Secara
retrospektif, dinamika peradaban bangsa barat dapat dilihat dalam 3 periodesasi
peradaban. Pertama, era dark ages
sekitar abad ke-5 hingga abad ke-15 masehi. Era dark ages ditandai dengan munculnya subordinasi dan otoritas
absolut gereja dalam kehidupan masyarakat barat. Tidak hanya perihal agama
melainkan juga dalam dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Ukuran kebenaran dan
keadilan dalam ruang sosial mutlak menjadi otoritas gereja. Kondisi tersebut membuat
peradaban bangsa barat mengalami periodesasi terburuknya. Pada era dark ages tidak ada penghargaan terhadap
rasionalisme (akal) dan humanisme. Hal ini membuat perkembangan peradaban
bangsa barat mengalami stagnansi.
Kedua,
era rennaisans sekitar abad ke-15
hingga 17 masehi. Rennaisans berasal
dari kata renaitre yang memiliki arti
“Kehidupan baru”. Latar belakang dari lahirnya gerakan rennaisans tentunya berkaitan dengan kemunduran peradaban barat
akibat subordinasi gereja dalam dimensi kehidupan masyarakat yang terlalu luas.
Oleh karena itu, ghiroh dari gerakan rennaisans yang dipelopori oleh para
ilmuwan-ilmuwan barat adalah untuk memperkecil otoritas gereja (sekulerisasi)
sembari memberikan penghargaan terhadap akal-budi manusia untuk mendorong
perubahan. Era rennaisans sendiri
merupakan masa transisi masyarakat barat dari periodesasi gelap (dark ages) menuju periodesasi kemajuan (aufklarung).
Ketiga,
era aufklarung sekitar abad ke-17
hingga 19 masehi. Ini adalah masa pencerahan/kemajuan bagi bangsa barat. Di
masa ini, kemampuan akal mendapat marwahnya serta digunakan untuk mendorong
kemajuan-kemajuan baik secara sosial-politik maupun teknologi-ekonomi. Di masa aufklarung inilah lahir gagasan-gagasan
besar mengenai konsep ketatanegaraan yang memberikan sumbangsih besar bagi
perkembangan dunia. Jargon yang terkenal di era aufklarung adalah sapere aude
yang artinya beranilah berpikir sendiri. Pada masa aufklarung inilah titik balik bagi kemajuan peradaban bangsa barat.
Dalam
konteks retrospektif peradaban barat, apa yang terjadi pada bangsa barat secara
values juga memiliki relevansi dengan
apa yang terjadi pada Indonesia. Indonesia pernah mengalami masa dark ages yakni masa orde baru. Masa
orde baru adalah masa di mana otoritarianisme dan represifitas negara begitu
kuat dan masif. Pelanggaran HAM dan non-demokratis adalah ciri paling khas dari
era orde baru. Kemudian, Indonesia juga pernah dan sedang mengalami masa rennaisans yakni masa reformasi. Masa
transisi dan demokratisasi menuju era kemajuan atau aufklarung. Selanjutnya, 100 tahun peringatan kemerdekaan Indonesia
pada 2045 mendatang seharusnya bisa menjadi era aufklarung bagi peradaban bangsa Indonesia.
Melihat Indonesia 2045
Pertama,
inklusi sosial berbasis spiritual-kebangsaan. Inklusi sosial secara sederhana
dapat diartikan sebagai sebuah ruang interaksi sosial yang terbuka, egaliter,
bhinneka, dan adil. Di Indonesia sejauh ini, inklusi sosial yang terbentuk
masih bersifat kalkulasi mayoritas-minoritas, sektoral dan sporadis, maka tak
heran perilaku-perilaku intoleransi dan nir-pluralisme kerap terjadi. Maka, ke
depan ruang inklusi sosial harus direvitalisasi menjadi inklusi sosial yang
berbasis spiritual dan kebangsaan.
Dalam
arti, values dari inklusi sosial
harus dilandasi dan diarahkan guna menyemai kehidupan spiritual yang moderat
dan kemajuan peradaban bangsa, tidak boleh ada tempat bagi egoisme mayoritas,
eksklusifitas, dan ekstrimisme. Di era globalisasi, kemajuan hanya bisa diraih
dengan adanya sinergi dari beragam dimensi perbedaan. Inklusi sosial berbasis
spiritual-kebangsaan bisa terwujud dengan adanya restorasi sistem pendidikan
yang menekankan keseimbangan antara intelektual-kognitif, karakter-spiritual,
dan altruisme-kebangsaan. Selain itu, di tingkat middle-class dan grassroots moderasi
beragama dan relasi primordial harus terus dirajut secara
respirokatif-produktif.
Kedua,
perubahan sosial-ekonomi yang berkeadilan sosial dan berbasis pembangunan
berkelanjutan. Saat ini tingkat kesenjangan sosial di Indonesia masih cukup
tinggi. Menurut data dari BPS, ratio gini
Indonesia pada Maret 2020 sebesar 0,381. Kesenjangan sosial inilah yang
kemudian menjadi penyebab dari kemiskinan struktural yakni ketidakmampuan
otoritas kekuasaan dan struktur sosial untuk mengalokasikan sumber daya
sosial-ekonomi secara adil. Di sisi lain, pembangunan sosial-ekonomi sendiri
kerap “diselundupkan” untuk kepentingan pragmatis-koruptif yang merusak tiang
pembangunan berkelanjutan dan ekologi.
Maka,
perubahan sosial-ekonomi ke depan harus berbasis keadilan sosial (keadilan
distributif-komutatif) dengan memperhatikan pembangunan berkelanjutan khususnya
terkait alokasi sumber daya alam dan perlindungan ekologi. Pembangunan
sosial-ekonomi tidak boleh merusak tatanan pembangunan berkelanjutan dan
eksistensi ekologi. Kunci untuk membuat perubahan sosial-ekonomi yang
berkeadilan sosial dan berbasis pembangunan berkelanjutan adalah penguatan
supremasi hukum, restorasi sistem politik oligarki menjadi sistem politik
kerakyatan, revitalisasi sistem partai politik, dan reformasi birokrasi menuju
birokrasi yang akuntabel, profesional, dan non-koruptif.
Ketiga,
revitalisasi masyarakat sipil menuju masyarakat sipil yang kontributif dan
kuat. Ini penting, karena salah satu unsur yang mendukung terwujudnya
demokratisasi adalah peran dari masyarakat sipil. Azyumardi Azra dalam
artikelnya berjudul Stagnansi Masyarakat
Sipil (Kompas, 5 Maret 2020) menilai
bahwa masyarakat sipil di Indonesia tengah mengalami stagnansi yang berakibat
pada mundurnya kualitas demokrasi. Memang ada beberapa kelompok masyarakat
sipil yang kontributif dan kuat tetapi hal demikian belum menjadi arus utama,
hanya segelintir.
Menurut
saya, ada beberapa hal penting terkait revitalisasi masyarakat sipil. Pertama,
dukungan konstruktif dari pihak eskternal baik akademisi, masyarakat, hingga
sinergi antar-masyarakat sipil. Kedua, strategi advokasi yang menekankan pada
spirit progresifitas, terencana, dan tepat sasaran. Ketiga, restorasi kultur
dan tata-kelola organisasi agar kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan oleh
kelompok masyarakat sipil tidak sekadar bersifat pragmatis-seporadis. Pada
prinsipnya, masyarakat sipil harus mampu menjadi counter balance yang kuat bagi pemerintah agar marwah demokrasi tetap
terjaga sekaligus meminimalisir potensi otoritarianisme.