Senin, 20 Juli 2020

PERAN DAN MAKNA KELUARGA DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL: RESTORASI DI TENGAH PANDEMI COVID-19



Sebelum membahas lebih jauh mengenai peran dan makna keluarga dalam perspektif teori struktural fungsional, akan lebih baik jika terlebih dahulu kita kaji apa pengertian dari keluarga itu sendiri. Tidak mudah mendefinisikan pengertian keluarga, mengingat keluarga sendiri merupakan entitas yang memiliki pijakan dimensi yang luas. Dalam arti sempit, keluarga didefinisikan sebagai hubungan yang dilandasi karena adanya garis genealogis (pertalian darah atau keturunan).
Selanjutnya, dalam arti luas, keluarga didefinisikan sebagai hubungan yang dilandasi karena adanya persamaan garis primordial-geografis. Dalam arti yang sangat luas, keluarga bisa direfleksikan sebagai sebuah hubungan yang terwujud karena adanya ikatan bathin dan emosional walaupun tanpa ada garis genealogis maupun garis primordial-geografis.
Jadi, bisa dipahami bahwa keluarga adalah sebuah entitas yang memiliki pijakan dimensi yang luas. Baik dimensi genealogis, dimensi primordial-geografis, maupun dimensi afeksi-psikologis. Keluarga dalam konteks dimensi genealogis misalnya mengejawantah dalam hubungan antara anak dan orang tua. Kemudian, keluarga dalam konteks dimensi primordial-geografis misalnya kekerabatan karena adanya garis kesukuan yang sama. Selanjutnya, keluarga dalam konteks dimensi afeksi-psikologis misalnya adalah terwujudnya hubungan kekeluargaan antara dua orang yang memiliki ikatan bathin dan emosional yang erat. Namun dalam tulisan ini, kerangka konseptual yang saya gunakan adalah terkait pengertian keluarga dalam arti sempit, yakni sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terbentuk atas garis genealogis.
Keluarga dalam Perspektif Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional merupakan teori yang menegaskan bahwa kehidupan merupakan sebuuah sistem yang eksistensinya sangat dipengaruhi oleh bekerjanya sub-sub sistem dengan beragam fungsinya, meliputi: sub-sistem ekonomi dengan fungsi adaptasi, sub-sistem politik dengan fungsi pencapaian tujuan, sub-sistem sosial dengan fungsi integrasi, dan sub-sistem budaya dengan fungsi pemeliharaan pola. Teori struktural fungsional sendiri merupakan teori di bidang disiplin sosiologi yang bertujuan untuk mengkaji perubahan masyarakat. Teori ini digawangi oleh Robert K. Merton dan Tallcot Parsons.
Dalam pendekatan analogis-restriktif, keluarga dapat dikaji dengan pendekatan teori struktural fungsional, di mana mengidentifikasikan keluarga layaknya sebagai sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem dengan beragam fungsinya untuk mendukung eksistensi dan fungsionalisasi entitas keluarga itu sendiri. Dalam pendekatan teori struktural fungsional, maka terwujud hubungan respirokal antara anggota keluarga dengan keluarga sebagai kesatuan yang utuh. Maka dari itu, berbicara mengenai peran dan makna keluarga, maka akan terkanalisasi mengenai hubungan fungsionalisasi timbal-balik antara anggota keluarga dan keluarga sebagai sistem yang utuh.
Ditinjau dari perspektif teori struktural fungsional, makna dan peran keluarga mengejawantah dalam 4 tataran sub-sistem yang masing-masing memiliki peran fungsional secara timbal balik.
Pertama, afeksi. Keluarga merupakan sumber kasih sayang. Tempat kita merasakan kasih sayang dan tempat bagi kita untuk berbagi kasih sayang. Kasih sayang yang tertanam secara intim dalam relasi keluarga akan memiliki pengaruh penting dalam pembentukan karakter para anggota keluarga dalam institusi kehidupan yang lebih luas. Lebih dari itu, values tertinggi dalam sebuah keluarga pada dasarnya adalah kasih sayang. Sinergi kasih sayang akan memiliki dampak positif baik dalam tataran individu dalam keluarga, tataran relasi intra-keluarga, dan tataran eksternal keluarga yakni dalam realitas pergaulan sosial-kemasyarakatan. Secara psikologis, internalisasi afeksi memiliki pengaruh besar dalam menentukan harmonisasi individu, harmonisasi keluarga, dan harmonisasi struktur sosial.
Kedua, motivasi. Keluarga merupakan sumber motivasi. Tempat kita berbagi motivasi dan tempat bagi kita untuk mendapatkan stimulasi motivasi. Keluarga merupakan sumber semangat bagi organ individu dalam mengarungi kerasnya roda kehidupan. Keluarga adalah entitas yang relatif selalu ada dalam segala kondisi. Baik suka maupun duka, keluarga selalu hadir memberikan motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung yang menghadirkan stimulasi energi secara psikologis dan emosional agar masing-masing anggota keluarga mampu mencapai batas potensial terbaik yang dimilikinya.
Ketiga, kognitif-edukasi. Keluarga merupakan tempat bagi kita untuk berbagi sekaligus mendapatkan pembelajaran dan tauladan tentang point of view dan values of life yang kemudian memiliki pengaruh besar dalam membentuk sudut pandang dan karakter kita dalam melihat dan menganalisa sebuah fenomena dan dinamika pada sebuah konstruksi ekosistem bernama realitas kehidupan. Keluarga merupakan institusi pertama, paling dini bagi seseorang dalam mendapatkan internalisasi nilai-nilai edukatif. Setelah dewasa, keluarga juga dapat menjadi kanalisator bagi masing-masing anggota keluarga agar selalu hidup on the track sesuai norma agama dan norma sosial-kemasyarakatan.
Keempat, material. Keluarga merupakan institusi bagi kita untuk berbagi material maupun mendapatkan impact material. Tak dapat dipungkiri, kehidupan ini membutuhkan aspek material dalam segala derivasinya. Material merupakan unsur penting bagi manusia dalam menunjang kehidupan. Makan, sekolah, rumah, baju, dan lainnya semua membutuhkan daya material. Keluarga kemudian mengejawantah sebagai tempat akumulasi material yang memiliki fungsi distribusi agar para anggota keluarga dapat mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidupnya secara layak. Maka dari itu, kondisi material sebuah keluarga akan memiliki dampak penting dalam pembentukan karakter dan kualitas seorang individu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengembalikan Keluarga Pada Khitahnya.
Era milenium dan globalisasi ditandai dengan meningkatnya perkembangan teknologi. Teknologi di satu sisi memang memiliki dampak yang positif dalam rangka menunjang efektifitas dan efisiensi hidup. Namun, di sisi lain memiliki dampak yang negatif berupa berkurangnya sensitifitas dan kolektifitas hidup serta interaksi dalam sebuah relasi termasuk dalam relasi keluarga.
Minimnya interaksi dalam relasi keluarga, membuat institusi keluarga tidak mampu melaksanakan fungsinya dalam kerangka relasi struktural fungsional. Keluarga tidak mampu menjalankan fungsi afeksi, motivasi, kognitif-edukasi, bahkan material secara optimal. Akibatnya, individu semakin jauh dalam entitas keintiman keluarga. Hal ini mewujudkan beberapa dampak negatif, baik kepada relasi individu dalam intra-keluarga maupun terhadap struktur sosial.
Bagi struktur sosial, minimnya peran institusi keluarga, melahirkan individu-individu bercorak individualistik, oportunis, hingga kriminalitas akibat tidak adanya kanalisator untuk me-manage dan maintanance energi dan tekanan hidup mereka ke arah yang positif. Misalnya, minimnya fungsi kasih sayang dan edukasi misalnya karena brokenhome tentu memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk karakter seorang individu. Di mana potensi untuk melahirkan efek derivasi yang negatif tentu akan lebih besar.
Di tengah wabah pandemi Covid-19 yang saat ini tengah melanda Indonesia dan seluruh dunia, ternyata ada sisi positif yang mengandung blessing in disguise. Yakni meningkatnya intimate keluarga. Terbatasnya ruang gerak secara intensitas maupun kapasitas, memaksa ruang sosial terdistraksi dalam sekup yang lebih kecil, bernama keluarga. Di tengah pandemi Covid-19, keluarga seakan kembali bermertamorfosa sebagai struktur yang memiliki dimensi fungsionalnya secara beragam. Baik afeksi, motivasi, kognitif-edukasi, hingga material.
Aktivitas spiritual, entertain, pekerjaan, sharing, rekreatif, hingga olahraga dapat dilakukan bersama keluarga. Sebuah pola hubungan yang mungkin akan sulit dilakukan di saat sebelum adanya wabah pandemi Covid-19. Sebelum wabah pandemi Covid-19, pola aktivitas masing-masing individu praktis habis untuk bekerja, belajar, dan bermain di luar. Selanjutnya, ketika di rumah, rasa capek dan lelah lebih banyak digunakan untuk my time dengan bermain gadget dan mengurung diri di dalam kamar. Hal inilah yang membuat nilai fungsional keluarga mengalami degradasi yang pada akhirnya berimplikasi negatif, baik terhadap intimate intra-keluarga maupun terhadap lingkungan sosial secara tidak langsung.
Pandemi Covid-19, secara tidak langsung mampu merestorasi kembali peran dan makna keluarga pada khitahnya sebagai institusi yang menjalankan peran terstruktur secara fungsional. Keluarga kembali mampu menjalankan fungsi afeksi, fungsi motivasi, fungsi kognitif-edukasi, dan fungsi material secara optimal. Sebuah momentum yang agaknya menjadi bahan refleksi dan kontemplasi bagi masing-masing individu untuk mengkonstuksikan peran dan makna keluarga sebagaimana khitahnya dalam relasi respirokal-mutualistik.
Akhir sekali, pada dasarnya setiap manusia selalu memerlukan asupan ragawi dan non-ragawi agar tetap on the track. Keluarga merupakan sebuah konstruksi entitas besar yang memiliki beragam fungsi yang sangat penting bagi pemenuhan asupan ragawi (materil) maupun non-ragawi manusia. Hilangnya nilai fungsional dari sebuah institusi bernama keluarga, niscaya akan membuat manusia kehilangan asupan ragawi dan khususnya asupan non-ragawi yang sangat besar. Dan pandemi wabah Covid-19 sekarang ini seakan memberikan alarm dan bahan introspeksi bahwa keluarga adalah entitas kehangatan sejati.

REFLEKSI 93 TAHUN PERSEBAYA



18 Juni 2020, klub kebanggan arek Surabaya, Persebaya Surabaya merayakan hari ulang tahunnya yang ke-93. Sebuah usia yang bahkan jauh lebih tua dari pada usia dan berdirinya negeri ini. Jika diruntut secara historis, Persebaya pada mulanya bernama Soerabajasche Indische Voetbal Bond (SIVB), berdiri pada tanggal 18 Juni 1927. Oleh karena itu, SIVB secara letterlijk merupakan embrio dari pada Persebaya.
Persebaya secara historikal merupakan klub sepak bola yang memiliki relasi erat dengan tumbuhnya semangat perjuangan dan nasionalisme. Persebaya atau SIVB ketika itu lahir dari perjuangan tokoh-tokoh pribumi, semacam M. Pamoedji dan Paidjo. Menurut R.N. Bayu Aji, lahirnya SIVB dilatarbelakangi oleh keinginan masyarakat pribumi khususnya masyarakat Surabaya ketika itu untuk menunjukkan bahwa tidak hanya Belanda yang bisa memainkan sepak bola. SIVB dibentuk sebagai wujud perlawanan kultural masyarakat pribumi untuk membuktikan bahwa mereka juga mampu memainkan sepak bola. (dikutip dari Historia).
Sebelum berdirinya SIVB, di Surabaya sendiri sebenarnya telah lahir beberapa klub sepak bola, yakni Oost Java Voetbalbond (OOJV) tahun 1907 yang kemudian berganti nama menjadi Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) pada tahun 1914, serta klub sepak bola bernama Tiong Hwa Soerabaia, yang merupakan klub sepak bola bagi golongan Tionghoa.
Kembali soal SIVB, setelah berdiri pada tanggal 18 Juni 1927, 3 tahun kemudian, SIVB turut menginisiasi lahirnya Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI). Oleh karena itu, secara legitimate historis, Persebaya memiliki legitimasi peran sebagai salah satu pendiri PSSI. Dalam berjalannya waktu, SIVB mengalami beberapa kali transformasi nama sebelum berganti nama menjadi Persebaya. Pada tahun 1938 SIVB berganti nama menjadi Persibaja. Pergantian nama dari SIVB menjadi Persibaja konon merupakan anjuran dari PSSI agar setiap klub sepak bola yang berada dalam naungannya tidak lagi memakai nama berbau Belanda. Setelah kemerdekaan, Persibaja berganti nama menjadi PORIS (Persatoean Olah Raga Republik Indonesia Soerabaja). Kemudian, setelah kongres PSSI 1950 di Semarang, PORIS kembali berganti nama menjadi Persibaja dan pada tahun 60-an menjadi Persebaya. Pergantian nama dari Persibaja ke Persebaya dipercayai hanya sekadar perubahan kata mengikuti konsep EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
Sejak berdiri pada tahun 1927, telah banyak prestasi yang ditorehkan oleh Bajul Ijo. Persebaya tercatat pernah menjuarai kompetisi perserikatan sebanyak lima kali, yakni pada tahun 1950, 1951, 1952, 1978, 1988 dan 10 kali runner-up yakni pada tahun 1938, 1948, 1965, 1967, 1971, 1973, 1977, 1981, 1987, dan 1990. Persebaya juga dua kali menjuarai liga Indonesia, yakni pada tahun 1997 dan 2004. Segenap prestasi yang ditorehkan oleh Persebaya tersebut merupakan bukti nyata bahwa Persebaya merupakan salah satu klub besar di Indonesia.
Perjalanan 93 tahun Persebaya sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang manis seperti gelar juara, namun juga hal-hal yang getir misalnya degradasi, dualisme, dan “pembunuhan perdata” oleh federasi serta “tangan-tangan jahat” yang tidak menginginkan Persebaya survive. Dalam perjalanannya, Persebaya pernah mengalami dualisme. Hal ini berawal pada kompetisi liga super Indonesia musim 2009/2010, di mana Persebaya “didzalimi” oleh PSSI dan operator liga. Hal ini berawal dari pertandingan Persebaya vs Persik yang harusnya dilaksanakan pada tanggal 29 April 2010 di stadion Brawijaya Kediri. Sayangnya di hari pertandingan, Persik tidak hadir. Berdasarkan manual liga saat itu (Pasal 26 ayat 6) harusnya Persik kena WO dan dinyatakan kalah 3-0. Namun anehnya, hukuman WO kepada Persik tidak pernah terlaksana, dan operator liga malah menginisiasi diadakannya tanding ulang. Nah, di saat tanding ulang tersebut, Persebaya enggan bertanding sebagai bentuk protes, karena Persik tidak dihukum WO. Alhasil, justru Persebaya yang pada akhirnya dihukum WO dan kalah 3-0. Di akhir liga, Persebaya akhirnya degradasi ke divisi utama.
Setelah Persebaya degradasi karena “dikerjai”, manajemen Persebaya dibawah naungan PT Persebaya Indonesia membelot ke liga primer Indonesia (LPI), yang merupakan kompetisi tandingan liga super Indonesia (ISL). Pilihan sikap tersebut membuat Persebaya diganjar sanksi oleh PSSI. Di sisi lain, celah kisruh antara Persebaya dan PSSI terkait pilihan berkompetisi, dimanfaatkan oleh Wisnu Wardhana untuk mendirikan Persebaya tandingan dibawah naungan PT Mitra Muda Inti Berlian. Persebaya palsu ini berkompetisi di kompetisi liga super Indonesia. Adanya dua persebaya, membuat Persebaya asli menggunakan nama Persebaya 1927 sebagai penegasan bahwa inilah Persebaya yang asli dan sejati. Pada tahun 2015, PT Persebaya Indonesia memenangkan gugatan atas legalitas nama Persebaya. Hal ini membuat Persebaya palsu dan abal-abal versi PT MMIB harus berganti nama. Persebaya palsu dan abal-abal pun berganti nama, dari Bonek FC, kemudian Surabaya United, dan pada akhirnya bertransformasi menjadi Bhayangkara FC setelah merger dengan PS Polri.
Di saat Persebaya mengalami masa-masa sulit, Persebaya beruntung memiliki pendukung setia dan fanatis sekaliber Bonek. Bonek dengan loyalitas dan rasa cintanya yang besar pada Persebaya senantiasa gigih berjuang digaris depan agar hak-hak Persebaya sebagai klub sepak bola dan anggota PSSI dipulihkan kembali. Sejak KLB PSSI April 2015 hingga KLB PSSI November 2016 Ancol Bonek selalu gigih berjuang demi keadilan bagi klub yang mereka banggakan. Persebaya. Akhirnya perjuangan Bonek berbuah manis, Persebaya kembali diakui sebagai anggota PSSI dan dapat berkompetisi di liga 2 2017. Setelah kembali berkompetisi, Persebaya langsung tancap gas dengan menyabet gelar juara liga 2 2017, peringkat 5 liga 1 2018, dan runner-up liga 1 2019. Relasi antara Bonek dan Persebaya menjadi bukti nyata bahwa cinta sejati dan romantisme itu ada dalam entitas dunia nan fana.
Refleksi 93 Tahun Persebaya
\Setiap pertambahan usia hendaknya dijadikan momentum untuk merefleksi diri atas semua perjalanan usia yang telah dilalui. Refleksi ini menjadi penting sebagai sarana kontemplasi untuk memperbaiki hal-hal yang belum baik, sekaligus mempertahankan bahkan meningkatkan hal-hal yang sudah berjalan dengan baik. Terkait dengan Persebaya, ada 3 hal yang harus menjadi titik perhatian di usianya kini yang telah menginjak 93 tahun.
Pertama, prestasi. Persebaya adalah klub besar dengan sejarah panjang dalam belantika sepak bola nasional. Persebaya tercatat telah menggondol 5 kali juara perserikatan dan 2 kali menyabet gelar liga Indonesia. Terakhir kali Persebaya mampu meraih gelar di kompetisi kasta tertinggi sendiri adalah pada tahun 2004. 16 tahun tanpa gelar juara liga kasta tertinggi tentunya memberikan rasa kerinduan bagi seluruh elemen Persebaya. Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh elemen Persebaya bersatu dan menyatukan tekad untuk mengembalikan kejayaan Persebaya sesuai dengan peran dan porsinya masing-masing. Manajemen harus memastikan urusan-urusan diluar lapangan yang berkaitan dengan Persebaya dapat berjalan lancar tanpa kendala, pemain dan pelatih harus memberikan kinerja terbaik baik saat latihan maupun pertandingan, dan suporter (Bonek) tentunya harus men-support tim secara maksimal baik secara psikologis, material, dan kritisisme.
Kedua, manajerial dan tata kelola. Di era industri sepak bola, klub yang bisa survive adalah klub-klub yang memiliki manajerial dan tata kelola yang profesional. Mengapa bisa demikian? Karena profesionalisme sebauh klub akan memiliki imbas terhadap value branding klub tersebut khususnya terkait aspek bisnis dan ekonomi, baik dari luar (sponsor) maupun dari dalam (tiket pertandingan, penjualan marchendise dll). Kemampuan ekonomis sebuah klub pada akhirnya akan memiliki efek langsung terhadap prestasi maupun keberlangsungan sebuah klub itu sendiri. Oleh karena itu, agar sebuah klub memiliki prestasi yang baik dan tetap bisa survive, maka mutlak diperlukan adanya entitas manajerial dan tata kelola klub yang profesional. Sejak kembali berkompetisi pada 2017, manajemen Persebaya memang cukup baik terkait urusan manajerial dan tata kelola klub. Tidak pernah terdengar keluhan “urusan dapur” dari para pemain. Pemain digaji besar dan diberikan fasilitas mewah (tinggal di apartemen). Sponsor juga banyak merapat ke Persebaya. Oleh karena itu, kualitas manajerial dan tata kelola klub yang profesional ini hendaknya dapat terus dipertahankan bahkan ditingkatkan demi kejayaan Persebaya.
Ketiga, hubungan dengan Bonek. Persebaya dan Bonek adalah dua entitas yang memiliki sisi romantisme baik secara kultural maupun sosiologis. Bonek selalu setia bersama Persebaya dalam apapun kondisinya. Sebagai suporter setia Persebaya, Bonek memiliki 3 peran penting baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mendorong kemajuan dan prestasi Persebaya. Pertama, peran psikologis. Adalah peran Bonek untuk mendukung Persebaya saat berlaga dilapangan. Nyanyian dan chants-chants pembakar semangat dari Bonek akan menjadi stimulan secara psikologis bagi pemain yang berjibaku di lapangan untuk memberikan kemampuan terbaiknya. Kedua, peran ekonomis. Secara langsung dapat dilakukan melalui pembelian tiket pertandingan dan marchendise resmi klub. Secara tidak langsung, jumlah Bonek yang banyak dan masif akan menaikkan nilai jual Persebaya di mata sponsor. Ketiga, Peran konstruktif. Yakni melalui kritik dan masukan yang bersifat konstruktif bagi kemajuan Persebaya. Mengingat 3 peran penting yang dimiliki oleh Bonek bagi Persebaya, maka hendaknya manajemen Persebaya kedepannya harus mampu membangun relasi dan komunikasi yang lebih hangat dengan Bonek. Intinya, manajemen Persebaya harus bisa lebih dekat dengan Bonek.
Pada akhirnya klub adalah sistem. Sistem yang digerakkan oleh bekerjanya sub-sub sistem yakni manajemen, pemain dan pelatih, serta suporter. Momentum 93 tahun Persebaya semoga dapat menjadi titik refleksi bagi setiap sub-sistem Persebaya maupun Persebaya sebagai sebuah sistem itu sendiri, membulatkan tekad, menyatukan visi untuk mengembalikan kedigdayaan Persebaya. Bersama merengkuh kejayaan. WANI!!!!.
           

PUISI: HUJAN BULAN JULI


Dedaunan hijau dipeluk rinai hujan
Tanah basah menyemai bilur desah
Setangkai kisah telah usai
Sang pujangga abadi berpulang ke haribaan-NYA

Hujan di bulan Juli
Sepenggal waktu berbalut tabir gelisah
Hingga titik nadir rindu merekah
Nama mu tak kan terhapus
Pendulum sejarah mewangi bestari

Hujan di bulan Juli
Tentang kenangan dan memori
Berpulangnya eyang Sapardi







Minggu, 05 Juli 2020

NEW NORMAL: PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT UNTUK MENCEGAH PENULARAN COVID-19



Pemerintah kini tengah gencar mempopulerkan istilah “new normal” sebagai pola hidup ditengah pandemi Covid-19. Apa itu new normal? Ditinjau dari sisi etimologis, new normal berasal dari dua kata, yakni new dan normal. New memiliki arti baru, sedangkan normal memiliki arti umum atau biasa. Maka dari itu, new normal pada prinsipnya memiliki pengertian kembalinya rutinitas atau aktivitas seperti biasa namun dengan lifestyle yang berbeda (baru) khususnya penekanan pada perilaku hidup bersih dan sehat.
Sayangnya, istilah new normal sendiri dikalangan masyarakat cenderung ditafsirkan sebagai kembalinya kehidupan secara normal. Banyak masyarakat yang kembali menjalani rutinitas seperti biasa namun tanpa dibarengi perilaku hidup bersih dan sehat (protocol kesehatan). Tak pelak, kondisi ini turut berperan meningkatkan grafik penyebaran Covid-19 di Indonesia. Oleh karena itu, ditengah kondisi new normal ini perilaku hidup bersih dan sehat serta harus senantiasa kita terapkan demi mencegah penularan Covid-19.
Perilaku hidup bersih dan sehat sendiri adalah perilaku kesehatan yang dilakukan karena kesadaran pribadi sehingga keluarga dan seluruh anggotanya mampu menolong diri sendiri pada bidang kesehatan serta memiliki peran aktif dalam aktivitas masyarakat. Jadi, perilaku hidup bersih dan sehat adalah sebuah self awareness untuk mempraksiskan budaya hidup sehat yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan sedangkan secara khusus bertujuan untuk mencegah penularan Covid-19. Berikut adalah perilaku hidup bersih dan sehat yang dianjurkan oleh Kementrian Kesehatan.
Pertama, rajin cuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer. Hal ini penting untuk membunuh virus yang mungkin saja menempel ditangan kita. Jika kita rajin cuci tangan memakai sabun atau hand sanitizer, maka akan meminimalisir kita dari penyebaran Covid-19.
Kedua, makan dengan gizi seimbang. Makan makanan yang bergizi adalah sebuah keharusan baik di saat kehidupan norma maupun di saat pandemi Covid-19 seperti saat ini. Makanan yang bergizi akan memberikan dampak yang baik bagi kondisi kesehatan. Makanan bergizi sendiri adalah makanan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh dengan proporsi yang seimbang.
Ketiga, rajin berolahraga dan istirahat cukup. Hal ini berkaitan dengan kebugaran tubuh. Olahraga ditengah pandemi Covid-19 bisa disiasati dengan olahraga yang lebih aman dan minim kontak fisik, misalnya senam dirumah. Kemudian istirahat cukup juga merupakan elemen penting agar maintanance tubuh kita tetap terjaga sekaligus menghindarkan kita dari stres.
Keempat, jaga kebersihan lingkungan. Ditengah pandemi Covid-19, kebersihan lingkungan hendaknya harus senantiasa kita jaga agar lingkungan kita tetap bersih dan sehat sekaligus meminimalisir penularan Covid-19.
Kelima, tidak merokok dan minum air putih dengan cukup. Hal ini penting agar tubuh kita senantiasa fit dan bugar. Ketika kondisi tubuh kita fit dan bugar, maka imunitas tubuh kita akan lebih kuat sehingga memungkinkan kita untuk terhindar dari penularan Covid-19.
Keenam, bila demam dan sesak nafas segera ke fasilitas kesehatan. Ini merupakan tindakan preventif agar kita mendapatkan penanganan medis lebih dini. Tentunya agar kondisi kita tidak semakin parah sekaligus mencegah agar kita tidak menjadi aktor penularan.
Ketujuh, gunakan masker saat ditempat umum dan jaga jarak aman. Hal ini merupakan tindaka preventif agar kita tidak menjadi korban penularan Covid-19 maupun aktor penularan Covid-19.
Kedelapan, rajin berdoa dan hindari stres. Rajin berdoa dan menghindari stres akan memberikan kita kekuatan spiritual dan kekuatan psikologis yang akan menjadi benteng ampuh bagi kita agar terhindar dari penularan Covid-19.
Internalisasi Budaya Perilaku Hidup Sehat dan Bersih
Problematikanya kemudian adalah bagaimana menginternalisasi perilaku hidup bersih dan sehat agar menjadi budaya baru dan dipraktekkan secara real dalam realitas kehidupan masyarakat. Menurut hemat penulis, harus dilakukan suatu pendekatan holistik guna membentuk  rasa kesadaran dari masyarakat agar menyadari pentingnya perilaku hidup sehat dan bersih khususnya ditengah wabah pandemi Covid-19.
Pertama, sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat secara masif. Ini penting agar masyarakat memahami seluk beluk mengenai perilaku hidup bersih dan sehat baik dari segi pengertiannya, manfaatnya, indikatornya, dan hubungan timbal baliknya dengan kehidupan di era pandemi Covid-19. Di tengah pandemi, ada baiknya pemerintah dan aparatur kesehatan dalam segala lini memanfaatkan sarana media sosial dan jejaring IT untuk mensosialisasikan perilaku hidup bersih dan sehat secara masif. Selain itu, pers baik konvensional maupun daring hendaknya juga harus melaksanakan fungsinya terkait edukasi dan informasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat.
Kedua, keteladanan. Adanya keteladanan dalam segala lini untuk mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat akan memiliki implikasi optimal dalam upaya menginternalisasi masyarakat agar mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Pada akhirnya, ditengah era new normal seperti saat ini, kita harus senantiasa mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat untuk menjaga kesehatan serta menghindari penularan Covid-19.