Jumat, 21 Mei 2021

PUISI: TERLALU

Terlalu jumawa dibenci banyak orang

Terlalu gak enak hati malah jadi ribet

Terlalu cinta bisa membutakan hati

Terlalu benci dapat mematikan logika

Terlalu cantik bikin liar fantasi

Terlalu jelek gak ada yang mendekat

Terlalu bodoh mudah dikadalin

Terlalu pinter bikin besar kepala

Terlalu bergairah lupa daratan

Terlalu lemah mudah dijajah



Kamis, 20 Mei 2021

PUISI: ANAK MANJA

Sejak kecil hidup penuh kemudahan

Tidak pernah bermandikan sengat mentari

Tinggal kicau, motor dan mobil terbeli

Hidup dimanja keadaan, pendidikan nomor kesekian

Beranjak dewasa hidup bagai roda

Orang tua mangkat ke haribaan

Sendiri mengarungi keras ombak kehidupan

Muda terbuai kenyamanan, tanpa bekal otak dan ketangkasan

Menua dalam pandir dan penderitaan


Minggu, 16 Mei 2021

PUISI: PRADIKTA ANDI ALVAT

20 April 1995. Aku lahir atas anugerah Yang Maha Kuasa

Hidup bersahaja penuh letupan mimpi

Senarai kisah mengeja rimbun asa

Mengais arti mencari jati diri

Aku bagai besi yang berkarat. Lekat akan aib dan dosa

Aku seperti ombak laut selatan. Bergejolak penuh misteri

Aku bak pelaut Bugis. Bagak setia memegang prinsip

Aku adalah aku. Manusia biasa

Mengejawantahkan kemilap gelap maupun terang






Sabtu, 15 Mei 2021

PUISI: HANIFA ALDO

Tepat sebulan setelah ia lahir, kakek berpulang ke rumah Allah

Kelahirannya menjadi prolog dari bencana keluarga

Hanifa Faldo Ardana namanya

Paras teduh sedari balita

Beranjak dewasa, posturnya sangkuk menjulang

Terpasung labirin zaman 

Pecandu budak HP

Gersang dari prestasi dan jauh dari cinta

Hampa terasa. Kesunyian menyayat jiwa



PUISI: TRENINDA

15 Oktober 2002, atas restu sang kuasa lahirlah Treninda Arde Pramesti

Menjadi anak pamungkas di keluarga 

Gayanya cekatan dan trengginas

Hidup jauh dari narasi manja walau putri ragil 

Perjalanan cintanya diwarnai kisah tragis

Saat dikhianati oleh sang pujaan hati

Patah hati dan tangis pilu seketika menjadi elegi 

Namun semua itu hanyalah memorabilia waktu

Kini, dia tumbuh menjadi pribadi penuh gelora ambisi




PUISI: RATU JAMBANGAN

18 maret 1999, Regita Azmi Pramestya lahir di alam fana

Balita disayang, anak-anak dimanja, remaja prominen

Senyumnya pahit madu memikat kaum adam

Beranjak dewasa, ia menjalin kasih dengan kak Irul

Pria sabar nan bersahaja asal dukuh Jambangan

Kini, ia memilih jalan hidup sebagai abdi kesehatan

Dan tak lama lagi akan dinobatkan sebagai Ratu Jambangan

Bermahkota pujaan di salah satu wilayah desa Padaran


Kamis, 13 Mei 2021

PUISI: EVAN THE SAD BOY

Cucu pertama Mbah Yatiman

Anak pertama Om Yatmani

Lahir 1 September 2008

Beranjak remaja mulai mengenal cinta

Ditakdirkan Tuhan sebagai seorang sad boy

Senyum lugu dan gestur wagu

Walau paras terlihat lumayan

Tak menarik di mata perempuan

Hidup lekat tabir kesepian dan kesedihan


PUISI: BINTANG THE KING

22 April 2003, pertama kali dia lahir di bumi

Namanya Bintang paras oriental

Di kota kretek ia tumbuh waktu demi waktu

Bayi, anak-anak, dan remaja

Lucu, lugu hingga menarik kaum hawa

Kini dia sudah 18 tahun, beranjak dewasa

Menjadi king of fuck boy dalam kehidupan

Mematahkan hati banyak perempuan







Jumat, 07 Mei 2021

PUISI: GENERASI BIRU

Anak muda harus berani mematri angan yang tinggi

Jangan punya mental pecundang

Merasa kalah sejak dalam pikiran

Anak muda harus berani mengambil sikap

Bagak menjadi diri sendiri

Jangan hanya jadi pion

Anak muda harus berprestasi

Walaupun sedikit liar

Jangan hanyut godaan

Jadilah generasi biru

Generasi harapan aufklarung bangsa

















PUISI: ANAK MALAM

Langit hitam berhias senyum manis rembulan

Cuaca tenang tanpa sengat mentari

Sepoi angin menyulut gairah muda

Jelajahi tiap sudut kota puaskan adrenalin

Ngobrol, ngopi, nyodok, nyerutu, nyiu

Party tipis-tipis hilangkan sumpek otak

Anak malam suka dunia malam

Kuyup rasa penasaran

Erat bunga-bunga fantasi

Ah








PUISI: BIROKRASI COMPLEX

Kalau bisa susah kenapa harus dipermudah?

Jika bisa ribet mengapa harus disederhanakan?

Kalau bisa bayar dan maen belakang kenapa harus gratis?

Jika bisa berpintu-pintu mengapa harus satu pintu?

Abdi negara banyak yang angkuh jumawa

Merasa tuan padahal pelayan

Kolusi, korupsi, dan nepotisme sumbu bobrokisme

Fenomena birokrasi negeri +62 

Birokrasi complex


Selasa, 04 Mei 2021

PUISI: TEMPAT YANG MENEGANGKAN

17 Desember 2011

Sore itu gerimis temaram membasahi kota jangkar keramat

Kurusetra lapangan hijau tersaji duel sengit Laskar Dampo Awang melawan Laskar Isen Mulang 

Tuan rumah berkali-kali dihujani serangan berbahaya sang tamu

Stadion Krida sekejap menjadi tempat yang menegangkan 

Adrenalin harus menang beriringan dengan bias pilu kekalahan

Degup jantung berdetak kencang sepanjang 90+2 menit

Pertandingan selesai. Gol Cristian Lenglolo menjadi juru selamat

Tapi getar ketegangan itu berlanjut dalam laga-laga selanjutnya







Senin, 03 Mei 2021

PUISI: FIRASAT

9 tahun lalu firasat itu membuncahkan angan

Melekat erat dalam maji 

Terngiang di dasar sanubari

Memiliki belahan nyawa satu almamater putih abu-abu

Kisah cinta terajut tidak jauh dari harap

Lorong ingatan menjelajahi memorabilia

Di sebuah sudut SMAN 1 Rembang pertama kali ku memandang mata indahnya

Dingin kaku ku menatapnya. Benih cinta belum mekar

Tahun 2017 Yang Maha Kuasa memberikan jalannya

Firasat itu mulai menunjukan asa

.. .. Mei 2021 firasat itu ternyata takdir semesta


REVOLUSI STRUKTUR HUKUM

 

Prof. B.M. Taverne seorang intelektual hukum asal Belanda mengemukakan pentingnya hukum dijalankan sebagai sebuah sistem perilaku (positif), karena pada akhirnya sebaik apapun norma dan nilai yang terkadung dalam suatu aturan hukum tidak ada artinya jika tidak dilaksanakan secara baik dan fair. Taverne berujar Berikan aku hakim, jaksa, dan polisi yang baik, maka dengan hukum yang jelek sekalipun keadilan masih bisa diwujudkan”.

Apa yang diucapkan oleh Taverne dielaborasi oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa hukum tidak bisa hanya diletakkan sebagai sebuah sistem norma, melainkan juga harus dipraksiskan sebagai sebuah sistem perilaku. Karena pada akhirnya, yang menjalankan hukum (sistem norma) adalah manusia. Baik tidaknya penegakan hukum akan sangat ditentukan oleh bagaimana perilaku dari orang-orang yang berkecimpung di dalamnya (perilaku penegak hukum).

Hukum dalam konteks kerangka sistem terdiri atas 3 komponen yang membangun framework secara integral yakni substansi hukum (legal substance), struktur hukum (kelembagaan dan sumberdaya hukum), dan budaya hukum baik budaya hukum internal maupun budaya hukum eksternal (nilai-nilai dan perilaku yang melembaga)

Di Indonesia, permasalahan sistem hukum sendiri terjadi di semua komponen dengan tingkat ekskalasi yang berbeda. Permasalahan substansi hukum misalnya terkait sinkronisasi aturan. Permasalahan struktur hukum misalnya terkait nir-profesionalitas aparat dalam proses penegakan hukum. Permasalahan kultur hukum misalnya maraknya budaya-budaya di masyarakat yang kontradiksi dengan hukum positif, misalnya penerimaan politik uang.

Dari ketiga komponen sistem hukum di atas, prioritas restorasi idealnya adalah pada budaya hukum. Karena disitulah pintu masuk terjadi tidaknya pelanggaran-pelanggaran hukum. Namun, perbaikan budaya hukum sendiri memerlukan pendekatan yang luas, multi-sektoral, dan kontiniutas waktu yang panjang, Tidak bisa menjadi prioritas dalam waktu dekat.

Oleh karena itu, prioritas restorasi sistem hukum untuk saat ini hendaknya diarahkan pada restorasi struktur hukum. Karena inilah mesin dalam penegakan hukum yang menentukan bagaimana output dan outcome dari pada aktivitas penegakan hukum. Kalau menurut saya, diksinya tidak lagi restorasi tetapi revolusi. Revolusi di sini artinya perubahan fundamental untuk memperbaiki problematika yang besar dan laten. Konkretnya, harus ada perubahan fundamental terkait struktur hukum kita agar kehidupan hukum khususnya aspek penegakan hukum bisa memberikan sumbangsih nyata dalam proses integrasi sosial maupun perwujudan keadilan sosial.

Menurut saya, ada dua problematika besar terkait struktur hukum di Indonesia. Pertama, soal profesionalitas. Profesionalitas di sini berkaitan bagaimana struktur hukum (aparat penegak hukum) mengejawantahkan hukum sebagai sistem perilaku dalam bingkai birokrasi hukum maupun dalam orde kultural. Kedua, sumberdaya atau sarana. Aspek ini berkaitan dengan proporsionalitas dan keterjangkauan aktivitas penegakan hukum baik secara preemtif, preventif, maupun represif.

Terkait profesionalitas aparat penegak hukum titik masalahnya adalah pada proses penegakan hukum yang seringkali bernuansa koruptif (suap, pemerasan, gratifikasi, organisasi perkara dll), tidak ramah terhadap hak asasi manusia (kekerasan dan intimidasi dalam proses penegakan hukum) dan perilaku sosial negatif aparat penegak hukum (arogansi, menjadi back up tindak kejahatan dll).

Secara restorasi, problematika tersebut bisa diatasi dengan perbaikan sistem rekruitmen dan penguatan sanksi internal yang realitasnya menurut saya selama ini juga tidak dilakukan pembenahan secara serius. Akan tetapi, dari sudut pandang revolusi, maka kedua hal tersebut tidak cukup, harus ada perubahan fundamental terkait struktur hukum kita.

Di sinilah pentingnya melakukan kajian perbandingan hukum. Pentingnya melakukan study banding mengenai pengorganisasian struktur hukum kepada negara yang memiliki kualitas hukum yang baik. Salah satu referensi terbaik bagaimana melihat kualitas struktur hukum maupun sistem hukum secara utuh adalah Jepang.

Di Jepang, alur untuk menjadi penegak hukum baik jaksa, hakim, dan pengacara dilakukan secara integral dalam satu wadah komando. Pertama, setelah lulus dari S-1 hukum, calon penegak hukum harus melanjutkan ke law school atau setingkat S-2 selama 2-3 tahun. Setelah lulus dari law school para calon aparat penegak hukum akan mengikuti ujian hukum negara agar bisa masuk ke legal training and research institute (LTRI). LTRI merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk merekrut dan melatih calon aparat penegak hukum di Jepang.

LTRI memiliki 2 tugas utama. Pertama, melaksanakan pelatihan dan riset berkala untuk hakim yang dilakukan khusus oleh first division of LTRI. Kedua, melaksanakan pelatihan bagi calon penegak hukum yang dilakukan oleh second division of LTRI. Calon penegak hukum di Jepang harus melaksanakan pelatihan selama 12 bulan. LTRI diisi oleh dosen dan tenaga pengajar profesional yang berasal dari hakim senior, jaksa senior, dan pengacara senior.

Setelah lulus ujian hukum negara yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang melalui Departemen Kehakiman, Mahasiswa (calon aparat penegak hukum) akan mengikuti pendidikan dan latihan profesi hukum selama 12 bulan. Dengan rincian, 10 bulan pelatihan lapangan (magang) dan 2 bulan pelatihan kolektif di LTRI. Setelah selesai 12 bulan, kemudian akan diadakan ujian akhir dan evaluasi ketat untuk menentukan pos posisi apa yang pas bagi mahasiswa law school, apakah hakim, jaksa, atau pengacara yang disesuaikan dengan potensi, kompetensi, psikologi, dan kepribadiannya (Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman, 2018).

Poin penting dari pola pengorganisasian struktur hukum di Jepang adalah perihal poin restriktif-kompetitif (saringan ketat dan berjenjang) dan sinkronisasi pendidikan. Dua poin ini berimplikasi kepada lahirnya aspek kompetensi, kapasitas, integritas, dan sinergi antar aparat penegak hukum yang dapat berjalan baik dalam satu paradigma.     

Saya percaya, tidak semua sistem hukum maupun pola sub-sistem hukum dari satu negara dapat ditransplantasi ke negara lain. Namun, dalam konteks revolusi (perubahan fundamental), agaknya melihat keberhasilan pola sub-sistem hukum (struktur hukum) di Jepang dapat dijadikan bahan kajian dan referensi serius (bisa dengan modifikasi) terkait bagaimana menata pengorganisasian kelembagaan hukum kita. Tanpa ada revolusi struktur hukum, saya yakin tidak akan ada perubahan berarti dalam konteks penegakan hukum kita.

             

           

 

 

 

 

SIMBIOSIS KORUPSI

 

Transparency Internasional Indonesia (TII) merilis hasil skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 sebesar 37 atau turun 3 poin dari hasil skor IPK tahun 2019 lalu. Dalam konteks peringkat, Indonesia juga mengalami penurunan dari peringkat 85 menjadi peringkat 102.

Peringkat IPK Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara macam Timor Leste (peringkat 40), Malaysia (peringkat 51), Brunei (peringkat 60), dan Singapura (peringkat 85). Penurunan IPK sendiri menjadi yang pertama bagi Indonesia sejak 12 tahun terakhir. Fenomena ini tentunya harus menjadi atensi kita bersama, sebuah alarm sebagai cambuk introspeksi agar berjalannya negara ini kembali on the track sebagaimana amanat konstitusi dan cita reformasi yang menghendaki zero tolerance terhadap korupsi.

Menurut temuan Transparency Internasional Indonesia, penurunan skor IPK dikarenakan adanya stagnansi yang berafilisasi dengan sektor ekonomi-bisnis dan investasi serta kondisi politik-demokrasi yang masih rentan terhadap praktik-praktik koruptif. Korupsi politik masih menjadi semacam varieties of democrazy dalam wacana politik Indonesia.

Berkaca pada realitas di atas, Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption In Asian Countries, An Impossible Dream (2013) mengatakan bahwa korupsi akan selalu tumbuh subur manakala pemimpin politik atau pembuat kebijakan publik tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi. Arti kata memimpin di sini memiliki pengejawantahan makna yang luas, tidak sekadar dalam arti sikap semantik, melainkan juga dalam wacana legislasi dan alokasi anggaran.

Dalam konteks sistem hukum nasional, korupsi sendiri merupakan tindak pidana yang tergolong sebagai extraordinary crime yang memiliki dampak negatif yang luas, sehingga memerlukan treatments luar biasa pula. Menurut Peter Eigen (2003) dampak korupsi tidak hanya mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan institusi-institusi demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memiskinkan masyarakat.

Konkretnya, korupsi merupakan patologi sosial yang bisa merusak sendi-sendi fundamental negara. Selama korupsi masih menggurita dan mengejawantah secara masif dalam praktik bekerjanya cabang-cabang kekuasaan negara, maka kemajuan dan kesejahteraan rakyat hanya sekadar ilusi, ibarat mengharap datangnya matahari di tengah gulita malam.

Menurut hemat saya, ada tiga problematika besar terkait semangat dan awareness dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, di mana ketiganya membangun sebuah simbiosis  sehingga terbentuk ekosistem sosial yang ramah terhadap praktik-praktik korupsi.

Pertama, rendahnya kehendak politik dari pemimpin dalam memimpin pemberantasan korupsi. Di atas, Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption In Asian Countries, An Impossible Dream (2013) mengatakan bahwa korupsi akan selalu tumbuh subur manakala pemimpin politik atau pembuat kebijakan publik tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi.

Faktanya, para pemimpin politik yakni eksekutif (presiden) dan legislatif (DPR) justru seringkali menunjukkan kehendak-kehendak politik yang kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. “Pembonsaian” dan pelemahan KPK sebagai lembaga independen melalui sarana legislasi (revisi UU KPK) merupakan contoh aktual yang menggambarkan bagaimana pemimpin politik negeri ini tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi. Kondisi inilah yang menjadi causa proxima mengapa korupsi tumbuh subur di Indonesia.

Kedua, lemahnya penegakan hukum dalam bigkai sistem peradilan pidana. Sebagai extra ordinary crime, tindak pidana korupsi seharusnya dikonsepsikan sebagai perbuatan jahat yang luar biasa sehingga juga harus mendapatkan sanksi pidana yang luar biasa pula (berat). Namun faktanya, para koruptor seringkali justru mendapatkan tuntutan pidana yang rendah dari jaksa, kemudian dijatuhi vonis yang relatif rendah dari hakim, serta mendapat previlege-previlege saat mendekam di lembaga pemasyarakatan.

Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), selama Januari hingga Juni 2020, rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi di berbagai tingkatan pengadilan hanya 3 tahun penjara. Selama Januari hingga Juni 2020 terdapat 1008 perkara korupsi dan 1043 terdakwa yang disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung.

Rinciannya, pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan penjara. Pengadilan tinggi menyidangkan 162 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 3 tahun 6 bulan penjara. Tingkat kasasi dan peninjauan kembali di mahkamah agung terdapat 8 perkara dengan rata-rata vonis 4 tahun 8 bulan penjara. Bahkan untuk kasus korupsi tindak pidana suap yang ancaman hukuman maksimalnya 5 tahun penjara, rata-rata hukuman yang dijatuhkan kepada 74 terdakwa hanya 1 tahun 7 bulan penjara. Realitas demikian menunjukkan bahwa korupsi yang berlabel extraordinary crime, yang bisa dimaknai sebagai kejahatan yang luar biasa dan reasonable untuk dijatuhkan pidana yang lebih berat dari tindak pidana biasa nampaknya hanya sekadar macan kertas belaka.

Fenomena tersebut membuat efek jera dan resosialisasi (pembinaan) tidak mampu mengejawantah sebagai prevensi khusus maupun prevensi general. Sederhananya, orang yang pernah melakukan korupsi tidak takut untuk mengulanginya, sedangkan orang yang belum pernah melakukan korupsi pun tidak takut untuk melakukan praktik korupsi.

Ketiga, sikap permisif rakyat terhadap korupsi. Contoh sederhana yang bisa menggambarkan bagaimana sikap permisif rakyat terhadap korupsi dapat dilihat ketika kontestasi politik. Menurut survei Lembaga Ilmu Penghetahuan Indonesia pada pemilu 2019 lalu, 37 persen responden mengaku menerima politik uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Realitas ini mendeskripsikan bahwa masyarakat masih memandang politik uang sebagai bagian dari pemilu. Jika saya refleksikan, rakyat menghujat korupsi di hilir (saat koruptor tertangkap) tapi membuka ruangnya di hulu (menerima politik uang).

Pada akhirnya, ketiga simbiosis korupsi inilah yang menyebabkan praktik-praktik korupsi di negeri ini terus menjalar secara masif dan sistematik. Seharusnya bangsa Indonesia malu walau untuk sekadar bermimpi. Bagaimana mungkin memimpikan minim korupsi kalau eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan rakyatnya saja permisif terhadap korupsi dan menjadi aktor baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktik korupsi tersebut?

           

 

TEORI TUJUAN HUKUM

 

Definisi hukum secara teoritik dapat ditinjau dalam 3 sudut pandang. Secara filosofis, hukum adalah asas-asas keadilan yang bersifat universal. Secara yuridis, hukum merupakan norma hukum positif (in abstracto) maupun putusan pengadilan (in concreto). Secara sosiologis, hukum adalah pola perilaku sosial dan makna-makna simbolik yang terlembaga secara eksis dalam variabel dan interaksi sosial empiris.

Sebagaimana pengertian hukum yang dapat ditinjau dalam berbagai telaah sudut pandang baik secara yuridis-normatif, sosiologis, dan filosofis. Tujuan hukum juga mengejawantahkan fenomena serupa, dapat ditelaah dalam berbagai perspektif dan teoritik. Diskursus mengenai tujuan hukum sendiri selalu menjadi perdebatan kontemporer bagi para intelektual hukum.

Secara teoritik, terdapat 3 aliran pemikiran terkait tujuan hukum. Pertama, aliran etis. Aliran etis menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanya untuk mewujudkan keadilan. Kedua, aliran utilistis. Menurut aliran ini, tujuan dari hukum adalah semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. Ketiga, aliran normatif-positivistik. Menurut aliran normatif-positivistik, tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum.

Dalam telaah disiplin ilmu hukum, tujuan hukum dapat ditelaah dalam 3 pendekatan. Pertama, pendekatan yuridis-normatif. Menurut pendekatan yuridis-normatif tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kedua, pendekatan filsafat hukum. Menurut pendekatan filsafat hukum tujuan hukum adalah keadilan. Ketiga, sosiologi hukum. Menurut sosiologi hukum tujuan hukum adalah kemanfaatan.

Prof Achmad Ali dalam bukunya Menguak Tabir Hukum (2002) membagi tujuan hukum dalam relasinya dengan karakter atau budaya secara spesifik dalam 3 kerangka teori. Pertama, teori tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum barat beorientasi pada keadilan, kemanfaatan, dan kepasian hukum. Kedua, teori tujuan hukum timur. Teori tujuan hukum timur berorientasi pada perdamaian dan harmoni (integrasi). Ketiga, teori tujuan hukum Islam. Teori tujuan hukum Islam berorientasi pada kemanfaatan, keseimbangan, dan kesejahteraan.

Lebih lanjut, teori tujuan hukum barat sendiri terbagi dalam dua bagian. Pertama ajaran konvensional, yang menitikberatkan tujuan hukum secara integral guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam satu tarikan nafas. Secara teoritik, ajaran konvensional ini memang terlihat bagus, namun dalam praktiknya (penerapan) cukup sulit, seringkali ketiga tujuan hukum itu justru saling bertentangan.

Kedua, ajaran modern, yang terbagi menjadi ajaran prioritas baku dan ajaran prioritas kasuistis. Ajaran prioritas baku meletakkan tujuan hukum dalam bingkai hierarki: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ajaran prioritas kasuistis meletakkan prioritas tujuan hukum sesuai dengan karakter kasuistik yang dihadapi.

Sebagai contoh, dalam perkara pidana ada karakteristik perkara yang compatible dengan prioritas tujuan hukum kepastian hukum namun juga ada karakteristik perkara yang compatible dengan prioritas tujuan keadilan atau kemanfaatan.

Misalnya dalam perkara tindak pidana korupsi, maka tujuan hukum kepastian hukum harus menjadi prioritas. Namun dalam perkara-perkara yang bisa diselesaikan dengan pendekatan restoratif (restorative justice), maka keadilan dan kemanfaatan yang menjadi prioritas.

Dalam konteks Indonesia, Indonesia sebenarnya berada dalam posisi strategis karena memiliki irisan dengan ketiga teori tujuan hukum di atas, baik tujuan hukum barat, tujuan hukum timur, dan tujuan hukum Islam. Secara historis, Indonesia adalah jajahan bangsa barat, dimana hal tersebut turut mempengaruhi karakter dan watak hukum Indonesia. Secara geografis dan kultur, Indonesia merupakan bagian bangsa timur. Secara sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat Islam.

Oleh karena itu, kekayaan referensi hukum tersebut, harus diramu dalam proses elektisasi yang cermat agar menghasilkan karakter hukum khas Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila. Konkretnya, teori-teori mengenai tujuan hukum di atas harus pahami secara matang baik oleh pembuat hukum maupun oleh penegak hukum. Mengingat fungsi utama teori adalah sebagai panduan agar praktik tidak menyimpang terlalu jauh.

 

 

 

           

HUKUM DAN RELASI KUASA

 

Berdasarkan teori bekerjanya hukum, Robert B. Seidman dan Wiliamm J Chambliss, menjelaskan bahwa proses bekerjanya hukum dipengaruhi oleh empat komponen utama yaitu lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum, para pemegang peran, dan pengaruh kekuatan personal maupun sosial. Selanjutnya keempat komponen tersebut membentuk sebuah relasi integral yang mengejawantah dalam preposisi-preposisi sebagai berikut:

Pertama, setiap aturan hukum itu menunjukkan bagaimana seharusnya pemegang peran untuk bertindak. Kedua, tindakan apa yang akan diambil oleh pemegang peran pemegang peran akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks ekonomi, sosial, politik, dan lainnya yang bekerja atas dirinya.

Ketiga, tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana (penegak hukum) sebagai respons terhadap peraturan hukum akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh peraturan hukum yang berlaku, dari aktivitas pelaksanaannya, sanksi-sanksinya, serta dari seluruh kompleks kekuatan ekonomi, sosial, politik, dan lainnya yang bekerja atas dirinya serta dari umpan balik antara pemegang peran dan birokrasi.

Keempat, tindakan apa yang diambil oleh lembaga pembuat hukum sebagai respon terhadap peraturan hukum akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan lainnya yang bekerja atas dirinya serta umpan balik antara pemegang peran dan birokrasi.

Oleh karena itu, bekerjanya hukum secara empiris (das sein) akan dihadapkan pada relasi-relasi dalam bingkai struktur sosial secara komprehensif. Berbagai dimensi non-hukum turut berpengaruh bahkan melakukan intervensi terhadap proses-proses bekerjanya hukum. Atau dapat dielaborasikan bahwa proses bekerjanya hukum berhubungan erat dengan relasi-relasi kuasa.

Relasi Kuasa

Menurut Michael Foucault, kekuasaan memiliki hubungan respirokal-integral dengan penghetahuan. Kekuasaan menghasilkan penghetahuan sebaliknya penghetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan berpengaruh terhadap kekuasaan. Foucault mendefinisikan penghetahuan sebagai episteme. Episteme adalah entitas kekuasaan yang otoritatif yang telah dikonsepsikan sebagai pemaknaan terhadap fenomena tertentu.

Terbentuknya epistime dalam ruang sosial secara logis tentu tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan, dalam konteks ini kekuasaan memiliki ruang dan legitimasi untuk melakukan intervensi-intervensi tertentu yang meletakkan subyek dalam posisi inferior. Konkretnya, Foucoult ingin menjelaskan bahwa relasi selalu memiliki basis kekuasaan. Dimana ada relasi di situ ada kekuasaan. Kekuasaan teraktualisasi melalui penghetahuan dan penghetahuan selalu memiliki efek kuasa.

Bagi Foucoult, kekuasaan tidak dilihat sebagai sebuah entitas yang absolut dan materialistik. Melainkan dilihat sebagai sebuah strategi dalam dinamika masyarakat yang mengandung relasi-relasi beragam. Kekuasaan tidak berpusat pada satu subyek tertentu (absolut) melainkan tersebar dalam berbagai relasi sosial baik secara makro maupun mikro.

Kekuasaan dalam masyarakat modern disebut sebagai disciplinary power, yang merupakan wujud normalisasi perilaku dalam wacana relasi sosial yang diinternalisasikan secara repetitif sehingga berpengaruh sebagai pondasi intervensi subyek. Normalisasi perilaku pada akhirnya meletakkan subyek sebagai kendaraan bagi kekuasaan.

Hukum sebagai pranata sosial (sosiologis). Dapat dipahami sebagai ruang tumbuhnya berbagai relasi kuasa. Dalam proses bekerjanya hukum baik dari tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi selalu berkelindan dengan kekuasaan dalam beragam relasi kuasa.

Dalam tahap formulasi misalnya ada relasi kuasa antara anggota legislatif dengan partai politik, dalam tahap aplikasi terdapat relasi kuasa antara pimpinan dengan bawahan, dalam tahap eksekusi juga demikian. pada prinsipnya, proses bekerjanya hukum tidak dapat dilepaskan dalam bingkai relasi kuasa. Dalam bekerjanya hukum, selalu tercipta ruang-ruang intervensi yang lahir dari ketidakseimbangan kuasa sehingga menyebabkan tujuan-tujuan idealitas hukum tersendat.