Minggu, 28 April 2019

MENJAGA HARMONI PASCA PEMILU




SEBUAH BANGSA YANG TERPECAH DARI DALAM NISCAYA TIDAK AKAN MAMPU TEGAK BERDIRI”


Pemilu 2019 telah selesai digelar. 17 April lalu tepatnya, pemilu serentak pilpres dan pileg untuk pertama kalinya dilaksanakan. Pemilu 2019 sendiri tercatat sebagai pemilu terbesar di dunia lantaran melibatkan 5 pemilihan secara bersamaan yakni pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI, pemilihan anggota DPRD provinsi, pemilihan anggota DPRD kab/kota, dan pemilihan anggota DPD.

Pada sisi lain, pemilu terbesar ini juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ratusan korban berjatuhan. Hal yang tentu harus menjadi bahan evaluasi demi penyelenggaraan pemilu yang lebih baik kedepannya.

Harus diakui meskipun masih terdapat beberapa kekurangan elementer seperti keterlambatan logistik pemilu, kekurangan surat suara, dan permasalahan administratif lainnya namun secara umum pemilu tahun ini relatif dapat berjalan dengan baik.

Ada tiga dasar argumentasi mengapa saya mengatakan pemilu tahun ini berjalan dengan baik. Pertama, partisipasi politik masyarakat relatif baik, hal ini ditandai dengan meningkatnya presentase partisipasi pemilih dari pemilu 2014 lalu. Menurut data KPU partisipasi pemilih pada pemilu tahun ini mencapai 80,90% sedangkan pada pemilu 2014 lalu partisipasi pemilih pada pilpres sebesar 69,58 sedangkan pada pileg sebesar 75,11 yang jika di rata-rata menghasilkan partisipasi pemilih sekitar 72 %. Partisipasi pemilih yang mencapai angka 80,90 % sendiri juga melampaui target KPU yang menargetkan partisipasi pemilih pada pemilu 2019 ini sebesar 77,5 %.

Kedua, pemilu 2019 kali ini minim kecurangan khususnya kecurangan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara pemilu sedangkan untuk kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu memang masih menjadi problematika tersendiri yang masih melekat kuat khususnya terkait money politic. Dari berita dan informasi yang saya lihat dan saya baca baik di televisi maupun melalui surat kabar pasca pemilu kuat mengindikasikan bahwa tidak ada kecurangan yang masif, sistematis, dan terstruktur yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, nyaris tidak ada friksi serius yang terjadi pasca pemilu yang dilatarbelakangi oleh kecurangan penyelenggara pemilu. Sedangkan secara legal tentu saja seberapa besar kuantitas kecurangan yang terjadi pada pemilu tahun ini akan dapat dilihat dari seberapa banyak gugatan dan hasil putusan pengadilan yang menyatakan telah terjadi kecurangan pemilu. Dan hal ini tentunya dapat kita lihat bersama nanti.

Ketiga, Pemilu 2019 kali ini relatif berjalan aman dan damai. Meskipun para simpatisan kontestan pemilu (khususnya pilpres) selama masa kampanye sering terlibat friksi sengit secara kontinu baik di dunia nyata maupun dunia maya namun nyatanya pemilu tahun ini dapat berjalan dengan aman dan damai tanpa gesekan yang berarti.

Namun ada satu hal yang menjadi concern kita bersama, yakni bagaimana mengembalikan kondusifitas dan harmoni kebangsaan selepas pemilu ini. Karena nampaknya narasi-narasi provokatif dan demagogis yang mengarah kepada bibit permusuhan dan delegitimasi pemilu seperti desain kecurangan masih nyaring terdengar khususnya dilontarkan oleh pihak yang berpotensi kalah pada pemilu, hal ini tentunya dapat dipahami sebagai sekadar ekspresi sikap tidak siap kalah dalam kontestasi. Meskipun demikian, kondisi ini hendaknya harus segera direduksi dan dinetrallisir demi kondusifitas dan harmoni kebangsaan kita kedepan.

Perlu dipahami khususnya bagi para kontestan pemilu bahwa pemilu adalah sarana, alat, upaya, dan wujud implementasi kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakilnya guna membawa kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Pemilu adalah sarana untuk mendapatkan mandat dari rakyat bukan hanya sekadar sarana meraih prestise kekuasaan semata. Jika memang dalam proses pemilu ada kecurangan dan ketidakadilan tentu ada mekanisme tersendiri yang dapat ditempuh. 

Sebagai negara hukum yang demokratis negara selalu menyediakan sarana dan tempat untuk menguji segala sesuatu secara terbuka dan imparsial. Oleh karenanya, jika para kontestan pemilu merasa dicurangi dan diperlakukan secara tidak adil tentu mereka harus menempuh mekanisme legal-konstitusional yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan justru malah sebaliknya sibuk membangun narasi-narasi perpecahan dan delegitimasi pemilu yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa.

Sikap kedewasaan dan sportifitas dalam berdemokrasi hendaknya dapat di cerminkan oleh para kontestan maupun elite politik dalam menyikapi hasil pemilu. Karena sikap itulah yang akan menjadi panduan rakyat dalam menyikapi hasil pemilu.

Kontestan pemilu jangan membenturkan rakyat dengan rakyat di akar rumput hanya demi syahwat kekuasaan. Karena modal sosial-politik kita untuk berdiri sebagai sebuah negara besar dan beradab adalah persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Ketika modal sosial-politik kita yakni persatuan dan kesatuan telah hilang maka kehancuran negara ini hanyalah tinggal menunggu waktu. Oleh karenanya, janganlah korbankan hal-hal fundamental bernegara jangka panjang hanya demi hal-hal pragmatis yang bermuara pada kepentingan kekuasaan semata. 

Kedepan, demi menjaga harmoni dan kondusifitas pasca pemilu hendaknya rekonsiliasi politik harus segera dilakukan khususnya oleh para kontestan pilpres (Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma’ruf Amin) mengingat suhu panas politik pasca pemilu ini dilatarbelakangi oleh “klaim” hasil pilpres. Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf beserta elite pendukungnya harus bertemu dan membangun narasi perdamaian dan kesejukan yang dapat menjadi suluh bagi terwujudnya harmoni dan kondusifitas pada akar rumput (rakyat).

Selain itu, tokoh-tokoh yang memiliki peran sebagai stabilitator sosial seperti pemuka agama, tokoh sosial hingga akademisi hendaknya juga mampu memainkan peran sebagai peredam suhu panas politik. Mengingat tokoh-tokoh tersebut adalah pembentuk opini publik yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan suasana kebatinan dan emosi masyarakat.

Pada prinsipnya, Prabowo-Sandi, Jokowi-Ma’ruf beserta elite politiknya harus dapat mengirimkan pesan kuat kepada para simpatisan dan akar rumput bahwa persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa adalah sebuah hal fundamental yang jauh lebih penting dari sekadar kontestasi politik untuk memperebutkan tahta kekuasaan. Pilpres hendaknya diibaratkan seperti pertandingan sepak bola, dimana setelah pertandingan berakhir kedua kubu akan saling bersalaman dengan suasana cair penuh kehangatan. Nuansa seperti itulah yang seharusnya dicerminkan oleh Prabowo-Sandi, Jokowi-Ma’ruf beserta elite pendukungnya. Tidak hanya sekadar narasi dan retorika namun harus mengejawantah secara sadar dan nyata dalam sikap dan perilaku baik di dunia nyata maupun dalam dunia maya (medsos).

Kedua kubu harus memahami bahwa tidak ada hal yang lebih penting dalam bernegara selain menjaga persatuan dan kesatuan. Negara ini dapat merdeka dan bertahan dengan kemerdekaan adalah karena persatuan dan kesatuan. Kekuasaan adalah otoritas guna menjaga persatuan dan kesatuan bukan justru menjadi biang keladi yang merenggut entitas persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa. Maka, marilah kita semai semangat persatuan dan kesatuan, kita jaga harmoni dan kondusifitas bernegara agar negara ini selalu dapat menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh anak bangsa. Selamanya.





Sabtu, 13 April 2019

GOLPUT DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMILU 2019



Partisipasi politik warga negara adalah elemen penting bagi tumbuhnya budaya demokrasi dan proses internalisasi nilai-nilai kedaulatan rakyat dalam konstruksi sebuah negara demokratis. Partisipasi politik warga negara merupakan tolok untuk menilai kualitas demokrasi sebuah negara, semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindisikasikan bahwa warga negara memahami dan responsif melibatkan diri pada proses demokratisasi demi tercapainya cita-cita dan tujuan negara. Dan hal itu menandakan kualitas entitas dan kultur demokrasi yang baik.

Sebaliknya, jika tingkat partisipasi politik warga negara rendah, hal ini menjadi penanda bahwa entitas dan kultur demokrasi belum berada pada tataran yang semestinya atau sering disebut sebagai demokrasi semu (pseudo democrazy). Demokrasi semu adalah entitas demokrasi yang secara substantif maupun kultural belum mencerminkan nilai-nilai fundamental dari pada prinsip demokrasi khususnya dalam hal abstraksi partisipasi politik warga negara.

Dalam konteks demokrasi, sarana maupun tolok ukur untuk menilai kualitas dari pada demokrasi adalah pemilu. Pemilu adalah sarana bagi warga negara untuk menunaikan hak partisipasi politiknya. Oleh karena itu, tingkat partisipasi politik warga negara dalam pemilu akan menentukan bagaimana kualitas dari pada entitas dan kultur demokrasi.

Sebagaimana kita ketahui bersama, negara kita tercinta, Indonesia, pada tahun ini akan menggelar pesta demokrasi pemilu 2019, yang digelar 17 April mendatang. Sayangnya, pesta demokrasi tahun ini dibayangi oleh nada minor berupa potensi ekskalasi golput yang tinggi. Menurut beberapa survey dari lembaga survey kredibel seperti LIPI dan LSI Denny JA merilis bahwa potensi golput pada pemilu 2019 nanti sekitar 20-30 %. Adjie Al Farabi peneliti dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI) memperkirakan sekitar 30 % masyarakat akan golput pada pemilu 17 April nanti, dari catatannya sekitar 10 % golput karena alasan ideologis-politis dan 20 % karena alasan administratif.

Trend golput memang cenderung meningkat dalam 3 penyelenggaraan pemilu terakhir, pada pemilu 2004 jumlah golput sebesar 23,3 %, pemilu 2009 27,45 %, dan pemilu 2014 sebesar 30,42 %. Fenomena ini tentunya menjadi alarm kemunduran proses demokratisasi kita selepas era reformasi. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme politik di saat proses demokratisasi dan keterbukaan politik terbuka lebar. Fenomena ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalitation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik dimana demokrasi sedang marak”.

Menurut Varma, S.P. (2001) dalam bukunya Teori Politik Modern, secara kondisonal faktor yang menyebabkan masyarakat golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah karena kekecewaan masyarakat terhadap para partai politik dan entitas pemilu yang belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi mereka. Selain itu juga disebabkan lantaran kontestan pemilu yang ada tidak memenuhi kriteria atau kapasitas sebagaimana yang mereka idamkan.

Implikasi Golput

Golput atau sikap tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu sejujurnya merupakan aktualisasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 digolongkan sebagai hak non-derogable right yakni hak asasi yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun.

Maka, dalam perspektif hukum orang yang golput tidak akan bisa dipidana atau dikenai sanksi hukum lainnya, mengingat golput adalah implementasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang dijamin oleh konstitusi. Meski golput bukanlah perbuatan yang dapat dikenai sanksi hukum, namun golput sejatinya merupakan tindakan atau pilihan sikap yang dapat memberikan efek buruk bagi entitas demokrasi khususnya terkait proses demokratisasi menuju terwujudnya masyarakat madani yakni masyarakat yang menyadari peran pentingnya sebagai warga negara bagi pembangunan bangsa dan negara.

Meningkatnya potensi golput pada pemilu 2019 ini tentu dapat menghambat proses demokratisasi yang mulai dibangun secara kompleks setelah reformasi. Ketika proses demokratisasi terhambat, maka akan menimbulkan 3 implikasi negatif baik secara langsung maupun tidak langsung bagi ruang demokrasi elektoral. Pertama, menghambat terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang menyadari peran pentingnya sebagai warga negara dalam ruang demokrasi. Kedua, mengikis kualitas demokrasi baik secara substantif maupun kultural sehingga hanya tercipta demokrasi semu. Ketiga, menurunnya daya legitimasi pemilu dimata masyarakat yang dapat menyebabkan distrust dalam jalannya roda kepemimpinan selepas pemilu.

Oleh karenanya, potensi golput pada pemilu 2019 ini yang masih relatif tinggi hendaknya kita jadikan titik renungan dan bahan kontemplasi bersama untuk lebih concern dalam meningkatkan kualitas maupun intensitas peran guna mengikis seminimal mungkin potensi golput. Parpol dan elite politik harus berpolitik secara lebih substantif serta menjauhi narasi-narasi kotor, penyelenggara pemilu harus makin intens dalam mensosialiasikan arti penting hak pilih bagi entitas demokrasi, kemudian akademisi, tokoh agama, tokoh sosial, dan pers juga harus massif melaksanakan daya influencernya untuk mendorong masyarakat guna menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

Pada prinsipnya semua pihak diatas harus bersinergi dalam satu tarikan nafas guna mengikis potensi golput. Ketika golput dapat ditekan seminimal mungkin yang secara contrario berarti meningkatnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu, maka pemilu 2019 ini akan dapat mawujud menjadi katalis fungsional bagi terwujudnya iklim demokrasi yang kaffah sehingga dapat menjadi motor penggerak bagi terwujudnya masyarakat madani Indonesia dan tercapainya cita-cita dan tujuan negara.



Sabtu, 06 April 2019

FATWA MUI DAN POLEMIK GOLPUT


Menjelang hari H pemilu 2019 yang dilaksanakan 17 April mendatang, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan sebuah Fatwa kontroversial yang menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat. Fatwa MUI tersebut menyebut bahwa golput atau sikap tidak menggunakan hak pilih pada pemilu hukumnya haram.
 
Sejujurnya, Fatwa mengharamkan golput sendiri sudah pernah dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Namun naiknya ekskalasi suhu politik, membuat Fatwa MUI kali ini terasa heboh.

Masyarakat pun terbelah dalam menyikapi keluarnya Fatwa MUI tersebut. Ada yang mengapresiasi, karena hal itu menunjukkan sikap dan kepedulian MUI akan entitas ruang demokrasi, namun tidak sedikit pula yang mencerca Fatwa MUI tersebut serta mengaitkannya dengan kepentingan politis salah satu paslon capres-cawapres guna mendongkrak suara pada pemilu mendatang.

Menurut hemat saya, Fatwa MUI tentang haramnya golput tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan politis praktis untuk mendongkrak suara salah satu paslon capres-cawapres, ada 3 landasan argumentasi yang menjadi dasar pendapat saya tersebut. Pertama, MUI adalah organisasi agama independen yang tidak memiliki basis afiliasi dan tendensi politik dengan pihak tertentu. Kedua, ada mekanisme prosedural yang rigid sebelum keluarnya sebuah Fatwa, sehingga sangat mustahil sebuah Fatwa itu keluar karena “pesanan” demi agenda politik praktis pihak tertentu. Ketiga, isi Fatwa tidak mengandung anjuran untuk memilih salah satu paslon, sehingga dapat dikatakan bahwa Fatwa tersebut bersifat netral dan tidak memiliki kecenderungan politis.

Jangan Baper

Keluarnya Fatwa MUI yang mengharamkan golput seketika membuat beberapa pihak yang (akan) golput pada pemilu 17 April nanti meradang, bahkan ada yang mengatakan bahwa Fatwa MUI tersebut telah membinasakan dan membatasi hak asasi manusia tentang kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tergolong sebagai hak non-derogable right atau hak yang tidak bisa dibatasi dan dikurangi dalam keadaan apapun.

Pendapat tersebut terkesan lucu, lha wong Fatwa MUI kan bukan hukum positif (formal) yang keberlakuannya tidak bisa dipaksakan dengan menggunakan sanksi hukum serta alat-alat kekuasaan negara. Lalu apa yang di binasakan dan di batasi ? kan setiap orang tetap memiliki kebebasan bersikap tanpa melahirkan implikasi sanksi heteronom (sanksi negara). Kecuali kalau ada Undang-Undang yang mengatur bahwa golput dapat dipidana nah itu baru dapat disebut sebagai pembinasaan dan pembatasan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.

Perlu dipahami bahwa Fatwa MUI itu pendapat hukum (legal opinion) bukan hukum dalam arti formal sehingga boleh diikuti boleh juga tidak, bagi pihak yang merasa terikat dengan Fatwa MUI tersebut, maka akan melahirkan sanksi otonom atau sanksi pribadi misalnya merasa berdosa jika tidak melakukannya. Sebaliknya bagi pihak yang merasa tidak terikat dengan Fatwa MUI tersebut ya tidak akan melahirkan sanksi apapun. Jadi jangan baperlah.

Memandang Pemilu

Menurut Franz Magnis Suseno, esensi hadirnya pemilu dalam ruang demokrasi adalah untuk mencegah pemimpin yang buruk memimpin. Oleh karena itu, jika perspektif kita dalam memandang pemilu sama seperti halnya Franz Magnis Suseno tentu kita tidak akan golput, karena kita pasti akan memilah dan memilih pemimpin yang kadar keburukannya lebih sedikit dari yang lain.

Sebaliknya, jika kita memandang pemilu sebagai sarana guna memilih pemimpin terbaik, maka ada kecenderungan kita untuk menjadi golput, yakni manakala kontestasi pemilu tidak mampu menghadirkan sosok pemimpin terbaik sebagaimana yang kita harapkan. Menurut Varma (2001:295) dalam buku Teori Politik Modern, secara kondisional, faktor yang menyebabkan lahirnya golput adalah rasa kekecewaaan masyarakat terhadap proses demokratisasi yang tidak kunjung mampu mensejahterakan masyarakat.

Pada akhirnya, terlepas dengan segala segmen dinamika yang ada, sesungguhnya golput adalah wujud aktualisasi dari pada hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang merupakan hak non-derogable right atau hak yang tidak bisa di batasi dalam hal dan dalam keadaan apapun. Sehingga dalam konteks hukum, orang yang golput tidak bisa di pidana, dalam konteks sosial, orang yang golput hendaknya jangan di caci dan di cela. Sedangkan dalam konteks politik, tidak memilih (golput) adalah bagian dari pada pilihan politik itu sendiri. Meski golput tidak baik bagi kultur demokrasi namun golput adalah hak (pilihan sikap) yang wajib dihormati.

DAYA TAWAR POLITIK MASYARAKAT



Kontestasi pilpres tinggal menghitung hari, debat capres dan cawapres pun telah berlangsung 4 kali, namun hampir tak ada narasi substantif dari kedua paslon yang tersimpan erat di kepala. Debat yang sejatinya adalah ajang untuk saling “mengkuliti” visi, misi, program, gagasan dan solusi yang ditawarkan oleh pihak lawan justru tidak nampak pada 4 debat yang telah berlangsung. Debat pun terlihat hanya sebagai ajang formalitas belaka.

Di sisi lain, masa selama kampanye pilpres sendiri juga riuh dengan sampah-sampah demokrasi seperti caci maki, fitnah, hoax, dan narasi-narasi provokatif yang secara langsung maupun tidak langsung membuat nilai-nilai substantif dari pemilu menjadi tidak nampak secara utuh. Bahkan masyarakat akan lebih mengingat kata-kata satire seperti politik genderuwo, politik sontoloyo, jenderal kardus, partai setan dari pada visi, misi, program, gagasan, dan solusi yang ditawarkan oleh kedua paslon.

Melihat kenyataan ini, saya menduga bahwa dasar preferensi pemilih pada pilpres mendatang adalah karena faktor non teknis seperti fanatisme, loyalitas, faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sosial, dan lain sebagainya, bukan karena faktor teknis yang berafiliasi dengan kapasitas paslon yang dapat terejawantahkan dalam dua hal, pertama, rekam jejak. Kedua, visi, misi, program, gagasan dan solusi yang mereka tawarkan.

Masyarakat kita juga secara umum relatif tergilas oleh arus politik praktis, sekarang ini masyarakat bermetamorfosa bak tim kampanye yang memiliki tingkat fanatisme dan loyalitas yang luar biasa. Sejujurnya fenomena ini dapat berdampak negatif, karena dapat berimbas pada menurunnya sikap kritis dan keroposnya obyektifitas nalar dari masyarakat. Ketika masyarakat telah kehilangan daya kritis dan obyektifitas nalar, maka ruang demokrasi akan menjadi ruang sengkarut pikir tanpa nalar dan akal sehat yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas dari pada demokrasi itu sendiri.

Oleh karenanya, masyarakat hendaknya tetap berdiri ditengah dalam artian tetap menjadi pihak yang kritis dan obyektif serta tidak ultra-fanatis, masyarakat harus menjadi pihak yang “jual mahal” kepada kedua paslon dengan kredo “tunjukkan kualitas mu dulu baru aku menentukan pilihan”. Masyarakat jangan malah terbawa arus politik dengan menjadi tukang kampanye amatir yang justru membuat masyarakat kehilangan daya tawar politik dimata kedua paslon.

Ketika masyarakat memiliki daya tawar yang tinggi dalam arti memiliki sikap “jual mahal” yang termanifestasi dalam sikap kritis, obyektif, dan non ultra-fanatis tentu keadaan ini akan memaksa dan mendorong kedua paslon berserta para elite pendukungnya untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas diri. Kedua paslon dan para elite pendukungnya akan berlomba-lomba berpolitik secara substantif guna memenangkan hati masyarakat.

Dahulu seorang penyair asal Jerman bernama Bertolt Brecht pernah mengatakan: “buta paling buruk adalah buta politik, ia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak sadar bahwa biaya hidup, harga komoditas, obat, dan makanan tergantung oleh keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya akan melahirkan pelacuran, kemiskinan, anak terlantar, politisi busuk serta rusaknya perusahaan nasional dan multinasional”.

Namun buta politik era saat ini bukanlah tergambar sebagaimana Bertolt Brecht ungkapkan diatas, buta politik yang tergambar saat ini adalah lahirnya sikap ultra-fanatis terhadap tokoh-tokoh politik dalam hal ini tentu kedua paslon yang berkontestasi pada pilpres 2019 ini, sikap ultra-fanatis membuat masyarakat buta akan kelemahan dan keburukan tokoh politik yang disukainya serta buta akan kelebihan dan kebaikan tokoh politik yang dibencinya, masyarakat menjadi tidak mampu mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, karena tolok ukur kebenaran adalah rasa cinta dan fanatisme bukan lagi fakta dan realita.

Sikap ultra-fanatis juga dapat membuat renggangnya kohesifitas sosial dalam kehidupan masyarakat, karena cenderung melahirkan sikap konfrontatif yang berimplikasi pada timbulnya friksi dalam berbagai skala yang jika dibiarkan secara terus menerus tentu akan berbahaya bagi masa depan persatuan dan kerukunan kita sebagai sebuah bangsa. Fanatisme sempit politik membuat masyarakat kurang memiliki kesadaran bahwa pemilu adalah siklus 5 tahunan, sedangkan persatuan, kesatuan, kerukunan, dan rasa persaudaran kita sebagai sebuah bangsa adalah seumur hidup.

Oleh karenanya, demi menjaga kohesifitas sosial dan juga menjaga ruang demokrasi agar mawujud sebagai ruang wacana bagi tumbuhnya gagasan-gagasan substantif, maka masyarakat harus meningkatkan daya tawar politiknya, masyarakat harus “jual mahal” dengan sikap kritis, obyektif, dan non ultra-fanatis agar kedua paslon beserta elite pendukungnya berlomba-lomba untuk meningkatkan kapasitas diri.

Jika ini terjadi, maka pemilu dipastikan akan melahirkan atmosfer konstruktif dimana tercipta adu gagasan, adu ide, adu solusi, dan adu program tentang bagaimana membawa dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Hal inilah yang menjadi tujuan filosofis dari pada politik sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles.