Menurut
Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap
dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir untuk menciptakan, memelihara, dan menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
Prof.
Satjipto Rahardjo dalam buku Sosiologi
Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (2002) memberikan definisi penegakan
hukum sebagai suatu usaha mewujudkan ide-ide keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum menjadi kenyataan. Penegakan hukum hakikatnya adalah proses
perwujudan ide-ide.
Apa
yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto dan Satjipto Rahardjo di atas merupakan
pengertian penegakan hukum dalam arti sosiologis (menyerasikan hubungan nilai) dan
arti filosofis (perwujudan ide-ide). Sedangkan secara yuridis-normatif,
penegakan hukum merupakan kegiatan untuk menegakkan dan memfungsikan
norma-norma hukum sebagai pedoman perilaku dalam relasi hubungan privat (hukum
privat) maupun perkara publik (hukum publik). Secara lebih konkret, penegakan
hukum dapat diartikan sebagai usaha menegakkan hukum materil dengan menggunakan
sarana hukum formil.
Ditinjau
dari sudut subyeknya. Penegakan hukum dapat ditelaah dalam arti yang luas
maupun konkret (sempit). Dalam arti luas, penegakan hukum melibatkan semua
subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan
hukum positif atau melaksanakan sesuatu maupun tidak melaksanakan sesuatu dengan
alasan basis aturan hukum, maka subyek tersebut pada dasarnya telah menegakkan
hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum merujuk pada tugas dan kewajiban
secara spesifik dari aparatur penegak hukum untuk menegakkan norma hukum yang
berlaku.
Penegakan
hukum dalam arti yuridis dan subyek yang konkret salah satunya adalah penegakan
hukum pidana. Penegakan hukum pidana sendiri didefinisikan sebagai proses
yuridis menegakkan hukum pidana materil dengan sarana hukum pidana formil
(KUHAP) untuk melindungi kepentingan hukum publik baik negara, masyarakat,
maupun individu.
Dalam
praktis implementasinya, penegakan hukum pidana dilaksanakan melalui sistem
prosedural bernama sistem peradilan pidana yang melibatkan kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai sebuah kesatuan mekanisme kerja
yang integral.
Secara
teoritik maupun praktis, efektivitas penegakan hukum pidana juga sangat
dipengaruhi oleh beberapa variabel sebagaimana dijelaskan oleh teori efektivitas
hukum, Soerjono Soekanto dalam buku Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (2008), yang meliputi: faktor hukumnya
sendiri (aturan), faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Teori
efektivitas hukum inilah yang kemudian dapat menjadi basis konstruksi
penjelasan terkait distingsi penegakan hukum pidana Joseph Golstein. Joseph
Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian. Total enforcement, full enforcement, dan actual
enforcement.
Pertama,
total enforcement. Adalah penegakan
hukum pidana sebagaimana dirumuskan oleh hukum pidana materil (substantif).
Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin bisa diaktualisasikan
secara real mengingat adanya
pembatasan-pembatasan prosedural dalam hukum acara pidana. Selain itu,
terkadang hukum pidana materil itu sendiri yang memberikan batasan-batasan,
misalnya terkait delik aduan.
Kedua,
full enforcement. Adalah ruang
lingkup penegakan hukum pidana yang tersisa dari area total enforcement. Dalam penegakan hukum pidana full enforcement penegak hukum
diharapkan mampu menegakkan hukum pidana secara maksimal, walaupun ada
keterbatasan-keterbatasan praktis.
Ketiga,
actual enforcement. Menurut Joseph
Golstein, full enforcement dianggap
sebagai not a realistic expectation yang
disebabkan adanya keterbatasan-keterbatasan teknis seperti jumlah personil,
sarana dan pra-sarana, maupun biaya yang pada akhirnya mengharuskan adanya
diskresi maupun keterasingan jangkauan penegakan hukum (penegakan hukum
asimetris). Sisa area dari total
enforcement dan full enforcement inilah
yang disebut sebagai actual enforcement.
Berdasarkan
prinsip actual enforcement inilah
seringkali terwujud fenomena penegakan hukum pidana asimetris. Penegakan hukum
pidana asimetris merupakan penegakan hukum yang bersifat parsial dalam satu
obyek perkara pidana tertentu yang sama namun dilakukan di waktu atau tempat
yang berbeda karena latar belakang adanya keterbatasan teknis dalam penegakan
hukum pidana.
Contoh sederhana penegakan hukum
pidana asimetris, misalnya si A mengendarai sepeda motor tanpa SIM dan helm di
jalanan yang sepi jauh dari kota, tidak ditilang oleh polisi karena kebetulan
tidak ada operasi kepatuhan lalu lintas. Sedangkan si B mengendarai sepeda
motor tanpa SIM dan helm di jalanan kota dan ditilang polisi yang melaksanakan
operasi kepatuhan lalu lintas.
Dari fenomena tersebut, pada
dasarnya si A maupun si B telah melakukan pelanggaran pidana terkait hukum lalu
lintas. Akan tetapi, pada keduanya tidak terjadi penegakan hukum pidana yang
sama. Si A aman dari tilang karena tidak ada operasi kepatuhan lalu lintas,
sedangkan si B ditilang karena di jalan yang dilaluinya terdapat operasi
kepatuhan lalu lintas.
Peristiwa
tersebut merupakan contoh aktualisasi penegakan hukum pidana yang secara
empiris terkendala oleh keterbatasan-keterbatasan teknis sehingga terjadi
penegakan hukum pidana asimetris sebagaimana penegakan hukum pidana actual enforcement yang dikemukakan oleh
Joseph Golstein. Penegakan hukum pidana asimetris sendiri seringkali terjadi
pada tindak pidana yang bersifat pelanggaran (mala in prohibitia) namun beberapa juga terjadi pada tindak pidana
kejahatan (mala in se).