Kisah pilu kembali mewarnai dunia persepakbolaan nasional,
setelah nyawa harus kembali melayang demi dan hanya karena sebuah olahraga
bernama “Sepakbola”. Seorang supporter
Persija Jakarta bernama Haringga Sirla meninggal dunia setelah di aniaya secara
brutal oleh segerombolan “Oknum” pendukung Persib Bandung sebelum laga antara
Persib Bandung vs Persija Jakarta di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada 23
September 2018 kemarin.
Nyawa memang sepertinya menjadi barang murah dalam
persepakbolaan negeri ini, hanya berlatar belakang “Rivalitas”, supporter dapat
menjadi beringas terhadap para supporter klub lain yang menjadi rival dari klub
kebanggaan mereka, fanatisme buta terhadap klub kebanggaan yang dianggap mereka
sebagai pengejawantahan dari martabat, harga diri dan identitas mampu membunuh
akal sehat dan nurani sebagai manusia hingga tega berbuat keji nir moral
menghabisi sesama manusia, seperti halnya Haringga Sirla yang harus menjadi tumbal nyawa dari panasnya rivalitas antara supporter Persija Jakarta dan supporter Persib Bandung.
Dalam tulisan ini saya tidak sedang ingin menghakimi
supporter Persib Bandung, tetapi lebih kepada memberikan gambaran secara umum
mengenai sikap para kelompok supporter terhadap para kelompok supporter lainnya
yang memiliki rekam jejak “Rivalitas” dimana sikap mereka bertendensi tinggi
condong ke arah perilaku kekerasan dan nir moral seperti membunuh, menganiaya, merusak, saling
hujat dan lainnya.
Kekerasan, dan tindakan nir moral memang seringkali terjadi diantara dua kelompok supporter yang memiliki rekam jejak rivalitas, rasa dendam yang mereka rawat secara turun temurun membuat jiwa beringas muncul ketika melihat kelompok supporter rival yang mereka anggap musuh yang halal untuk di aniaya bahkan di bunuh. Sebelumnya pada bulan Juli lalu seorang supporter PSS Sleman bernama Muhamad Iqbal juga harus meregang nyawa karena di keroyok oleh oknum kelompok supporter PSIM Jogja saat tim PSIM Jogja bertemu dengan PSS Sleman, yang juga dilatarbelakangi karena rivalitas panas antara kedua kelompok supporter.
Apa sudah separah itukah moral kita sebagai manusia ? hanya karena fanatisme akan klub kebanggaan, kita menjadi tega menghabisi sesama manusia. Dalam konteks berbangsa dan bernegara artinya sesama rakyat Indonesia tega saling membunuh hanya karena fanatisme dan rivalitas semu akan sebuah olahraga bernama sepakbola. Sebuah olahraga yang harusnya menjadi alat pemersatu dan penanaman nilai-nilai positif bagi generasi bangsa.
Kekerasan, dan tindakan nir moral memang seringkali terjadi diantara dua kelompok supporter yang memiliki rekam jejak rivalitas, rasa dendam yang mereka rawat secara turun temurun membuat jiwa beringas muncul ketika melihat kelompok supporter rival yang mereka anggap musuh yang halal untuk di aniaya bahkan di bunuh. Sebelumnya pada bulan Juli lalu seorang supporter PSS Sleman bernama Muhamad Iqbal juga harus meregang nyawa karena di keroyok oleh oknum kelompok supporter PSIM Jogja saat tim PSIM Jogja bertemu dengan PSS Sleman, yang juga dilatarbelakangi karena rivalitas panas antara kedua kelompok supporter.
Apa sudah separah itukah moral kita sebagai manusia ? hanya karena fanatisme akan klub kebanggaan, kita menjadi tega menghabisi sesama manusia. Dalam konteks berbangsa dan bernegara artinya sesama rakyat Indonesia tega saling membunuh hanya karena fanatisme dan rivalitas semu akan sebuah olahraga bernama sepakbola. Sebuah olahraga yang harusnya menjadi alat pemersatu dan penanaman nilai-nilai positif bagi generasi bangsa.
Meski tak pernah lepas dari tradisi kekerasan tak dapat dipungkiri bahwa supporter sepakbola merupakan salah satu daya tarik besar persepakbolaan negeri ini, mengingat disanalah letak salah satu
keunggulan sepakbola kita dari pada negara-negara lain yaitu terkait fanatisme
dan antusiasme yang luar biasa akan sepakbola, antusiasme suppoter dan
masyarakat Indonesia akan sepakbola begitu luar biasa sebagaimana diungkapkan
oleh Antony Sutton dalam bukunya “Sepak Bola : The Indonesian Way of Life”, Antony mengatakan bahwa supporter
sepakbola di Indonesia memiliki gairah yang besar akan sepakbola, fanatisme
sepakbola di Indonesia adalah yang terbaik di Asia Tenggara bahkan Asia.
Namun sangat disayangkan, modal fanatisme dari supporter
yang begitu luar biasa tersebut belum bisa di optimalkan secara optimal untuk menjadi sebuah kekuatan, kesatuan dan sumberdaya
sosial dalam membangun persepakbolaan yang beradab dan profesional, fanatisme dari para
supporter sering mengarah kepada fanatisme negatif khususnya terhadap para
kelompok supporter lain yang terlilit tali “Rivalitas”. Oleh karenanya, hal-hal
anarkis dan nir moral seperti tawuran, pengrusakan hingga pembunuhan tak henti
selalu menghiasi wajah persepakbolaan nasional dari waktu ke waktu.
Saya seringkali membayangkan, atau bermimpi mungkin lebih
tepatnya, para supporter di seluruh Indonesia bisa bersatu, rukun dan kompak
dalam balutan fanatisme yang positif, jika itu terjadi bisa dibayangkan betapa
khidmatnya menonton sepakbola, tidak ada tawuran, tidak pengrusakan, tidak ada
nyanyian agitasi, tidak ada tindakan anarkis dan tentunya tidak ada pembunuhan.
Perpaduan antara fanatisme dan kedewasaan hmm pasti mampu melahirkan sesuatu
yang luar biasa. Lalu saya berpikir apakah bisa seperti itu di tengah suhu
rivalitas berbalut dendam yang mengakar kuat ?.
Saya pikir bisa meski tidak mudah dan butuh waktu yang tidak
sedikit, dimana diperlukan upaya yang masif dan peran optimal dari para pihak terkait
seperti PSSI, media, para pemimpin atau pentolan supporter yang memilki
pengaruh, dan tentunya aparat kepolisian baik melalui upaya represif maupun preventif.
PSSI dapat menggunakan otoritas kewenangan memberikan sanksi
kepada klub jika para supporternya melakukan tindakan-tindakan terlarang,
sehingga hal tersebut kiranya dapat menekan atau meminimalisir para supporter
untuk tidak berbuat anarkis atau tindakan-tindakan terlarang dengan tesis bahwa
supporter tentu mencintai klub kebanggaanya, kemudian media, media harus memberikan
berita yang menyemai perdamaian tanpa mengaburkan fakta, media jangan justru
menjadi pemanas atau peniup sumbu api pertikaian para kelompok supporter dengan
berita yang provokatif, berikutnya, para pentolan atau pemimpin kelompok
supporter yang memiliki pengaruh besar untuk mempengaruhi para Grassroot harus senantiasa memberikan
narasi-narasi perdamaian kepada para akar rumput (untuk mengikis dendam ) serta kontinu berkomunikasi
dengan para pemimpin kelompok supporter lain, dengan begitu, setidaknya akan
dapat memperkecil peluang para supporter akar rumput untuk berbuat anarkis dan melakukan tindakan nir moral,
karena dalam kelompok supporter sendiri paham patrimonialistik (patuh pada
pemimpin) saya kira masih kuat, terakhir, pihak kepolisian harus memiliki sikap
tegas baik secara represif melalui penegakan hukum pidana jika ada unsur
pidana yang dilakukan oleh para supporter maupun secara preventif dengan jalan
memberikan shock teraphy berupa tidak
mengeluarkan izin pertandingan kepada sebuah klub yang para supporternya
berbuat tindakan anarkis.
Keempat pihak tersebut hendaknya mampu berperan optimal
sesuai peran dan porsinya masing-masing untuk menciptakan iklim persepakbolaan
nasional yang damai dan kondusif, sepakbola kita sudah miskin dan kering
prestasi, jadi janganlah ditambahi bumbu anarkisme dan tindakan nir moral
seperti tawuran, penganiayaan hingga pembunuhan yang membuat wajah persepakbolaan kita makin suram.
Agaknya memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan
usaha yang tidak mudah untuk bisa mewujudkan mimpi perdamaian dari para kelompok
supporter khususnya yang terlibat rekam jejak “Rivalitas”. Butuh waktu untuk
dewasa dalam menyikapi dan memahami
esensi sepakbola serta menghapus segala dendam yang tersemat. Akan tetapi mimpi
dan harapan itu haruslah terus kita rawat bersama jangan pernah padam.
Olahraga sendiri ( tentunya termasuk sepakbola) pada dasarnya adalah
sarana untuk membagun persahabatan dan persatuan, maupun menanamkan nilai moral
dan ahlak mulia sebagaimana yang termaktub dalam dalam Undang-Undang Sistem
Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Maka cita-cita filosofis dari
olahraga nan mulia itu hendaknya harus kita wujudkan bersama demi kokohnya
ketahanan nasional ( secara umum ) dan demi iklim sepakbola yang damai dan
kondusif ( secara khusus ).
Semoga Haringga Sirla adalah korban terakhir dari ganasnya
iklim sepakbola Indonesia, dan atas peristiwa memilukan tersebut semoga semua pihak
dapat melakukan instospeksi dan koreksi diri demi mendukung kemajuan sepakbola Indonesia
kedepan.
Sepakbola harusnya membahagiakan dan menyatukan bukan justru membahayakan dan memilukan.
Sepakbola harusnya membahagiakan dan menyatukan bukan justru membahayakan dan memilukan.
Selesai.........