Jumat, 08 Maret 2019

SUPREMASI SIPIL DEMI TEGAKNYA DEMOKRASI



Menyeruaknya wacana penempatan perwira aktif TNI di lembaga sipil yang digulirkan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu lalu menimbulkan polemik, wajar saja wacana ini menimbulkan polemik, mengingat wacana ini seakan mengembalikan memorabilia kolektif masyarakat akan sebuah era gelap kekuasaan militer terhadap ranah sipil, dwi fungsi ABRI, yang memberi kesan traumatik bagi masyarakat akan sebuah rezim otoritarianisme yang lekat dengan pemberangusan HAM dan demokrasi.

Di era sebelum reformasi, kekuasaan militer memang cukup massif, tidak sekadar pada bidang pertahanan namun juga meliputi bidang sipil-politik. Sehingga tidak mengherankan, pada masa itu banyak anggota ABRI mengisi jabatan-jabatan sipil seperti anggota DPR, anggota MPR, Gubernur, dan Bupati. Doktrin The Middle Way menjadi paradigma kekuasaan militer saat itu.

Kembali pada pokok pembahasan, wacana penempatan perwira TNI aktif di lembaga sipil oleh Panglima TNI sendiri dilatarbelakangi oleh banyaknya perwira tinggi dan menengah dilingkup TNI yang “Nganggur” karena tidak memiliki jabatan struktural alias non-job. Menurut Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi, ada 650 orang perwira TNI yang non-job, terdiri dari 150 perwira tinggi berpangkat jenderal dan 500 perwira menengah berpangkat kolonel.

Merujuk Pasal 47 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, sejujurnya para prajurit TNI aktif dapat mengisi posisi diluar struktural TNI yakni pada kantor yang membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intilijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung. Namun hal ini nampak belum mampu mereduksi jumlah perwira TNI non-job secara signifikan.

Supremasi Sipil dan Solusi

Marcus Mietzner dalam bukunya “The politics of Military Reform in Post-Soeharto Indonesia” ( 2006 ) mengatakan bahwa supremasi sipil adalah sebuah syarat mutlak guna menjamin tegaknya HAM dan demokrasi di Indonesia. Supremasi sipil mengandung makna bahwa militer dalam konteks ini perwira aktif, tidak boleh lagi menempati jabatan-jabatan sipil.

Ada dua alasan penting mengapa penempatan perwira aktif TNI untuk mengisi jabatan sipil harus ditolak, pertama, mengkhianati agenda reformasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu agenda penting reformasi adalah penghapusan dwi fungsi ABRI sekaligus meletakkan militer ( TNI ) pada khitahnya guna menjalankan fungsi pertahanan negara. Sehingga, jika perwira aktif  TNI kembali “Dikaryakan” untuk mengisi jabatan-jabatan sipil tentu ini menjadi sebuah langkah mundur agenda reformasi kita.

Kedua, supremasi sipil. Supremasi sipil menjadi sebuah keniscayaan demi tegaknya demokrasi, supremasi sipil memiliki arti bahwa jabatan-jabatan sipil harus diisi oleh non-militer, distingsi antara sipil dan militer menjadi sebuah hal penting dalam kehidupan demokrasi, guna mempertegas peran dan fungsi antara sipil dan militer agar tercipta balance system of state.

Secara konseptual, militerisasi dalam jabatan sipil harus kita tolak dengan 4 landasan, pertama filosofis, secara filosofis tugas militer dalam hal ini TNI adalah guna menjalankan fungsi pertahanan negara bukan fungsi sipil, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat ( 3 ) UUD NRI Tahun 1945, kedua sosiologis, mayoritas masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan menolak wacana pengisian jabatan sipil oleh perwira TNI aktif, dalam hal ini aspek kedaulatan rakyat tentunya harus dipertimbangkan.

Ketiga historis, wacana menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil dapat mengembalikan memori traumatik kolektif masyarakat akan sebuah era kelam bagi supremasi HAM dan demokrasi. Keempat futuristik, wacana menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil harus kita tolak sebagai langkah preventif guna mencegah potensi terjadinya otoritarianisme pada masa mendatang. Otoritarianisme akan mudah hidup jika fungsi sipil lemah dalam artian fungsi sipil di substitusi oleh kekuasaan militer.

Jika wacana menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil dilatarbelakangi oleh banyaknya perwira yang non-job, maka saya memiliki 3 solusi efektif guna mengatasi problematika tersebut tanpa menggerus sisi supremasi sipil, pertama, pengurangan usia pensiun bagi perwira tinggi dari 58 tahun menjadi 56 tahun, dimana hal ini secara bertahap akan memiliki dampak signifikan guna menekan presentase perwira TNI yang nganggur, kedua, penambahan pos jabatan struktural baru dilingkup TNI, namun hal ini tentunya membutuhkan dana operasional yang besar sehingga perlu dikaji secara seksama dan komprehensif, ketiga, perwira TNI aktif boleh mengisi jabatan-jabatan sipil, namun setelah mengisi jabatan sipil statusnya berubah menjadi sipil bukan militer.

Oleh karenanya, ketiga solusi yang saya utarakan diatas perlu diakomodir melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang TNI, revisi bukan untuk menempatkan perwira aktif TNI dalam jabatan sipil, namun guna mengurangi jumlah perwira TNI non-job sekaligus menjaga marwah supremasi sipil demi tegaknya demokrasi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar