Rabu, 23 September 2020

PANDEMI CORONA: TETAP AKTIF DAN PRODUKTIF

 

Pandemi Covid 19 membuat pemerintah mengeluarkan himbauan kepada masyarakat, institusi pendidikan, ASN, hingga perusahaan swasta untuk melakukan social distancing atau kini diperbaharui dengan istilah phisic distancing. Phisic distancing adalah pembatasan kontak fisik dengan seseorang maupun lingkungan sekitar. Tujuan pemerintah melakukan himbauan phisic distancing tak lain dan tak bukan adalah guna menekan persebaran virus corona agar memudahkan pemerin tah dalam rangka penanggulangan Covid 19.

Kebijakan pemerintah tersebut, membuat institusi pendidikan, lembaga pemerintah, dan perusahaan swasta “terpaksa” membuat kebijakan study at home (bagi siswa dan mahasiswa) dan work from home (bagi pekerja). Kebijakan ini tentunya mengandung sebuah konsekuensi bagi pelajar dan juga pekerja untuk tetap belajar dan bekerja secara produktif meskipun dilakukan dari rumah.

Belajar atau bekerja dari rumah seharusnya tidak menjadi sebuah halangan atau hambatan yang berarti bagi pelajar maupun pekerja untuk tetap produktif. Dalam arti, aktivitas belajar maupun bekerja di rumah hendaknya tidak menghalangi pelajar maupun pekerja untuk tetap melakukan tugas dan kewajibannya secara efektif dan optimal. Belajar dan bekerja dari rumah hendaknya jangan sampai menjadi sebuah hambatan bagi kita untuk tetap produktif.

Hambatan Untuk Produktif di Rumah

Belajar maupun bekerja dari rumah tentunya memiliki perbedaan dibandingkan dengan aktivitas belajar atau bekerja di sekolah dan kantor. Singkatnya, belajar maupun bekerja dari rumah memiliki daya hambat tersendiri yang apabila tidak diatasi tentu akan berimplikasi pada menurunnya efektifitas dan produktifitas kita dalam belajar maupun bekerja..

Daya hambat dalam belajar maupun bekerja dari rumah menurut hemat saya ada dua hal. Pertama, zona nyaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa rumah adalah tempat ternyaman dalam hidup kita. Tempat di mana kita menemukan dan merasakan kasih sayang sejati. Tempat di mana kita melepas lelah dan penat setelah seharian belajar atau bekerja di luar. Rumah adalah tempat nan teduh bagi kita untuk bercengkrama dengan orang-orang terkasih.

Nah, dalam masa pandemi corona, relatif anggota keluarga kita akan stay di rumah yang membuat kehangatan dan keintiman keluarga pun meningkat. Namun, keadaan tersebut tanpa kita sadari juga memiliki efek negatif bagi produktifitas kita dalam belajar maupun bekerja. Kehangatan keluarga akan membuat kita tenggelam dalam kenyamanan yang berpotensi membuat fokus kita terhadap aktivitas belajar atau bekerja dari rumah yang mana merupakan tanggungjawab dan kewajiban kita menjadi terganggu, akibatnya produktifitas belajar dan bekerja kita pun menjadi menurun.

Kedua, non formalitas. Belajar atau bekerja dari rumah melahirkan sebuah kondisi non formal baik dari segi kondisi tempat, pakaian, hingga interaksi yang cenderung berpotensi mengurangi fokus dan kedisiplinan diri kita untuk belajar atau bekerja secara efektif. Aspek formalitas berafiliasi erat dengan kultur kedisiplinan dan keteraturan, sedangkan aspek non formalitas cenderung berafiliasi dengan sebuah kultur ketidakaturan. 

Strategi Tetap Produktif

Agar tetap produktif belajar maupun bekerja dari rumah pada prinsipnya kita harus memiliki sebuah prinsip akan kedisiplinan dan tanggungjawab tidak sebatas pada ruang dan waktu. Artinya, meskipun kita belajar atau bekerja dari rumah, nilai tanggungjawab dan kedisiplinan harus senantiasa kita junjung tinggi sebagai sebuah nilai intrinsik diri. Secara praksis-implementatif berikut penulis berikan beberapa strategi agar kita bisa tetap produktif dalam belajar maupun bekerja dari rumah.

Pertama, disiplin waktu. Kita harus mengatur waktu secara disiplin di rumah. Konkretnya, kita harus mampu mengatur dan memaksimalkan waktu kapan saatnya kita belajar atau bekerja dan kapan saatnya kita bisa bercengkram dengan keluarga di rumah. Misalnya, dengan menetapkan waktu dari jam 8 pagi hingga 4 sore untuk fokus dan disiplin dalam belajar maupun bekerja. Dengan disiplin terhadap waktu, maka walaupun kita belajar atau bekerja dari rumah, produktifitas kita niscaya tidak akan menurun.

Kedua, menyediakan area khusus untuk belajar atau bekerja. Agar kita tetap bisa fokus dalam belajar atau bekerja dari rumah hendaknya kita menyediakan area atau ruang khusus untuk belajar atau bekerja. Area khusus tersebut idealnya area yang bisa membuat kita fokus dan konsentrasi. Misalnya di kamar atau di ruang pribadi lainnya.

Ketiga, memaksimalkan teknologi dan informasi. Memaksimalkan benefit dari teknologi dan informasi tentunya akan berimbas positif terhadap produktifitas kita dalam belejar maupun bekerja. Memaksimalkan teknologi dan informasi dapat kita lakukan misalnya dengan mengakses situs-situs di internet yang dapat menunjang produktifitas kita dalam belajar maupun bekerja. Di era disrupsi teknologi sebagaimana yang terjadi saat ini, kemampuan individu baik sebagai pelajar maupun pekerja dalam mengoptimalisasi impact teknologi akan berpengaruh besar dalam menentukan keberhasilan.

Keempat, menjaga komunikasi. Dalam menunjang produktifitas dalam bekerja atau belajar dari rumah tentunya kita harus membangun sebuah relasi komukiatif dan team work (secara positif) dengan rekan kerja, atasan, teman sekolah, maupun guru. Komunikasi akan memudahkan kita dalam memahami dan menjalankan aktivitas belajar maupun bekerja.

Kelima, menganggap rumah sebagaimana sekolah atau tempat kerja. Agar profuktifitas kita selama belajar atau bekerja dari rumah, kita perlu membangun sebuah energi positif dalam alam bawah sadar kita bahwa belajar maupun bekerja dari rumah pada prinsipnya sama seperti halnya belajar atau bekerja dari sekolah maupun tempat kerja. Jika kita mampu membangun energi positif tersebut niscaya semangat, fokus, dan motivasi kita akan tercurahkan untuk hal-hal yang bersifat konstruktif guna menunjang produktifitas kita dalam belajar atau bekerja.

Jangan Menjadi Alasan

Pada prinsipnya, belajar atau bekerja dari rumah jangan menjadi alasan bagi diri kita untuk tidak produktif dalam belajar maupun bekerja. Seorang manusia yang memiliki komitmen dan tanggungjawab yang tinggi terhadap tugas atau peran yang menjadi tanggungjawabnya tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang berafiliasi dengan dimensi ruang dan waktu.

Manusia yang memiliki komitmen dan tanggungjawab yang tinggi akan tugas dan peran yang menjadi tanggungjawabnya niscaya akan tetap memberikan kinerja yang optimal dalam kondisi dan situasi apapun.

Di tengah wabah pandemi corona yang melanda negeri ini yang pada akhirnya “memaksa” kita untuk belajar maupun bekerja dari rumah hendaknya jangan menjadi sebuah penghalang atau penghambat bagi diri kita untuk tetap produktif. Aktivitas belajar maupun bekerja dari rumah harus kita jadikan motivasi dan sarana aktualisasi diri bahwa kita adalah manusia-manusia yang memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi terhadap tugas dan kewajiban kita. Caranya, tentu dengan tetap produktif bahkan lebih produktif meskipun belajar atau bekerja dari rumah.

 

Rabu, 16 September 2020

KEMERDEKAAN SUBSTANTIF

 

Apakah Indonesia sudah merdeka? Iya, Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Secara fisik Indonesia memang telah merdeka sejak 75 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, saat Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dihadapan puluhan ribu rakyat Indonesia di Jl Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Momen tersebut menandai lahirnya negara Indonesia sekaligus menyudahi masa penjajahan Jepang.

75 tahun sudah Indonesia merdeka secara de facto maupun de jure, namun kemerdekaan yang hakiki atau sering disebut kemerdekaan substantif belum jua membumi di bumi pertiwi. Kemerdekaan substantif meliputi: kemerdekaan material (berdikari di bidang ekonomi), kemerdekaan struktural (berdaulat dalam sosio-politik), dan kemerdekaan kultural (berkepribadian dalam budaya).

Di bidang ekonomi, kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah pelik. Menurut Bambang Widianto, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (9/10/2019), Indonesia menempati peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan tingkat kesenjangan sosial tertinggi. 1 persen warga negara Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.

Berdasarkan data BPS pada September 2019 lalu, ratio gini Indonesia berada di angka 0,38. Data ini menunjukkan bahwa kesenjangan sosial di Indonesia menjadi problematika serius rezim pemerintahan Jokowi maupun rezim pemerintahan ke depan. Terlebih, saat ini pandemi Covid-19 sedang melanda dan resesi ekonomi global juga turut mengancam.

Selain kesenjangan sosial, kemiskinan juga masih menjadi problematika akut bangsa Indonesia. Menurut data BPS pada September 2019, presentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,22 persen atau setara 24,79 juta orang. Kemiskinan sendiri diukur dari kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Artinya, ketika harga komoditi kebutuhan dasar naik, dapat dipastikan angka kemiskinan juga akan turut meningkat. Apalagi saat ini pandemi Covid-19 tengah melanda. Banyak penduduk kehilangan pekerjaan, penurunan pemasukan, daya beli menurun, dan harga-harga kebutuhan pokok juga relatif meningkat. Secara eksternal, resesi ekonomi global juga mengancam. Maka, dibutuhkan konsolidasi dan kebijakan ekonomi yang kuat dan presisi agar kesenjangan sosial dan kemiskinan tidak melebar semakin parah menjadi sebuah krisis ekonomi berkepanjangan.

Selain dari sisi kesenjangan sosial dan kemiskinan, perihal utang luar negeri juga harus mendapatkan atensi. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri pada akhir Mei 2020 sebesar 404,7 miliar dollar AS atau setara  Rp. 5.868 triliun (kurs Rp. 14.500). Utang tersebut terdiri dari utang sektor publik sebesar 194,9 miliar dollar AS dan utang sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar. Utang luar negeri diprediksi akan terus meningkat sejalan dengan efek derivasi dari upaya penanggulangan Covid-19. Utang luar negeri yang semakin meningkat membuat berdikari di bidang ekonomi semakin jauh panggang dari api.

Kemudian dari sisi sosio-politik, menguatnya oligarkhi politk dan kuasa uang membuat ruang demokrasi mengejawantah sebagai demokrasi semu (pseudo-democrazy) sehingga tidak mampu mewujudkan welfare state. Oligarkhi politik menyebabkan ruang politik dan demokrasi hanya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Sehingga kebijakan-kebijakan publik yang lahir pun condong pada dimensi kapitalisme-oportunis. Di sisi lain, kuasa uang membuat independensi dan idealisme rakyat tergerus. Menurut Burhanudin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang, fenomena kuasa uang menyebabkan rakyat terbelenggu karena memiliki “utang politik” kepada kontestan politik.

Dari sisi relasi sosial, masyarakat sendiri juga cukup permisif terhadap politik uang. Menurut survei Lembaga Ilmu Penghetahuan Indonesia pada pemilu 2019 lalu, 37 persen responden mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Realitas ini mendeskripsikan bahwa masyarakat masih memandang politik uang merupakan bagian dari pemilu. Lemahnya penegakan hukum dan nihilisme peran partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat membuat praktik politik uang tetap sustainable.

Selanjutnya dari sisi kemerdekaan kultural, bisa dipahami pada negara yang sedang dalam proses membangun, potensi represifitas negara terhadap dimensi-dimensi kultural akan meninggi khususnya terkait pemenuhan hak ulayat. Selain itu, efek globalisasi dan kelindan faktor sosio-ekonomi juga turut berkontribusi dalam menggerus nilai-nilai sosio-kultural. Hal inilah yang menyebabkan rakyat Indonesia semakin jauh dari penghayatan terhadap kekayaan budaya yang dimilikinya. Karakter adiluhung dan toleransi kebhinekaan yang dahulu menjadi atribut dan trademark rakyat Indonesia semakin tergerus. Dalam ruang sosial semakin lazim kita jumpai tindakan-tindakan nir-kebhinekaan dan intoleransi yang mencederai ikatan kohesi sosial.

Solusi

Kunci untuk mewujudkan kemerdekaan substantif menurut saya sangat ditentukan oleh relasi idealitas-integratif antara demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan. Entitas demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan harus berada pada tataran respirokal-fungsional. Itu pun butuh waktu yang panjang.

Demokrasi memegang peranan penting dalam tertib bernegara, tidak hanya perihal distribusi kekuasaan dan pengambilan kebijakan, tetapi juga soal konsolidasi baik dalam tataran vertikal maupun horizontal. Idealitas ruang demokrasi terwujud manakala faktor kompetensi-integritas lebih dominan dari pada faktor politis-material. Namun kondisi ideal tersebut nampaknya hanya ada dalam teori ilmu politik tidak pada realitas. Meskipun demikian, penguatan demokrasi harus terus dilakukan, revitalisasi secara sinergis-integratif antara pilar-pilar demokrasi (eksekutif, yudikatif, legislatif, pers, parpol, dan civil society) harus terus dibangun secara kontinu.

Kemudian, nomokrasi berfungsi sebagai kanalisator agar ketertiban dan perubahan sosial dapat berjalan on the track sebagaimana nilai idealitas dan tertib bernegara. Entitas nomokrasi harus terus diperkuat baik dari sisi substansi, struktur, maupun kultur. Kelembagaan hukum juga harus terus diperkuat baik dari sisi anggaran, fasilitas, pengawasan, dan kualitas sumber daya manusia.

Sedangkan pendidikan berfungsi sebagai optimalisasi potensi sumber daya manusia. Pendidikan harus terus diperkuat agar dapat berperan fungsional untuk memaksimalkan bonus demografi Indonesia. Permasalahan laten dunia pendidikan adalah terkait kurikulum yang terlalu berat dan tidak efektif, kesenjangan fasilitas, kultur akademik formalistik, kualitas pendidik, dan belenggu administratif pendidikan. Konkretnya, dibutuhkan sebuah restorasi konseptual dan praktikal dalam ranah pendidikan kita secara komprehensif.

Akhir sekali, kunci untuk mewujudkan kemerdekaan substantif yang meliputi kemerdekaan material, kemerdekaan struktural, dan kemerdekaan kultural adalah melalui fungsionalisasi entitas demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan. Maka dari itu, diperlukan restorasi-idealitas, sinergitas, responsibilitas, dan daya kolektifitas dari seluruh elemen bangsa. Mampukah?

 

SEPAK BOLA INDONESIA DAN PRIMORDIALISME

 

Apa yang membedakan sepak bola dengan cabang olah raga lainnya? Misalnya dengan volly, futsal, atau basket yang sama-sama olah raga kolektif? Perbedaannya mungkin banyak, namun ada satu dimensi perbedaan yang sangat segregratif yang membedakan sepak bola dengan cabang olah raga lain.

Sepak bola adalah satu-satunya cabang olah raga yang memiliki relasi erat dengan entitas primordialisme. Primordialisme adalah suatu perasaan intrinsik yang tertanam kuat dalam diri seseorang yang melahirkan kebanggaan, dedikasi, emosi, dan fanatisme terhadap entitas-entitas primordial, seperti: suku, etnis, agama, dan kedaerahan. Primordialisme sendiri bersifat perenial (abadi) yang berakar dalam psike setiap manusia.

Secara teoritik, primordialisme sendiri terbagi dalam dua segi. Pertama, hard primordialism. Adalah rasa primordialisme yang keras dan rigid. Bersifat non-akomodatif dan cenderung destruktif. Atribut yang melekat pada hard primordialsm adalah adanya militansi dan rasa fanatisme yang berlebihan sehingga berpotensi melahirkan konflik atau friksi dalam realitas sosial.

Kedua, soft primordialsm. Yakni fanatisme dan kesetiaan pada entitas primordial, akan tetapi di sisi lain disertai dengan kesadaran akan pentingnya menjaga relasi harmonis dan kohesi antar spektrum primordial demi terwujudnya kenyamanan dan kemaslahatan bersama.

Relasi antara sepak bola dan primordialisme di Indonesia sendiri terjalin sangat erat. Eksesnya, sepak bola pun bertransformasi sebagai magnet dan identitas kedaerahan. Maka tak heran, klub-klub sepak bola di Indonesia kemudian mengejawantah sebagai trademark, maskot, identitas, hingga “harga diri” daerah. Bahkan, klub sepak bola kemudian bertranformasi sebagai personifikasi dari sebuah daerah.

Sebut saja, PSM Makassar yang mengejawantah sebagai identitas dan kebanggaan kota Makassar dan provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, Persebaya Surabaya yang menjelma sebagai trademark kota Surabaya, Arema yang sangat identik dengan kota Malang, hingga Persib yang bertransformasi sebagai maskot kota Bandung dan provinsi Jawa Barat pada umumnya.

Relasi primordialisme dalam sepak bola Indonesia sendiri terjalin secara historis, kultural, dan sosiologis. Inilah yang kemudian menjadi serat pembeda antara sepak bola dengan cabang olah raga lainnya. Dalam setiap pertandingan sepak bola tidak hanya tersaji spirit profesionalisme (atas nama klub) namun juga perjuangan primordialisme (atas nama daerah).

Ada keterikatan rasa, cinta, emosi, kebanggaan, militansi, loyalitas, fanatisme, dan spirit kedaerahan (harga diri) dengan daya yang besar. Inilah yang menjadi alasan mengapa ketika sebuah klub sepak bola di Indonesia memenangkan kompetisi, maka pesta perayaan akan digelar dan dirayakan oleh mayoritas masyarakat di mana klub tersebut berdomisili. Ada kebanggaan primordial yang menyatukan masyarakat dalam satu spirit kolektif (rasa memiliki). Fenomena seperti inilah yang tidak bisa terjadi pada cabang olah raga lain.

Relasi yang erat antara primordialisme dan sepak bola di Indonesia melahirkan beberapa implikasi. Pertama, sepak bola dapat menjadi ceruk bisnis baik yang bersifat makro maupun mikro. Fanatisme sebagai konsekuensi logis dari relasi primordialisme dalam sepak bola merupakan potensi ekonomi yang menjanjikan baik bagi entitas sepak bola itu sendiri maupun bagi dimensi eksternal dalam sepak bola. Secara makro, fanatisme merupakan modal ekonomis yang baik bagi tumbuhnya industri sepak bola. Sedangkan secara mikro, fanatisme dalam sepak bola dapat menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat.

Kedua, sepak bola dapat menjadi sarana politis. Klub sepak di Indoneisa telah bertransformasi sebagai identitas dan personifikasi daerah. Hal ini membuat klub sepak bola di Indonesia relatif memiliki basis massa yang besar baik suporter maupun penonton/simpatisan. Atribut inilah yang membuat aktor-aktor politis seringkali membangun personal branding melalui kepedulian, atensi, dan keterlibatan dalam sebuah klub sepak bola. Berkecimpung dalam pengurusan klub sepak bola merupakan jaminan baku bagi teraihnya popularitas (setidaknya di daerah di mana klub tersebut berdomisili). Popularitas sendiri merupakan modal sosial nan potensial bagi setiap orang untuk berkarir dan berkarya dalam dunia politis.

Ketiga, sepak bola dapat menyebabkan konflik horizontal. Relasi primordialisme dalam sepak bola Indonesia seringkali mengarah kepada hard primordialsm yang ditandai lahirnya militansi dan fanatisme buta terhadap klub kebanggaan. Hard primordialsm melahirkan hegemoni dan loyalitas absolut bahwa klub adalah harga diri yang tidak boleh diusik oleh siapapun. Inilah yang kemudian menjadi jawaban mengapa kerap terjadi konflik horizontal antar pendukung klub sepak bola di Indonesia khususnya pada klub-klub yang secara historis memiliki aroma rivalitas yang kuat.

Pada prinsipnya, relasi primordialisme dalam sepak bola Indonesia harus dimanage agar dapat memberikan sumbangsih produktif dan konstruktif bagi iklim sepak bola Indonesia, bukan malah sebaliknya, justru menjadi alasan bagi timbulnya hal-hal non-produktif dan destruktif bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Saya kira hal ini menjadi tanggung jawab kolektif dan holistik seluruh elemen sepak bola Indonesia.