Senin, 08 Oktober 2018

MAKNA DIBALIK HOAX RATNA SARUMPAET



Peristiwa hoax Ratna Sarumpaet telah memberikan presepsi kuat bahwasanya tingkat literasi informasi mayoritas masyarakat Indonesia relatif rendah. Mengapa saya menjustifikasi seperti itu ? karena yang menjadi "Korban" hoax dari pada Ratna Sarumpaet adalah mereka-mereka yang tergolong kaum elitis, birokrat, politisi dan dosen yang seharusnya atau idealnya memilki modal literasi informasi lebih baik dengan bekal pengalaman dan pendidikan tinggi yang mereka enyam, namun fakta justru menyuguhkan hal yang sebaliknya.

Menurut data dari Liputan6.com beberapa nama prominen tercatat menjadi “Korban” hoax dari pada Ratna Sarumpaet yakni Dahnil Nizar yang berkata “Mbak Ratna dikeroyok di bandara Bandung 21 September 2018, Nanik S Deyang berkata “Mbak Ratna dihajar dan diinjak perutnya”, Rizal Ramli berkata “Tega-teganya bilang ini permainan operasi plastik”, Fadli Zon berkata “Beliau dianiaya 2-3 pria”, dan Amin Rais yang berkata “Tangkap pelakunya”. Padahal faktanya Ratna Sarumpaet bukan dianiaya melainkan operasi sedot lemak (awalnya Ratna berbohong dengan mengatakan dianiaya hingga akhirnya dia mengaku akan hal yang benar).

Fakta diatas kemudian mengkonstruksi sebuah logika “Jika kaum yang mengenyam pendidikan tinggi (Sarjana, Magister, doktor hingga Profesor) saja mudah termakan hoax bagaimana dengan kaum akar rumput yakni para rakyat kecil yang tidak mengenyam pendidikan tinggi ?”. Sebuah analogi yang secara implisit mencerminkan rendahnya tingkat literasi informasi masyarakat Indonesia.

Sesungguhnya hal yang patut kita sesalkan adalah dalam isu yang sensitif seperti itu dimana peristiwa itu terkait dengan penganiayaan dan kekerasan kepada seorang perempuan bahkan ibu (meski pada akhirnya hoax) seharusnya pihak-pihak diatas benar-benar menelaah dan me-recheck kebenaran informasi tersebut secara lebih seksama (literasi informasi) atau ber-tabayun terlebih dahulu sebelum menyampaikan kepada publik, apalagi hal itu berkaitan dengan isu yang sensitif (kekerasan terhadap perempuan/ibu) yang sangat potensial menghadirkan gejolak di dalam masyarakat.

Karena, setiap hal yang kita katakan, kita utarakan, dan kita sampaikan hendaknya adalah hal yang benar-benar kita ketahui kebenarannya. Sehingga hal yang kita katakan, kita utarakan dan kita sampaikan tidak menyesatkan dan merugikan orang lain maupun diri kita sendiri.

Penguasaan literasi informasi menjadi penting disini, literasi informasi adalah suatu rangkaian individu untuk mengenali informasi saat diperlukan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi tersebut secara efektif (America Library Asociation : 2000), secara sederhana literasi informasi saya artikan sebagai sebuah kemampuan individu untuk menggali dan menelaah kebenaran suatu informasi yang diterimanya baik informasi secara verbal maupun digital yang tujuannya untuk menghadirkan kebijaksanaan dalam mengolah informasi.

Bekal literasi informasi menjadi sangat krusial, mengingat di era digitalisasi dan globalisasi arus informasi berjalan begitu cepat dan masif, apalagi memasuki tahun politik, hampir dipastikan arus hoax atau informasi bohong akan berkelindan semakin masif dalam ruang-ruang kehidupan kita. Tanpa memiliki bekal literasi informasi, kita akan mudah menjadi korban sekaligus penyebar konten hoax yang tentunya dapat merugikan diri kita sendiri maupun pihak lain.

Di sinilah pentingnya literasi informasi dalam menghadirkan kebijaksanaan dalam mengolah informasi yang didapat, individu yang memiliki bekal literasi informasi yang baik pasti akan sangat hati-hati dalam menyebarkan informasi yang di dapatnya, jikalau memang kebenaran informasi yang didapatnya belum terang dan nyata kebenarannya, maka ia akan cenderung menyimpan atau setidaknya mengkonsumsi informasi yang didapatnya tersebut secara pribadi, sehingga pada akhirnya tidak akan menimbulkan efek kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung baik bagi diri sendiri maupun bagi pihak lain dikemudian hari.

Dalam peristiwa hoax Ratna Sarumpaet saya melihat pihak-pihak tersebut kurang berliterasi informasi karena ada komoditas politik disana yang berkaitan dengan sisi fanatisme terhadap kelompok sendiri dan sisi sinisme terhadap pihak lawan yang dapat memberikan keuntungan politis bagi kelompoknya, hal tersebut membuat kekritisan dalam mengolah informasi menjadi hilang, idealnya literasi informasi tidak terbatas pada dimensi apapun, baik politik, ekonomi, hukum, rasa suka maupun tidak suka dan lainnya, namun titik beratnya ada pada informasi itu sendiri.

Pada satu titik selalu ada makna positif yang bisa kita petik dari sebuah peristiwa, dan makna positif yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah agar kita senantiasa meningkatkan kemampuan atau daya literasi informasi kita, kita harus senantiasa kritis dan bijak dalam mengolah informasi yang kita dapat apalagi ditahun-tahun politik seperti sekarang ini dimana arus informasi hoax berkelindan masif, jika kebenaran informasi yang kita dapat belum terang dan nyata kebenarannya, maka hendaknya kita menyimpan dan mengkonsumsi informasi tersebut untuk diri kita sendiri.



“SEMUA YANG KITA KETAHUI TIDAK HARUS KITA KATAKAN, TETAPI APA YANG KITA KATAKAN HARUSLAH BENAR-BENAR KITA KETAHUI KEBENARANNYA, ITULAH NAMANYA KEBIJAKSANAAN DALAM BERINFORMASI”




Selesai ......
                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar