Sabtu, 18 Mei 2019

PEMENANG DAN PECUNDANG


Pemenang dalam perspektif saya tidak selalu berafiliasi dengan kemenangan dan keberhasilan, pemenang juga memiliki keterkaitan erat dengan kekalahan dan kegagalan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemenang memiliki arti: orang yang mendapat kemenangan dalam pertandingan terakhir. Dalam pengertian dan makna sosial, pemenang juga selalu didefinisikan dengan hal-hal yang berafiliasi dengan kemenangan dan keberhasilan. Tidak salah memang, mengingat kata pemenang sendiri berasal dari kata dasar "menang".

Okelah, itu pengertian normatif menurut KBBI maupun pengertian dalam ruang sosial (masyarakat).

Namun pada artikel ini, ijinkanlah saya untuk mengejawantahkan arti dan makna "pemenang" dalam perpektif dan sudut pandang diri saya sendiri terlepas dari arti normatif maupun arti sosiologisnya.

Dalam pandangan saya, makna pemenang itu memiliki dua domain. Pertama, dari segi proses. Kedua, dari segi penyikapan atas suatu hasil (pasca proses). Dari segi proses pemenang memiliki makna sebagai suatu sikap benci akan kekalahan namun tidak takut kalah. Benci akan kekalahan ditandai dengan suatu usaha dan kerja keras semaksimal mungkin untuk meraih suatu kemenangan.

Sedangkan dalam domain pasca proses, pemenang memiliki makna bagaimana menyikapi secara positif arti sebuah kemenangan maupun kekalahan. Bagaimana mengejawantahkan kemenangan agar tidak menjadi sebuah kekalahan dan bagaimana mengejawantahkan kekalahan agar menjadi energi untuk meraih kemenangan pada kesempatan selanjutnya.

Sehingga dalam perspektif saya, pemenang bukanlah sekadar tentang menang dan berhasil tetapi juga tentang kalah dan gagal. Tentang menang dan berhasil tentu saja bermakna bagaimana upaya untuk meraih kemenangan/keberhasilan serta bagaimana menyikapi secara bijak arti sebuah kemenangan/keberhasilan tersebut. Sedangkan tentang kalah dan gagal bermakna responsif, yakni bagaimana menyikapi suatu kekalahan/kegagalan agar kekalahan/kegagalan tersebut mampu menjadi sebuah pembelajaran yang kemudian diolah menjadi stimulasi energi guna meraih kemenangan/keberhasilan pada kesempatan atau fase selanjutnya.

Sehingga dalam pandangan saya, pemenang adalah seorang yang dalam dirinya memiliki jiwa sebagai pemenang yang baik (good winner) maupun pekalah yang baik (good losser).

Pemenang yang baik adalah mereka yang memiliki sikap bijak dalam menelan arti sebuah kemenangan. Hal ini ditandai dengan beberapa ciri: tidak cepat berpuas diri, tidak terlena akan sebuah kemenangan, berorientasi pada proses bukan sekadar hasil, tidak sombong dan arogan, menghormati lawan, dan selalu benci akan kekalahan.

Sedangkan pekalah yang baik adalah mereka yang bisa mengambil sisi positif dibalik pahitnya sebuah kekalahan. Mereka yang mampu menerima kekalahan secara lapang dada tanpa menyalahkan pihak/orang lain, mereka yang tidak pernah menyerah dan lemah karena getirnya sebuah kekalahan, mereka yang mampu menjadikan kekalahan sebagai bahan evaluasi diri sekaligus stimulan pelecut untuk menjadi lebih kuat, lebih hebat, dan tentunya untuk meraih kemenangan pada kesempatan atau fase hidup berikutnya.

Dalam pandangan saya, menang belum tentu pemenang dan kalah belum tentu pecundang. Harus dilihat terlebih dahulu kompleksitas dan konstelasi diri yang ada pada seseorang itu. Jika menang karena curang (berorientasi hasil tanpa menghargai proses) maka ia tidak layak disebut sebagai pemenang. Bagi saya, pemenang memiliki arti dan konteks yang lebih luas dari sekadar kata "menang". Sebaliknya, seorang yang kalah pun belum tentu pecundang. Jika seorang kalah dengan usaha dan kerja keras yang maksimal serta dibarengi penyikapan yang positif atas sebuah kekalahan, maka bagi saya dia juga seorang pemenang.

Lantas bagaimana seseorang itu disebut sebagai pecundang ?

PECUNDANG

Pecundang dimata saya adalah seseorang yang dalam jiwanya tidak memiliki karakter sebagai seorang pemenang maupun sebagai good losser. Pecundang adalah seorang bad losser.

Meski seorang pecundang tidak memiliki mental dan karakter sebagai seorang pemenang. Namun dapat dipastikan ia juga suka bahkan memiliki kecenderungan over oriented akan sebuah kemenangan. Perbedaannya dengan seorang pemenang, bahwa pecundang meletakkan kemenangan sebagai sebuah tujuan utama dan bertendensi pada nilai pragmatisme sedangkan pemenang meletakkan kemenangan sebagai sebuah nilai kehidupan dan falsafah perjuangan.

Perbedaan lainnya, bahwa pemenang sangat benci akan sebuah kekalahan namun tidak takut kalah, sedangkan pecundang juga benci akan kekalahan namun sangat takut akan sebuah kekalahan. Rasa takut akan kekalahan kemudian diimplikasikan dalam dua corak sikap. Pertama, tidak berani mencoba suatu tantangan/kompetisi karena takut kalah. Kedua, (kalaupun berani) ia akan menjadi oportunis soal hasil tanpa perduli terhadap proses. Pecundang akan menghalalkan segala cara untuk meraih sebuah kemenangan meskipun dengan cara-cara kotor sekalipun. Karena baginya, kemenangan hanyalah sekedar pemuas hasrat belaka (prestise-material) bukan sebagai nilai dalam entitas kehidupan yang sakral.

Pecundang adalah bad losser, pekalah yang buruk. Ketika merasakan kekalahan ia akan lebih sibuk mencari suatu alasan/kondisi sebagai dasar pembenaran mengapa ia kalah dari pada menjadikan kekalahan tersebut sebagai bahan pembelajaran. Ia akan cenderung menyalahkan kondisi/orang lain sebagai penyebab atas kekalahan yang dideritanya tanpa disertai koreksi mendalam atas diri sendiri. Seorang pecundang tidak akan mampu melihat sisi positif dari pahitnya sebuah kekalahan.

DINAMIKA KEHIDUPAN

Sebagaimana diungkapkan oleh Heraclitos, dunia ini adalah panta rei, selalu berjalan dan berproses. Hidup akan selalu penuh dengan dinamika. Sejalan dengan hal tersebut. Maka kekalahan dan kemenangan pun pasti akan bergantian kita rasakan sebagai konsekuensi hidup yang harus kita lalui.

Maka, makna terpenting dalam hidup bukanlah kita menang atau kalah. Bukan. Tetapi sudahkah kita berjuang untuk menang atau belum dan mampukah kita mengejawantahkan kekalahan/kegagalan sebagai bahan pembelajaran diri atau tidak.

Dua hal tersebutlah yang akan menjadi indikator justifikasi apakah kita seorang pemenang atau seorang pecundang dalam kehidupan ini.


Selesai ....













Senin, 13 Mei 2019

TERIMAKASIH GERINDRA DAN PKS


Dalam dinamika bernegara, penguasa dalam hal ini pemerintah tentu memiliki rambu-rambu baik secara formal maupun non-formal dalam mengimplementasikan otoritas kekuasaan yang dimilikinya. Rambu-rambu adalah panduan dan pembatas bagi pemerintah agar tidak bertindak secara sewenang-wenang (maachstat) sekaligus mencegah pemerintah agar tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.

Rambu-rambu secara formal berupa konstitusi, hukum, dan pegawasan lembaga negara lainnya (checks and balanced). Sedangkan rambu-rambu secara non-formal dapat berupa pengawasan oleh rakyat, pers, dan juga oleh oposisi.

Namun dalam tulisan saya kali ini, saya ingin memfokuskan tulisan mengenai oposisi. Siapa oposisi itu ? oposisi dapat diartikan sebagai pihak-pihak diluar kekuasaan yang memiliki tujuan untuk merebut kekuasaan. Makna merebut kekuasaan disini bukan dalam arti merebut secara in-konstitusional ( revolusi ) namun merebut melalui mekanisme demokrasi yaitu pemilu.

Karena memiliki tujuan untuk merebut kekuasaan dari penguasa, maka pihak oposisi memiliki potensi menjadi pihak yang paling kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah.

Dalam entitas bernegara yang sehat. Negara memang membutuhkan pihak oposisi yang kuat dan tentunya kritis. Hal ini penting agar pihak oposisi dapat menjadi counter balance bagi pemerintah agar tidak melenceng dari tugas dan kewenangan yang dimilikinya.

Ada 3 peran penting yang dimiliki oleh oposisi, pertama, mengontrol jalannya roda pemerintahan melalui kritik. Kedua, memberikan masukan konstruktif bagi arah pembangunan dan kebijakan negara (melalui forum legislasi). Ketiga, menjadi mitra saing bagi pemerintah agar meningkatkan kualitas kinerjanya.

Oleh karenanya, menjadi pihak oposisi pada dasarnya adalah melaksanakan "tugas" mulia guna mendukung terselenggaranya kehidupan negara yang sehat dan seimbang. Namun sayangnya sebagian besar pihak dalam hal ini partai politik dan elite politik nampak lebih menyukai berada dalam lingkup kekuasaan dari pada harus menjadi pihak oposisi atau diluar kekuasaan.

Kita lihat saja dinamika setelah pemilu, hasil quick count dan real count sementara yang memenangkan kubu 01 nampak berpotensi merubah peta koalisi. Dapat dilihat beberapa partai yang sebelumnya berada pada koalisi kubu 02 seperti PAN dan Demokrat mulai membangun komunikasi dan menyiratkan kecenderungan akan bergabung pada koalisi kubu 01 yang sejujurnya sudah gemuk.

Pasca pemilu, Zulkifli Hasan, ketua umum PAN nampak sudah beberapa kali bertemu dan menjalin komunikasi dengan Jokowi, hal senada juga dilakukan oleh Agus Harimurti Yudhoyono yang juga menjalin komunikasi hangat dengan Jokowi. Bahkan elite-elite partai Demokrat pun sudah melakukan perang urat syaraf dengan koalisi kubu 02 khususnya kepada elite Gerindra dan PKS. Hal ini pun menjadi indikasi kuat bahwa Demokrat akan menyebrang ke kubu 01.

Sejujurnya, jika nanti pada akhirnya Demokrat dan PAN bergabung kedalam koalisi 01 dan menjadi kubu penguasa, maka hal ini dapat mereduksi kekuatan oposisi, karena praktis pihak yang menjadi oposisi hanyalah PKS dan Gerindra. Padahal guna membangun keseimbangan negara yang baik idealnya kekuatan pihak oposisi haruslah seimbang atau setidaknya tidak timpang terlalu jauh dengan kekuatan penguasa.

Iklim demokrasi kita membutuhkan oposisi politik yang kuat tidak hanya dalam konteks eksekutif namun juga dalam ranah legislatif tentunya agar dapat menjadi pengontrol yang memiliki bergaining position kuat untuk mem-pressure pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan melalui Undang-Undang selalu berafiliasi dengan kepentingan rakyat dan negara bukan kepentingan pragmatis maupun kepentingan kelompok tertentu.

Maka dari itu, sejujurnya kita harus berterimakasih kepada Gerindra dan PKS karena keduanya telah menunjukkan sikap idealisme politik yang kuat dengan konsisten untuk berseberangan dengan kubu petahana dan mantap memilih sikap berada diluar kekuasaan (jika kalah). Karena jika seandainya Gerindra dan PKS tidak memiliki sikap idealisme politik yang kuat dan ikut-ikutan bergabung pada koalisi 01 (jika 01 menang) maka tidak akan ada lagi oposisi dan tidak ada lagi kritikus pedas bagi penguasa baik dalam ranah eksekutif maupun legislatif, sehingga kontrol kepada pemerintah pun akan melemah sekaligus meningkatkan potensi oligarki dan otoritarianisme.

Gerindra dan PKS telah menunjukkan keteguhan dan konsistensi bahwa mereka adalah partai politik yang memiliki sikap jelas dan tidak abu-abu. Tidak gagap dan tidak takut untuk menjadi pihak yang berada diluar kekuasaan.

Karena toh pada dasarnya, untuk dapat berkontribusi kepada bangsa dan negara tidak harus berada diranah kekuasaan. Diluar kekuasaan pun selalu ada lahan yang dapat dikerjakan untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sekali lagi terimakasih Gerindra dan PKS.




Minggu, 12 Mei 2019

DEMOKRASI DAN NOMOKRASI


Indonesia adalah negara yang menganut sistem politik demokrasi. Meskipun kata "demokrasi" sendiri tidak pernah tertulis secara eksplisit dalam konstitusi. Entitas sebagai negara demokrasi dapat dilihat melalui ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Selain Pasal 1 ayat (2), substansi sebagai negara demokrasi juga terpenuhi dalam konstitusi melalui adanya pemilu berkala yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang independen dan imparsial (Pasal 22 E), kemudian yang paling krusial adalah adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam rangka kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat (Pasal 28 E).

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga dapat kita lihat bahwa sistem demokrasi negara kita dipandu berdasarkan UUD yang merupakan hukum dasar dalam bernegara. Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa "negara Indonesia adalah negara hukum". Berdasarkan konstruksi dua Pasal tersebut dapat kita ejawantahkan bahwa sistem demokrasi negara Indonesia dilaksanakan dan dipandu berdasarkan kedaulatan hukum atau nomokrasi.

Itu mengandung makna bahwa negara demokrasi kita bukanlah negara demokrasi liberal yang berdasarkan kebebasan absolut rakyat melainkan negara demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan hukum, dimana hukum tampil sebagai landasan fundamental dalam mekanisme pelaksanaan demokrasi. Artinya rakyat dalam melaksanakan aktivitas demokrasi harus mengikuti aturan main dan mekanisme sesuai yang ditetapkan oleh hukum.

Misalnya, kebebasan mengemukakan pendapat kita ketahui merupakan hak esensial dari pada entitas demokrasi. Namun pelaksanaan dari pada hak kebebasan mengemukakan pendapat itu sendiri dipandu berdasarkan aturan main hukum. Contohnya, saat rakyat ingin menyalurkan aspirasi melalui demo tentu harus memberikan surat pemberitahuan kepada pihak keamanan, kemudian dalam mengemukakan pendapat pun rakyat tidak boleh mengandung ujaran yang mengandung pencemaran, fitnah, dan penistaaan. Karena perbuatan tersebut tergolong sebagai tindak pidana yang diatur dalam hukum positif (KUHP). Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa implementasi demokrasi dibatasi sedemikian rupa oleh prinsip nomokrasi yang tujuan utamanya agar terjaga stabilitas bernegara.

Ruang dan entitas demokrasi harus dikawal berdasarkan kedaulatan hukum atau nomokrasi, sebaliknya kedaulatan hukum harus dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi. Hal ini penting karena jika ruang dan entitas demokrasi tidak dikawal berdasarkan nomokrasi, maka yang timbul kemudian adalah chaos dan instabilitas sosial. Di sisi lain jika kedaulatan hukum tidak dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi, maka akan timbul sebuah kondisi yang dinamakan oleh Bryan Z Tamanaha sebagai "the thinnner rule of law". Bryan Z Tamanaha dalam bukunya "On The Rule of Law" memaknai "the thinner rule of law" sebagai sebuah kondisi dimana hukum hanya menjadi alat legitimasi kekuasan penguasa.

Dalam kondisi demikian, hukum hanya akan menjadi tameng untuk membenarkan semua tindakan penguasa. Penguasa akan selalu berlindung pada hukum. Penguasa merasa telah absah bertindak asalkan ada landasan peraturannya tidak perduli apakah perbuatan tersebut patut maupun tidak patut. Cara penguasa yang melegitimasi kekuasaan berdasarkan peraturan hukum yang tidak dilandasi oleh prinsip dan semangat demokrasi (hukum dibuat sesuai keinginan penguasa) pada akhirnya akan mengejawantah sebagai negara hukum otoriter.

Oleh karenanya, demokrasi dan nomokrasi harus berjalan beriringan. Demokrasi harus dipandu berdasarkan nomokrasi sebaliknya nomokrasi harus dinafasi oleh prinsip dan semangat demokrasi. Agar chaos, instabilitas sosial, dan otoritarianisme bertameng hukum tidak mengejawantah dalam tertib kehidupan bernegara.

FRIKSI PASCA PEMILU

Suhu panas politik terus berlangsung baik sebelum pemilu hingga pasca terselenggaranya pemilu. Sebuah kondisi yang membuat ikatan kohesi sosial masyarakat kita secara umum agak renggang. Masih panasnya tensi politik pasca penyelenggaraan pemilu menurut hemat saya disebabkan lantaran para elite politik dan para patron tak henti-hentinya menebar narasi-narasi demagogis dan provokatif yang kemudian menyulut emosi rakyat akar rumput. Narasi "pemilu curang" terus dibangun bahkan hingga terjadi provokasi untuk melakukan pertumpahan darah dengan dalih demi melawan ketidakadilan dan "kecurangan" pemilu.

Di indonesia, kita ketahui bersama bahwa budaya paternalistik (tunduk pada patron) masih mengakar kuat. Dan sayangnya orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai patron seperti elite politik, tokoh sosial, akademisi hingga pemuka agama banyak yang terseret dalam arus persaingan politik praktis (pilpres) sehingga tidak mampu memainkan peran sebagai agen stabilitator sosial. Sebaliknya, sebagian dari mereka malah tampil sebagai agitator yang handal memainkan emosi kebathinan akar rumput. Memobilisasi emosi dan militansi rakyat untuk bertindak sesuai keinginan mereka.

Para patron seharusnya kembali pada khitahnya guna berperan sebagai stabilitator sosial dengan membangun narasi-narasi menyejukkan yang bisa merekatkan ikatan kohesi sosial dan konsolidasi kewargaan masyarakat. Patron harus menjauhi narasi-narasi provokasi negatif yang berimplikasi buruk pada stabilitas sosial dan konsolidasi kerukunan kewargaan. Dalam setiap tindakan, perkataan, dan sikap publik yang ditunjukkan, patron hendaknya harus selalu berlandaskan pada keilmuan, tanggungjawab moral, nalar, kebenaran, dan obyektifitas dalam bingkai semangat harmonisasi bangsa.

REALITAS SOSIAL DAN BANALITAS NALAR

Dalam realitas sosial, konstruksi sosial yang terbangun saat ini adalah masyarakat cenderung tidak lagi mencari kebenaran, fakta, dan realitas. Namun lebih kepada mencari afirmasi pembenaran atas sesuatu yang mereka sukai dan mereka yakini. Fanatisme sempit politik terhadap tokoh politik yang mereka dukung baik atas inisiatif pribadi maupun melalui "sabda" patron telah membutakan akal sehat dan obyektifitas nalar sehingga tercipta banalitas nalar.

Banalitas nalar membuat perspektif dan landasan dalam menilai kebenaran bukan lagi terletak pada fakta, realitas dan obyek. Namun terletak pada keyakinan, rasa cinta (fanatisme), dan subyek (siapa yang melakukan). Hal inilah yang membuat titik sengkarut pikir dan tensi panas masih membayangi meskipun penyelenggaraan pemilu telah usai. Masing-masing pihak mencoba mencari pembenaran atas apa yang mereka yakini sehingga friksi pun tidak terhindarkan.

Maka, ditengah panasnya tensi politik yang masih menyala hingga sekarang ini, para elite politik dan para patron dari kedua kubu (kubu Jokowi dan kubu Prabowo) harus segera menjalin komunikasi dan membangun narasi yang menyejukkan bagi rakyat. Kalaupun ada ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemilu maupun hasil pemilu lawanlah melalui mekanisme hukum yang tersedia. Jangan membenturkan rakyat dengan rakyat demi sekadar syahwat kekuasaan. Jangan menghancurkan modal sosial-politik negeri ini yakni persatuan dan kesatuan demi ego dan oportunitas individu maupun kelompok. Mari berikan contoh dan suri tauladan kepada rakyat tentang bagaimana tertib dan kedewasaan dalam berdemokrasi.

Tertib dan kedewasaan berdemokrasi mengandung makna bahwa dalam kompleksitas berdemokrasi harus selalu berlandaskan dan berpijak pada rambu-rambu nomokrasi. Jika terjadi ketidakpuasan dalam proses demokrasi lawan melalui mekanisme hukum yang tersedia tanpa harus membangun provokasi-provokasi yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa.

Di sisi lain, tertib dan kedewasaan berdemokrasi juga mengandung makna bahwa dalam kontestasi demokrasi setiap pihak yang menjadi kontestan beserta pendukungnya harus siap menang maupun siap kalah. Jika menang jadilah pemenang yang baik dengan merangkul yang pihak kalah tanpa arogansi dan jika kalah jadilah good loser dimana dapat menerima kekalahan secara lapang dada dan tetap memiliki semangat untuk turut mengawal pembangunan negeri ini meski dari luar kekuasaan yakni melalui kritik maupun masukan yang konstruktif.

Marilah kita bersama tempatkan nilai-nilai fundamental bernegara jangka panjang diatas kepentingan-kepentingan praktis jangka pendek. Toh tanpa menjadi penguasa sekalipun masih banyak lahan yang dapat kita garap untuk memberikan kontribusi bagi rakyat, bangsa, dan negara ini.

Perlu diketahui bawa tertib dan kedewasaan dalam berdemokrasi adalah modal dasar dan modal pokok sebagai pondasi untuk membangun peradaban bangsa ini kedepan. Tanpa tertib dan kedewasaan dalam berdemokrasi percayalah negeri hanya akan jalan ditempat. Tidak mampu bertransformasi menjadi sebuah bangsa yang besar dan madani.

Selesai ....









Selasa, 07 Mei 2019

BERHUKUM SECARA JANTAN


Mantan Ketua Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Ustadz Bachtiar Nasir ditetapkan sebagai tersangka oleh polri dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang terkait dana Yayasan Keadilan Untuk Semua (YKUS).

Menurut Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Daniel Tahi Monang Silitonga, Bachtiar Nasir dijadwalkan akan diperiksa hari Rabu ini ( 8/5 ).

Bachtiar Nasir sendiri dijerat dengan Pasal 70 jo Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2004 atau Pasal 374 KUHP jo Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP atau Pasal 56 KUHP atau Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan atau Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Penetapan Bachtiar Nasir menjadi tersangka pun menimbulkan polemik khususnya bagi massa maupun elite politik yang bersimpati terhadap Bachtiar Nasir. Salah dua diantaranya adalah Fadhil Zon dan Hidayat Nur Wahid. Kedua tokoh tersebut mengatakan secara eksplisit dalam akun tweeternya bahwa penetapan tersangka Bachtiar Nasir adalah tindakan kriminalisasi oleh aparat. Bahkan keduanya secara tersirat menyangkut pautkan kasus yang menimpa Bachtiar Nasir ini dengan dinamika politik yang melibatkan "perseteruan" antara kubu 01 dengan kubu 02.

Mengingat kuatnya budaya paternalistik (tunduk pada elite patron) yang mengakar dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Apa yang disampaikan oleh Fadli Zon dan Hidayat Nur Wahid pun menjelma menjadi keyakinan dan kepercayaan para akar rumput yang bersimpati terhadap Bachtiar Nasir. Akar rumput pun menyakini dan mempercayai bahwa telah terjadi tindakan kriminalisasi terhadap Bachtiar Nasir khususnya terkait posisi Bachtiar Nasir dalam dinamika politik yang bersebrangan keras dengan petahana.

Sejujurnya secara teoritis keilmuan makna kriminalisasi sendiri adalah kebijakan memformulasikan suatu perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi perbuatan yang termasuk tindak pidana melalui proses legislasi. Namun dalam ruang sosial makna kriminalisasi dipelintir menjadi tindakan memproses hukum atau menghukum seseorang yang sejatinya tidak bersalah.

BERHUKUM SECARA JANTAN

Sudah berulangkali kasus hukum dipersepsikan sebagai tindakan kriminalisasi terkait sentimen politik. Sebelum Bachtiar Nasir, ada kasus hukum yang menimpa Habib Rizieq, Slamet Maarif hingga Bahar Bin Smith yang dipersepsikan sebagai tindakan kriminalisasi karena pihak-pihak tersebut bersebrangan kubu politik dengan penguasa. Kriminalisasi ulama pun digaungkan yang membuat tensi politik semakin memanas.

Sebaiknya elite jangan mempersepsikan dan menggenalisir kasus hukum dengan sentimen politik. Mengingat segala proses/putusan hukum ada mekanismenya sendiri yang harus dipenuhi sehingga tidak mungkin dilakukan secara asal-asalan apalagi diwarnai dengan bumbu sentimen politik. Disisi lain sebagai negara hukum demokratis, negara juga menyediakan berbagai mekanisme hukum seperti praperadilan, ganti rugi, rehabilitasi, upaya hukum biasa, hingga upaya hukum luar biasa untuk menguji setiap proses/putusan hukum demi perlindungan terhadap martabat dan hak asasi manusia. Misalnya penetapan tersangka ada mekanismenya yang harus dipenuhi yakni terpenuhinya bukti permulaan yang cukup. Disitu sisi, penetapan tersangka pun ada mekanismenya untuk diuji yakni melalui upaya praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka.

Jadi, konstruksi yang dibangun seharusnya adalah proses hukum dilawan dengan upaya hukum, bukan sebaliknya proses hukum dilawan dengan politisasi hukum yakni tindakan menggunakan hukum untuk kepentingan tendensi politik guna pembangunan presepsi publik.

Marilah berhukum secara jantan dengan melalui segala proses hukum berdasarkan tahap mekanisme hukum yang tersedia. Gunakanlah segala hak dan upaya hukum yang ada untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Tidak usah takut jika merasa tidak bersalah. Sederhana saja.

Oleh karenanya saya berharap kepada ustadz Bachtiar Nasir beserta massa dan elite simpatisannya dapat berhukum secara jantan. Dengan melawan perkara hukum yang membelitnya melalui upaya dan mekanisme hukum yang tersedia bukan dengan politisasi hukum dan pembangunan narasi kriminalisasi yang berimplikasi pada menaiknya tensi panas politik sekaligus berimplikasi pada tersendatnya konsolidasi kerukunan masyarakat.

Marilah berhukum secara jantan tanpa mengaitkan kasus hukum dengan sentimen dan tendensi politik apapun. Aparat penegak hukum adalah alat negara untuk menjaga ketertiban dan menegakkan hukum bukan alat penguasa untuk menindas para pihak yang bersebrangan kubu politik.



Selesai ....

PUISI : PEMILU


Pemilu daulat rakyat.
Sarana memilih pemimpin menuju maslahat.

Pemilu amanat suci demokrasi.
Bukan tempat keruh menabur benci.

Pemilu tempat menyalurkan aspirasi.
Bukan ladang sadis penghangus nurani.

Pemilu adalah medan berebut pengabdian.
Bukan ranah berebut syahwat kekuasaan.

Pemilu itu pesta demokrasi.
Tidak seharusnya menjadi sekat timbulnya intoleransi.





PUISI : JALAN HIDUP


Hidup terkadang terjal penuh liku.
Melukiskan titah kejam semburat pilu.
Tangis sendu menghias kelabu.
Menitihkan cerita lirih mengharu biru.

Renjana jiwa memagut asa.
Resah menerpa selaras nyawa.
Dalam tatapan mata yang nanar.
Kesucian rasa ini tak pernah memudar.

Kehidupan berjalan penuh misteri.
Sedih senang menyapa silih berganti.
Hati masih lekat dalam penantian.
Kabut rindu serasa kedap menebal.

Waktu terus mengalir tanpa sekat jeda.
Jalan hidup telah ku pilih.
Tiada kata menyerah meskipun raga terhempas lelah.
Gagal dan kalah adalah cambuk jiwa tuk semakin kuat.
Rindu yang menjerat adalah pelana menuju hidup nan khidmat.

Jalan hidup telah tergelar lapang.
Menatap tajam kedepan tanpa riuh sumir.
Berjuang gigih hingga titik nadir.
Agar tau manisnya jerih payah sebagai garis takdir.





Rabu, 01 Mei 2019

CERPEN : BALADA 3 PENJUAL


"Ru, kok jualannya laris amat ya padahal cuman jualan mendoan sama nasi sambal saja, jangan-jangan ia pakai guna-guna agar jualannya laris" ucap Keceng seorang penjual nasi goreng kepada Kipo sang penjual lontong kikil. "Iya ceng gue juga heran apa istimewanya coba mendoan sama nasi sambal saja kok ya banyak pelanggannya, dia buka jam 6 sore jam 9 udah ludes, nah kita buka hingga jam 11 an seringkali tidak habis". Ucap Kipo sambil menampakkan wajah penuh keheranan. ( Keceng dan Kipo berjalan menuju warung mereka ).

Adzan maghrib berkumandang khidmat, gerimis nampak mulai menerpa dengan nada yang lirih, angin pun menggelayut manja membawa sunyi dan dingin. Desa Londo terasa sepi nyenyat. Tak lama kemudian setelah waktu maghrib selesai, 3 pedagang yang berjualan di perempatan desa Londo pun mulai datang membuka warungnya. Keceng dan Kipo datang dahulu dan tak lama berselang disusul oleh Ru.

"Po, kelihatannya hari ini jualan gue akan ludes sebelum jam 10" ucap Keceng dengan nada yakin. "Kenapa bisa begitu" balas Kipo. "Soalnya ini cuacanya sedang gerimis dingin gini pasti orang-orang lapar dan yang dicari tentu nasi goreng hehehe" keceng berucap sambil nyengir pede. "Ah cuaca seperti ini tu pasti orang-orang nyarinya makanan yang hangat dan berkuah jadi nyarinya lontong kikil buatan Kipo" ucap Kipo sambil menampakkan wajah songong namun lugu. Kipo sendiri sejatinya adalah mantan pemain sepak bola profesional yang terpaksa banting stir menjadi penjual lontong kikil setelah memutuskan pensiun dini dari dunia sepak bola 2 tahun lalu. Kipo pensiun dari dunia si kulit bundar pada usia 22 tahun karena faktor sakit ambeien akut yang dideritanya. Meskipun telah berobat kesana-kemari dan menelan biaya pengobatan yang besar namun sakit ambeinnya tak kunjung sembuh. Hal itulah yang membuat Kipo frustrasi dan akhirnya memilih banting stir melanjutkan hidup menjadi penjual lontong kikil. Merintis usaha menjadi penjual lontong kikil sendiri adalah berkat saran dari Riski Paimo yang tak lain adalah mantan pelatih Kipo saat masih aktif bermain menjadi pemain sepak bola.

Sedangkan Keceng sebelum menjadi penjual nasi goreng adalah berprofesi sebagai nelayan. Lantaran sering mengalami mabuk laut dan sakit tipus saat sedang melaut akhirnya Keceng disuruh pulang oleh ibunya dan memilih menyambung hidupnya dengan berjualan nasi goreng. Ru sendiri sejak lulus sma 10 tahun lalu langsung memutuskan memilih karir sebagai penjual mendoan. Ru mantap memilih usaha berjualan mendoan karena Ru memiliki resep khusus yang ia peroleh dari neneknya yang merupakan penjual mendoan terkenal di Banyumas sana.

Malam mulai larut. Tapi warung Keceng dan Kipo nampak sepi pembeli, hingga jarum jam menunjukkan pukul 9 malam warung Keceng dan Kipo hanya disinggahi 3 orang pembeli. Sedangkan warung Ru nampak sangat ramai, pembeli datang silih berganti. Kenyataan tersebut membuat Keceng dan Kipo iri. "Gue semakin yakin po kalau si Ru pakai guna-guna ke dukun agar jualannya laris, masak dari tadi buka hingga kini warungnya tidak pernah sepi pembeli" ucap Keceng. "Iya ceng dia pasti maen dukun, bagaimana kalau kita ikut cara dia" tutur Kipo. "Maksud loe kita juga ikut ke dukun gitu ?" Keceng membalas dengan sedikit terkejut. "Iyalah gak ada cara lain, dukun harus disaingi dengan dukun, tenang aja ceng gue memiliki dukun sakti namanya mbah Bendot besok kita ke kediaman mbah Bendot minta guna-guna agar jualan kita laris" terang Kipo. "Ok deh kalau begitu" Keceng pun sepakat.

Esoknya Keceng dan Kipo pun menuju rumah mbah Bendot yang berjarak sekitar 25 km dari desa Londo, desa tempat tinggal Keceng dan Kipo. Sesampai di rumah mbah Bendot, Keceng dan Kipo pun langsung mengutarakan maksud kedatangannya.

Mbah Bendot : Kalian cukup menaburkan garam pemberian ku ini ke masakan kalian. Ini garam sakti dari laut selatan. ( mbah Bendot menyerahkan bungkusan garam kepada Keceng dan Kipo )

Keceng : Rasanya gak asin mbah ?

Kipo : Bodoh loe. Ini garam jimat bukan garam biasa itu.

Mbah Bendot : hehehe tenang saja. Taburkan saja garam ini ke masakan kalian. Maka masakan kalian akan menjadi super lezat dan pembeli pun akan berdatangan pada kalian.

Keceng : Terima kasih ya mbah.

Kipo : Terima kasih mbah.

Setelah dari kediaman mbah Bendot, Keceng dan Kipo pun keesokan harinya berjualan dengan hati riang penuh keyakinan bahwa jualannya akan laris manis.

Keceng : Hari ini Ru akan kaget po, kita pulang duluan dari dia hahaha

Kipo : Iya ceng, emangnya dia saja yang bisa maen dukun.

Namun Keceng dan Kipo terperangah saat melihat kondisi warung Ru yang penuh sesak oleh pembeli. Ru nampak sibuk melayani pembeli dengan ramah dan cekatan.

Keceng : Lho kok warung dia ramai banget ya.

Kipo : Iya ceng, lah ini warung kita masih sepi. Gimana ini guna-gunanya mbah Bendot ah gak manjur. Dukun gadungan tuh si Bendot.

Keceng : Lah kan elo yang ngajak gua kesana katanya dia dukun sakti.

Kipo : Ah dia bukan dukun sakti tapi dukun sakit. Gue tau mbah Bendot itu sebenarnya dari searching google ceng.

Keceng : Hmm jadi ketipu kita po. Pantas wajahnya mbah Bendot gak menyakinkan jadi dukun. Dari wajahnya dia pantasnya jadi tukang tambal ban.

Kipo : Hmm sebenarnya resep lontong kikil ku juga ku dapat dari google ceng. ( Ucap Kipo dengan mimik wajah yang "gatheli" )

Keceng : Lho sama po aku juga mengandalkan resep nasi goreng ku ini dari google.

Kipo : Jangan-jangan si Ru dapat resepnya dari mozila firefox ceng bukan google makanya dia sukses.

Keceng : Hmmm bisa jadi po, ayo nanti kita inspeksi warung dia.

Keceng dan Kipo pun menemui si Ru.

Keceng : Ru, sebenarnya apa sih resep kamu kok bisa laris jualan mu padahal kamu hanya jual mendoan dan nasi sambal saja.

Kipo : Kamu makai dukun mana Ru, kasih tau kita lah. Manusia kan seharusnya saling tolong menolong.

Ru : Maaf bro aku gak pakai dukun kok.

Kipo : Oh berarti kamu searching resep mendoannya dari mozila firefox ya bukan dari google. Soalnya aku dan Keceng searching resep dari google kok jualan kita gak bisa laris kayak kamu.

Ru : Hehehee aku dapat resep mendoan ini spesial dari nenekku Banyumas. Ini resep mendoan rahasia yang turun-temurun diwariskan oleh keluarga besar.

Kipo : Jadi kamu gak pakai dukun dan bantuan internet google ya Ru ?

Ru : Enggak po aneh-aneh saja sih.

Kipo : Janc*kkkkk ah berarti selama ini kita di bohongi oleh internet google ceng.

Keceng : Tidak itu saja po, kita juga dibohongi oleh dukun mbah Bendot. Janc*kkkkkk kabehh.

Melihat Keceng dan Kipo "misuh-misuh" Ru pun tertawa ngakak dalam hati. Batin Ru berkata "dua orang ini bodoh dan lucu sekali ya wkwkkwkwkw"


Selesai.