Kamis, 11 Oktober 2018

KONSEP MACHIAVELLI DALAM IKLIM POLITIK INDONESIA


"POLITIK ADALAH SARANA UNTUK MEMBAWA KEMASLAHATAN BAGI MANUSIA BUKAN AJANG MENANCAPKAN HEGEMONI KEKUASAAN DENGAN MENGHALALKAN SEGALA MACAM CARA. POLITIK ADALAH JALAN SUCI UNTUK PENGABDIAN DIRI"



Secara das sollen politik adalah sarana yang memberikan wadah bagi seseorang, sekelompok orang atau partai politik untuk mengimplementasikan ide, gagasan, dan sumbangsih pemikiran yang dimilikinya sebagai upaya untuk mendukung terciptanya kemaslahatan bersama. Pengertian politik yang demikian ini sering dimaknai sebagai konsep politik klasik.

Konsep politik klasik adalah konsep politik tertua dan paling ideal yang digagas oleh Aristoteles, Aristoteles mendefinisikan politik sebagai sebuah usaha yang dilakukan oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Menurut Aristoteles manusia adalah mahluk politik, karena pada dasarnya hakikat kehidupan sosial adalah politik, dimana didalamnya terdapat interaksi dan komunikasi antar individu demi mencapai tujuan dan kebaikan bersama.

Namun konsep politik klasik yang demikian itu agaknya sulit terejawantahkan secara das sein (kenyataan) dalam iklim politik secara nyata, contohnya saja di negara kita Indonesia, pengejawantahan konsep politik klasik atau ideal tersebut teramat jauh panggang dari api, politik justru cenderung dimaknai sekedar sebagai sebuah upaya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan semata yang kemudian berkonotasi kuat disertai konsep-konsep  kotor menghalalkan segala macam cara untuk merebut atau mempertahankan sebuah kekuasaan.

Konsep politik yang demikian merupakan konsep politik ala Niccolo Machiavelli, yang merestriksi makna politik hanya sekedar meraih atau mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara. Konsep politik Machiavelli meletakkan kekuasaan sebagai spektrum utama dalam politik, kekuasaan adalah inti dari pada politik, politik tidak dilihat sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan bersama (kolektif) namun dilihat sebagai sarana untuk menancapkan hegemoni kekuasaan (individualistik), oleh karena meletakkan kekuasaan sebagai spektrum yang utama maka segala macam cara “Halal” dilakukan baik untuk merebut ataupun mempertahankan kekuasaan.

Dalam buku fenomenalnya berjudul “Il Principle”, Niccolo Machiavelli menjelantrahkan bagaimana pandangan dan konsep-konsep tentang politik dan kekuasaan, yang intinya dalam buku ini Niccolo Machiavelli memandang politik sebagai sebuah ruang yang penuh intrik, tipu muslihat, dramaturgi hingga kekejaman. Segala macam cara halal atau absah-absah saja dilakukan sebagai jalan dalam berpolitik.

Memasuki tahun-tahun politik konsep-konsep “Menghalalkan” segala macam cara ala Machiavelli diatas seringkali juga mewarnai bahkan tidak bisa dilepaskan dalam dinamika iklim perpolitikan nasional, hal ini nampak secara nyata baik diruang nyata maupun dalam dunia maya khususnya dalam rangka persiapan menuju kontestasi akbar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019.

Bisa dibilang politik di indonesia memang relatif bergenre Machiaveli, dimana kontestasi politik seringkali disertai dan tak bisa dilepaskan dengan konsep-konsep kotor ala Machiaveli seperti berita bohong (hoax), black campaign, agitasi hingga fitnah yang tujuannya adalah untuk menjatuhkan legitimasi dan reputasi lawan politik di mata publik, sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan politis dibalik itu.

Hujatan, cacian, saling fitnah, black campaign, dan hoax pun nyaring berkelindan dalam ruang-ruang kehidupan kita di tahun-tahun politik menjelang Pilpres seperti saat ini baik dalam dunia nyata dan khususnya dalam dunia maya yang memiliki daya jangkau lebih luas dan efektif. Baik dari kubu Jokowi maupun kubu Prabowo seperti terkesan hanya “Sibuk” dalam wacana-wacana non substansial.

Maka bisa dilihat dalam aktivitas, gerakan dan kampanye politik yang terjadi adalah perdebatan-perdebatan atau wacana non substansial yang sekedar bertujuan untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik, sedangkan perdebatan-perdebatan atau wacana substansial seperti adu gagasan, adu ide, adu pemikiran, dan adu solusi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa tidak terlalu menjadi diskursus yang utama.

Sangat disayangkan jika kontestasi politik dalam negeri ini relatif digunakan sebagai sarana untuk“Melegitimasi” konsep politik ala Machiavelli yang hanya merestriksi politik sekedar sarana untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan semata dengan menghalalkan segala macam cara. Jika itu paradigma yang dibangun maka kontestasi politik hanya akan menjadi ruang “Kotor” tempat para serigala politik menciptakan chaos dalam masyarakat. Dengan kondisi demikian, maka kontestasi politik niscaya tidak akan bisa menjadi sarana yang dapat memberikan impact positif bagi pembangunan bangsa.

Kedepan konsep kontestasi politik idealnya harus dimaknai dan diletakkan sebagai sarana untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat melalui penerapan nilai-nilai positif dalam politik sekaligus sebagai sarana untuk mengejawantahkan ide, gagasan, dan pemikiran-pemikiran solutif untuk menyelesaikan permasalahan bangsa demi mewujudkan kemaslahatan bersama.

Kontestasi politik harus memberikan suasana yang damai, sportif, gembira dan penuh nuansa konstruktif untuk pembangunan bangsa bukan justru memperlihatkan nuansa yang non konstruktif, penuh amarah, saling mencaci, saling hujat dan diwarnai cara-cara kotor untuk meraih kekuasaan dengan mengabaikan hal-hal substantif politik.

Saya kira kita semua harus memiliki idealisme kolektif untuk membangun budaya dan peradaban politik kita menuju arah yang lebih maju dan beradab, kita semua baik rakyat, Pemerintah, DPR, partai politik, pengawas pemilu dan terutama aktor-aktor politik harus memiliki cara pandang bahwasanya politik adalah jalan suci untuk mewujudkan kemaslahatan bersama bukan sekedar menancapkan hegemoni kekuasaan. Jika paradigma seperti itu yang kita bangun maka cara-cara kotor ala Machiavelli tidak akan mendapatkan tempat dalam iklim politik negeri ini.
 

Namun pertanyaannya apakah bisa kita semua mewujudkan itu ?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar