Senin, 02 Agustus 2021

LEGALITAS DAN LEGITIMASI HUKUM

            Konsepsi mengenai hukum setidaknya dapat ditelaah dalam tiga tinjauan perspektif yakni filosofis, sosiologis, dan normatif-yuridis. Ketiga tinjauan perspektif tersebut memiliki basis validitas dan value yang berbeda satu sama lain. Meskipun pada dasarnya tidak saling kontradiktif, namun secara empirik, integrasi antara ketiganya dalam suatu entitas yang sama agaknya cukup sulit atau jarang terwujud.

Secara filosofis, hukum dikonsepsikan sebagai asas dan nilai keadilan yang bersifat kodrati dan universal. Dalam tinjauan filosofis, hukum harus inheren dengan nilai keadilan. Validitas sebuah hukum ditentukan dari unsur materialnya apakah mengandung nilai dan konsepsi mengenai keadilan atau tidak. Basis filosofis, acuannya adalah idealitas atau norma dasar.

            Secara sosiologis, hukum dikonsepsikan sebagai gejala sosial dan realitas-realitas empirik yang mempengaruhi pola perilaku dan hubungan sosial masyarakat. Dalam tinjauan sosiologis, validitas sebuah hukum ditentukan dari unsur fungsionalnya dalam ruang sosial. Basis sosiologis, acuannya adalah realitas empiris.

            Terakhir, secara yuridis-normatif, hukum dikonsepsikan sebagai peraturan formal yang dibentuk oleh lembaga atau pejabat resmi yang berwenang (in abstracto) serta putusan pengadilan (in concreto). Dalam tinjauan yuridis-normatif, validitas sebuah hukum ditentukan oleh unsur formal subyektif (yang berwenang) dan unsur formal obyektif (prosedural). Basis yuridis-normatif, acuannya adalah prosedur formal.

            Jika dilihat dalam kerangka nilai keberlakuan hukum, perspektif filosofis dan perspektif sosiologis memiliki adresat terhadap aspek legitimasi hukum. Sedangkan perspektif yuridis-normatif memiliki adresat terkait aspek legalitas hukum.

            Legalitas berbeda dengan legitimasi. Legalitas berbicara mengenai keabsahan secara formal-prosedural sedangkan legitimasi berbicara mengenai penerimaan secara substansial yang dilatarbelakangi adanya relevansi terhadap aspek fungsional dan akomodasi aspirasi.

            Dalam realitasnya, seringkali kita menjumpai sebuah peraturan perundang-undangan (hukum) yang sah secara legalitas formal namun tidak memiliki aspek legitimasi hukum. Dampaknya, aturan hukum yang seperti itu akan mendapatkan resistensi dan penolakan yang luas dari publik.

Contoh aktual adalah mengenai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 yang salah satu substansinya mengatur mengenai perizininan industri minuman keras secara asimetris. Meskipun peraturan hukum tersebut memenuhi aspek legalitas formal, namun peraturan hukum tersebut tidak memiliki basis legitimasi hukum, karena bertentangan dengan nilai filosofis (moral bangsa) dan aspirasi sosiologis.

Kemudian ada juga fenomena terkait sebuah peraturan hukum yang absah secara yuridis dan tidak bertentangan dengan konstitusi namun bertentangan dengan nilai filosofis dan sosiologis sebagai sebuah konstruksi hukum. Misalnya Undang-Undang Pilkada yang tidak memberikan larangan terhadap praktik dinasti politik atau Undang-Undang MD3 yang tidak membatasi periodesasi masa jabatan anggota DPR. Aturan tersebut memang sah secara hukum dan konstitusi, namun aturan tersebut telah mencederai prinsip demokrasi (kesetaraan) dan regenerasi kepemimpinan yang berafiliasi dengan aspek filosofis dan sosiologis hukum.

Ada juga fenomena sebuah peraturan hukum yang memenuhi aspek filosofis dan sosiologis namun bertentangan dengan aspek yuridis-normatif. Misalnya saat KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang membatasi hak eks narapidana korupsi untuk ikut dalam kontestasi calon legislatif. Aturan hukum tersebut secara filosofis dan sosiologis mungkin baik, akan tetapi tidak memenuhi aspek yuridis-normatif, karena pembatasan hak asasi manusia menurut konstitusi hanya bisa dilakukan dengan basis hukum undang-undang bukan aturan hukum di bahwa undang-undang.

Oleh karena itu, hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi aspek filosofis, aspek sosiologis, dan aspek yuridis. Dengan demikian, hukum tersebut akan memiliki keberlakukan yang kuat baik secara idealitas, realitas-fungsional, dan formalitas. Konkretnya, hukum yang baik adalah hukum yang memiliki basis legitimasi sekaligus legalitas hukum.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar