"POLITIK ADALAH SARANA UNTUK MEMBAWA KEMASLAHATAN BAGI MANUSIA BUKAN AJANG MENANCAPKAN HEGEMONI KEKUASAAN DENGAN MENGHALALKAN SEGALA MACAM CARA. POLITIK ADALAH JALAN SUCI UNTUK PENGABDIAN DIRI"
Secara das sollen
politik adalah sarana yang memberikan wadah bagi seseorang, sekelompok orang atau
partai politik untuk mengimplementasikan ide, gagasan, dan sumbangsih pemikiran
yang dimilikinya sebagai upaya untuk mendukung terciptanya kemaslahatan bersama.
Pengertian politik yang demikian ini sering dimaknai sebagai konsep politik
klasik.
Konsep politik klasik adalah konsep politik tertua dan
paling ideal yang digagas oleh Aristoteles, Aristoteles mendefinisikan politik
sebagai sebuah usaha yang dilakukan oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama. Menurut Aristoteles manusia adalah mahluk politik, karena pada
dasarnya hakikat kehidupan sosial adalah politik, dimana didalamnya terdapat
interaksi dan komunikasi antar individu demi mencapai tujuan dan kebaikan
bersama.
Namun konsep politik klasik yang demikian itu agaknya sulit
terejawantahkan secara das sein (kenyataan) dalam
iklim politik secara nyata, contohnya saja di negara kita Indonesia, pengejawantahan
konsep politik klasik atau ideal tersebut teramat jauh panggang dari api,
politik justru cenderung dimaknai sekedar sebagai sebuah upaya untuk merebut
atau mempertahankan kekuasaan semata yang kemudian berkonotasi kuat disertai
konsep-konsep kotor menghalalkan segala
macam cara untuk merebut atau mempertahankan sebuah kekuasaan.
Konsep politik yang demikian merupakan konsep politik ala Niccolo Machiavelli, yang merestriksi makna politik hanya sekedar meraih atau
mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara. Konsep politik
Machiavelli meletakkan kekuasaan sebagai spektrum utama dalam politik,
kekuasaan adalah inti dari pada politik, politik tidak dilihat sebagai sarana
untuk mencapai kemaslahatan bersama (kolektif) namun dilihat sebagai sarana
untuk menancapkan hegemoni kekuasaan (individualistik), oleh karena meletakkan
kekuasaan sebagai spektrum yang utama maka segala macam cara “Halal” dilakukan
baik untuk merebut ataupun mempertahankan kekuasaan.
Dalam buku fenomenalnya berjudul “Il Principle”, Niccolo Machiavelli menjelantrahkan bagaimana
pandangan dan konsep-konsep tentang politik dan kekuasaan, yang intinya dalam
buku ini Niccolo Machiavelli memandang politik sebagai sebuah ruang yang penuh
intrik, tipu muslihat, dramaturgi hingga kekejaman. Segala macam cara halal
atau absah-absah saja dilakukan sebagai jalan dalam berpolitik.
Memasuki tahun-tahun politik konsep-konsep “Menghalalkan”
segala macam cara ala Machiavelli diatas seringkali juga mewarnai bahkan tidak
bisa dilepaskan dalam dinamika iklim perpolitikan nasional, hal ini nampak
secara nyata baik diruang nyata maupun dalam dunia maya khususnya dalam rangka persiapan
menuju kontestasi akbar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019.
Bisa dibilang politik di indonesia memang relatif bergenre
Machiaveli, dimana kontestasi politik seringkali disertai dan tak bisa
dilepaskan dengan konsep-konsep kotor ala Machiaveli seperti berita bohong
(hoax), black campaign, agitasi hingga
fitnah yang tujuannya adalah untuk menjatuhkan legitimasi dan reputasi lawan
politik di mata publik, sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan politis dibalik
itu.
Hujatan, cacian, saling fitnah, black campaign, dan hoax pun nyaring berkelindan dalam ruang-ruang
kehidupan kita di tahun-tahun politik menjelang Pilpres seperti saat ini baik dalam dunia nyata dan
khususnya dalam dunia maya yang memiliki daya jangkau lebih luas dan efektif. Baik
dari kubu Jokowi maupun kubu Prabowo seperti terkesan hanya “Sibuk” dalam
wacana-wacana non substansial.
Maka bisa dilihat dalam aktivitas, gerakan dan kampanye
politik yang terjadi adalah perdebatan-perdebatan atau wacana non substansial
yang sekedar bertujuan untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik, sedangkan
perdebatan-perdebatan atau wacana substansial seperti adu gagasan, adu ide, adu
pemikiran, dan adu solusi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa tidak terlalu
menjadi diskursus yang utama.
Sangat disayangkan jika kontestasi politik dalam negeri ini
relatif digunakan sebagai sarana untuk“Melegitimasi” konsep politik ala
Machiavelli yang hanya merestriksi politik sekedar sarana untuk meraih atau mempertahankan
kekuasaan semata dengan menghalalkan segala macam cara. Jika itu paradigma yang dibangun maka kontestasi politik
hanya akan menjadi ruang “Kotor” tempat para serigala politik menciptakan chaos dalam masyarakat. Dengan kondisi
demikian, maka kontestasi politik niscaya tidak akan bisa menjadi sarana yang
dapat memberikan impact positif bagi
pembangunan bangsa.
Kedepan konsep kontestasi politik idealnya harus dimaknai dan
diletakkan sebagai sarana untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat melalui
penerapan nilai-nilai positif dalam politik sekaligus sebagai sarana untuk
mengejawantahkan ide, gagasan, dan pemikiran-pemikiran solutif untuk menyelesaikan
permasalahan bangsa demi mewujudkan kemaslahatan bersama.
Kontestasi politik harus memberikan suasana yang damai,
sportif, gembira dan penuh nuansa konstruktif untuk pembangunan bangsa bukan
justru memperlihatkan nuansa yang non konstruktif, penuh amarah, saling
mencaci, saling hujat dan diwarnai cara-cara kotor untuk meraih kekuasaan
dengan mengabaikan hal-hal substantif politik.
Saya kira kita semua harus memiliki idealisme kolektif untuk
membangun budaya dan peradaban politik kita menuju arah yang lebih maju dan
beradab, kita semua baik rakyat, Pemerintah, DPR, partai politik, pengawas
pemilu dan terutama aktor-aktor politik harus memiliki cara pandang bahwasanya
politik adalah jalan suci untuk mewujudkan kemaslahatan bersama bukan sekedar menancapkan hegemoni kekuasaan. Jika paradigma
seperti itu yang kita bangun maka cara-cara kotor ala Machiavelli tidak akan
mendapatkan tempat dalam iklim politik negeri ini.
Namun pertanyaannya apakah bisa kita semua mewujudkan itu ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar