Senin, 02 Agustus 2021

FATWA MUI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

 

Pada saat pemilu 2019 lalu, saya teringat sebuah peristiwa dimana Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait haramnya golput dalam pemilu menyeruak dan menimbulkan diskursus bahkan kontroversi di tengah masyarakat yang terpolarisasi.

Secara substansi, Fatwa MUI terkait haramnya golput berisi larangan bagi umat Islam untuk golput atau tidak menggunakan hak pilih pada pemilu jika terdapat calon yang memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan.

Sejujurnya, fatwa tersebut dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Namun, naiknya ekskalasi suhu politik ketika itu, membuat Fatwa MUI terkait haramnya golput memantik reaksi yang menurut saya (ketika itu) tidak dilandasi oleh bekal pemahaman dan penghetahuan yang memadai.

Ketika itu, masyarakat terbelah dalam menyikapi keluarnya Fatwa MUI terkait haramnya golput. Ada yang mengapresiasi, karena hal itu menunjukkan sikap dan kepedulian MUI akan entitas ruang demokrasi, namun tidak sedikit pula yang mencerca serta mengaitkannya dengan tendensi kepentingan politis salah satu paslon capres-cawapres guna mendongkrak suara pada pemilu mendatang.

Golongan yang (akan) golput pada pemilu waktu itu pun meradang, bahkan ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa Fatwa MUI tersebut telah membinasakan dan membatasi hak asasi manusia tentang kemerdekaan pikiran dan hati nurani yang menurut ketentuan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tergolong sebagai hak non-derogable right atau hak yang tidak bisa dibatasi dan dikurangi dalam keadaan apapun.

Pendapat tersebut terkesan lucu, lha wong Fatwa MUI kan bukan hukum positif (formal) yang keberlakuannya tidak bisa dipaksakan dengan menggunakan sanksi hukum serta alat-alat kekuasaan negara. Lalu apa yang dibinasakan dan dibatasi? Kan setiap orang tetap memiliki kebebasan bersikap tanpa melahirkan implikasi sanksi heteronom (sanksi negara). Kecuali kalau ada undang-undang yang mengatur bahwa golput dapat dipidana nah itu baru bisa disebut sebagai pembinasaan dan pembatasan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.

Perlu dipahami bahwa Fatwa MUI itu pendapat hukum (legal opinion) bukan hukum dalam arti formal, sehingga boleh diikuti boleh juga tidak. Bagi pihak yang merasa terikat dengan Fatwa MUI tersebut, maka akan melahirkan sanksi otonom atau sanksi pribadi misalnya merasa berdosa jika tidak melakukannya. Sebaliknya, bagi pihak yang merasa tidak terikat dengan Fatwa MUI tersebut ya tidak akan melahirkan sanksi apapun.

Tidak hanya Fatwa MUI, Fatwa Mahkamah Agung sekalipun juga bukan merupakan hukum formal. Tetapi, legal opinion yang tidak bersifat imperatif namun bersifat sebagai bahan pertimbangan terkait problematika hukum tertentu, yang boleh diikuti maupun tidak diikuti tanpa konsekuensi hukum apapun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah diatur mengenai hierarkhi dan jenis peraturan perundang-undangan beserta ketentuan implikasi hukum tertentu. Berdasarkan undang-undang tersebut, dapat diketahui bahwa secara letterlijk Fatwa MUI tidak tergolong sebagai peraturan perundang-undangan (hukum formal).

Meskipun tidak termasuk sebagai hukum formal yang keberlakuannya tidak bisa dipaksakan secara imperatif dengan sanksi negara dan alat kelengkapan negara, namun kehadiran Fatwa MUI dalam ruang sosial-kenegaraan tetap penting sebagai rujukan umat muslim terkait bagaimana menyikapi fenomena atau problematika aktual yang belum terang bagaimana hukum syar’inya. Oleh karena itu, Fatwa MUI berfungsi sebagai opinion maker yang berfungsi untuk menuntun umat menuju tata kehidupan dan perilaku yang baik (saleh) yang kemudian akan berimbas positif bagi relasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar