Minggu, 15 April 2018

MENGURAI KRISIS STRIKER LOKAL


Indonesia adalah salah satu negara Asia Tenggara yang dikenal sebagai penghasil striker atau penyerang berkualitas, di setiap era selalu saja muncul striker-striker kelas wahid yang di segani oleh para lawan setidaknya untuk kawasan asia tenggara, dari era 80 an hingga era 2000 an bercokol nama-nama seperti Bambang Nurdiansyah, Ricky Yakobi, Rocky Putiray, Widodo Cahyono Putro, Peri Sandria, Kurniawan Dwi Julianto, Gendut Doni, Budi Sudarsono, Bambang Pamungkas, Ilham Jaya Kesuma, Zaenal Arief hingga Boaz Solossa, pada masa keemasannya mereka adalah striker-striker berkualitas dan berprestasi yang selalu menjadi langganan tim nasional.

Sekitar pertengahan 90 an hingga awal 2000 an bisa dibilang adalah masa dimana Indonesia memiliki stok penyerang yang melimpah dan mumpuni untuk memakai seragam merah putih, saat itu cukup banyak striker-striker lokal yang sangat layak untuk berseragam tim nasional, mengingat penampilan mereka yang begitu Impresif baik di liga maupun bersama timnas, sebut saja Widodo Cahyono Putro ( pemain terbaik liga Indonesia 1997), Peri Sandria ( Top skor liga Indonesia 1995 34 gol), Kurniawan Dwi Julianto ( top skor liga Indonesia 1998 "Dihentikan" ), Bambang Pamungkas ( top skor liga Indonesia 1999, Pemain terbaik liga Indonesia 2001, top skor piala AFF 2002 ), Gendut Doni ( top skor piala AFF 2000), Ilham Jaya Kesuma ( top skor liga Indonesia 2002, 2004 dan piala AFF 2004 ) dan striker-striker lainnya.

Bisa dibilang pada masa-masa tersebut setiap pelatih timnas pasti akan dibuat pusing untuk menentukan siapa striker yang dipanggil untuk bergabung dengan timnas, mengingat begitu banyak striker yang layak dan mumpuni untuk mengisi barisan depan skuad garuda.

Setali tiga uang dengan pelatih timnas dahulu, pelatih timnas sekarang pun pasti dibuat pusing untuk memilih striker penghuni tim nasional, bedanya kalau pelatih dulu pusing karena terlalu banyak pilihan, tapi kalau pelatih sekarang pusing karena minim pilihan.

Regenerasi penyerang berkualitas serasa mandek, saat ini sangat jarang ada striker lokal yang menjadi pemain utama di klub kasta tertinggi persepakbolaan nasional (liga 1), bahkan saat ini tidak ada striker lokal berusia 25 tahun kebawah yang menjadi pemain inti di klub kasta tertinggi persepakbolaan Indonesia liga 1, di liga 1 musim ini striker-striker lokal yang menjadi pilihan utama di klubnya adalah striker-striker senior ( diatas 25 tahun) yang 3-5 tahun lagi akan habis masa keemasannya dan pensiun seperti Samsul Arif (33), Lerby Eliandry (27), Irfan Bachdim (30), Boaz Solossa (32), Spasojevic (31) dan Guy Junior (32) kedua nama terakhir adalah striker naturalisasi pada tahun 2017 lalu.

Di liga satu musim kemarin pun nama-nama diatas juga mendominasi untuk urusan pencetak gol lokal, Samsul Arif memimpin dengan 17 gol, diikuti Lerby Eliandry 16 gol, sementara Spasojevic dan Ferdinand Sinaga sama-sama mencetak 12 gol.

Tentunya ini menjadi semacam alarm bahaya bagi masa depan lini depan timnas Indonesia dan Jika fenomena ini terus terjadi dapat dipastikan beberapa tahun kedepan Indonesia tidak akan lagi memiliki striker berkualitas, mengingat proses regenerasi untuk posisi striker yang begitu statis, memang sih hal ini dapat diantisipasi dengan cara menaturalisasi striker asing, namun apakah cara seperti itu yang akan menjadi kebijakan paten dan utama kedepan ?

Di sisi lain minimnya kesempatan bermain secara reguler striker-striker lokal khususnya striker-striker muda berusia dibawah 25 tahun dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan saya uraikan berikut ini.

1. Dinamisasi Formasi Striker Tunggal

Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang menyebabkan minimnya penyerang lokal menjadi pilihan utama dan bermain secara reguler di klub liga 1 sekarang adalah karena mayoritas klub liga 1 menggunakan formasi dengan striker tunggal yakni 4-2-3-1, 4-1-4-1 atau 4-3-3, dengan formasi striker tunggal tentunya klub-klub liga 1 ( terutama tim papan atas ) akan cenderung mengisi satu pos striker di starting eleven nya dengan striker asing yang sehebat mungkin, di sisi lain kalaupun ada klub yang menggunakan formasi dengan 2 striker pastilah karena situasi dan kondisi yang insidental dan bukan formasi reguler.

Di satu sisi minimnya posisi winger yang diisi oleh pemain asing membuat posisi winger Indonesia saat ini memiliki stok yang begitu melimpah, berkualitas dan berusia muda seperti Febri Hariyadi, Terens Puhiri, Riko Simanjuntak, Septian David Maulana, Osvaldo hay, Irfan jaya, Saddil Ramdhani dll. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan posisi striker yang begitu minim pemain berkualitas berusia muda, hal ini terjadi dikarenakan posisi striker di klub kasta tertinggi cenderung diisi oleh striker asing (striker tunggal).

Formasi dengan menggunakan striker tunggal sendiri merupakan dinamisasi dan fenomena general yang terjadi dalam sepakbola internasional kurun waktu 8 tahun terakhir atau sejak piala dunia 2010 Afrika , dan nampaknya dinamisasi dan tren formasi dengan menggunakan striker tunggal juga menjalar dalam sepakbola Indonesia.

Dahulu para penyerang lokal banyak mendapat kesempatan bermain secara reguler karena mayoritas klub menggunakan formasi dengan 2 striker yakni 4-4-2 atau 3-5-2, dengan formasi 2 striker otomatis minimal akan tersedia satu jatah posisi reguler untuk penyerang lokal dalam setiap klub, bahkan ada klub yang berani memberikan kepercayaan reguler kepada dua striker lokal untuk mengisi 2 pos penyerang, seperti yang dilakukan Persita Tangerang dengan menduetkan Zaenal Arief dan Ilham Jaya Kesuma.

Intinya, dinamisasi formasi dalam dinamika sepakbola itu sendiri ( dari 2 striker menjadi striker tunggal ) adalah salah satu faktor kunci yang menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa begitu minim striker lokal yang menjadi pemain utama dan bermain secara reguler bagi klubnya di kompetisi liga 1.

Dengan formasi striker tunggal tentu para pelatih di klub liga 1 akan cenderung memanfaatkan dan mengisi satu slot striker di starting elevennya dengan striker asing yang memiliki kualitas diatas rata-rata pemain lokal, semua ini dilakukan sebagai oportunitas untuk mencapai prestasi maksimal sesuai dengan target klub, mengingat persaingan liga 1 sangat kompetitif.

2. Kurangnya kepercayaan Pelatih Pada Striker Lokal

Kurangnya kepercayaan Pelatih terhadap para striker lokal juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan minimnya striker lokal bermain secara reguler dan menjadi pemain inti bagi klubnya, hal ini pun dilontarkan oleh 2 mantan penyerang timnas, Kurniawan Dwi Julianto dan Budi Sudarsono, keduanya mengatakan bahwa kurangnya kepercayaan para pelatih liga 1 terhadap striker-striker lokal menyebabkan regenerasi striker berkualitas untuk menghuni lini depan timnas menjadi statis, banyak striker muda yang tidak bisa berkembang maksimal karena minimnya menit bermain.

Sejujurnya ada dua teori yang bisa menjelaskan mengapa fenomena ini bisa terjadi dan benarkah fenomena ini terjadi, yang mungkin kedua teori tersebut bisa saja sama-sama benar, pertama, mayoritas pelatih liga satu kurang percaya kepada para striker lokal apakah benar ? fenomena ini bisa saja benar mengingat di era dahulu dengan jatah 4-5 pemain asing bagi tiap klub, pelatih bisa saja mengisi dua pos striker dalam timnya dengan striker asing namun nyatanya mayoritas pelatih tetap menyediakan 1 slot striker bagi pemain lokal.

Duet lokal asing pun banyak mengisi lini depan klub sepakbola kasta tertinggi saat itu (sebelum 2010) seperti duet Budi Sudarsono dan Cristian Gonzales di Persik Kediri, Bambang Pamungkas dan De Porras di Persija, Musikan dan Bob Manuel di Persik Kediri, Zaenal Arief dan Bekamenga di Persib dll, Itu artinya pelatih era dahulu dapat dikatakan percaya kepada kualitas striker lokal.

Bahkan dulu di era akhir 90 an hingga awal 2000 an banyak penyerang lokal yang sudah menjadi andalan atau striker utama klubnya pada saat usia mereka masih sangat muda, seperti Bambang Pamungkas, Ilham Jaya Kesuma, Saktiawan Sinaga, Budi Sudarsono, Zaenal Ikhwan, Aliyudin, dll, fakta ini seakan menjadi penegas bahwa pelatih-pelatih dahulu cukup percaya dengan kualitas para Striker lokal khususnya para striker muda.

Artinya Kalaupun sekarang karena fenomena dinamisasi formasi "memaksa" sebuah klub hanya menggunakan satu striker saja, seharusnya pelatih juga harus berani memberikan kepercayaan kepada para striker lokal untuk mengisi satu slot striker dalam formasi timnya, jika memang pelatih tersebut percaya kepada kualitas striker lokal.

Teori kedua, apa benar pelatih tidak percaya pada para striker lokal ? atau justru kualitas para striker lokal yang jauh dari harapan sehingga "memaksa" para pelatih untuk menggunakan striker asing sebagai striker utama tim.

Teori ini bisa juga benar, dahulu banyak striker lokal berkualitas dan bermain reguler bersama klub kasta tertinggi karena memang mereka secara kualitas dan potensi mumpuni, dahulu cukup mudah menemukan bibit-bibit unggul di posisi striker karena memang dahulu cukup banyak kompetisi dan pembinaan pemain jenjang usia yang dilakukan secara masif sebagai media untuk mengoptimalkan potensi para pemain muda (seperti program Primavera, Diklat yang berkualitas, kompetisi rutin dll), sedangkan sekarang apa pembinaan dan jenjang kompetisi untuk kelompok usia sudah terstruktur dan terakomodir secara optimal ? Bisa jadi dua hal tersebut (pembinaan dan kompetisi usia muda) adalah hal yang menyebabkan minimnya muncul bibit-bibit striker berkualitas di Indonesia saat ini, yang pada akhirnya membuat para pelatih kasta tertinggi "terpaksa" dalam tanda kutip untuk tidak percaya kepada kemampuan para striker lokal khususnya striker muda.

Lalu bagaimana solusi untuk mengatasi fenomena krisis striker lokal kita ini ? Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai kontradiksi atas dua faktor penyebab diatas.

1. Para pelatih yang melatih klub-klub liga 1 khususnya para pelatih lokal hendaknya memiliki kepedulian mengenai fenomena ini, minimnya striker lokal khususnya striker muda berkualitas di kompetisi kasta tertinggi merupakan bom waktu yang akan berdampak pada menurunnya kualitas lini depan timnas maupun timnas itu sendiri dimasa mendatang.

Para striker penghuni lini depan timnas saat ini adalah striker-striker yang beberapa tahun kedepan akan habis masa keemasannya dan pensiun seperti Boaz Solossa, Ferdinand Sinaga, Lerby Eliandry dan Samsul Arif, jikalau tidak ada striker muda berkualitas yang beredar di liga 1 dan bermain secara reguler di klubnya, tentunya hal ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan tim nasional kita kedepan.

Para pelatih lokal yang melatih liga 1 seharusnya lebih memberikan ruang bagi para striker lokal untuk mengembangkan potensinya dengan memberikan kesempatan bermain yang lebih, melalui upaya seperti mengubah pola formasi dengan menggunakan dua striker ( 1 lokal dan 1 asing) ataupun memberikan kesempatan bermain rutin kepada para striker muda kita, namun apapun itu keputusan tetap mutlak ditangan pelatih, intervensi apapun kepada pelatih apalagi mengenai taktik dan formasi adalah sebuah tindakan yang mencederai profesionalisme.

Namun rasa kepedulian dan kesadaran para pelatih khususnya pelatih lokal dapat di dorong (bukan intervensi) oleh PSSI sebagai induk organisasi sepakbola Indonesia, melalui seminar atau diskusi publik dengan mengundang segala elemen terkait seperti klub, pemain dan tentunya pelatih agar lebih peduli dengan permasalahan ini.

2. Jika teori tentang ketidakpercayaan pelatih liga 1 kepada para striker lokal dikarenakan sebuah "Keterpaksaan" dikarenakan kualitas yang dianggap belum mumpuni benar, maka hal tersebut hendaknya dijadikan pembakar semangat dan pelecut motivasi bagi para striker lokal agar bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan kepercayaan dari pelatih, para striker muda kita janganlah cepat puas hanya dengan bermain sebagai cadangan di klub kasta tertinggi, mereka harus memiliki motivasi lebih untuk selalu memberikan yang terbaik agar mendapatkan kepercayaan dari pelatih sebagai pemain utama, dahulu saja Bambang Pamungkas berhasil menjadi top skor liga Indonesia saat masih berusia 19 tahun, artinya jika Bambang Pamungkas bisa maka striker-striker muda kita lainnya juga pasti bisa, intinya semangat kompetitif dan tidak cepat puas diri harus ditanamkan dalam diri mereka masing-masing. Ayoo semangat anak muda.

3. Pembinaan dan kompetisi kelompok usia berjenjang yang harus dilakukan secara masih dan terstruktur, inilah pola jangka panjang yang ideal untuk memunculkan bibit-bibit pemain berkualitas, kompetisi kelompok umur adalah sarana untuk mematangkan bakat dan potensi para pemain muda, idealnya haruslah ada kompetisi berjenjang baik dari U-11, U-13, U-15, U-17, U-19, dan U-21, dan apakah hal demikian itu sudah terakomodir secara konsisten, masif dan terstruktur dalam persepakbolaan kita ? Sulit untuk mengatakan iya.

4. Bermain di luar negeri untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman adalah alternatif agar para striker lokal kita mendapatkan atmosfer dan pengalaman sebagai pemain asing, dengan menjadi pemain asing apalagi berposisi sebagai striker tentunya akan ada tuntutan untuk lebih disiplin, lebih profesional dan bekerja lebih keras lagi, mengingat adanya adagium dalam sepakbola bahwa pemain asing harus lebih berkualitas dari pemain lokal.

Bermain di negara-negara Asia tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, hingga Myanmar sepertinya menjadi tempat yang kompetitif untuk meningkatkan kemampuan dan mental mengingat telah ada beberapa pemain Indonesia yang pernah bermain di negara itu.

Ataupun kalau terlalu sulit bermain sebagai striker asing di liga negara-negara yang seimbang kualitas sepakbolanya dengan kita, bermain di liga Filipina, Brunei Darussalam, hingga Laos layaknya juga bukan sebuah masalah, intinya menjadi pemain asing akan menuntut dan mendorong pemain untuk bekerja lebih keras, dan hal itu akan menjadi pengalaman dan atmosfer yang baik untuk meningkatkan kemampuan, mental dan kepercayaan diri.

5. upaya terakhir untuk mengatasi krisis stiker lokal berkualitas untuk mengisi lini depan timnas saat ini maupun kedepan adalah dengan jalan menaturalisasi para striker asing yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, ini adalah cara instan dan menurut saya kurang ideal bagi pembangunan persepakbolaan yang lebih baik, pertama, naturalisasi tidak menghasilkan keberhasilan dan kepuasan absolut, kedua, hal ini dapat memberikan stigmatisasi negatif bagi para pemain muda yang tentunya memiliki cita-cita bermain untuk negaranya di masa depan, dan ketiga, cara instan cenderung akan mengurangi semangat dan idealisme para stakeholder untuk melakukan pembangunan sepakbola secara struktural.

Jika upaya naturalisasi ini dilakukan sebagai upaya atau kebijakan utama dalam rangka membangun dan memajukan prestasi, maka saya rasa akan sangat kurang baik bagi tradisi dan masa depan sepakbola Indonesia dan saya sangat tidak setuju, namun jika hal ini dilakukan sebagai upaya dan jalan terakhir (ketika tidak ada jalan lain dengan kebutuhan mendesak) maka saya setuju.

Lebih dari itu, pembangunan dalam hal apapun pastinya akan jauh lebih baik bila dilakukan dengan cara-cara yang terstruktur, masif dan konsisten daripada cara-cara instan, cara-cara instan selalu menyajikan keberhasilan sesaat nan semu, sedangkan cara-cara terstruktur, masif dan konsisten akan menghasilkan keberhasilan yang lebih potensial dan tentunya dengan durasi yang lebih lama.

Dan akhir sekali sekaligus yang paling penting adalah janganlah pernah kita kehilangan idealisme dan optimisme untuk melihat sepakbola Indonesia yang lebih baik dan berprestasi.

Selesai ...






Tidak ada komentar:

Posting Komentar