Selasa, 06 November 2018

ETIKA, MORAL DAN NORMA KEPATUTAN HARUS DILETAKKAN DI ATAS HUKUM




Dalam berbagai peristiwa orang Indonesia cenderung meletakkan hukum sebagai acuan utama dalam bersikap, bertindak, maupun berkelit dari peristiwa sosial yang menghampirinya, apapun perbuatan dan tindakan yang dilakukan, selama itu tidak melanggar hukum dalam artian hukum positif, maka mereka cenderung tidak akan merasa bersalah meskipun secara etika, moral dan norma kepatutan terasa kurang pantas bahkan mencoreng martabat dan rasa keadilan kolektif sekalipun, mereka akan berkelit dengan alasan karena memang yang mereka lakukan tidak melanggar hukum atau aturan yang berlaku, selesai masalah.

Misalnya seorang anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi, menjalani pemeriksaan dan bahkan telah menjadi “Public enemy” namun yang bersangkutan tidak memiliki kesadaran diri untuk mundur sebagai anggota DPR dengan alasan aturan hukum tidak mengharuskan ia mundur. Jika berpijak pada aturan hukum memang seorang anggota DPR tidak harus mundur dari jabatannya jika menjadi tersangka, akan tetapi jika pijakannya adalah etika, moral dan norma kepatutan tentu seyogyanya ia harus mundur dengan dasar menjaga marwah lembaga legislatif, menjaga kepercayaan publik dan efektifitas kinerja.

Kemudian misalnya seorang Gubernur yang merangkap jabatan sebagai ketua organisasi sepak bola Indonesia (PSSI), memang secara hukum atau aturan yang berlaku tidak ada larangan akan hal tersebut (rangkap jabatan), namun jika ditinjau dari sudut etika, moral dan norma kepatutan tentu akan terjadi ketidakpatutan atau ketidakpantasan, apa iya dua jabatan yang memiliki konsekuensi tanggung jawab dan beban kerja yang tinggi diemban oleh seorang yang sama dalam waktu yang bersamaan ? tentu hal ini sangat potensial bahkan pasti menyebabkan ketidakefektifan kinerja yang dapat merugikan rakyat dan organisasi, sehingga seyogyanya beliau harus mundur dari salah satu jabatan yang diembannya.

Selanjutnya dalam hingar bingar dunia politk, sebagian politikus cenderung berpolitik secara "negatif" misalnya dengan mencaci kinerja lawan politiknya tanpa data yang akurat, memang secara hukum hal tersebut bukanlah tindak pidana sehingga absah untuk dilakukan, tetapi jika ditinjau dari perspektif etika, moral dan norma kepatutan dalam rangka membangun iklim politik yang konstruktif dan substantif tentu hal tersebut menjadi kurang pantas dan hendaknya harus dihindari sejauh-jauhnya.

Sikap-sikap diatas memang tidak salah secara hukum “Lha wong negara kita negara hukum ya acuannya hukum tho, selama yang kita lakukan tidak melanggar hukum ya tidak masalah” (pola pikir normatif), namun perlu digaris bawahi bahwa etika, moral dan kepatutan itu sejatinya atau idealnya harus diletakkan diatas hukum dalam artian bahwa etika, moral dan kepatutan menjadi acuan utama dan lebih penting dari pada hukum. Mengapa demikian ? karena etika, moral dan kepatutan pada dasarnya adalah nyawa atau ruh dari pada hukum itu sendiri, dapat dikatakan bahwa hukum yang ideal adalah pemformulasian nilai-nilai etika, moral dan kepatutan dalam sebuah masyarakat menjadi hukum formal.

Namun dalam faktanya tidak semua nilai-nilai etika, moral dan kepatutan di formalisasi menjadi hukum positif, sehingga ketika ada sebuah peristiwa dimana hukum positif tidak mengaturnya (tidak melarang) namun peristiwa tersebut dirasa bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral dan kepatutan, maka sudah seharusnya paradigma yang kita ambil dalam menyikapi peristiwa tersebut adalah etika, moral dan kepatutan bukan hukum.

Ambil contoh lagi misalnya mencontek dan berbohong itu bukanlah perbuatan yang dilarang oleh hukum positif tetapi perbuatan tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai etika dan moral yang sudah seharusnya tidak kita lakukan. Paradigma berpikir seperti itulah yang harusnya kita bangun sebagai sebuah peradaban.

Paradigma bersikap, berpikir dan bertindak dalam menghadapi sebuah kasus atau peristiwa sendiri menurut hemat saya terbagi dalam 3 peradaban. Pertama, peradaban anarkisme, dimana orang-orang cenderung bertindak sesuai keinginan untuk memenuhi hasrat kepuasan pribadi tanpa memperdulikan hukum, etika, moral dan kepatutan. Peradaban anarkisme ditandai dengan friksi dan chaos yang masif dalam kehidupan suatu masyarakat, karena tidak ada atau minimnya rasa kepatuhan terhadap hukum, namun peradaban anarkisme saya kira sudah jauh ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia.

Kedua, peradaban normatif, peradaban normatif ditandai dengan adanya sikap rigid pada hukum yang membangun paradigma bahwa acuan dan sikap tindak yang utama hanyalah mengacu pada hukum positif, apapun boleh dilakukan asalkan tidak melanggar hukum yang berlaku, meskipun secara etika, moral dan kepatutan terasa kurang pas. Paradigma normatif membuat masyarakat berpikir praktis dan pragmatis dan cenderung mengesampingkan hal-hal esensial diluar hukum yang seharusnya lebih penting dan menjadi ruh dari pada hukum itu sendiri yakni nilai-nilai etika, moral dan kepatutan. Paradigma normatif inilah yang saya rasa terbangun dalam iklim sosial masyarakat Indonesia sebagaimana saya contohkan diatas.

Ketiga, peradaban ideal, inilah peradaban yang harusnya kita bangun bersama kedepan, peradaban ideal dapat mewujud jika acuan utama dalam berpikir, bersikap dan bertindak tidak sekedar hukum positif tetapi lebih mengedepankan nilai-nilai etika, moral dan kepatutan sebagai manifestasi dari pengimplementasian nilai-nilai praksis Pancasila sebagai sebuah sistem perilaku. 

Lalu bagaimana membangun peradaban ideal tersebut ? kuncinya terletak pada keteladanan pemimpin dan pembudayaan. Para pemimpin dan para pejabat publik hendaknya dapat memberikan contoh atau suri tauladan bagaimana bersikap dan bertindak yang taat pada rule dalam bingkai etika, moral dan kepatutan tidak hanya sekedar hukum positif yang normatif.

Kemudian yang tak kalah penting adalah bagaimana melakukan pembudayaan peradaban ideal sejak dini dimulai dari sekup sosial terkecil yakni keluarga kemudian sekolah dan selanjutnya lingkungan masyarakat. Jika hal ini dapat terbangun, maka peradaban ideal niscaya akan dapat mewujud dan berimplikasi kontruktif dalam membangun kohesi sosial, keteraturan, ketertiban dan kemaslahatan bersama.

Maka sudah seharusnya kita beralih dari peradaban normatif menuju peradaban ideal. Dimana meletakkan nilai-nilai etika, moral dan kepatutan diatas dan lebih penting dari pada sekadar hukum positif yang normatif.



SELESAI .....







Tidak ada komentar:

Posting Komentar