Diskursus antara agama dan budaya selalu menjadi wacana yang
menarik untuk diperbincangkan dalam setiap perkembangan peradaban, pertanyaan tentang
bagaimana relasi, bagaimana idealnya, bagaimana batasnya, dan bagaimana pola
hubungan yang serasi antara keduanya (agama dan budaya) merupakan wacana yang tidak pernah usang.
Agama dan budaya adalah dua hal “Sakral” dalam kehidupan manusia,
mengapa sakral ? karena agama dan budaya menjustifikasi nilai yang dapat
memberikan rasa fanatisme dan keyakinan mengenai apa yang benar, apa yang salah, apa yang patut dilakukan dan
apa yang tidak patut dilakukan. Bahkan world
view (cara pandang/paradigma berpikir) seseorang itu sangat besar
dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya.
Diskursus antara agama dan budaya selalu menjadi isu kontemporer yang
menarik untuk dibahas dan diperbincangkan di berbagai negara, tak terkecuali di
Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara yang sarat akan nilai-nilai agama
dan tradisi budaya yang mengakar kuat sebagai basis kekuatan dan kohesi sosial
masyarakat.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang
Maha Esa yang dibangun berdasarkan spirit nilai-nilai religiusitas, di sisi
lain Indonesia adalah sebuah negara multikultural dengan kekayaan budaya yang
melimpah ruah dalam berbagai bentuk dan dimensi. Fakta ini membuat diskursus antara
agama dan budaya selalu menjadi wacana yang menarik untuk di bahas dan di
perbincangkan dalam berbagai forum baik formal maupun non formal.
Pertanyaannya, bagaimanakah pola hubungan, dan relasi antara
agama dan budaya ? terkait dengan hal ini saya sepakat dengan pendapat dari
Menteri Agama Lukman H. Saifuddin yang mengatakan dalam tweetnya “Agama
memerlukan wadah pengamalan nilainya, budaya memerlukan spiritualitas yang
menjadi dasar sekaligus arah orientasinya.”
Penjelasan secara elaboratif terkait relasi dan hubungan ideal antara agama dan budaya disini akan coba saya jelaskan melalui pendekatan teori struktural fungsional dari
Tallcot Parson. Agama dalam kehidupan masyarakat menurut teori stuktural
fungsional adalah berfungsi sebagai proses integrasi sama seperti halnya hukum
yang memberikan norma tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan demi terjaganya stabilitas dan integrasi dalam
masyarakat.
Sedangkan budaya dalam kehidupan masyarakat menurut teori
struktural fungsional adalah berfungsi untuk mempertahankan pola, budaya adalah
sesuatu yang diyakini dan dilakukan sebagai sebuah tradisi berulang-ulang, oleh
karenanya, budaya harus berisikan falsafah dan nilai-nilai yang sesuai dengan prinsip
religiusitas ( positif ) sebagai dasar dan arah orientasinya. Nilai-nilai religiusitas yang
saya maksud disini adalah nilai-nilai yang bersifat universal yang melekat
dalam setiap agama di Indonesia seperti kemanusiaan, keadilan, kehormatan,
perdamaian, kerukunan, dan lainnya.
Secara sederhana, hubungan dan relasi antara agama dan
budaya dapat diejawantahkan seperti ini: agama membutuhkan budaya sebagai
wadah untuk mempertahankan pola agar prinsip-prinsip religiusitas dapat
membudaya dalam kehidupan masyarakat, sedangkan budaya membutuhkan agama
sebagai bahan dasar dan arah orientasi yang berisikan nilai-nilai kebaikan yang
bersifat universal sebagai pengejawantahan dari prinsip religiusitas, sehingga
budaya yang tertanam dalam relung kehidupan sosial masyarakat berisikan dengan
hal-hal yang positif.
Lalu bagaimana jika ada sebuah budaya bertentangan dengan
nilai-nilai religiusitas yang bersifat universal seperti kemanusiaan,
kehormatan, keadilan, perdamaian, kerukunan dan lainnya ?, jawabannya absolut
yakni budaya tersebut wajib untuk kita lawan
dan kita tinggalkan, misalnya budaya penindasan terhadap perempuan, budaya
intoleransi SARA, budaya hoax, budaya korupsi, budaya suap, hingga budaya
kekerasan. Kata lawan disini dalam artian melalui koridor-koridor aturan
sebagaimana telah ditetapkan oleh negara bukan lawan dalam arti secara bar-bar, pemaksaan, intimidasi dan
kekerasan.
Sebaliknya jika ada sebuah budaya yang bertentangan dengan
nilai-nilai religiusitas yang bersifat relatif atau tidak universal, bagaimana
sikap kita ? sederhana saja, kita tidak berhak untuk melawannya, secara pribadi,
jika kita rasa budaya tersebut bertentangan dengan prinsip religiusitas yang
kita yakini, maka kita tidak usah mengikutinya selesai masalah.
Misalnya ada budaya sedekah laut, kita merasa bahwa sedekah laut itu bertentangan dengan prinsip religiusitas yang kita yakini, akan
tetapi secara umum sedekah laut adalah budaya yang tidak bertentangan dengan
prinsip religiusitas agama secara universal, karena tidak mengandung
nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, kerukunan, keadilan,
kehormatan dan perdamaian. Maka sikap kita ya sederhana saja, tidak usah
mengikutinya dan tidak perlu melawan, apalagi melawan dalam artian secara
intimidasi, pemaksaan dan kekerasan.
Prinsip religiusitas yang bersifat universal disini adalah nilai-nilai universal yang melekat pada semua agama seperti nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, kerukunan dan penghormatan. Sedangkan prinsip religiusitas yang bersifat relatif adalah nilai-nilai religiusitas yang kebenarannya bersifat relatif dan subyektif dari sudut pandang agama tertentu.
Perlu kita ketahui bersama bahwa negara Indonesia bukanlah negara agama yang dibangun atas dasar satu ajaran agama tertentu, tetapi Indonesia adalah negara kebangsaan yang berketuhanan yaitu negara yang dibangun dengan spirit nilai-nilai religiusitas dari agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan fakta ini tentu ada hal-hal yang tidak bisa secara kaffah kita terapkan berdasarkan ajaran agama yang kita anut. Sehingga budaya yang memiliki nilai-nilai religiusitas yang sifatnya relatif dan subyektif tidak bisa kita lawan atau kita gugat (dengan alasan bertentangan ajaran agama yang kita yakini) selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum atau nilai-nilai religiusitas yang bersifat universal.
Prinsip religiusitas yang bersifat universal disini adalah nilai-nilai universal yang melekat pada semua agama seperti nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, kerukunan dan penghormatan. Sedangkan prinsip religiusitas yang bersifat relatif adalah nilai-nilai religiusitas yang kebenarannya bersifat relatif dan subyektif dari sudut pandang agama tertentu.
Perlu kita ketahui bersama bahwa negara Indonesia bukanlah negara agama yang dibangun atas dasar satu ajaran agama tertentu, tetapi Indonesia adalah negara kebangsaan yang berketuhanan yaitu negara yang dibangun dengan spirit nilai-nilai religiusitas dari agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan fakta ini tentu ada hal-hal yang tidak bisa secara kaffah kita terapkan berdasarkan ajaran agama yang kita anut. Sehingga budaya yang memiliki nilai-nilai religiusitas yang sifatnya relatif dan subyektif tidak bisa kita lawan atau kita gugat (dengan alasan bertentangan ajaran agama yang kita yakini) selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum atau nilai-nilai religiusitas yang bersifat universal.
Pada prinsipnya, aktivitas beragama dan berbudaya dapat menjadi
aktivitas yang menyenangkan, saling mengisi dan tidak perlu dipertentangkan, jika kita dapat
menempatkan dan menyikapi secara tepat bagaimana posisi agama dan budaya. Serta
dapat memahami adanya prinsip-prinsip religiusitas yang bersifat universal dan prinsip-prinsip
religiusitas yang bersifat relatif.
Agama dan budaya sejatinya bukanlah hubungan yang bersifat antitesis namun merupakan hubungan yang bersifat integratif dimana saling melengkapi dan saling membutuhkan.
Agama dan budaya sejatinya bukanlah hubungan yang bersifat antitesis namun merupakan hubungan yang bersifat integratif dimana saling melengkapi dan saling membutuhkan.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar