Menyeruaknya wacana penempatan perwira aktif TNI di lembaga sipil
yang digulirkan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu lalu
menimbulkan polemik, wajar saja wacana ini menimbulkan polemik, mengingat
wacana ini seakan mengembalikan memorabilia kolektif masyarakat akan sebuah era
gelap kekuasaan militer terhadap ranah sipil, dwi fungsi ABRI, yang memberi
kesan traumatik bagi masyarakat akan sebuah rezim otoritarianisme yang lekat
dengan pemberangusan HAM dan demokrasi.
Di era sebelum reformasi, kekuasaan militer memang cukup massif,
tidak sekadar pada bidang pertahanan namun juga meliputi bidang sipil-politik. Sehingga
tidak mengherankan, pada masa itu banyak anggota ABRI mengisi jabatan-jabatan
sipil seperti anggota DPR, anggota MPR, Gubernur, dan Bupati. Doktrin The Middle Way menjadi paradigma
kekuasaan militer saat itu.
Kembali pada pokok pembahasan, wacana penempatan perwira TNI aktif
di lembaga sipil oleh Panglima TNI sendiri dilatarbelakangi oleh banyaknya
perwira tinggi dan menengah dilingkup TNI yang “Nganggur” karena tidak memiliki jabatan struktural alias non-job. Menurut
Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi, ada 650 orang perwira TNI yang non-job,
terdiri dari 150 perwira tinggi berpangkat jenderal dan 500 perwira menengah
berpangkat kolonel.
Merujuk Pasal 47 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
Tentang TNI, sejujurnya para prajurit TNI aktif dapat mengisi posisi diluar
struktural TNI yakni pada kantor yang membidangi koordinator Politik dan
Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intilijen
Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional,
SAR Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung. Namun hal ini nampak belum
mampu mereduksi jumlah perwira TNI non-job secara signifikan.
Supremasi
Sipil dan Solusi
Marcus Mietzner dalam bukunya “The
politics of Military Reform in Post-Soeharto Indonesia” ( 2006 ) mengatakan
bahwa supremasi sipil adalah sebuah syarat mutlak guna menjamin tegaknya HAM
dan demokrasi di Indonesia. Supremasi sipil mengandung makna bahwa militer
dalam konteks ini perwira aktif, tidak boleh lagi menempati jabatan-jabatan
sipil.
Ada dua alasan penting mengapa penempatan perwira aktif TNI untuk
mengisi jabatan sipil harus ditolak, pertama,
mengkhianati agenda reformasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu
agenda penting reformasi adalah penghapusan dwi fungsi ABRI sekaligus
meletakkan militer ( TNI ) pada khitahnya guna menjalankan fungsi pertahanan
negara. Sehingga, jika perwira aktif TNI
kembali “Dikaryakan” untuk mengisi jabatan-jabatan sipil tentu ini menjadi
sebuah langkah mundur agenda reformasi kita.
Kedua, supremasi
sipil. Supremasi sipil menjadi sebuah keniscayaan demi tegaknya demokrasi,
supremasi sipil memiliki arti bahwa jabatan-jabatan sipil harus diisi oleh
non-militer, distingsi antara sipil dan militer menjadi sebuah hal penting
dalam kehidupan demokrasi, guna mempertegas peran dan fungsi antara sipil dan
militer agar tercipta balance system of state.
Secara konseptual, militerisasi dalam jabatan sipil harus kita
tolak dengan 4 landasan, pertama filosofis,
secara filosofis tugas militer dalam hal ini TNI adalah guna menjalankan fungsi
pertahanan negara bukan fungsi sipil, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat
( 3 ) UUD NRI Tahun 1945, kedua sosiologis,
mayoritas masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan menolak wacana
pengisian jabatan sipil oleh perwira TNI aktif, dalam hal ini aspek kedaulatan
rakyat tentunya harus dipertimbangkan.
Ketiga historis, wacana
menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil dapat mengembalikan memori
traumatik kolektif masyarakat akan sebuah era kelam bagi supremasi HAM dan
demokrasi. Keempat futuristik, wacana
menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil harus kita tolak sebagai
langkah preventif guna mencegah potensi terjadinya otoritarianisme pada masa
mendatang. Otoritarianisme akan mudah hidup jika fungsi sipil lemah dalam
artian fungsi sipil di substitusi oleh kekuasaan militer.
Jika wacana menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil
dilatarbelakangi oleh banyaknya perwira yang non-job, maka saya memiliki 3
solusi efektif guna mengatasi problematika tersebut tanpa menggerus sisi supremasi
sipil, pertama, pengurangan usia
pensiun bagi perwira tinggi dari 58 tahun menjadi 56 tahun, dimana hal ini secara bertahap
akan memiliki dampak signifikan guna menekan presentase perwira TNI yang nganggur, kedua, penambahan pos jabatan struktural baru dilingkup TNI, namun
hal ini tentunya membutuhkan dana operasional yang besar sehingga perlu dikaji
secara seksama dan komprehensif, ketiga,
perwira TNI aktif boleh mengisi jabatan-jabatan sipil, namun setelah mengisi
jabatan sipil statusnya berubah menjadi sipil bukan militer.
Oleh karenanya, ketiga solusi yang saya utarakan diatas perlu
diakomodir melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang
TNI, revisi bukan untuk menempatkan perwira aktif TNI dalam jabatan sipil, namun guna
mengurangi jumlah perwira TNI non-job sekaligus menjaga marwah supremasi sipil
demi tegaknya demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar