Rabu, 16 September 2020

SEPAK BOLA INDONESIA DAN PRIMORDIALISME

 

Apa yang membedakan sepak bola dengan cabang olah raga lainnya? Misalnya dengan volly, futsal, atau basket yang sama-sama olah raga kolektif? Perbedaannya mungkin banyak, namun ada satu dimensi perbedaan yang sangat segregratif yang membedakan sepak bola dengan cabang olah raga lain.

Sepak bola adalah satu-satunya cabang olah raga yang memiliki relasi erat dengan entitas primordialisme. Primordialisme adalah suatu perasaan intrinsik yang tertanam kuat dalam diri seseorang yang melahirkan kebanggaan, dedikasi, emosi, dan fanatisme terhadap entitas-entitas primordial, seperti: suku, etnis, agama, dan kedaerahan. Primordialisme sendiri bersifat perenial (abadi) yang berakar dalam psike setiap manusia.

Secara teoritik, primordialisme sendiri terbagi dalam dua segi. Pertama, hard primordialism. Adalah rasa primordialisme yang keras dan rigid. Bersifat non-akomodatif dan cenderung destruktif. Atribut yang melekat pada hard primordialsm adalah adanya militansi dan rasa fanatisme yang berlebihan sehingga berpotensi melahirkan konflik atau friksi dalam realitas sosial.

Kedua, soft primordialsm. Yakni fanatisme dan kesetiaan pada entitas primordial, akan tetapi di sisi lain disertai dengan kesadaran akan pentingnya menjaga relasi harmonis dan kohesi antar spektrum primordial demi terwujudnya kenyamanan dan kemaslahatan bersama.

Relasi antara sepak bola dan primordialisme di Indonesia sendiri terjalin sangat erat. Eksesnya, sepak bola pun bertransformasi sebagai magnet dan identitas kedaerahan. Maka tak heran, klub-klub sepak bola di Indonesia kemudian mengejawantah sebagai trademark, maskot, identitas, hingga “harga diri” daerah. Bahkan, klub sepak bola kemudian bertranformasi sebagai personifikasi dari sebuah daerah.

Sebut saja, PSM Makassar yang mengejawantah sebagai identitas dan kebanggaan kota Makassar dan provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, Persebaya Surabaya yang menjelma sebagai trademark kota Surabaya, Arema yang sangat identik dengan kota Malang, hingga Persib yang bertransformasi sebagai maskot kota Bandung dan provinsi Jawa Barat pada umumnya.

Relasi primordialisme dalam sepak bola Indonesia sendiri terjalin secara historis, kultural, dan sosiologis. Inilah yang kemudian menjadi serat pembeda antara sepak bola dengan cabang olah raga lainnya. Dalam setiap pertandingan sepak bola tidak hanya tersaji spirit profesionalisme (atas nama klub) namun juga perjuangan primordialisme (atas nama daerah).

Ada keterikatan rasa, cinta, emosi, kebanggaan, militansi, loyalitas, fanatisme, dan spirit kedaerahan (harga diri) dengan daya yang besar. Inilah yang menjadi alasan mengapa ketika sebuah klub sepak bola di Indonesia memenangkan kompetisi, maka pesta perayaan akan digelar dan dirayakan oleh mayoritas masyarakat di mana klub tersebut berdomisili. Ada kebanggaan primordial yang menyatukan masyarakat dalam satu spirit kolektif (rasa memiliki). Fenomena seperti inilah yang tidak bisa terjadi pada cabang olah raga lain.

Relasi yang erat antara primordialisme dan sepak bola di Indonesia melahirkan beberapa implikasi. Pertama, sepak bola dapat menjadi ceruk bisnis baik yang bersifat makro maupun mikro. Fanatisme sebagai konsekuensi logis dari relasi primordialisme dalam sepak bola merupakan potensi ekonomi yang menjanjikan baik bagi entitas sepak bola itu sendiri maupun bagi dimensi eksternal dalam sepak bola. Secara makro, fanatisme merupakan modal ekonomis yang baik bagi tumbuhnya industri sepak bola. Sedangkan secara mikro, fanatisme dalam sepak bola dapat menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat.

Kedua, sepak bola dapat menjadi sarana politis. Klub sepak di Indoneisa telah bertransformasi sebagai identitas dan personifikasi daerah. Hal ini membuat klub sepak bola di Indonesia relatif memiliki basis massa yang besar baik suporter maupun penonton/simpatisan. Atribut inilah yang membuat aktor-aktor politis seringkali membangun personal branding melalui kepedulian, atensi, dan keterlibatan dalam sebuah klub sepak bola. Berkecimpung dalam pengurusan klub sepak bola merupakan jaminan baku bagi teraihnya popularitas (setidaknya di daerah di mana klub tersebut berdomisili). Popularitas sendiri merupakan modal sosial nan potensial bagi setiap orang untuk berkarir dan berkarya dalam dunia politis.

Ketiga, sepak bola dapat menyebabkan konflik horizontal. Relasi primordialisme dalam sepak bola Indonesia seringkali mengarah kepada hard primordialsm yang ditandai lahirnya militansi dan fanatisme buta terhadap klub kebanggaan. Hard primordialsm melahirkan hegemoni dan loyalitas absolut bahwa klub adalah harga diri yang tidak boleh diusik oleh siapapun. Inilah yang kemudian menjadi jawaban mengapa kerap terjadi konflik horizontal antar pendukung klub sepak bola di Indonesia khususnya pada klub-klub yang secara historis memiliki aroma rivalitas yang kuat.

Pada prinsipnya, relasi primordialisme dalam sepak bola Indonesia harus dimanage agar dapat memberikan sumbangsih produktif dan konstruktif bagi iklim sepak bola Indonesia, bukan malah sebaliknya, justru menjadi alasan bagi timbulnya hal-hal non-produktif dan destruktif bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Saya kira hal ini menjadi tanggung jawab kolektif dan holistik seluruh elemen sepak bola Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar