Selasa, 12 Maret 2019

PRABOWO DAN KETIDAKBERUNTUNGAN POLITIK



Prabowo Subianto kembali maju dalam kontestasi pilpres untuk ketiga kalinya, meski di dua kontestasi sebelumnya Prabowo menelan pil pahit karena harus kalah, namun Prabowo nampak tidak putus asa untuk merajut mimpi menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Mimpi menjadi orang nomor satu di Indonesia sejujurnya telah dirajut oleh Prabowo sejak tahun 2004, ketika ia maju dalam konvensi calon presiden Partai Golkar, namun saat itu ia kalah, konvensi dimenangkan oleh Wiranto yang kemudian maju sebagai calon presiden dari Partai Golkar berpasangan dengan Sholahuddin Wahid.

Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh Prabowo untuk menjadi penguasa istana negara menurut saya disebabkan karena Prabowo dihadapkan pada kondisi ketidakberuntungan politik baik dalam konteks momentum politik maupun jejak konstelasi diri. 

Dalam konteks momentum politik, ketidakberuntungan Prabowo dimulai pada pilpres 2009, dimana saat itu ia menjadi cawapres berpasangan dengan Megawati, sialnya, pada pilpres 2009 lawan yang dihadapi oleh Prabowo dan Megawati adalah SBY, sang petahana yang sedang on fire atau dalam bahasa jawanya ngedhap-ngedhapi

Pada pilpres 2009, SBY relatif berada diatas angin berbekal kinerja yang cukup baik selama menjabat presiden pada periode 2004 – 2009. Pilpres 2009 sendiri sering disebut sebagai ajang formalitas belaka untuk memberikan legitimasi kekuasaan pada SBY, mengingat jarak elektabilitas SBY yang saat itu berpasangan dengan Boediono terlampau jauh untuk dikejar oleh pasangan capres-cawapres lainnya. Hasilnya pun bisa ditebak SBY kembali menjadi presiden Indonesia untuk periode yang kedua, sedangkan Prabowo harus gigit jari.

Momen ketidakberuntungan Prabowo kembali terjadi pada pilpres 2014, pilpres 2014 sejujurnya adalah momen emas Prabowo untuk menjadi RI 1, Megawati sudah “daluwarsa” sedangkan SBY sudah tidak bisa mencalonkan diri, hal ini tentunya menjadi keuntungan tersendiri bagi Prabowo, karena tanpa dua sosok tersebut praktis tidak ada tokoh politik yang memiliki elektabilitas diatas Prabowo.

Namun tiba-tiba terjadi momen yang tidak diinginkan oleh Prabowo, dalam waktu dua tahun (2012 – 2014) muncul tokoh politik yang dipresepsikan publik sebagai satrio piningit, pemimpin sederhana, pemimpin yang bersih dari korupsi dan pemimpin pro rakyat yang hobi blusukan bernama Joko Widodo. Keberhasilan Jokowi memenangkan kontestasi pilgub DKI dan rekam jejak selama menjadi walikota Surakarta turut mengatrol elektabilitas Jokowi pada bursa capres 2014. Alhasil, Jokowi yang saat menjadi calon gubernur DKI didukung oleh Partai Gerindra dan Prabowo, kemudian berubah menjadi lawan politik bagi Prabowo pada pilpres 2014.

Pada pilpres 2014, Prabowo menjadi capres berpasangan dengan Hatta Rajasa sedangkan Jokowi menjadi capres berpasangan dengan Jusuf kalla. Meskipun Prabowo saat itu diusung oleh lebih banyak partai dari pada Jokowi, namun pamor Jokowi sebagai pemimpin yang sedang naik daun dengan presepsi bersih, sederhana dan merakyat tidak mampu dibendung oleh Prabowo. Prabowo pun kembali gagal memenangkan hati rakyat Indonesia sedangkan Jokowi berhasil menjadi Presiden ketujuh Indonesia.

Seandainya pada pilpres 2014 lalu tidak ada Jokowi, besar kemungkinan Prabowo lah yang akan duduk sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Dua momen diatas telah menunjukkan ketidakberuntungan Prabowo dari segi momentum politik, Prabowo selalu berada pada momen politik yang kurang mendukung dan menguntungkan beliau untuk dapat duduk sebagai presiden (2014) maupun sebagai wakil presiden (2009).

Pada 2009 Prabowo harus melawan juara bertahan yang sedang on fire, sedangkan pada 2014 Prabowo harus menghadapi sosok rising star yang sedang digandrungi rakyat. Prabowo pun kalah.

Jejak Konstelasi Diri

Selain dari segi momentum politik, ketidakberuntungan Prabowo juga terpatri dalam jejak konstelasi diri, ada dua jejak konstelasi diri Prabowo yang “mengganjal” Prabowo guna memenangkan hati rakyat Indonesia. Pertama, Prabowo dikonotasikan dan berlabel sebagai trah rezim orde baru, “gelar” tersebut tidak berlebihan, mengingat Prabowo merupakan mantan menantu dari Soeharto. Dengan “gelar” tersebut, secara langsung maupun tidak langsung tentu dapat menggerus simpati dan kepercayaan masyarakat terhadap Prabowo, dan hal ini tentunya memiliki dampak elektoral yang negatif bagi Prabowo.

Kedua, Prabowo sering diafiliasikan dengan peristiwa pelanggaran HAM serta penculikan aktivis dan mahasiswa pada 1998. Meskipun secara hukum Prabowo belum terbukti bersalah, namun secara sosial, masyarakat secara umum relatif menganggap dan mempercayai Prabowo terlibat dalam peristiwa tersebut, apalagi ditambah fakta bahwa Prabowo diberhentikan dari kedinasan TNI sebelum pensiun.

Selain dua jejak konstelasi diri diatas, ketidakberuntungan politik Prabowo (secara spesifik) dalam hal ini terkait pilpres 2019 adalah karena Prabowo dikelilingi oleh mitra politik yang “kontroversial”, kaum elite pendukung Prabowo mayoritas adalah orang-orang “kontroversial” yang justru menjadi penghambat bagi Prabowo guna meraih atensi dan simpati rakyat Indonesia dengan sikap dan pernyataan kontroversial yang mereka umbar, orang-orang tersebut misalnya, Fadli Zon, Andi Arief, Egi Sudjana, Tengku Zulkarnain, Ratna Sarumpaet, Rocky Gerung, Fahri Hamzah, Ahmad Dhani, Habib Rizieq, Haikal Hasan, Rizal Ramli, Habib Bahar Bin Smith, Amien Rais, dan Neno Warisman.

Sedangkan dari kubu Jokowi, mayoritas didukung oleh elite yang teduh sebut saja Tuan Guru Bajang, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawangsa, Soekarwo, Yenny Wahid, Budiman Sudjatmiko, Surya Paloh, Rhenald Khasali, Addie MS, Slank dll. Meskipun pada satu sisi, kubu pendukung Jokowi pun tak lepas dari sosok-sosok kontroversial seperti Ali Ngabalin dan Ruhut Sitompul, namun ekskalasinya tidak sebesar dari kubu pendukung Prabowo.

Di sisi lain, menjelang hari H pilpres 2019 yang berjarak sekitar sebulan lagi, elektabilitas Jokowi masih unggul relatif jauh dari Prabowo, dari rilis survei terbaru 4 lembaga survei yakni SMRC (10 Maret), LSI Denny JA  (5 Maret), Cyrus Network (28 Februari), dan Populi Center (7 februari) Jokowi masih leading diatas 20 %. 

Dengan mengacu pada 4 hasil survei tersebut dan waktu pencoblosan yang hanya tinggal menghitung hari, maka Prabowo berpotensi besar akan kembali mengulang kegagalannya pada 2004 (gagal menjadi capres), 2009 (gagal menjadi wapres), dan 2014 (gagal menjadi presiden) mengingat terlampau sulit untuk mengejar ketertinggalan elektabilitas sebesar 20 % lebih.

Melihat dari segi momentum politik, jejak konstelasi diri, hingga kualitas deretan pendukungnya (pada pilpres 201)), mungkin Prabowo memang tidak ditakdirkan untuk menjadi presiden Indonesia, jalan kehidupan menempatkan Prabowo pada ketidakberuntungan politik yang menyulitkan Prabowo untuk memenangkan hati rakyat Indonesia.

Prabowo (mungkin) memang tidak ditakdirkan oleh Tuhan menjadi presiden Indonesia, namun dengan kapasitas diri, modal sosial, modal politik hingga modal kapital, Prabowo sejujurnya masih memiliki banyak peran dan lahan yang dapat digarap untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi positif bagi masyarakat, bangsa, dan negara ini.

Oleh karenanya, apapun hasil pilpres 17 April nanti, semoga pak Prabowo dapat menerimanya dengan lapang dada, berjiwa ksatria dan tak pernah berhenti untuk mendedikasikan dirinya bagi kemajuan bangsa dan negara ini, entah sebagai presiden Indonesia maupun tidak.



  • Terkadang alam tidak memberikan mu anugerah berupa keberuntungan, namun tanpa keberuntungan sekalipun seharusnya tidak menjadi penghalang bagi dirimu untuk menjadi manusia yang berguna.



Selesai ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar