Senin, 16 Desember 2019

GIBRAN DAN DINASTI POLITIK



Rencana Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi untuk maju pada kontestasi politik pemilihan walikota Solo periode 2020-2024 terlihat semakin serius. Komunikasi politik dengan berbagai golongan mulai dibangun, manuver-manuver politik mulai terlihat. Hasrat Gibran untuk menjadi orang nomor satu di kota Solo kelihatannya sudah tak bisa dibendung.

Gibran sejujurnya adalah orang “hijau” dalam kancah politik. Ia lebih dikenal luas sebagai “pengusaha martabak”. Bahkan, baru bulan September lalu Gibran terjun ke dunia politik dengan menjadi kader anggota PDIP. Meskipun sebagai anak presiden, Gibran selama ini terkesan menjaga jarak dengan dunia politik. Bahkan, dalam suatu acara talkshow di sebuah televisi swasta beberapa tahun lalu, Gibran pernah berkelakar bahwa dia tidak tertarik dengan dunia politik dan ingin lebih fokus menggeluti usaha dan bisnisnya.

Namun, kelakar Gibran nampaknya bertolak belakang dengan dinamika yang ada saat ini. Hasrat Gibran untuk terjun ke dunia politik dan maju dalam pemilihan walikota Solo sudah bulat. Publik pun dibuat kaget dengan manuver politik gibran. Sebagian publik menilai bahwa Gibran sedang aji mumpung sebagai anak presiden sekaligus membangun dinasti politik klan Jokowi. Di sisi lain, sebagian publik justru mengapresiasi langkah gibran terjun ke dunia politik, pihak ini menilai wajah politik butuh sosok-sosok muda seperti Gibran untuk dapat membuat gebrakan perubahan.

Menurut analisa saya, ada dua alasan yang melatarbelakangi terjunnya Gibran ke panggung politik khususnya terkait rencananya untuk maju dalam pemilihan walikota Solo, Pertama, alasan untuk meneruskan klan politik keluarga Jokowi. Fenomena ini sama persis dengan fenomena banting setirnya Agus Harimurti Yudhoyono dari dunia militer ke paanggung politik. Alasannya sederhana saja, keluarga SBY dan keluarga Jokowi membutuhkan penerus dalam panggung politik yang sekiranya memiliki kapasitas dan citra positif di mata publik.

Agus Harimurti Yudhoyono dahulu dikenal sebagai prajurit TNI yang berprestasi. Sedangkan Gibran dikenal sebagai pengusaha mandiri dan sukses. Konotasi positif itulah yang kemudian menjadi modal bagi keduanya untuk terjun ke panggung politik guna meneruskan trah politik dari keluarganya masing-masing.

Kedua, saya sebut sebagai alasan “filantropi politik” atau alasan normatif. Yakni alasan untuk turut berkontribusi secara nyata sekaligus membawa perubahan-perubahan positif kepada masyarakat khususnya masyarakat kota Solo melalui kebijakan-kebijakan politik sebagai seorang walikota (apabila terpilih). Dan saya yakin alasan inilah yang akan selalu keluar dari mulut Gibran apabila disodori pertanyaan mengapa memutuskan untuk terjun ke dunia politik dan maju dalam pemilihan walikota Solo periode 2020-2025. Hal ini sejalan dengan teori dramaturgi politik dimana panggung depan politik akan selalu menampilkan sisi-sisi positif-idealistik baik secara alamiah maupun sekadar retorika.

Dinasti Politik

Dinasti politik akhir-akhir menjadi kata yang begitu akrab dan riuh di ruang publik, tepatnya sejak Gibran Rakabuming, putra pertama Presiden Jokowi berencana maju pada pemilihan walikota Solo periode 2020-2025.

Ditinjau dari sisi gramatikal, dinasti politik sendiri berasal dari kata dinasti yang artinya keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari keluarga (sumber: KBBI) dan politik yang artinya kekuasaan. Jika disatukan, maka makna dari dinasti politik adalah kekuasaan yang turun temurun berdasarkan garis keturunan keluarga.

Secara letterlijk makna dari pada dinasti politik pada prinsipnya mengandung nilai ascribed status yakni status sosial yang didapat oleh seseorang secara otomatis berdasarkan faktor keturunan. Oleh karena itu, diksi dinasti politik sebenarnya lebih relevan dan kompatibel dengan bentuk negara monarki bukan republik. Dalam negara republik, peralihan kekuasaan tidak menganut nilai ascribed status (otomatis/keturunan) melainkan nilai acieved status (usaha/demokratis). Nilai achieved status ini dilaksanakan melalui kontestasi politik (pemilihan umum) yang demokratis dan dilakukan secara berkala oleh sebuah lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan imparsial.

Jadi, ditinjau dari sisi gramatikal, sebenarnya makna dinasti politik dalam konteks negara republik Indonesia sejujurnya tidak relevan. Oleh karena itu, mengaitkan narasi rencana majunya Gibran pada kontestasi politik pemilihan walikota Solo dengan diksi dinasti politik saya kira kurang tepat. Karena untuk menjadi walikota sendiri, Gibran harus memperolehnya melalui usaha dan proses demokratis, tidak serta merta secara otomatis. Lagipula, bukan Jokowi yang menentukan apakah Gibran terpilih menjadi walikota atau tidak melainkan suara rakyat.

Kemudian secara sosiologis, makna politik dinasti memang dimaknai sebagai “pewarisan” gen politik kepada keturunan keluarga. Dalam konteks ini, dinasti politik biasanya berkaitan dengan “pewarisan” kekuasaan politik di suatu wilayah teritorial yang khas dalam jangka waktu berdekatan, misalnya dinasti politik Ratu Atut Choisyiah di Banten atau dinasti politik keluarga Limpo di Sulawesi Selatan. Efek negatif dari perputaran kekuasaan “keluarga” di suatu wilayah teritorial ini sendiri adalah munculnya oligarki politik yang menyebabkan proses demokratisasi di wilayah tersebut terhambat. Salah satunya, mereduksi dan menghambat sosok-sosok lain diluar keluarga tersebut untuk memenangkan kontestasi politik di wilayah tersebut.

Kembali kepada makna dinasti politik, di tinjau dari sisi sosiologis, maka rencana majunya Gibran pada pemilihan walikota Solo juga tidak tepat jika dikontekstualisasikan dengan diksi dinasti politik, karena tidak berkaitan dengan “pewarisan” kekuasaan politik di suatu wilayah teritorial yang khas dalam jangka waktu berdekatan.

Legalitas dan Etika

Ada dua tolok ukur untuk menilai sah tidaknya dan pantas tidaknya Gibran maju dalam pemilihan walikota Solo. Ukuran sah tidaknya tentu bicara aspek legalitas, dan bicara soal aspek legalitas, maka sah-sah saja Gibran maju pada pemilihan walikota Solo. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang seorang anak presiden maju dalam pemilihan walikota atau kontestasi politik lainnya. Lebih dari itu, berpartisipasi dalam kontestasi politik adalah bagian dari hak konstitusional seorang warga negara.

Selanjutnya berbicara mengenai aspek etika. Etika adalah moral dan kepantasan yang didasarkan pada norma yang tidak tertulis yakni tradisi, agama, dan nurani. Dalam konteks etika memang akan cenderung subyektif, setiap orang bisa memiliki penilaian yang berbeda. Dalam pemahaman saya, etika itu dilanggar jika menimbulkan suatu ketidakpantasan yang dapat diobyektifkan.

Nah, dalam konteks rencana majunya Gibran sebagai putra presiden menuju pemilihan walikota Solo saya kira tidak ada etika yang dilanggar. Tidak ada suatu ketidakpantasan yang dapat diobyektifkan. Sekali lagi, terpilih tidaknya Gibran dalam pemilihan walikota Solo bukan ditentukan oleh Jokowi melainkan oleh suara rakyat.

Untuk menjadi seorang walikota Gibran harus berkontestasi dalam proses pemilihan umum yang demokratis bukan melalui penunjukan otomatis yang cenderung bermotif nepotisme

Beda halnya, jika Jokowi menunjuk Gibran menjadi seorang menteri atau pejabat BUMN dimana dilakukan dengan penunjukkan yang cenderung mengandung motif nepotisme. Inilah yang saya rasa tidak beretika. Karena ada ketidakpantasan yang bisa diobyektifkan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar