Selasa, 14 April 2020

URGENSI PAJAK DAN STRATEGI OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK DI TENGAH PANDEMI CORONA



Salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum memiliki makna ratio legis sebagai sebuah kondisi terpenuhinya kesejahteraan inklusif yang ditandai dengan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Adil berarti semua lapisan masyarakat terpenuhi hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi. Makmur berarti masyarakat mampu menjalani hidup secara layak khususnya dalam pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Untuk mampu mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat tentunya negara memerlukan sebuah instrumen yang dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan negara tersebut. Dan salah satu instrumen negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum adalah pajak. Secara umum, pajak memiliki tiga fungsi strategis. Pertama, sarana memberantas kemiskinan. Kedua, sarana mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Ketiga, sarana meningkatkan produktivitas dan daya saing. Lalu bagaimana kondisi dan optimalisasi pajak kita ?.
Perlu kita ketahui bahwa kebutuhan belanja negara kita tahun ini adalah sebesar Rp. 2.540,4. Sementara pendapatan negara yang bersumber dari pajak, bea dan cukai, penerimaan negara bukan pajak, dan hibah hanya sebesar Rp. 2.233,2 Triliun. Pendapatan negara sebesar Rp. 2.2233,2 Triliun sendiri 83.5% nya atau sebesar Rp. 1865,7 Triliun berasal dari pajak.
Melihat perbandingan antara pendapatan negara dengan belanja negara diatas dapat kita lihat negara mengalami defisit keuangan sebesar Rp. 307,2 Triliun. Di sisi lain, melihat realitas tersebut, juga dapat kita simpulkan bahwa kelangsungan dan stabilitas ekonomi kita sangat tergantung dari penerimaan pajak. Mengingat 83.5% pendapatan negara berasal dari pajak. Oleh karena itu, urgensi pajak bagi keberlangsungan negara ini sangatlah tinggi. Hal ini secara a contrario mengandung pesan bahwa penerimaan pajak harus dioptimalkan guna mengikis defisit pembiyaan negara sekaligus menstabilkan neraca keungan negara.
Di tahun 2020 sendiri target penerimaan pajak adalah sebesar Rp. 1.642 Triliun. Target yang tentunya harus direalisaskan secara optimal. Berkaca pada tahun 2019 lalu realisasi penerimaan pajak hanya sebesar 84,4% dari target penerimaan pajak. Pada 2019, penerimaan pajak hanya sebesar Rp. 1.332 Triliun dari target penerimaan pajak Rp. 1.577 Triliun. Lebih jauh, selama 10 tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak selalu meleset dari target penerimaan pajak yang dicanangkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi-strategi progresif dan integratif guna mendorong optimalisasi penerimaan pajak pada 2020 ini. Terlebih di tengah resiko perlemahan ekonomi akibat pandemi wabah corona yang terjadi sebagaimana saat ini.
Strategi Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tengah Pandemi Corona
Efek pandemi virus corona yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia tidak hanya mengancam keselamatan manusia tetapi juga memiliki ekses atau imbas yang negatif terhadap berbagai dimensi kehidupan manusia tak terkecuali dimensi ekonomi atau berbicara lebih spesifik mengenai penerimaan pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penerimaan negara tahun ini akan kontraksi sebesar 10% year on year. Penurunan penerimaan negara ini tentunya diakibatkan oleh tersendatnya aktivitas ekonomi akibat merebaknya pandemi virus corona.
Di tengah lesunya perekonomian akibat pandemi virus corona yang berimbas terhadap penerimaan negara khususnya dalam hal penerimaan pajak dibutuhkan strategi-strategi progresif dan integratif agar target penerimaan pajak tahun ini tidak mengalami shortfall yang besar. Berikut penulis sampaikan beberapa strategi-strategi progresif dan integratif guna mendorong optimalisasi penerimaan pajak di tengah lesunya perekonomian akibat dampak pandemi virus corona.
Pertama, memberikan stimulus berupa insentif fiskal terhadap sektor industri manufaktur yang paling terdampak virus corona. Pemberian insentif ini akan berdampak pada stabilitas dan produksi industri. Sehingga sektor industri manufaktur diharapkan akan tetap memberikan kontribusi penerimaan pajak yang optimal baik melalui pajak badan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk yang dijual.
Kedua, memperkuat basis pajak untuk 5 tahun kedepan melalui penyisiran data dan pemutakiran data basis wajib pajak dengan melakukan optimalisasi peran seksi ekstensifikasi dan penyuluhan pada KKP Pratama. Optimalisasi di sini baik dalam arti integritas maupun kualitas.
Ketiga, menjaga penerimaan pajak dari PPh 21, PPh 22, dan PPh 25 dengan memberikan insentif berupa keringanan pajak serta melakukan percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dalam rangka cashflow.
Keempat, menerapkan pajak digital atau pajak perdagangan melalui sistem elektorinik (PMSE) yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Di beberapa negara pajak digital sudah diberlakukan umumnya menggunakan pendekatan digital service tax di mana pajak dikenakan atas penghasilan penyedia jasa periklanan dan jasa intermediasi daring yang pendapatannya diperoleh dari negara asalnya. Selain itu, juga perlu dilakukan pengenaan pajak kepada subyek pajak luar negeri (SPLN) yang memiliki significant economic presense di Indonesia yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik guna menjaga fairness perusahaan digital dalam negeri.
Kelima, memperpanjang batas waktu pembayaran pajak dan penyampaian SPT. DJP sebenarnya sudah memperpanjang batas waktu pembayaran pajak dan pelaporan SPT tahunan wajib pajak orang pribadi dari 31 Maret menjadi 30 April 2020. Apabila nanti penerimaan pajak belum jua maksimal, menurut saya perlu dilakukan perpanjangan batas waktu pembayaran pajak kembali dengan jangka waktu yang rasional.

RAGAM TIPOLOGI MAHASISWA

Salah satu problematika besar dunia pendidikan tinggi kita adalah mengenai paradigma mahasiswa yang masih memandang arti pendidikan sebatas nilai formal-material bukan nilai substantif-fungsional. 

Nilai formal-material memandang arti pendidikan hanya sekadar aspek formalitas dan materialistik. Pendidikan dilihat hanya sekadar sebagai sarana untuk mendapatkan nilai bagus, mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi, menjadi orang kaya, hingga untuk naik pangkat dan jabatan. Paradigma formal-material membuat para mahasiswa hanya terpacu pada aspek formalitas (nilai dan ipk bagus) tanpa memiliki hasrat dan kemauan untuk menguasai ilmu dibidang yang mereka kaji secara mendalam.

Paradigma formal-material membuat sari pati dan esensi pendidikan tidak mampu memberikan sumbangsih substantif bagi pembangunan karakter (moralitas) dan penanaman nilai keilmuan mahasiswa, yang ekses jangka panjangnya berimbas pada kontraproduktifnya fungsi dan relasi pendidikan tinggi terhadap kemajuan dan integritas bangsa.
Semakin banyak lulusan pendidikan tinggi, semakin banyak masyarakat bergelar sarjana, magister hingga doktor namun dapat kita lihat kualitas peradaban dan moralitas bangsa tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Nyatanya, korupsi masih menjalar di segala sektor kehidupan negara dan pelakunya mayoritas adalah mereka yang berpendidikan tinggi.
Menurut hemat saya, dunia pendidikan tinggi "hanya" akan bisa memberikan sumbangsih substansial bagi pembangunan karakter (moralitas) dan nilai keilmuan jika para mahasiswa mampu mengubah mindset dan paradigma berpikir bahwa pendidikan tinggi adalah ranah untuk menyemai nilai pendidikan substantif-fungsional bukan sekadar nilai formal-materialistis. 

Pendidikan tinggi (idealnya) adalah tempat di mana karakter, moralitas, dan intelektualitas ditanamkan dan ditempa secara kaffah guna membentuk kepribadian diri yang kental dengan nilai intelektualitas, integritas (karakter), kemanusiaan, religiusitas, dan cita keindonesiaan guna dapat memberikan dampak transformatif dan mobilitas (kemajuan) baik bagi diri sendiri, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Ragam Mahasiswa
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman empirik saya sebagai mahasiswa baik di tingkat sarjana maupun magister, dapat saya simpulkan terdapat empat jenis tipologi mahasiswa ditinjau dari paradigma dalam memandang arti pendidikan.
Pertama, mahasiswa substantif. Adalah kelompok mahasiswa yang mencintai keilmuan. Orientasi mahasiswa substantif adalah ilmu bukan sekadar nilai. Orientasi terhadap ilmu secara otomatis juga berimbas terhadap nilai mereka yang bagus.
Mahasiswa substantif suka terhadap hal-hal yang berafiliasi dengan keilmuan seperti membaca, menulis, dan berdiskusi. Hal tersebut membuat penguasaan ilmu mereka relatif sangat tinggi. Nilai karakter, integritas, dan idealisme mereka juga sangat tinggi. Sayangnya, jumlah mahasiswa substantif ini hanya berjumlah sekitar 1-2 % saja.
Kedua, mahasiswa formal-positif. Adalah kelompok mahasiswa yang memiliki orientasi yang tinggi terhadap aspek formal misalnya nilai atau ipk. Mereka juga memiliki etos dan integritas yang tinggi dalam arti proses untuk mendapatkan nilai atau ipk yang bagus tersebut merupakan hasil dari kerja keras dan belajar sungguh-sungguh yang mereka lakukan.
Mahasiswa formal-positif relatif anti dengan perbuatan-perbuatan negatif misalnya mencontek atau ngepek (membuat catatan kecil). Tipe mahasiswa seperti ini memang akan memiliki nilai atau ipk yang bagus namun aspek penguasaan ilmu akan cenderung moderat. Jumlah mahasiswa formal-positif ini sekitar 5-10 % saja.
Ketiga, mahasiswa formal-negatif. Hampir sama dengan tipe mahasiswa formal-positif yang memiliki orientasi tinggi terhadap aspek formal (nilai atau ipk) hanya saja cara untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara-cara yang negatif. Ibaratnya, segala macam cara akan dilakukan demi mendapatkan nilai atau ipk yang bagus.
Mahasiswa formal-negatif relatif akan memiliki nilai atau ipk antara sedang hingga bagus namun aspek integritas dan penguasaan ilmu mereka cukup rendah. Jumlah mahasiswa formal-negatif ini sekitar 50-85 %. Presentase paling tinggi di antara tipologi mahasiswa yang lain.
Keempat, mahasiswa bengal. Merupakan tipe mahasiswa yang tidak memiliki etos maupun orientasi terhadap aspek formal (nilai) maupun aspek substantif (ilmu) istilah kasarnya “mahasiswa tidak niat kuliah”. Mahasiswa tipe ini biasanya mengalami fenomena salah pergaulan maupun kecanduan terhadap sesuatu hal yang membuat aktivitas kuliah mereka terbengkalai. Mahasiswa tipe ini biasanya akan berakhir dengan DO (drop out) atau telat lulus. Nilai atau ipk mereka juga sangat rendah begitupun dengan aspek penguasaan ilmu. Jumlah mahasiswa ini sekitar 5-7 %.
Akhir sekali, perlu dipahami bahwa jenis-jenis tipologi mahasiswa beserta presentasenya di atas merupakan hasil pengamatan sederhana saya di tempat saya menimba ilmu. Oleh karena itu, bisa saja dan tidak menutup kemungkinan, di tempat lain memiliki jenis tipologi mahasiswa beserta presentase yang berbeda.

Rabu, 01 April 2020

ARTI PENTING LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA


Secara harfiah, sistem peradilan pidana dapat diterjemahkan dari dua kata yakni sistem dan peradilan pidana. Sistem memiliki pengertian sebagai sebuah rangkaian yang terdiri dari beberapa sub-sistem yang bekerja satu sama lain (terkait) untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan peradilan pidana memiliki pengertian sebagai sebuah proses penyelesaian perkara pidana. Jika disatukan secara utuh, maka pengertian sistem peradilan adalah sebuah rangkaian sistem untuk memproses penyelesaian perkara pidana.
Secara historis. Sistem peradilan pidana pertama kali lahir dan diperkenalkan oleh para pakar hukum pidana di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Lahirnya sistem peradilan pidana sendiri dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur dan institusi penegak hukum karena tidak mampu menekan angka kriminalitas di Amerika Serikat. Sejalan dengan hal tersebut, maka sistem peradilan pidana secara esensial memiliki makna sebagai sebuah sistem untuk menanggulangi kriminalitas.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Menurut Prof. Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dikategorikan dalam 3 tataran yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari sistem peradilan pidana adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana. Sedangkan tujuan jangka menengah yang hendak dicapai adalah pengendalian dan pencegahan kriminalitas. Dan terakhir jangka panjang, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Mardjono Reksodipoetro menerjemahkan sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakata yang memiliki tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan demi tegaknya hukum dan keadilan, serta mengusahakan para pelaku kejahatan agar menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Arti Penting Lembaga Pemasyarakatan
Secagai sebuah sistem, maka keberhasilan dari tujuan sistem peradilan pidana akan sangat tergantung dari optimalisasi fungsi dari masing-masing sub-sistem yakni fungsi Kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), fungsi Kejaksaan (penuntunan), fungsi Pengadilan (vonis), dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan (pemasyarakatan). Dapat disimplifikasikan bahwa masing-masing sub-sistem pada prinsipnya memiliki peran penting dalam menunjang keberhasilan sistem peradilan pidana.
Dalam sistem peradilan pidana terdapat tiga tataran yang bekerja yakni input, proses, dan output. Input adalah masuknya sebuah perkara tindak pidana baik melalui laporan dan pengaduan. Proses adalah bekerjanya fungsi-fungsi sub-sistem peradilan pidana. Output adalah hasil yang diperoleh dari bekerjanya fungsi-fungsi dari masing-masing sub-sistem peradilan pidana.
Pada tataran output inilah fungsi sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan akan menjadi penentu hasil (output) dari bekerjanya sistem peradilan pidana. Lembaga Pemasyarakatan adalah sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana yang menjadi tempat melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Fungsi dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan kepada warga binaan pemasyarakatan agar mereka bisa menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, tidak mengulangi melakukan tindak pidana, dan dapat diterima kembali oleh masyarakat untuk berkontribusi positif dalam pembangunan.
Sayangnya, secara empirik optimalisasi fungsi Lembaga Pemasyarakatan seringkali terkendala oleh hambatan. Pertama, mengenai overweight kapasitas sel di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, penghuni Lapas pada Mei 2019 berjumlah 265.574 orang dari kapasitas 126.963 orang. Fenomena ini membuat banyak lapas di Indonesia penuh sesak. Overweight ini menyebabkan lapas tidak bisa berfungsi secara optimal sebagai tempat pemasyarakatan yang ideal dan berkemanusiaan. Realitas ini yang menyebabkan lapas justru mendapat julukan sekolah bagi penjahat.
Kedua, soal integritas dari petugas/pejabat lapas di mana narapidana kerah putih seringkali mendapat previlege-previlege sehingga fungsi pembinaan tidak dapat optimal. Gayus Tambunan dan Freddy Budiman adalah salah dua contoh narapidana yang pernah mendapatkan previlege di Lapas. Logikanya, bagaimana bisa mendapatkan efek jera dan menyadari kesalahannya kalau di penjara saja, mereka bisa hidup nyaman seperti hotel bintang 5.
Solusi optimalisasi fungsi Lapas menurut saya. Pertama, mengurangi overweight kapasitas Lapas, bisa melalui penambahan jumlah Lapas, namun tentu hal ini akan berimbas pada membengkaknya anggaran ekonomi atau melakukan perubahan arah penyelesaian perkara pidana ke arah restorative justice melalui sarana legislasi (perubahan substansi hukum ,ex: KUHP) ataupun optimalisasi substansi hukum yang telah ada (Perkap Nomor 6 Tahun 2019) guna menekan jumlah narapidana. Kedua, meningkatkan intensitas dan kualitas pengawasan terhadap Lapas agar dapat berfungsi secara optimal.
Pada prinsipnya, hanya dengan memiliki Lembaga Pemasyarakatan yang fungsional dan optimal dalam ‘merestorasi’ para narapidana, kita akan memiliki optimisne melihat masa depan penegakan hukum pidana kita. 

Menurut hemat saya, keberhasilan penegakan hukum pidana sendiri tidak diukur dari seberapa banyak orang bersalah yang masuk ke Lapas, tetapi dilihat dari semakin sedikitnya tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. 

           
           

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI COST-BENEFIT




Korupsi masih menjadi penyakit akut bangsa ini untuk maju sebagai bangsa yang mudun dan sejahtera. Korupsi baik dalam arti yang formal maupun non-formal (perilaku koruptif) masih begitu lekat dalam interaksi kehidupan masyarakat Indonesia. Memang, korupsi sendiri sejujurnya bukan hanya menjadi problematika dan fenomena di Indonesia saja, melainkan juga menjadi problematika dan fenomena endemik yang hidup di semua negara di dunia. Hanya saja yang membedakan antara satu negara dengan negara lain adalah soal skala dan intensitas.

Perlu diingat sebagai memori kolektif bangsa, bahwa salah satu semangat dan agenda reformasi adalah melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Untuk mendukung semangat dan agenda tersebut pembangunan struktur hukum dan substansi hukum pun dilakukan sebagai pondasi formal guna memberantas korupsi. 

Pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga membentuk pengadilan khusus tipikor merupakan wujud respon yuridis dari negara guna mendukung semangat dan agenda pemberantasan korupsi yang mana merupakan salah satu agenda sakral reformasi. Namun faktanya, pondasi formal guna memberantas korupsi tersebut nyatanya belum mampu secara signifikan memberantas praktik korupsi.

Labirin Praktik Korupsi

Menurut Prof Saldi Isra dalam artikelnya Labirin Praktik Korupsi yang termuat dalam koran Kompas (5 Januari 2017) mengatakan bahwa praktik koruptif telah menjadi praktik keseharian sehingga menjadi sulit membedakan antara perilaku koruptif dan perilaku yang semestinya. Perilaku koruptif telah mengakar begitu kuat dalam ceruk interaksi sosial masyarakat bahkan telah termanifestasi menjadi sebuah kebiasaan.

Budaya koruptif tersebut pada tahap lebih lanjut kemudian mengejawantah sebagai basis ekosistem nan potensial bagi tumbuh suburnya praktik korupsi. Sejalan dengan fenomena tersebut, sejujurnya negara telah membuat kebijakan hukum baik kebijakan hukum administrasi maupun kebijakan hukum pidana guna merestorasi budaya koruptif masyarakat.  Dalam konteks kebijakan hukum administrasi, misalnya kebijakan mengenai pengadaan barang dan jasa, kebijakan transaksi non tunai, hingga kebijakan perekrutan ASN yang mengedepankan transparansi dan sistem meritokrasi.

Sedangkan dalam konteks kebijakan hukum pidana (criminal policy) misalnya dengan mengkriminalisasi perbuatan gratifikasi (dalam arti melawan hukum) sebagai tindak pidana kemudian kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan justice collaborator dan whistle blower untuk mempermudah pengungkapan perkara tindak pidana korupsi. Meskipun kebijakan hukum baik secara administrasi maupun pidana telah dibangun sedemikian rupa untuk meminimalisir praktik korupsi, namun dalam realitasnya, praktik korupsi justru semakin masif baik secara dimensi horizontal maupun dimensi vertikal.

Secara horizontal, korupsi telah terjadi pada semua cabang kekuasaan negara baik cabang eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Singkatnya, tidak ada lembaga negara pada cabang utama kekuasaan negara yang bersih dari korupsi.

Sedangkan secara vertikal, korupsi juga masih subur baik dari tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan hingga desa. Menurut data ICW, sejak adanya dana desa, korupsi di desa dari tahun ke tahun relatif mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2018 ICW mencatat ada 252 kasus korupsi di desa. Rinciannya, tahun 2015 22 kasus, tahun 2016 48 kasus, tahun 2017 98 kasus, tahun 2018 96 kasus dengan total kerugian negara mencapai 107,7 miliar rupiah. 

Fakta tersebut seakan menjadi penegas pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968) bahwa perkembangan korupsi awalnya dimulai secara sporadis kemudian merebak dan meluas dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri. Faktanya, di Indonesia awalnya korupsi juga bersifat sporadis dan sentralistik kemudian merebak dan meluas ke daerah-daerah hingga desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia belum sampai membunuh masyarakatnya dan itulah yang harus kita cegah bersama.

Teori Cost-Benefit

Secara teoritik, sejujurnya telah banyak teori yang membahas mengenai penyebab terjadinya korupsi pada sebuah negara. Namun pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas secara spesifik tentang teori penyebab korupsi yang bernama teori cost-benefit. Teori cosf-benefit pada korupsi mengandung makna bahwa korupsi akan selalu terjadi dan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi.

Resiko yang lebih kecil ini mengandung empat unsur. Vonis yang relatif rendah, previlege di lembaga pemasyarakatan, masih memiliki hak dan akses politik, dan rendahnya sanksi sosial dari masyarakat. Sederhananya, tidak ada efek jera atas pemidanaan dan pemasyarakatan seorang narapidana korupsi. Dia melakukan korupsi toh masih kaya, masih bisa hidup enak di penjara, masih bisa berpolitik selepas bebas, dan masih diterima secara hangat oleh masyarakat. 

Resiko yang kecil atas perbuatan korupsi dapat kita lihat dari segi vonis hukuman yang relatif rendah. Menurut data ICW pada tahun 2018, vonis pengadilan terhadap pelaku korupsi rata-rata adalah 2,5 tahun penjara, ini masih dipotong remisi dan bebas bersyarat. Di sisi lain, ICW juga menyayangkan maraknya pengurangan hukuman terhadap narapidana korupsi khususnya ditingkat peninjauan kembali sepanjang tahun 2019 lalu. Sepanjang 2019, total ada 6 putusan yang meringakan pada tingkat peninjauan kembali. Salah satu yang mendapat keringanan hukuman tersebut adalah Patrialis Akbar, mantan hakim Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, dalam konteks pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan para narapidana korupsi seringkali juga mendapat previlege-previlege yang membuat mereka dapat hidup nyaman selayaknya di hotel bintang 5. Kemampuan material narapidana korupsi dan rendahnya integritas dari pejabat/petugas lapas membuat hal tersebut lazim terjadi. Beberapa satu contohnya adalah Gayus Tambunan, Artalyta Suryani, Freddy Budiman, hingga Agusrin Najamuddin. Keempatnya bisa tinggal di lapas dengan fasilitas mewah bak hotel bintang 5 (sebelum terbongkar). Dan fenomena ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es, hanya nampak beberapa di permukaan namun sejatinya banyak terjadi hanya saja tidak terbongkar ke publik.

Selanjutnya dalam konteks sosial-politik, para narapidana korupsi juga masih mendapat status sosial yang tinggi dan akses politik memadai untuk menjadi pemimpin masyarakat. Masyarakat masih menerima secara hangat dan hak politik juga masih mereka miliki. Hal ini semakin mempertegas realita bahwa resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi sangat kecil bahkan dapat dikatakan tak terasa. Tak terasa efek jeranya.

Solusi

Menurut teori cost-benefit korupsi akan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi. Sejalan dengan premis tersebut maka salah satu jalan menekan praktik korupsi adalah dengan memperbesar resiko yang harus ditanggung. Konkretnya, resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi harus lebih besar dari pada manfaat yang diterima dari melakukan korupsi. Ada empat upaya yang dapat dilakukan.

Pertama, hakim harus lebih peka bahwa tinggi rendahnya vonis yang mereka jatuhkan terhadap pelaku korupsi memiliki implikasi respirokal terhadap naik turunnya praktik korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memiliki dampak buruk bagi semua bidang kehidupan ketatanegaraan. Aspek inilah yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Kedua, lembaga pemasyarakatan harus benar-benar optimal dalam menjalankan fungsi pemasyarakatan terhadap narapidana korupsi, sehingga diharapkan para narapidana korupsi dapat menyadari kesalahannya sekaligus mendapatkan efek jera.  

Ketiga, partai politik harus memiliki prinsip dan idealisme untuk tidak memberikan tiket politik kepada para mantan narapidana korupsi. Restriksi mantan narapidana korupsi untuk kembali bergelut di bidang politik merupakan bagian penting sebagai strategi untuk menekan praktik korupsi. Inilah langkah yang lebih efektif dari pada sekadar pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam jangka waktu tertentu.

Keempat, masyarakat hendaknya juga memberikan sanksi sosial misalnya social distancing dalam jangka waktu tertentu kepada mantan narapidana korupsi. Hal ini akan dapat menjadi semacam shock therapy yang mengandung efek jera (malu) kepada mantan narapidana korupsi dan efek pencegahan (prevensi general) kepada masyarakat lainnya agar tidak melakukan korupsi.

Jika dilihat secara seksama, keempat upaya diatas pada prinsipnya mengandung 3 tataran dimensi. Pertama, dimensi yuridis yakni terkait vonis hakim dan optimalisasi fungsi lapas. Kedua, dimensi politis yakni terkait dengan restriksi hak dan askses politik. Ketiga, dimensi sosiologis yakni terkait dengan sanksi sosial dari masyarakat. 

Ketiga dimensi di atas secara praksis harus dapat bekerja secara optimal dan fungsional untuk memperkecil terjadinya praktik korupsi. Korupsi adalah musuh kita bersama, penyakit yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Mari bersinergi bersama melawan korupsi. Jangan berikan ruang sekecil pun terhadap perbuatan laknat tersebut.

           

"LOCK DOWN": QUO VADIS UNDANG-UNDANG KEKARANTINAAN KESEHATAN



Artikel ini saya tulis pada 29 Maret 2020

Persebaran virus Covid 19 yang begitu masif di Indonesia membuat sebagian masyarakat mulai dis-trust dengan metode penanggulangan virus corona yang dipilih oleh pemerintah yakni pendekatan social distancing atau yang kini diperbaharui dengan istilah phisic distancing. Sebagian masyarakat menilai pendekatan phisic distancing kurang memiliki efek mangkus dalam rangka menekan persebaran virus corona. Hal ini setidaknya terbukti dari jumlah kasus positif corona yang terus meningkat saban hari.
Sejalan dengan realitas tersebut, sebagian masyarakat pun mulai mendorong pemerintah untuk menggunakan pendekatan lain dalam rangka menekan persebaran virus corona secara lebih efektif yakni pendekatan lock down. Lock down memiliki pengertian sebagai pembatasan secara ketat aktivitas warga untuk menekan wabah atau pandemi penyakit tertentu.
Lock down sendiri pada dasarnya bukanlah merupakan istilah hukum yang dikenal dalam tata peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan istilah lock down lazim dikenal dengan istilah karantina wilayah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, menurut Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, terdapat empat jenis karantina yakni karantian rumah, karantina wilayah, karantian rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar oleh Pejabat Karantian Kesehatan.
Karantina wilayah sendiri merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Kekosongan Hukum
Jika pemerintah pada akhirnya memilih pendekatan lock down atau karantina wilayah, dalam penanggulangan virus corona, maka tentu ada mekanisme dan implikasi hukum yang akan berlaku sebagai konsekuensi logis dari ditetapkannya karantina wilayah.
Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, kewenangan menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang didalamnya termasuk penetapan karantina wilayah berada di tangan pemerintah pusat, di mana ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sayangnya, Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 belum ada, hal ini tentunya menyebabkan kondisi kekosongan hukum yang membuat bekerjanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tidak dapat berjalan secara efektif.
Singkatnya, tidak adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah sebagai instrumen yuridis untuk mengatur ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2018 secara lebih konkret membuat beberapa implikasi hukum dalam Undang-Undang Kekarantinaan kesehatan tidak dapat dilaksanakan. Logikanya begini, bagaimana bisa menetapkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat termasuk didalamnya penetapan karantina wilayah lha wong tata cara penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat saja belum ada atau belum diatur. Tidak adanya aturan pelaksana juga membuat sanksi-sanksi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tidak dapat difungsikan.
Solusi
Jika pemerintah ingin menetapkan lock down atau karantina wilayah sebagaimana harapan dan aspirasi dari sebagaian masyarakat, maka ada beberapa yang langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika quo vadis Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Perlu dipahami, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan secara entitas memang ada dan berlaku namun tidak dapat dilaksanakan mengingat tidak adanya aturan pelaksana (Peraturan Pemerintah). Berikut solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekosongan hukum.
Pertama, menempuh prosedur biasa dengan segera membuat Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Undang-Undang Kekarantiaan Wilayah. Kedua, menggunakan instrumen diskresi dengan memperhatikan kondisi dan syarat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintaha.
Ketiga, pengeluaran Perppu oleh presiden sebagai instrumen hukum untuk mengatasi situasi kegentingan yang memaksa. Perppu sendiri adalah hak subyektif presiden yang nanti akan diuji obyektivitasnya oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang.