Rencana Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi untuk
maju pada kontestasi politik pemilihan walikota Solo periode 2020-2024 terlihat
semakin serius. Komunikasi politik dengan berbagai golongan mulai dibangun,
manuver-manuver politik mulai terlihat. Hasrat Gibran untuk menjadi orang nomor
satu di kota Solo kelihatannya sudah tak bisa dibendung.
Gibran sejujurnya adalah orang “hijau” dalam kancah politik. Ia
lebih dikenal luas sebagai “pengusaha martabak”. Bahkan, baru bulan
September lalu Gibran terjun ke dunia politik dengan menjadi kader anggota PDIP. Meskipun sebagai anak presiden,
Gibran selama ini terkesan menjaga jarak dengan dunia politik. Bahkan, dalam
suatu acara talkshow di sebuah televisi swasta beberapa tahun lalu, Gibran
pernah berkelakar bahwa dia tidak tertarik dengan dunia politik dan ingin lebih
fokus menggeluti usaha dan bisnisnya.
Namun, kelakar Gibran nampaknya bertolak belakang
dengan dinamika yang ada saat ini. Hasrat Gibran untuk terjun ke dunia politik
dan maju dalam pemilihan walikota Solo sudah bulat. Publik pun dibuat kaget dengan manuver politik gibran.
Sebagian publik menilai bahwa Gibran sedang aji
mumpung sebagai anak presiden sekaligus membangun dinasti politik klan
Jokowi. Di sisi lain, sebagian publik justru mengapresiasi langkah gibran terjun ke dunia
politik, pihak ini menilai wajah politik butuh sosok-sosok muda seperti Gibran
untuk dapat membuat gebrakan perubahan.
Menurut analisa saya, ada dua alasan yang
melatarbelakangi terjunnya Gibran ke panggung politik khususnya terkait
rencananya untuk maju dalam pemilihan walikota Solo, Pertama, alasan untuk meneruskan
klan politik keluarga Jokowi. Fenomena ini sama persis dengan fenomena banting
setirnya Agus Harimurti Yudhoyono dari dunia militer ke paanggung politik. Alasannya sederhana
saja, keluarga SBY dan keluarga Jokowi membutuhkan penerus dalam panggung
politik yang sekiranya memiliki kapasitas dan citra positif di mata publik.
Agus Harimurti Yudhoyono dahulu dikenal sebagai
prajurit TNI yang berprestasi. Sedangkan Gibran dikenal sebagai pengusaha
mandiri dan sukses. Konotasi positif itulah yang kemudian menjadi modal bagi keduanya untuk terjun ke panggung politik guna meneruskan trah politik
dari keluarganya masing-masing.
Kedua, saya sebut sebagai alasan “filantropi
politik” atau alasan normatif. Yakni alasan untuk turut berkontribusi secara
nyata sekaligus membawa perubahan-perubahan positif kepada masyarakat khususnya
masyarakat kota Solo melalui kebijakan-kebijakan politik sebagai seorang
walikota (apabila terpilih). Dan saya yakin alasan inilah yang akan selalu
keluar dari mulut Gibran apabila disodori pertanyaan mengapa memutuskan untuk
terjun ke dunia politik dan maju dalam pemilihan walikota Solo periode
2020-2025. Hal ini sejalan dengan teori dramaturgi politik dimana panggung
depan politik akan selalu menampilkan sisi-sisi positif-idealistik baik secara
alamiah maupun sekadar retorika.
Dinasti
Politik
Dinasti politik akhir-akhir menjadi kata yang begitu
akrab dan riuh di ruang publik, tepatnya sejak Gibran Rakabuming, putra pertama
Presiden Jokowi berencana maju pada pemilihan walikota Solo periode 2020-2025.
Ditinjau dari sisi gramatikal, dinasti politik
sendiri berasal dari kata dinasti yang artinya keturunan raja-raja yang
memerintah, semuanya berasal dari keluarga (sumber: KBBI) dan politik yang
artinya kekuasaan. Jika disatukan, maka makna dari dinasti politik adalah
kekuasaan yang turun temurun berdasarkan garis keturunan keluarga.
Secara letterlijk
makna dari pada dinasti politik pada prinsipnya mengandung nilai ascribed status yakni status sosial yang
didapat oleh seseorang secara otomatis berdasarkan faktor keturunan. Oleh
karena itu, diksi dinasti politik sebenarnya lebih relevan dan kompatibel dengan
bentuk negara monarki bukan republik. Dalam negara republik, peralihan
kekuasaan tidak menganut nilai ascribed
status (otomatis/keturunan) melainkan nilai acieved status (usaha/demokratis). Nilai achieved
status ini dilaksanakan melalui kontestasi politik (pemilihan umum) yang demokratis dan dilakukan secara berkala oleh sebuah lembaga penyelenggara pemilu yang
independen dan imparsial.
Jadi, ditinjau dari sisi gramatikal, sebenarnya
makna dinasti politik dalam konteks negara republik Indonesia sejujurnya tidak
relevan. Oleh karena itu, mengaitkan narasi rencana majunya Gibran pada
kontestasi politik pemilihan walikota Solo dengan diksi dinasti politik saya
kira kurang tepat. Karena untuk menjadi walikota sendiri, Gibran harus
memperolehnya melalui usaha dan proses demokratis, tidak serta merta secara otomatis. Lagipula,
bukan Jokowi yang menentukan apakah Gibran terpilih menjadi walikota atau tidak
melainkan suara rakyat.
Kemudian secara sosiologis, makna politik dinasti memang
dimaknai sebagai “pewarisan” gen politik kepada keturunan keluarga. Dalam
konteks ini, dinasti politik biasanya berkaitan dengan “pewarisan” kekuasaan politik
di suatu wilayah teritorial yang khas dalam jangka waktu berdekatan, misalnya
dinasti politik Ratu Atut Choisyiah di Banten atau dinasti politik keluarga
Limpo di Sulawesi Selatan. Efek negatif dari perputaran kekuasaan “keluarga”
di suatu wilayah teritorial ini sendiri adalah munculnya oligarki politik yang
menyebabkan proses demokratisasi di wilayah tersebut terhambat. Salah satunya, mereduksi dan menghambat sosok-sosok lain diluar keluarga tersebut untuk memenangkan kontestasi politik di wilayah tersebut.
Kembali kepada makna dinasti politik, di tinjau dari sisi sosiologis, maka rencana
majunya Gibran pada pemilihan walikota Solo juga tidak tepat jika
dikontekstualisasikan dengan diksi dinasti politik, karena tidak berkaitan
dengan “pewarisan” kekuasaan politik di suatu wilayah teritorial yang khas
dalam jangka waktu berdekatan.
Legalitas
dan Etika
Ada dua tolok ukur untuk menilai sah tidaknya dan pantas
tidaknya Gibran maju dalam pemilihan walikota Solo. Ukuran sah tidaknya tentu
bicara aspek legalitas, dan bicara soal aspek legalitas, maka sah-sah saja
Gibran maju pada pemilihan walikota Solo. Tidak ada peraturan
perundang-undangan yang melarang seorang anak presiden maju dalam pemilihan walikota
atau kontestasi politik lainnya. Lebih dari itu, berpartisipasi dalam
kontestasi politik adalah bagian dari hak konstitusional seorang warga negara.
Selanjutnya berbicara mengenai aspek etika. Etika
adalah moral dan kepantasan yang didasarkan pada norma yang tidak tertulis
yakni tradisi, agama, dan nurani. Dalam konteks etika memang akan cenderung
subyektif, setiap orang bisa memiliki penilaian yang berbeda. Dalam pemahaman
saya, etika itu dilanggar jika menimbulkan suatu ketidakpantasan yang dapat
diobyektifkan.
Nah, dalam konteks rencana majunya Gibran sebagai
putra presiden menuju pemilihan walikota Solo saya kira tidak ada etika yang dilanggar.
Tidak ada suatu ketidakpantasan yang dapat diobyektifkan. Sekali lagi, terpilih
tidaknya Gibran dalam pemilihan walikota Solo bukan ditentukan oleh Jokowi
melainkan oleh suara rakyat.
Untuk menjadi seorang walikota Gibran harus berkontestasi
dalam proses pemilihan umum yang demokratis bukan melalui penunjukan otomatis
yang cenderung bermotif nepotisme.
Beda halnya, jika Jokowi menunjuk Gibran menjadi seorang menteri atau pejabat BUMN dimana dilakukan dengan penunjukkan yang cenderung mengandung motif nepotisme. Inilah yang saya rasa tidak beretika. Karena ada ketidakpantasan yang bisa diobyektifkan.
Beda halnya, jika Jokowi menunjuk Gibran menjadi seorang menteri atau pejabat BUMN dimana dilakukan dengan penunjukkan yang cenderung mengandung motif nepotisme. Inilah yang saya rasa tidak beretika. Karena ada ketidakpantasan yang bisa diobyektifkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar