Sabtu, 16 November 2019

PILKADA LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG ?


Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengeluarkan sebuah statement yang "berhasil" memancing diskursus dalam ruang publik. Statement mantan orang nomor satu polri tersebut terkait relevansi pelaksanaan pilkada langsung yang menurutnya justru menimbulkan banyak ekses negatif khususnya mengenai politik uang dan korupsi. Pada intinya, pelaksanaan pilkada langsung harus dievaluasi dan pilkada tidak langsung dapat menjadi solusinya. Tito Karnavian menyampaikan statement demikian saat melakukan rapat kerja dengan komisi II DPR, Rabu (6/11/2019).

Pro dan kontra pun seketika menyeruak dalam ruang publik. Dari ruang akademik, media sosial, media massa, hingga di lingkungan sosial masyarakat.

Di satu sisi, ada pihak yang tidak setuju seandainya pilkada langsung di rubah kembali menjadi pilkada tidak langsung. Bagi kelompok ini, merubah pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung adalah sebuah kemunduran peradaban demokrasi. Di sisi lain, ada pihak yang menghendaki peninjauan kembali terhadap pelaksanaan pilkada langsung, karena dalam realitasnya, pilkada langsung justru banyak menghasilkan ekses negatif yakni politik uang (hulu) dan korupsi (hilir). Konkretnya, kelompok ini menghendaki dilaksanakannya pilkada tidak langsung sebagai solusi atas kegagalan pilkada langsung dalam mewujudkan peradaban demokrasi yang lebih baik. Alasannya, dengan pilkada tidak langsung, maka politik uang akan dapat dicegah.

Namun, apakah dengan memilih pilkada tidak langsung politik uang lantas bisa dicegah ? tidak juga. Menurut saya, praktik politik uang hanya akan beralih obyek saja. Dari politik uang kepada rakyat saat pilkada langsung menjadi politik uang kepada anggota DPRD bahkan parpol saat dilaksanakan pilkada tidak langsung. Konkretnya, politik uang akan mengarah kepada siapa yang memiliki hak legitimasi suara dalam pilkada.

Sedangkan dalam pandangan saya, problematika utama demokrasi kita hari ini bukanlah terletak pada platform pilkada, apakah itu pilkada langsung maupun tidak langsung. Bukan. Problematika utama demokrasi kita hari ini yang lekat dengan ekses-ekses negatif khususnya terkait politik uang dan mahar politik yang bermuara pada menguatnya ekskalasi dan budaya korupsi oleh para kepala daerah adalah terletak pada sistem politik atau lebih spesifik berbicara mengenai sistem pilkada yang amburadul. Misalnya, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam pilkada sehingga politik uang bisa berkelindan secara masif. Kemudian rendahnya fungsi dan idealisme partai politik dalam rangka mewujudkan iklim politik yang substantif dan bermartabat.

Jadi, problematika besar demokrasi kita hari ini bukan terletak pada paltform pilkada, apakah langsung maupun tidak langsung, namun terletak pada fungsi dan kinerja dari sistem pilkada. Perlu dipahami bahwa pilkada langsung maupun tidak langsung hanyalah sekadar sarana untuk membangun demokrasi. Sebagai sarana, pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama memiliki peluang untuk membuat maju maupun membuat mundur peradaban demokrasi kita, tergantung dari bagaimana fungsi sistem yang bekerja pada platform pilkada tersebut.

Sistem yang menentukan maju tidaknya demokrasi (pilkada) terletak pada tiga faktor. Pertama, substansi (UU) pilkada apakah mengandung legitimasi yuridis guna mendukung penyelenggaraan pilkada yang bersih dan akuntabel atau tidak. Kedua, ada tidaknya proses pengawasan dan penegakan hukum baik pidana maupun administratif yang tegas dan konsekuen dalam penyelengaraan pilkada. Ketiga, terkait kultur dari suprastruktur dan infrastruktur politik.

Konkretnya, baik pilkada langsung maupun tidak langsung tidak menjadi masalah selama ketiga hal diatas mampu mengejawantah secara ideal dalam ranah empiris penyelengaaraan pilkada. Ketika ketiga hal diatas mampu mengejawantah secara ideal, maka politik uang, mahar politik, dan penyakit-penyakit politik lainnya yang menghambat kemajuan demokrasi tentunya akan dapat diminimalisir sekecil mungkin.

Konstitusionalitas dan Esensi Pilkada 

Berbicara mengenai aspek konstitusionalitas, maka baik pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama konstitusional. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyebut "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah dipilih secara demokratis". Frasa demokratis disini tentu dapat dimaknai baik dalam bentuk pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung.

Jadi, berbicara aspek konstitusionalitas, maka baik pilkada langsung maupun tidak langsung adalah sama-sama konstitusional. Tinggal platform pilkada apa yang dipilih oleh pihak legislatif sesuai dengan prinsip opened legal policy.

Selanjutnya, berbicara mengenai esensi pilkada. Esensi pilkada pada prinsipnya terbagi dalam tiga dimensi. Pertama, dimensi ideal. Menurut dimensi ideal, esensi hadirnya pilkada adalah untuk memilih dan mendapatkan pemimpin terbaik dari suatu kelompok masyarakat (primus interpares). Kedua, dimensi praksis. Dalam dimensi praksis esensi hadirnya pilkada adalah untuk memilih pemimpin terbaik dari yang ada (yang ikut kontestasi). Atau dalam bahasa Franz Magnis Suseno "mencegah pemimpin yang terburuk memimpin". Ketiga, dimensi realitas. Dalam dimensi realitas, esensi hadirnya pemilu justru mengarah pada praktik oligarki, dimana tolok ukur atau faktor kunci yang menentukan menang tidaknya seseorang dalam kontestasi pilkada bukanlah kapasitas, rekam jejak, dan integritas melainkan kemampuan logistik-materil.

Berbicara mengenai konteks esensi pilkada. Maka, baik pilkada langsung maupun tidak langsung sejujurnya tidak bisa serta merta dapat menjamin terwujudnya dimensi ideal atau setidaknya dimensi praksis dalam pelaksanaan pilkada. Karena faktor penentu sebagaimana saya jelaskan diatas adalah tergantung dari bagaimana fungsi sistem yang bekerja pada platform pilkada. Yakni, substansi (UU), penegakan hukum dalam penyelengaaraan pilkada, serta kultur dari suprastruktur dam infrastruktur politik.

Lalu, apa sisi positif dari pilkada langsung dan pilkada tidak langsung ?

Sisi positif yang pasti didapat dari pilkada langsung adalah adanya keleluasaan (restriktif) rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sedangkan sisi positif yang didapat dari pilkada tidak langsung adalah menghemat biaya penyelengaaraan pilkada.

Namun jika ditarik dalam konteks nilai esensial penyelengaaraan pilkada khususnya dalam dimensi ideal dan dimensi praksis. Maka, baik pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama tidak bisa menjamin terwujudnya pilkada yang fungsional (menghasilkan pemimpin berkualitas) dan bermartabat (bebas dari politik uang, mahar politik, dll).

Jadi, esensinya bukan pada platform pilkada apa, melainkan bagaimana kita membangun sistem pilkada agar dapat menghasilkan pilkada yang fungsional dan bermartabat.


Selesai ...






Tidak ada komentar:

Posting Komentar