Rabu, 16 September 2020

KEMERDEKAAN SUBSTANTIF

 

Apakah Indonesia sudah merdeka? Iya, Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Secara fisik Indonesia memang telah merdeka sejak 75 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, saat Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dihadapan puluhan ribu rakyat Indonesia di Jl Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Momen tersebut menandai lahirnya negara Indonesia sekaligus menyudahi masa penjajahan Jepang.

75 tahun sudah Indonesia merdeka secara de facto maupun de jure, namun kemerdekaan yang hakiki atau sering disebut kemerdekaan substantif belum jua membumi di bumi pertiwi. Kemerdekaan substantif meliputi: kemerdekaan material (berdikari di bidang ekonomi), kemerdekaan struktural (berdaulat dalam sosio-politik), dan kemerdekaan kultural (berkepribadian dalam budaya).

Di bidang ekonomi, kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah pelik. Menurut Bambang Widianto, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (9/10/2019), Indonesia menempati peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan tingkat kesenjangan sosial tertinggi. 1 persen warga negara Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.

Berdasarkan data BPS pada September 2019 lalu, ratio gini Indonesia berada di angka 0,38. Data ini menunjukkan bahwa kesenjangan sosial di Indonesia menjadi problematika serius rezim pemerintahan Jokowi maupun rezim pemerintahan ke depan. Terlebih, saat ini pandemi Covid-19 sedang melanda dan resesi ekonomi global juga turut mengancam.

Selain kesenjangan sosial, kemiskinan juga masih menjadi problematika akut bangsa Indonesia. Menurut data BPS pada September 2019, presentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,22 persen atau setara 24,79 juta orang. Kemiskinan sendiri diukur dari kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Artinya, ketika harga komoditi kebutuhan dasar naik, dapat dipastikan angka kemiskinan juga akan turut meningkat. Apalagi saat ini pandemi Covid-19 tengah melanda. Banyak penduduk kehilangan pekerjaan, penurunan pemasukan, daya beli menurun, dan harga-harga kebutuhan pokok juga relatif meningkat. Secara eksternal, resesi ekonomi global juga mengancam. Maka, dibutuhkan konsolidasi dan kebijakan ekonomi yang kuat dan presisi agar kesenjangan sosial dan kemiskinan tidak melebar semakin parah menjadi sebuah krisis ekonomi berkepanjangan.

Selain dari sisi kesenjangan sosial dan kemiskinan, perihal utang luar negeri juga harus mendapatkan atensi. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri pada akhir Mei 2020 sebesar 404,7 miliar dollar AS atau setara  Rp. 5.868 triliun (kurs Rp. 14.500). Utang tersebut terdiri dari utang sektor publik sebesar 194,9 miliar dollar AS dan utang sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar. Utang luar negeri diprediksi akan terus meningkat sejalan dengan efek derivasi dari upaya penanggulangan Covid-19. Utang luar negeri yang semakin meningkat membuat berdikari di bidang ekonomi semakin jauh panggang dari api.

Kemudian dari sisi sosio-politik, menguatnya oligarkhi politk dan kuasa uang membuat ruang demokrasi mengejawantah sebagai demokrasi semu (pseudo-democrazy) sehingga tidak mampu mewujudkan welfare state. Oligarkhi politik menyebabkan ruang politik dan demokrasi hanya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Sehingga kebijakan-kebijakan publik yang lahir pun condong pada dimensi kapitalisme-oportunis. Di sisi lain, kuasa uang membuat independensi dan idealisme rakyat tergerus. Menurut Burhanudin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang, fenomena kuasa uang menyebabkan rakyat terbelenggu karena memiliki “utang politik” kepada kontestan politik.

Dari sisi relasi sosial, masyarakat sendiri juga cukup permisif terhadap politik uang. Menurut survei Lembaga Ilmu Penghetahuan Indonesia pada pemilu 2019 lalu, 37 persen responden mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Realitas ini mendeskripsikan bahwa masyarakat masih memandang politik uang merupakan bagian dari pemilu. Lemahnya penegakan hukum dan nihilisme peran partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat membuat praktik politik uang tetap sustainable.

Selanjutnya dari sisi kemerdekaan kultural, bisa dipahami pada negara yang sedang dalam proses membangun, potensi represifitas negara terhadap dimensi-dimensi kultural akan meninggi khususnya terkait pemenuhan hak ulayat. Selain itu, efek globalisasi dan kelindan faktor sosio-ekonomi juga turut berkontribusi dalam menggerus nilai-nilai sosio-kultural. Hal inilah yang menyebabkan rakyat Indonesia semakin jauh dari penghayatan terhadap kekayaan budaya yang dimilikinya. Karakter adiluhung dan toleransi kebhinekaan yang dahulu menjadi atribut dan trademark rakyat Indonesia semakin tergerus. Dalam ruang sosial semakin lazim kita jumpai tindakan-tindakan nir-kebhinekaan dan intoleransi yang mencederai ikatan kohesi sosial.

Solusi

Kunci untuk mewujudkan kemerdekaan substantif menurut saya sangat ditentukan oleh relasi idealitas-integratif antara demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan. Entitas demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan harus berada pada tataran respirokal-fungsional. Itu pun butuh waktu yang panjang.

Demokrasi memegang peranan penting dalam tertib bernegara, tidak hanya perihal distribusi kekuasaan dan pengambilan kebijakan, tetapi juga soal konsolidasi baik dalam tataran vertikal maupun horizontal. Idealitas ruang demokrasi terwujud manakala faktor kompetensi-integritas lebih dominan dari pada faktor politis-material. Namun kondisi ideal tersebut nampaknya hanya ada dalam teori ilmu politik tidak pada realitas. Meskipun demikian, penguatan demokrasi harus terus dilakukan, revitalisasi secara sinergis-integratif antara pilar-pilar demokrasi (eksekutif, yudikatif, legislatif, pers, parpol, dan civil society) harus terus dibangun secara kontinu.

Kemudian, nomokrasi berfungsi sebagai kanalisator agar ketertiban dan perubahan sosial dapat berjalan on the track sebagaimana nilai idealitas dan tertib bernegara. Entitas nomokrasi harus terus diperkuat baik dari sisi substansi, struktur, maupun kultur. Kelembagaan hukum juga harus terus diperkuat baik dari sisi anggaran, fasilitas, pengawasan, dan kualitas sumber daya manusia.

Sedangkan pendidikan berfungsi sebagai optimalisasi potensi sumber daya manusia. Pendidikan harus terus diperkuat agar dapat berperan fungsional untuk memaksimalkan bonus demografi Indonesia. Permasalahan laten dunia pendidikan adalah terkait kurikulum yang terlalu berat dan tidak efektif, kesenjangan fasilitas, kultur akademik formalistik, kualitas pendidik, dan belenggu administratif pendidikan. Konkretnya, dibutuhkan sebuah restorasi konseptual dan praktikal dalam ranah pendidikan kita secara komprehensif.

Akhir sekali, kunci untuk mewujudkan kemerdekaan substantif yang meliputi kemerdekaan material, kemerdekaan struktural, dan kemerdekaan kultural adalah melalui fungsionalisasi entitas demokrasi, nomokrasi, dan pendidikan. Maka dari itu, diperlukan restorasi-idealitas, sinergitas, responsibilitas, dan daya kolektifitas dari seluruh elemen bangsa. Mampukah?

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar