Sabtu, 28 April 2018

#PSIRBANGKIT


"KEDEWASAAN SEBUAH TIM TIDAK DILIHAT DARI BAGAIMANA CARA MEREKA DALAM MENYIKAPI SEBUAH KEMENANGAN, TETAPI KEDEWASAAN TERSEBUT AKAN TERLIHAT DARI BAGAIMANA CARA MEREKA DALAM MENYIKAPI SEBUAH KEKALAHAN"

Tim kebanggaan "wong" Rembang PSIR harus kembali menelan pil pahit dilaga kedua kompetisi liga 2 Indonesia musim ini setelah ditundukkan oleh sang tamu Semen Padang dengan skor tipis 1-2 di stadion Krida Rembang, kekalahan ini tentunya menjadi kekalahan yang kedua di dua laga awal musim ini, sebelumnya PSIR juga menelan pil pahit setelah ditaklukkan oleh tuan rumah PSPS Pekanbaru dengan skor tipis 1-0.

Dua hasil negatif di dua laga awal tentunya menjadi alarm bahaya bagi tim asuhan Uston Nawawi, mengingat di dua laga selanjutnya PSIR akan bermain Away ke Aceh yakni melawan Persiraja Banda Aceh dan Aceh United, jika di dua laga selanjutnya tersebut PSIR kembali harus menelan kekalahan tentunya kondisi psikologis, mental dan kepercayaan diri para pemain akan menurun dan berimbas kurang baik bagi perjalanan tim kedepan.

Oleh karenanya, pembenahan dan evaluasi adalah hal mutlak yang harus dilakukan dengan segera oleh para elemen yang terkait dengan tim PSIR, baik pelatih, pemain, pengelola tim bahkan suporter tentu sesuai dengan porsi dan perannya masing-masing.

Jangan sampai kekalahan ini justru memunculkan "Colateral Damage" atau pemerkeruhan suasana dengan saling tuding atau saling menyalahkan antara para pihak yang justru akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kondusifitas tim.

Maka dari itu, keempat elemen tim tersebut hendaknya bisa duduk bersama dan bersinergi untuk menemukan akar permasalahan mengapa tim PSIR tidak mampu bermain maksimal di dua laga awal sesuai sudut pandang dan argumentasi mereka masing-masing, dengan begitu diharapkan akan ditemukan solusi terbaik sebagai formula untuk meraih hasil positif kedepan.

Keempat elemen tim tersebut adalah pihak-pihak yang sudah pasti memiliki tujuan dan idealisme yang sama walaupun memiliki peran dan sudut pandang yang berbeda, tujuan dan idealisme tersebut adalah bisa melihat tim PSIR Rembang meraih hasil maksimal dan berprestasi. Maka dari itu menjadi penting untuk melibatkan keempat elemen tersebut dalam satu meja untuk mencari akar permasalahan yang terjadi saat ini.

Dengan duduk bersama, setiap elemen tim akan dapat mengungkapkan saran, pendapat bahkan keinginan yang diharapkan dapat dilakukan oleh elemen lainnya terkait dengan kondisi dan performa tim agar lebih progresif.

Pemain dapat mengungkapkan, saran, pendapat dan keinginannya kepada pengelola, pelatih dan suporter, pelatih dapat mengungkapkan saran, pendapat dan keinginannya kepada pemain, pengelola dan suporter, pengelola dapat mengungkapkan saran, pendapat dan keinginannya kepada pemain, pelatih dan suporter, dan suporter pun dapat mengungkapkan saran, pendapat dan keinginannya kepada pemain, pelatih dan pengelola, dengan begitu diharapkan akan muncul solusi atau formula terbaik untuk meningkatkan performa tim kedepan.

Menerapkan budaya demokrasi tentunya menjadi hal yang baik bagi sebuah tim, dimana setiap elemen tim memiliki hak untuk berpendapat, menyampaikan keinginan, dan memberi saran sesuai dengan sudut pandang dan argumentasinya masing-masing, meskipun harus tetap ada hal-hal prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat.

Misalnya pemain berhak bertanya, berdiskusi bahkan memberi saran kepada pelatih terkait dengan strategi tim apabila dengan strategi tersebut tim tidak dapat menghasilkan hasil yang maksimal, namun pelatih tetaplah sang pengambil keputusan yang tidak dapat diganggu gugat atau di intervensi oleh siapapun. Kemudian suporter berhak bertanya, berpendapat, mengkritik dan memberikan saran kepada pengelola tim mengenai hal-hal non teknis yang menyangkut kepentingan suporter maupun kepentingan tim secara utuh, suporter harus diberikan ruang terbuka untuk menyampaikan hal-hal, saran atau ide yang membangun kepada tim kesayangannya.

Budaya demokrasi dalam bentuk menyampaikan kritik, saling bertukar pikiran, ide, pendapat dan saran dalam satu ruang diskusi antar beberapa elemen tim adalah hal yang baik serta kondusif untuk mendorong kemajuan tim serta membuat elemen-elemen dalam sebuah tim sepakbola tersebut menjadi lebih solid, kompak dan sevisi.

Harus dipahami bahwa kekalahan sebuah tim adalah kekalahan bersama, tidak hanya kekalahan para pemain sebagai aktor utama pertandingan, tetapi juga kekalahan pelatih, kekalahan pengelola tim dan juga kekalahan suporter, dan pola pikir semacam ini hanya bisa dipahami oleh mereka yang memiliki kedewasaan.

Dua kekalahan di dua laga awal memang belumlah dapat dikatakan penyakit kronis karena perjalanan kompetisi masihlah panjang, namun merespon dua hal tersebut secara biasa tanpa melakukan evaluasi dan pembenahan secara serius adalah hal yang kurang bijak yang pada akhirnya akan mengirim PSIR dalam situasi dan kondisi yang sulit kedepannya.

Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan oleh tim PSIR saat ini adalah bagaimana menyikapi dan merespon dua kekalahan tersebut secara bersama-sama mengingat kekalahan tersebut adalah kekalahan bersama, setiap elemen tim memiliki tanggungjawab untuk mempertanggungjawabkan kekalahan tersebut, disisi lain setiap elemen tim juga memiliki tanggungjawab untuk mengangkat performa tim, tentu sesuai peran dan porsinya masing-masing baik secara teknis maupun non teknis.

Dan disinilah kedewasaan sebuah tim bernama PSIR akan diuji, sejauh mana PSIR mampu menyikapi dua kekalahan tersebut untuk menjadi sebuah tim yang lebih kuat, lebih kompak dan lebih solid. Karena tanpa kedewasaan, dua kekalahan tersebut justru akan bisa membuat tim tercerai berai, saling menyalahkan dan pada akhirnya karam.

Bangkitlah PSIR #PSIRBANGKIT





Jumat, 27 April 2018

PUISI : WAJAH INDONESIA HARI INI MASIH NESTAPA


Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini , kemiskinan, kebebalan dan kemelaratan masih menghinggapi kehidupan rakyat.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini, korupsi, kolusi dan nepotisme masih merajalela dilakukan oleh para abdi negara.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini , kebobrokan birokrasi, rusaknya moral pejabat pemerintah, pejabat legislatif dan pejabat yudikatif masih begitu masif.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini, biaya kesehatan, biaya pendidikan dan harga-harga bahan pangan melonjak tinggi yang menyayat hati para rakyat kecil.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini, ketimpangan sosial, saling ujar kebencian antar anak bangsa dan minimnya rasa toleransi masih menggelayut di benak para masyarakat.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini, harga pupuk yang menjulang tinggi dan rendahnya harga jual padi membuat para petani semakin menjerit pilu.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini, laut nan luas terbentang belum mampu mensejahterakan para nelayan.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini, jumlah pengangguran, pengemis dan gelandangan masih begitu banyak ibarat buih di lautan.

Hari ini nestapa masih menyelimuti negeri ini, kekayaan alam, kekayaan sumberdaya manusia dan kemajemukan kita masih belum bisa di eksplorasi secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat.

Indonesia itu sakral yang dulu di perjuangkan dengan semangat di luar nalar, namun kini di rusak oleh tangan-tangan nakal orang yang tak bermoral.

Indonesia itu luhur yang lahir karena kebesaran hati para pejuang dan pahlawan, namun kini di cemari oleh orang-orang tak berhati nurani.

Mungkin para pahlawan dan pejuang yang telah terbaring abadi di peristirahatannya pun akan menangis sembilu melihat wajahmu hari ini.

Oh sungguh malang nasibmu Indonesiaku 


Minggu, 15 April 2018

MENGURAI KRISIS STRIKER LOKAL


Indonesia adalah salah satu negara Asia Tenggara yang dikenal sebagai penghasil striker atau penyerang berkualitas, di setiap era selalu saja muncul striker-striker kelas wahid yang di segani oleh para lawan setidaknya untuk kawasan asia tenggara, dari era 80 an hingga era 2000 an bercokol nama-nama seperti Bambang Nurdiansyah, Ricky Yakobi, Rocky Putiray, Widodo Cahyono Putro, Peri Sandria, Kurniawan Dwi Julianto, Gendut Doni, Budi Sudarsono, Bambang Pamungkas, Ilham Jaya Kesuma, Zaenal Arief hingga Boaz Solossa, pada masa keemasannya mereka adalah striker-striker berkualitas dan berprestasi yang selalu menjadi langganan tim nasional.

Sekitar pertengahan 90 an hingga awal 2000 an bisa dibilang adalah masa dimana Indonesia memiliki stok penyerang yang melimpah dan mumpuni untuk memakai seragam merah putih, saat itu cukup banyak striker-striker lokal yang sangat layak untuk berseragam tim nasional, mengingat penampilan mereka yang begitu Impresif baik di liga maupun bersama timnas, sebut saja Widodo Cahyono Putro ( pemain terbaik liga Indonesia 1997), Peri Sandria ( Top skor liga Indonesia 1995 34 gol), Kurniawan Dwi Julianto ( top skor liga Indonesia 1998 "Dihentikan" ), Bambang Pamungkas ( top skor liga Indonesia 1999, Pemain terbaik liga Indonesia 2001, top skor piala AFF 2002 ), Gendut Doni ( top skor piala AFF 2000), Ilham Jaya Kesuma ( top skor liga Indonesia 2002, 2004 dan piala AFF 2004 ) dan striker-striker lainnya.

Bisa dibilang pada masa-masa tersebut setiap pelatih timnas pasti akan dibuat pusing untuk menentukan siapa striker yang dipanggil untuk bergabung dengan timnas, mengingat begitu banyak striker yang layak dan mumpuni untuk mengisi barisan depan skuad garuda.

Setali tiga uang dengan pelatih timnas dahulu, pelatih timnas sekarang pun pasti dibuat pusing untuk memilih striker penghuni tim nasional, bedanya kalau pelatih dulu pusing karena terlalu banyak pilihan, tapi kalau pelatih sekarang pusing karena minim pilihan.

Regenerasi penyerang berkualitas serasa mandek, saat ini sangat jarang ada striker lokal yang menjadi pemain utama di klub kasta tertinggi persepakbolaan nasional (liga 1), bahkan saat ini tidak ada striker lokal berusia 25 tahun kebawah yang menjadi pemain inti di klub kasta tertinggi persepakbolaan Indonesia liga 1, di liga 1 musim ini striker-striker lokal yang menjadi pilihan utama di klubnya adalah striker-striker senior ( diatas 25 tahun) yang 3-5 tahun lagi akan habis masa keemasannya dan pensiun seperti Samsul Arif (33), Lerby Eliandry (27), Irfan Bachdim (30), Boaz Solossa (32), Spasojevic (31) dan Guy Junior (32) kedua nama terakhir adalah striker naturalisasi pada tahun 2017 lalu.

Di liga satu musim kemarin pun nama-nama diatas juga mendominasi untuk urusan pencetak gol lokal, Samsul Arif memimpin dengan 17 gol, diikuti Lerby Eliandry 16 gol, sementara Spasojevic dan Ferdinand Sinaga sama-sama mencetak 12 gol.

Tentunya ini menjadi semacam alarm bahaya bagi masa depan lini depan timnas Indonesia dan Jika fenomena ini terus terjadi dapat dipastikan beberapa tahun kedepan Indonesia tidak akan lagi memiliki striker berkualitas, mengingat proses regenerasi untuk posisi striker yang begitu statis, memang sih hal ini dapat diantisipasi dengan cara menaturalisasi striker asing, namun apakah cara seperti itu yang akan menjadi kebijakan paten dan utama kedepan ?

Di sisi lain minimnya kesempatan bermain secara reguler striker-striker lokal khususnya striker-striker muda berusia dibawah 25 tahun dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan saya uraikan berikut ini.

1. Dinamisasi Formasi Striker Tunggal

Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang menyebabkan minimnya penyerang lokal menjadi pilihan utama dan bermain secara reguler di klub liga 1 sekarang adalah karena mayoritas klub liga 1 menggunakan formasi dengan striker tunggal yakni 4-2-3-1, 4-1-4-1 atau 4-3-3, dengan formasi striker tunggal tentunya klub-klub liga 1 ( terutama tim papan atas ) akan cenderung mengisi satu pos striker di starting eleven nya dengan striker asing yang sehebat mungkin, di sisi lain kalaupun ada klub yang menggunakan formasi dengan 2 striker pastilah karena situasi dan kondisi yang insidental dan bukan formasi reguler.

Di satu sisi minimnya posisi winger yang diisi oleh pemain asing membuat posisi winger Indonesia saat ini memiliki stok yang begitu melimpah, berkualitas dan berusia muda seperti Febri Hariyadi, Terens Puhiri, Riko Simanjuntak, Septian David Maulana, Osvaldo hay, Irfan jaya, Saddil Ramdhani dll. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan posisi striker yang begitu minim pemain berkualitas berusia muda, hal ini terjadi dikarenakan posisi striker di klub kasta tertinggi cenderung diisi oleh striker asing (striker tunggal).

Formasi dengan menggunakan striker tunggal sendiri merupakan dinamisasi dan fenomena general yang terjadi dalam sepakbola internasional kurun waktu 8 tahun terakhir atau sejak piala dunia 2010 Afrika , dan nampaknya dinamisasi dan tren formasi dengan menggunakan striker tunggal juga menjalar dalam sepakbola Indonesia.

Dahulu para penyerang lokal banyak mendapat kesempatan bermain secara reguler karena mayoritas klub menggunakan formasi dengan 2 striker yakni 4-4-2 atau 3-5-2, dengan formasi 2 striker otomatis minimal akan tersedia satu jatah posisi reguler untuk penyerang lokal dalam setiap klub, bahkan ada klub yang berani memberikan kepercayaan reguler kepada dua striker lokal untuk mengisi 2 pos penyerang, seperti yang dilakukan Persita Tangerang dengan menduetkan Zaenal Arief dan Ilham Jaya Kesuma.

Intinya, dinamisasi formasi dalam dinamika sepakbola itu sendiri ( dari 2 striker menjadi striker tunggal ) adalah salah satu faktor kunci yang menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa begitu minim striker lokal yang menjadi pemain utama dan bermain secara reguler bagi klubnya di kompetisi liga 1.

Dengan formasi striker tunggal tentu para pelatih di klub liga 1 akan cenderung memanfaatkan dan mengisi satu slot striker di starting elevennya dengan striker asing yang memiliki kualitas diatas rata-rata pemain lokal, semua ini dilakukan sebagai oportunitas untuk mencapai prestasi maksimal sesuai dengan target klub, mengingat persaingan liga 1 sangat kompetitif.

2. Kurangnya kepercayaan Pelatih Pada Striker Lokal

Kurangnya kepercayaan Pelatih terhadap para striker lokal juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan minimnya striker lokal bermain secara reguler dan menjadi pemain inti bagi klubnya, hal ini pun dilontarkan oleh 2 mantan penyerang timnas, Kurniawan Dwi Julianto dan Budi Sudarsono, keduanya mengatakan bahwa kurangnya kepercayaan para pelatih liga 1 terhadap striker-striker lokal menyebabkan regenerasi striker berkualitas untuk menghuni lini depan timnas menjadi statis, banyak striker muda yang tidak bisa berkembang maksimal karena minimnya menit bermain.

Sejujurnya ada dua teori yang bisa menjelaskan mengapa fenomena ini bisa terjadi dan benarkah fenomena ini terjadi, yang mungkin kedua teori tersebut bisa saja sama-sama benar, pertama, mayoritas pelatih liga satu kurang percaya kepada para striker lokal apakah benar ? fenomena ini bisa saja benar mengingat di era dahulu dengan jatah 4-5 pemain asing bagi tiap klub, pelatih bisa saja mengisi dua pos striker dalam timnya dengan striker asing namun nyatanya mayoritas pelatih tetap menyediakan 1 slot striker bagi pemain lokal.

Duet lokal asing pun banyak mengisi lini depan klub sepakbola kasta tertinggi saat itu (sebelum 2010) seperti duet Budi Sudarsono dan Cristian Gonzales di Persik Kediri, Bambang Pamungkas dan De Porras di Persija, Musikan dan Bob Manuel di Persik Kediri, Zaenal Arief dan Bekamenga di Persib dll, Itu artinya pelatih era dahulu dapat dikatakan percaya kepada kualitas striker lokal.

Bahkan dulu di era akhir 90 an hingga awal 2000 an banyak penyerang lokal yang sudah menjadi andalan atau striker utama klubnya pada saat usia mereka masih sangat muda, seperti Bambang Pamungkas, Ilham Jaya Kesuma, Saktiawan Sinaga, Budi Sudarsono, Zaenal Ikhwan, Aliyudin, dll, fakta ini seakan menjadi penegas bahwa pelatih-pelatih dahulu cukup percaya dengan kualitas para Striker lokal khususnya para striker muda.

Artinya Kalaupun sekarang karena fenomena dinamisasi formasi "memaksa" sebuah klub hanya menggunakan satu striker saja, seharusnya pelatih juga harus berani memberikan kepercayaan kepada para striker lokal untuk mengisi satu slot striker dalam formasi timnya, jika memang pelatih tersebut percaya kepada kualitas striker lokal.

Teori kedua, apa benar pelatih tidak percaya pada para striker lokal ? atau justru kualitas para striker lokal yang jauh dari harapan sehingga "memaksa" para pelatih untuk menggunakan striker asing sebagai striker utama tim.

Teori ini bisa juga benar, dahulu banyak striker lokal berkualitas dan bermain reguler bersama klub kasta tertinggi karena memang mereka secara kualitas dan potensi mumpuni, dahulu cukup mudah menemukan bibit-bibit unggul di posisi striker karena memang dahulu cukup banyak kompetisi dan pembinaan pemain jenjang usia yang dilakukan secara masif sebagai media untuk mengoptimalkan potensi para pemain muda (seperti program Primavera, Diklat yang berkualitas, kompetisi rutin dll), sedangkan sekarang apa pembinaan dan jenjang kompetisi untuk kelompok usia sudah terstruktur dan terakomodir secara optimal ? Bisa jadi dua hal tersebut (pembinaan dan kompetisi usia muda) adalah hal yang menyebabkan minimnya muncul bibit-bibit striker berkualitas di Indonesia saat ini, yang pada akhirnya membuat para pelatih kasta tertinggi "terpaksa" dalam tanda kutip untuk tidak percaya kepada kemampuan para striker lokal khususnya striker muda.

Lalu bagaimana solusi untuk mengatasi fenomena krisis striker lokal kita ini ? Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai kontradiksi atas dua faktor penyebab diatas.

1. Para pelatih yang melatih klub-klub liga 1 khususnya para pelatih lokal hendaknya memiliki kepedulian mengenai fenomena ini, minimnya striker lokal khususnya striker muda berkualitas di kompetisi kasta tertinggi merupakan bom waktu yang akan berdampak pada menurunnya kualitas lini depan timnas maupun timnas itu sendiri dimasa mendatang.

Para striker penghuni lini depan timnas saat ini adalah striker-striker yang beberapa tahun kedepan akan habis masa keemasannya dan pensiun seperti Boaz Solossa, Ferdinand Sinaga, Lerby Eliandry dan Samsul Arif, jikalau tidak ada striker muda berkualitas yang beredar di liga 1 dan bermain secara reguler di klubnya, tentunya hal ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan tim nasional kita kedepan.

Para pelatih lokal yang melatih liga 1 seharusnya lebih memberikan ruang bagi para striker lokal untuk mengembangkan potensinya dengan memberikan kesempatan bermain yang lebih, melalui upaya seperti mengubah pola formasi dengan menggunakan dua striker ( 1 lokal dan 1 asing) ataupun memberikan kesempatan bermain rutin kepada para striker muda kita, namun apapun itu keputusan tetap mutlak ditangan pelatih, intervensi apapun kepada pelatih apalagi mengenai taktik dan formasi adalah sebuah tindakan yang mencederai profesionalisme.

Namun rasa kepedulian dan kesadaran para pelatih khususnya pelatih lokal dapat di dorong (bukan intervensi) oleh PSSI sebagai induk organisasi sepakbola Indonesia, melalui seminar atau diskusi publik dengan mengundang segala elemen terkait seperti klub, pemain dan tentunya pelatih agar lebih peduli dengan permasalahan ini.

2. Jika teori tentang ketidakpercayaan pelatih liga 1 kepada para striker lokal dikarenakan sebuah "Keterpaksaan" dikarenakan kualitas yang dianggap belum mumpuni benar, maka hal tersebut hendaknya dijadikan pembakar semangat dan pelecut motivasi bagi para striker lokal agar bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan kepercayaan dari pelatih, para striker muda kita janganlah cepat puas hanya dengan bermain sebagai cadangan di klub kasta tertinggi, mereka harus memiliki motivasi lebih untuk selalu memberikan yang terbaik agar mendapatkan kepercayaan dari pelatih sebagai pemain utama, dahulu saja Bambang Pamungkas berhasil menjadi top skor liga Indonesia saat masih berusia 19 tahun, artinya jika Bambang Pamungkas bisa maka striker-striker muda kita lainnya juga pasti bisa, intinya semangat kompetitif dan tidak cepat puas diri harus ditanamkan dalam diri mereka masing-masing. Ayoo semangat anak muda.

3. Pembinaan dan kompetisi kelompok usia berjenjang yang harus dilakukan secara masih dan terstruktur, inilah pola jangka panjang yang ideal untuk memunculkan bibit-bibit pemain berkualitas, kompetisi kelompok umur adalah sarana untuk mematangkan bakat dan potensi para pemain muda, idealnya haruslah ada kompetisi berjenjang baik dari U-11, U-13, U-15, U-17, U-19, dan U-21, dan apakah hal demikian itu sudah terakomodir secara konsisten, masif dan terstruktur dalam persepakbolaan kita ? Sulit untuk mengatakan iya.

4. Bermain di luar negeri untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman adalah alternatif agar para striker lokal kita mendapatkan atmosfer dan pengalaman sebagai pemain asing, dengan menjadi pemain asing apalagi berposisi sebagai striker tentunya akan ada tuntutan untuk lebih disiplin, lebih profesional dan bekerja lebih keras lagi, mengingat adanya adagium dalam sepakbola bahwa pemain asing harus lebih berkualitas dari pemain lokal.

Bermain di negara-negara Asia tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, hingga Myanmar sepertinya menjadi tempat yang kompetitif untuk meningkatkan kemampuan dan mental mengingat telah ada beberapa pemain Indonesia yang pernah bermain di negara itu.

Ataupun kalau terlalu sulit bermain sebagai striker asing di liga negara-negara yang seimbang kualitas sepakbolanya dengan kita, bermain di liga Filipina, Brunei Darussalam, hingga Laos layaknya juga bukan sebuah masalah, intinya menjadi pemain asing akan menuntut dan mendorong pemain untuk bekerja lebih keras, dan hal itu akan menjadi pengalaman dan atmosfer yang baik untuk meningkatkan kemampuan, mental dan kepercayaan diri.

5. upaya terakhir untuk mengatasi krisis stiker lokal berkualitas untuk mengisi lini depan timnas saat ini maupun kedepan adalah dengan jalan menaturalisasi para striker asing yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, ini adalah cara instan dan menurut saya kurang ideal bagi pembangunan persepakbolaan yang lebih baik, pertama, naturalisasi tidak menghasilkan keberhasilan dan kepuasan absolut, kedua, hal ini dapat memberikan stigmatisasi negatif bagi para pemain muda yang tentunya memiliki cita-cita bermain untuk negaranya di masa depan, dan ketiga, cara instan cenderung akan mengurangi semangat dan idealisme para stakeholder untuk melakukan pembangunan sepakbola secara struktural.

Jika upaya naturalisasi ini dilakukan sebagai upaya atau kebijakan utama dalam rangka membangun dan memajukan prestasi, maka saya rasa akan sangat kurang baik bagi tradisi dan masa depan sepakbola Indonesia dan saya sangat tidak setuju, namun jika hal ini dilakukan sebagai upaya dan jalan terakhir (ketika tidak ada jalan lain dengan kebutuhan mendesak) maka saya setuju.

Lebih dari itu, pembangunan dalam hal apapun pastinya akan jauh lebih baik bila dilakukan dengan cara-cara yang terstruktur, masif dan konsisten daripada cara-cara instan, cara-cara instan selalu menyajikan keberhasilan sesaat nan semu, sedangkan cara-cara terstruktur, masif dan konsisten akan menghasilkan keberhasilan yang lebih potensial dan tentunya dengan durasi yang lebih lama.

Dan akhir sekali sekaligus yang paling penting adalah janganlah pernah kita kehilangan idealisme dan optimisme untuk melihat sepakbola Indonesia yang lebih baik dan berprestasi.

Selesai ...






Minggu, 08 April 2018

PUISI : BERJUANG BERSAMA


Hari-hari sepi penuh kerinduan senantiasa membayangi angan

Terkadang rindu datang bak mencabik-cabik relung hati, hanya keyakinan yang menguatkan

Ketika jiwa terasa rapuh disiksa kerinduan, hanya seutas doa yang sejenak melegakan

Ketika air mata mengalir menahan asa pertemuan, hati mengatakan untuk bersabar

Ketika raga terasa gersang tanpa belahan jiwa, jantung berdetak pelan sembari berbisik, belum waktunya

Tatkala asmara bersemi tanpa berjumpa, tak ada penawar lain selain berjuang untuk bersama

Berjuang bersama untuk bersama adalah jalan suci untuk meraih ridhoNYA

Dan saat keyakinan, kesabaran, doa, kerinduan dan air mata senantiasa menghiasi perjuangan kita untuk bersama

Maka yakinlah takdir tidak akan pernah tega untuk mengkhianati






Sabtu, 07 April 2018

PUISI : KORUPTOR


Koruptor adalah penjahat biadab
Menyayat hidup rakyat
Menyengsarakan rakyat pada kemelaratan

Koruptor ialah pengkhianat bangsa
Mengkhianati amanah rakyat
Mengkhianati darah serta nyawa para pejuang dan pahlawan pendiri bangsa

Koruptor adalah pencuri keji
Mengambil miliaran rupiah uang rakyat untuk kepuasan nafsu pribadi

Koruptor itu manusia lalim
Tega membuat rakyat jelata menderita
Sedang dia bergelimang harta

Koruptor jelas lah orang yang berakal
Namun sayang, hati dan nuraninya telah mati
Mati tergerus ganasnya nafsu duniawi

Koruptor itu manusia tapi tak manusiawi
Tega membuat rakyat menangis kelaparan
Sedang dia hidup dalam gemerlap kemewahan.

Sudah seharusnya para koruptor dihukum berat bahkan mati
Karena manusia yang tak manusiawi tidak pantas untuk dihargai