Kamis, 25 Maret 2021

AUFKLARUNG INDONESIA: MELIHAT INDONESIA 2045

 

Secara retrospektif, dinamika peradaban bangsa barat dapat dilihat dalam 3 periodesasi peradaban. Pertama, era dark ages sekitar abad ke-5 hingga abad ke-15 masehi. Era dark ages ditandai dengan munculnya subordinasi dan otoritas absolut gereja dalam kehidupan masyarakat barat. Tidak hanya perihal agama melainkan juga dalam dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Ukuran kebenaran dan keadilan dalam ruang sosial mutlak menjadi otoritas gereja. Kondisi tersebut membuat peradaban bangsa barat mengalami periodesasi terburuknya. Pada era dark ages tidak ada penghargaan terhadap rasionalisme (akal) dan humanisme. Hal ini membuat perkembangan peradaban bangsa barat mengalami stagnansi.

Kedua, era rennaisans sekitar abad ke-15 hingga 17 masehi. Rennaisans berasal dari kata renaitre yang memiliki arti “Kehidupan baru”. Latar belakang dari lahirnya gerakan rennaisans tentunya berkaitan dengan kemunduran peradaban barat akibat subordinasi gereja dalam dimensi kehidupan masyarakat yang terlalu luas. Oleh karena itu, ghiroh dari gerakan rennaisans yang dipelopori oleh para ilmuwan-ilmuwan barat adalah untuk memperkecil otoritas gereja (sekulerisasi) sembari memberikan penghargaan terhadap akal-budi manusia untuk mendorong perubahan. Era rennaisans sendiri merupakan masa transisi masyarakat barat dari periodesasi gelap (dark ages) menuju periodesasi kemajuan (aufklarung).

Ketiga, era aufklarung sekitar abad ke-17 hingga 19 masehi. Ini adalah masa pencerahan/kemajuan bagi bangsa barat. Di masa ini, kemampuan akal mendapat marwahnya serta digunakan untuk mendorong kemajuan-kemajuan baik secara sosial-politik maupun teknologi-ekonomi. Di masa aufklarung inilah lahir gagasan-gagasan besar mengenai konsep ketatanegaraan yang memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan dunia. Jargon yang terkenal di era aufklarung adalah sapere aude yang artinya beranilah berpikir sendiri. Pada masa aufklarung inilah titik balik bagi kemajuan peradaban bangsa barat.

Dalam konteks retrospektif peradaban barat, apa yang terjadi pada bangsa barat secara values juga memiliki relevansi dengan apa yang terjadi pada Indonesia. Indonesia pernah mengalami masa dark ages yakni masa orde baru. Masa orde baru adalah masa di mana otoritarianisme dan represifitas negara begitu kuat dan masif. Pelanggaran HAM dan non-demokratis adalah ciri paling khas dari era orde baru. Kemudian, Indonesia juga pernah dan sedang mengalami masa rennaisans yakni masa reformasi. Masa transisi dan demokratisasi menuju era kemajuan atau aufklarung. Selanjutnya, 100 tahun peringatan kemerdekaan Indonesia pada 2045 mendatang seharusnya bisa menjadi era aufklarung bagi peradaban bangsa Indonesia.

Melihat Indonesia 2045

Pertama, inklusi sosial berbasis spiritual-kebangsaan. Inklusi sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah ruang interaksi sosial yang terbuka, egaliter, bhinneka, dan adil. Di Indonesia sejauh ini, inklusi sosial yang terbentuk masih bersifat kalkulasi mayoritas-minoritas, sektoral dan sporadis, maka tak heran perilaku-perilaku intoleransi dan nir-pluralisme kerap terjadi. Maka, ke depan ruang inklusi sosial harus direvitalisasi menjadi inklusi sosial yang berbasis spiritual dan kebangsaan.

Dalam arti, values dari inklusi sosial harus dilandasi dan diarahkan guna menyemai kehidupan spiritual yang moderat dan kemajuan peradaban bangsa, tidak boleh ada tempat bagi egoisme mayoritas, eksklusifitas, dan ekstrimisme. Di era globalisasi, kemajuan hanya bisa diraih dengan adanya sinergi dari beragam dimensi perbedaan. Inklusi sosial berbasis spiritual-kebangsaan bisa terwujud dengan adanya restorasi sistem pendidikan yang menekankan keseimbangan antara intelektual-kognitif, karakter-spiritual, dan altruisme-kebangsaan. Selain itu, di tingkat middle-class dan grassroots moderasi beragama dan relasi primordial harus terus dirajut secara respirokatif-produktif.

Kedua, perubahan sosial-ekonomi yang berkeadilan sosial dan berbasis pembangunan berkelanjutan. Saat ini tingkat kesenjangan sosial di Indonesia masih cukup tinggi. Menurut data dari BPS, ratio gini Indonesia pada Maret 2020 sebesar 0,381. Kesenjangan sosial inilah yang kemudian menjadi penyebab dari kemiskinan struktural yakni ketidakmampuan otoritas kekuasaan dan struktur sosial untuk mengalokasikan sumber daya sosial-ekonomi secara adil. Di sisi lain, pembangunan sosial-ekonomi sendiri kerap “diselundupkan” untuk kepentingan pragmatis-koruptif yang merusak tiang pembangunan berkelanjutan dan ekologi.

Maka, perubahan sosial-ekonomi ke depan harus berbasis keadilan sosial (keadilan distributif-komutatif) dengan memperhatikan pembangunan berkelanjutan khususnya terkait alokasi sumber daya alam dan perlindungan ekologi. Pembangunan sosial-ekonomi tidak boleh merusak tatanan pembangunan berkelanjutan dan eksistensi ekologi. Kunci untuk membuat perubahan sosial-ekonomi yang berkeadilan sosial dan berbasis pembangunan berkelanjutan adalah penguatan supremasi hukum, restorasi sistem politik oligarki menjadi sistem politik kerakyatan, revitalisasi sistem partai politik, dan reformasi birokrasi menuju birokrasi yang akuntabel, profesional, dan non-koruptif.

Ketiga, revitalisasi masyarakat sipil menuju masyarakat sipil yang kontributif dan kuat. Ini penting, karena salah satu unsur yang mendukung terwujudnya demokratisasi adalah peran dari masyarakat sipil. Azyumardi Azra dalam artikelnya berjudul Stagnansi Masyarakat Sipil (Kompas, 5 Maret 2020) menilai bahwa masyarakat sipil di Indonesia tengah mengalami stagnansi yang berakibat pada mundurnya kualitas demokrasi. Memang ada beberapa kelompok masyarakat sipil yang kontributif dan kuat tetapi hal demikian belum menjadi arus utama, hanya segelintir.

Menurut saya, ada beberapa hal penting terkait revitalisasi masyarakat sipil. Pertama, dukungan konstruktif dari pihak eskternal baik akademisi, masyarakat, hingga sinergi antar-masyarakat sipil. Kedua, strategi advokasi yang menekankan pada spirit progresifitas, terencana, dan tepat sasaran. Ketiga, restorasi kultur dan tata-kelola organisasi agar kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan oleh kelompok masyarakat sipil tidak sekadar bersifat pragmatis-seporadis. Pada prinsipnya, masyarakat sipil harus mampu menjadi counter balance yang kuat bagi pemerintah agar marwah demokrasi tetap terjaga sekaligus meminimalisir potensi otoritarianisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar