mengenai hak kebebasan mengemukakan pendapat yang merupakan hak esensial dari pada entitas demokrasi. Dalam nomokrasi, pelaksanaan dari pada hak kebebasan mengemukakan pendapat itu sendiri dipandu berdasarkan aturan main hukum. Contohnya, saat rakyat ingin menyalurkan aspirasi melalui demo tentu harus mengantongi izin dari pihak keamanan, kemudian dalam mengemukakan pendapat pun rakyat tidak boleh mengandung ujaran yang mengandung pencemaran, fitnah, dan penistaaan. Karena perbuatan tersebut tergolong sebagai tindak pidana yang diatur dalam hukum positif (KUHP). Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa implementasi demokrasi dibatasi sedemikian rupa oleh prinsip nomokrasi yang tujuan utamanya agar terjaga stabilitas bernegara.

Titik Temu Demokrasi dan Nomokrasi

Secara simbiosis mutualistik, demokrasi dan nomokrasi idealnya harus mampu membangun sebuah relasi yang respirokal dan egaliter. Keduanya saling membutuhkan. Ruang dan entitas demokrasi membutuhkan adanya kedaulatan hukum, sebaliknya kedaulatan hukum pun harus dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi. Hal ini penting karena jika ruang dan entitas demokrasi tidak dikawal berdasarkan kedaulatan hukum, maka yang timbul kemudian adalah chaos dan instabilitas sosial.

Di sisi lain jika kedaulatan hukum tidak dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi, maka akan timbul sebuah kondisi yang dinamakan oleh Bryan Z Tamanaha sebagai "the thinnner rule of law". Bryan Z Tamanaha dalam bukunya "On The Rule of Law" memaknai "the thinner rule of law" sebagai sebuah kondisi dimana hukum hanya menjadi alat legitimasi kekuasan penguasa.

Dalam kondisi demikian, hukum hanya akan menjadi tameng untuk membenarkan semua tindakan penguasa. Penguasa akan selalu berlindung pada hukum. Penguasa merasa telah absah bertindak asalkan ada landasan peraturannya tidak perduli apakah perbuatan tersebut patut maupun tidak patut. Cara penguasa yang melegitimasi kekuasaan berdasarkan peraturan hukum yang tidak dilandasi oleh prinsip dan semangat demokrasi (hukum dibuat sesuai keinginan penguasa) pada akhirnya akan mengejawantah sebagai negara hukum otoriter.

Oleh karenanya, pada prinsipnya demokrasi dan nomokrasi (kedaulatan hukum) harus saling bersinergi. Demokrasi harus dipandu berdasarkan rules nomokrasi sebaliknya nomokrasi juga harus dinafasi oleh prinsip dan semangat demokrasi. Jika demokrasi dan kedaulatan hukum dapat bersinergi pada suatu titik temu yang ideal, maka kebebasan sipil dan stabilitas negara akan dapat terakomodasi dalam satu tarikan nafas.

 

DETERMINASI HUKUM DAN REFLEKSI PENANGKAPAN DJOKO TJANDRA

Dalam bukunya yang berjudul Why The Haves Come Out Ahead: The Classic Essay and New Observations Marc Galanter mengatakan “the haves always come out ahead”. Yang artinya pihak yang memiliki kemampuan materil akan selalu keluar sebagai pemenang. Dalam dimensi apapun. Mengapa bisa demikian? Karena ruang sosial dan sistem formal negara amat rentan dengan gurat-gurat manipulatif dan transaksional. Selalu terbuka ruang bagi relasi supply and demand. Lemahnya penegakan hukum dan rendahnya integritas merupakan causa proxima yang membuat kondisi demikian dapat terjadi.

Kondisi demikian pula yang nampak dalam dunia hukum kita. Determinasi materil terhadap hukum seringkali nampak secara vulgar. Hukum terlihat begitu tajam ke bawah (poor) namun tumpul ke atas (heaves). Terhadap orang miskin, hukum menjelma sebagai entitas yang sangat represif, sedangkan terhadap orang kaya, hukum menjelma sebagai entitas yang akomodatif dan protektif.

Kasus Djoko Tjandra merupakan contoh paling relevan untuk merefleksikan bagaimana determinasi materil terhadap hukum terjadi. Dengan kapasitas materilnya, Djoko Tjandra mampu mendapatkan previlege dan back-up dari oknum penegak hukum sehingga bisa “bersembunyi” dengan nyaman selama 11 tahun ini. Di sini dapat kita lihat bagaimana hukum menjelma sebagai entitas yang akomodatif dan protektif bagi Djoko Tjandra yang notabene memiliki modal materil. Modal yang kemudian digunakan untuk mendapatkan previlege dan back-up dari oknum penegak hukum.

Secara konstitusional, benar bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi logis sebagai negara hukum, maka hukum harus supreme. Hukum harus memiliki supremasi dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Tidak boleh ada kekuatan-kekuatan diluar hukum (ekonomi, politik, sosial) yang menginferiorkan hukum. Karena begitu hukum inferior, maka idealitas relasi dan struktur sosial maupun tujuan-tujuan esensial dari hukum tidak akan bisa tercapai.

Dalam konsep teori struktural fungsional sebagaimana dikemukakan oleh Tallcot Parsons, hukum (sub-sistem sosial) sendiri memiliki fungsi integrasi. Fungsi untuk me-manage agar ruang sosial yang penuh dengan kelindan kepentingan tidak terjadi chaos yang membuat goals individu maupun tujuan kolektif tidak tercapai. Nah, untuk mewujudkan idealitas relasi dan struktur sosial maupun mencapai tujuan-tujuan esensial dari hukum, maka hukum harus memiliki supremasi, tidak hanya secara formal-konstitusional (das sollen) namun juga secara empirik-sosiologis (das sein).

Sayangnya, secara emipirik-sosiologis, determinasi terhadap hukum seringkali nampak dengan telanjang tanpa malu-malu. Inilah yang membuat idealitas relasi dan struktur sosial maupun tujuan-tujuan esensial dari hukum (keadilan substantif) sulit mengejawantah dalam tertib penyelenggaraan kehidupan negara ini.

Determinasi Terhadap Hukum

Secara teoritis, potensi determinasi terhadap hukum memang sudah banyak dijelaskan. Ada banyak teori yang menjelaskan terkait hal tersebut. Misalnya teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh Chambliss dan Robert B. Seidman. Menurut Chambliss dan Robert B. Seidman, dalam proses bekerjanya hukum tidak akan bisa lepas dari faktor-faktor sosial dan personal yang dapat menghambat terwujudnya idealitas dalam proses bekerjanya hukum.

Kemudian dalam disiplin politik hukum yang menjelaskan bingkai hubungan antara politik dan hukum. Banyak kajian-kajian ilmiah terkait bidang politik hukum mendiseminasikan bahwa secara empirik, politik merupakan entitas yang seringkali mendeterminasi hukum sehingga hukum tidak bisa berperan secara optimal. Dalam realitasnya, determinasi politik terhadap hukum merupakan sebuah hal yang lumrah mengingat hukum adalah produk politik yang tidak bisa terlepas dari tendensi-tendensi politik.

Determinasi terhadap hukum juga muncul dari dimensi ekonomi (materil). Praksis determinasi ekonomi terhadap hukum dapa mengejawantah dalam berbagai hal. Misalnya: pembelian Pasal ketika pembuatan Undang-Undang yang mengatur bidang tertentu, back-up aparat, kongkalikong dalam proses peradilan, hingga previlege-previlege sebagai narapidana.

Pada hakikatnya, determinasi dimensi non-hukum terhadap hukum, membuat hukum sendiri tidak bisa berperan secara optimal baik dalam kapasitasnya sebagai social order (sarana ketertiban sosial) maupun social enginering (sarana perubahan masyarakat).

Makna Penangkapan Djoko Tjandra

Setelah buron selama 11 tahun, terpidana kasus pengalihan utang (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra akhirnya berhasil ditangkap oleh penyidik Bareskrim Polri di Malaysia pada Kamis (30/7/2020) lalu. Tertangkapnya buron kelas kakap ini seakan memberikan angin segar bagi dimensi penegakan hukum kita.

Akhir drama 11 tahun buronnya Djoko Tjandra sendiri memiliki beberapa makna penting. Pertama, hal ini menunjukkan negara tidak kalah dengan para white collar crime. Negara menunjukkan kemauan dan keseriusannya untuk menangkap Djoko Tjandra yang telah buron 11 tahun lamanya.

Kedua, hal ini merupakan momentum untuk memperbaiki citra Polri di mata masyarakat. Sebelum tertangkapnya Djoko Tjandra, rasa trust masyarakat terhadap kinerja Polri dalam mengungkap dan menangkap Djoko Tjandra memang sempat rusak. Nah, momentum ini harusnya menjadi refleksi bagi Polri untuk memperbaiki citra dan menumbuhkan kembali rasa kepercayaan masyarakat.

Ketiga, tertangkapnya Djoko Tjandra adalah langkah kunci untuk membuka siapa-siapa saja yang terlibat dalam “pengamanan” Djoko Tjandra sehingga bisa “bersembunyi” dengan aman selama 11 tahun ini. Konkretnya, penegakan hukum terhadap oknum-oknum penegak hukum baik dari Kejaksaan, Kepolisian, institusi penegak hukum lain, maupun pihak lain yang terlibat dalam back-up Djoko Tjandra (sepanjang memenuhi unsur pidana) harus dilakukan secara transparan dan konsekuen.

Keempat, tertangkapnya Djoko Tjandra merupakan jembatan emas yang memantik motivasi dan keyakinan internal dalam tubuh Polri untuk menangkap 38 orang buron kasus korupsi yang belum tertangkap. Hal ini juga momentum untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap Djoko Tjandra terkait potensi pidana baru. Pemalsuan surat dan penyuapan.

Kelima, hal ini merupakan momentum pematahan determinasi ekonomi (materil) terhadap hukum. Hukum harus kembali supreme sebagai garda untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Penangkapan Djoko Tjandra yang berstatus terpidana buron harus bisa menjelma sebagai prevensi general maupun prevensi khusus agar tidak kembali terjadi kasus-kasus seperti demikian di kemudian hari.

           

           

Kamis, 08 Oktober 2020

PILKADA DAN NETRALITAS ASN

 

Di tengah pandemi corona yang saban hari terus menunjukkan tren grafik yang meningkat. Bulan Desember nanti akan digelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah. Dengan rincian, 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota. Pelaksanaan pilkada serentak ditengah pandemi corona tentunya memiliki efek implikasi yang berbeda dengan kondisi normal, baik dalam konteks rules teknis pelaksanaannya maupun dalam konteks potensi kondisional (bahaya) terciptanya klaster baru persebaran Covid-19.

Dalam pelaksanaan pilkada serentak mendatang, ada dua hal krusial yang musti diperhatikan oleh stakeholders pilkada. Pertama, soal pemenuhan hak pilih. Kedua, soal keselamatan jiwa pemilih. Dua hal ini merupakan unsur penting yang harus mendapatkan atensi khusus agar pilkada serentak mendatang tetap dapat berjalan demokratis dan kondusif di tengah pandemi corona yang sedang melanda.

Selain ancaman bahaya Covid-19, pelaksanaan pilkada serentak Desember mendatang juga dibayangi oleh problematika laten terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap pelaksanaan pilkada selalu dibayangi dengan situasi nir-netralitas para ASN. Banyak ASN di daerah yang terlibat dalam politik partisan dengan jalan mendukung dan memihak kepada salah satu paslon kontestan pilkada.

Menurut peraturan perundang-undangan, ASN sebagai bagian dari eksekutif-birokratis dilarang terlibat dalam aktivitas politik praktis. Hal ini tegas tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan surat edaran kementrian terkait seperti, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, Perbawaslu Nomor 14 Tahun 2017, SE Komisi ASN Nomor B-2900/KASN/11/2017, dan Surat Menpan-RB Nomor B/71/m.sm.00.00/2017.

Implikasi Nir-netralitas ASN

Menurut data dari Komisi ASN per 31 Juli 2020 tercatat ada 456 laporan terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam pilkada 2020. Dari 456 laporan tersebut, 27,6 % adalah Jabatan Pimpinan Tinggi, 25,4 % Jabatan Fungsional, 14,3 % Administrator, 12,7 % Pelaksana, dan 9 % Camat dan Lurah. Hingga 31 Juli 2020, 456 ASN terlapor terkait dugaan pelanggaran netralitas pilkada 2020, 344 di antaranya telah mendapat rekomendasi Komisi ASN dan sebanyak 189 ASN telah ditindaklanjuti oleh PPK dengan penjatuhan sanksi.

Realitas demikian menunjukkan bahwa netralitas ASN dalam pilkada adalah sebuah problematika laten bagi iklim demokrasi dan entitas birokrasi kita sejauh ini. Lemahnya pengawasan, sanksi yang rendah, dan kultur politik partisan yang mengakar kuat merupakan tiga penyakit akut yang menyebabkan keberpihakan ASN dalam pilkada selalu terjadi.

Fenomena nir-netralitas ASN dalam pilkada juga dapat dijelaskan dalam bingkai relasi simbiosis mutualisme antara ASN dengan calon kontestan pilkada. ASN membutuhkan previlege untuk mendapatkan kenaikan jabatan (jika kontestan pilkada yang didukung terpilih), sedangkan calon kontestan pilkada membutuhkan ASN sebagai mesin politik untuk mendulang suara.

ASN sendiri memiliki posisi yang cukup strategis guna berperan sebagai mesin politik dalam pemenangan pilkada. ASN memiliki jaringan struktural, kewenangan birokratis, dan alokasi sumber daya yang sangat potensial untuk dialokasikan guna mendulang suara.

Nir-netralitas ASN dalam pilkada sendiri memiliki beberapa implikasi negatif. Pertama, membangun ruang demokrasi yang tidak kondusif dan tidak produktif. Demokrasi mengejawantah sebagai ruang transaksional dan oportunis. Sekadar sarana mendapatkan kekuasan semata. Baik bagi ASN (naik jabatan) maupun bagi kontestan pilkada (terpilih).

Kedua, berpotensi mengganggu kondusifitas pemerintahan daerah. Ketidaknetralan para ASN dalam pilkada berpotensi membuat terjadinya friksi politis antar ASN yang berbeda pilihan. Segregasi relasi antar ASN yang berbeda pilihan cukup potensial membuat nir-kondusifitas dalam berjalannya roda pemerintahan daerah.

Ketiga, mengurangi kualitas birokrasi dan pelayanan publik. Ketidaknetralan ASN berpotensi membuat penempatan jabatan-jabatan strategis ASN daerah selepas pilkada sarat akan kepentingan klientisme bukan meritokrasi (kompetensi). Hal ini akan berimplikasi pada berkurangnya kualitas birokrasi dan pelayanan publik serta rendahnya penerapan prinsip good governance dalam jalannya roda pemerintahan daerah.

Keempat, berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi. Keberpihakan ASN kepada paslon kontestan pilkada berpotensi membuka celah terjadinya korupsi melalui penggunaan uang maupun fasilitas negara untuk kepentingan politik praktis.

Solusi

Mengingat urgensi dari netralitas ASN dalam pilkada yang sangat penting, maka ketidaknetralan ASN dalam kontestasi politik daerah harus dikanalisasi atau diminimalisir dengan pendekatan-pendekatan sinergis dan efektif.

Pertama, memperkuat pengawasan terhadap ASN terkait netralitas dalam pilkada. Hal ini saya kira menjadi tanggung jawab melekat dari atasan masing-masing institusi ASN. Selain itu, para ASN juga harus responsif dan protektif terhadap atasannya apabila atasannya diduga kuat melakukan tindakan ketidaknetralan dalam pilkada. Artinya, harus terbangun relasi check and balance yang respirokatif dalam kultur ASN dalam dimensi vertikal antara atasan dan bawahan.

Kedua, membangun daya sensitifitas dan responsibilitas masyarakat untuk mengawal netralitas ASN dalam pilkada. Konkretnya, jika masyarakat menemui ASN yang tidak netral dalam pilkada, maka masyarakat dapat melapor kepada pihak yang berwenang. 

Ketiga, memperkuat dan mempertegas sanksi terhadap ASN yang terbukti tidak netral dalam pilkada. Hal ini penting sebagai sarana preventif untuk membangun common sense dan tanggung jawab moral para ASN agar profesional dan menghindari politik partisan.

Keempat, solusi terakhir yang menurut saya efektif dalam rangka membatasi dan meminimalisir terkait ketidaknetralan ASN dalam pilkada adalah dengan mencabut hak pilih ASN dalam pilkada. Terkait hal ini tentunya dibutuhkan revisi terhadap beberapa Undang-Undang terkait, misalnya UU ASN dan UU Pilkada.